Milestone. Sebuah batu penanda jalan yang sering ditumbuhi oleh pohon besar—guna tempat berteduh untuk pengembara di kala panas terik menyengat, atau hujan turun menerpa. Walaupun matahari tak kunjung meneduh,atau hujan tak kunjung reda, tapi tempat itu selalu sejuk, dan nyaman.
Over The Rainbow
Naruto ©Masashi Kishimoto
Over The Rainbow Judy Garland
Warning: May contain OOCness, and shounen ai. Enjoy!
Pada satu siang di tahun 1935, Uchiha Sasuke menemukan tempat yang pernah diceritakan oleh Itachi, kakaknya itu. Delapan tahun menetap di desa Konoha, baru kali itu ia membuktikan kalau cerita Itachi benar. Sasuke langsung menepikan sepedanya dan duduk di bawah pohon sakura, tempat si milestone berada. Panas tak begitu menyengat, dan tak ada tanda-tanda kalau hujan akan turun, mengingat sekarang musim panas. Tapi Sasuke tetap berteduh disana.
Ia menunggu.
Menunggu siapa? Ia tidak tahu.
Ia berharap orang lain akan ikut berteduh di bawah pohon itu.
Tapi siapa? Ia juga tidak tahu.
Itachi juga pernah bilang, ketika seorang pengembara berteduh di bawah milestone, ada pengembara lain yang datang. Kemudian mereka berbagi cerita, pengalaman, sebagainya. Pengembara itu bisa jadi seorang pendeta, pembunuh, siapa saja. Tapi di bawah milestone, semua orang sama saja.
Itachi memang seorang pencerita yang handal.
Sasuke baru saja mau memejamkan matanya—terbuai oleh angin yang membelai pipinya—sebelum sebuah suara tenor menggagalkan niatnya. Suara itu mengeluarkan bahasa Jepang yang patah-patah.
"Kenal…rumah Uchiha?"
Sasuke membuka matanya, dan menatap lawan bicaranya. Ketika ia melihat bola mata biru dan rambut pirang si lawan bicara, Sasuke langsung menelan rasa herannya, dan memaklumi kekacauan tata bahasanya tadi.
Pria yang bertanya tadi mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku jasnya, dan membolak-balik beberapa halamannya, mencari koreksi dari kesalahan kata-katanya tadi. Sasuke berdiri, dan menatap pemuda di depannya lurus-lurus. Ia lebih tinggi dari Sasuke sekitar beberapa centi, tapi wajah bingungnya mengurangi kesan intimidatif yang seharusnya dimunculkan oleh tinggi badannya.
"Aku tinggal disana," kata Sasuke lambat-lambat, memberi waktu bagi si lawan bicara untuk menangkap kata-katanya.
Pria itu tersenyum lega. Ia mengulurkan tangannya pada Sasuke sambil memperkenalkan dirinya.
"Uzumaki Naruto,"
Karena Sasuke tak membalas uluran tangannya, pria itu menarik tangannya dengan perasaan sedikit malu, dan membungkuk. Sasuke, mau tak mau, membungkuk juga.
"Ikuti aku," kata Sasuke.
Dan Naruto menurut.
Tak ada satu patah kata pun yang keluar baik dari mulut Sasuke ataupun Naruto selama mereka berjalan. Entah karena terhalang oleh perbedaan bahasa, atau karena memang tidak ada yang bisa dibicarakan. Sasuke mencuri-curi pandang ke arah si pemuda selama perjalanan. Dari wajahnya, kelihatannya Naruto berusia sedikit lebih tua dari Sasuke. Mungkin seumuran dengan Itachi. Atau malah sebaya. Entahlah, Sasuke tidak pernah bisa menebak usia orang Barat dengan benar dari mukanya.
Hampir semua penduduk desa yang mereka temui memutarkan kepala dari kesibukan masing-masing untuk melihat si pendatang baru yang dibawa Sasuke. Beberapa orang menatap dengan muka sebal—atau jijik? Sasuke tidak tahu dan tidak mau tahu—beberapa menatap dengan penasaran, lalu ada juga yang menatap Naruto dengan kikikan tertahan dan bisik-bisik. Yang terakhir ini keluar dari gadis-gadis desa.
Tapi Naruto sama sekali tidak terganggu. Mungkin ia tidak sadar, atau tidak peduli. Wajahnya terlihat sangat lega ketika bertemu dengan Sasuke. Sepertinya sebelum ini Naruto tersesat atau apa, dan sudah putus asa sebelum ia bertemu dengan penyelamatnya di milestone.
Sesampainya di rumah, Sasuke langsung menggeletakan sepedanya dengan sembarangan. Ia menoleh ke arah Naruto, dan menyuruhnya agar menunggu dulu. Naruto menurut—apa lagi yang bisa ia lakukan?—dan berdiri dengan canggung di halaman rumah.
Sasuke langsung melangkahkan kakinya ke dalam rumah, dan mengetuk ruang kerja ayahnya. Terdengar suara radio di dalam ruangan itu, pertanda kalau ayahnya sedang bersantai. Tak berapa lama, pintu dibuka.
"Ah, Sasuke. Sudah menemukan milestonenya?" tanya Fugaku ramah.
"Ada orang asing di depan rumah. Mencari rumah kita." lapor Sasuke, mengabaikan pertanyaan Fugaku.
"Rambut pirang, mata biru, tinggi, dan agak canggung?"
Sasuke mengangguk.
Fugaku melepaskan kacamatanya, dan membuka pintu ruang kerjanya dengan bersemangat. Ia mencari-cari selembar uppawari dekil yang selalu ia kenakan. Sasuke menaikkan alisnya melihat perubahan mood ayahnya yang terlalu mendadak, tapi ia tetap berdiri di depan pintu, dan menunggu Fugaku keluar dan menyambut si orang asing itu.
Benar saja. Fugaku berjalan keluar—bukan, lari—dengan semangat. Ia mengembangkan lengannya ke arah Naruto—yang nampaknya sedang berpikir untuk kabur dari tempat itu dengan sepeda Sasuke—menunggu pria barat itu menyambutnya.
"Paman Fugaku!" teriak Naruto—kali ini dalam bahasa ibunya sendiri—sambil berlari dan memeluk Fugaku erat-erat.
"My boy! Selamat datang di Jepang. Bagaimana perjalananmu?" tanya Fugaku, juga dalam bahasa ibu Naruto.
"Parah sekali. Perjalanan laut memang tak pernah beres—memang pesawat lebih baik, kalau saja harganya murah." Keluh Naruto. "Tapi senang sekali bisa melihatmu, Paman,"
Fugaku terkekeh. "Sudah bertemu dengan anakku? Namanya Sasuke," tunjuknya pada seorang remaja yang berdiri dengan canggung di depan pintu rumah.
Naruto mengangguk. "Kami sudah berkenalan tadi, di jalan..kalau saya tak bertemu dengan Sasuke mungkin saya masih tersesat di desa ini,"
"Tersesat? Di desa ini, nak?" kata Fugaku sambil mendecakkan lidahnya. "Sepertinya buta arahmu semakin parah saja dari hari ke hari."
Setelah prosesi kangen-kangenan itu selesai, Fugaku menarik Naruto untuk masuk ke dalam rumahnya. Sasuke membuntuti mereka di belakang. Fugaku membawa mereka ke ruang tamunya. Ekspresi wajah Fugaku yang ceria berganti menjadi ekspresi yang serius—pertanda pria itu hendak menyampaikan pengumuman penting.
"Nah, anakku," kata Fugaku pada Sasuke, sekarang dalam bahasa Jepang. "Naruto akan tinggal selama beberapa bulan disini, untuk menjadi asistenku,"
Sasuke mengangguk.
"Kau tahu kan, ayah saat ini sedang sibuk menulis buku. Naruto ini, dia datang untuk membantu ayah mengerjakan sebagian isinya. Dia anak sahabatku, dan sudah datang jauh-jauh dari Australia," kata Fugaku lagi.
"Aku tidak akan merepotkanmu kok, aku janji," kata Naruto, dalam bahasa Jepang patah-patahnya.
Sasuke—bisa apa lagi dia selain mengangguk?—mengangguk lagi. Tiba-tiba telepon berdering keras. Fugaku langsung bangkit dari sofanya, menepuk lutut Naruto, lalu berlari untuk mengangkat telepon itu.
Semenit, dua menit….Fugaku tak kunjung kembali. Sasuke tahu apa artinya. Pasti urusan penting. Masalahnya ia sama sekali tak terlatih untuk menyambut tamu—atau memulai pembicaraan dengan orang asing—dan ia juga tak suka dengan suasana canggung yang mengambang di antara mereka saat ini. Sasuke juga bukan tipe orang yang mau repot-repot mencari topik pembicaraan—bicara dengan kenalannya saja ia sering hemat kata, apalagi dengan orang asing yang baru beberapa jam lalu bertemu dengannya?
"Psst, Sasuke! Antar dia mengelilingi desa ini!" Fugaku tiba-tiba menyembulkan kepalanya dari pintu ruang tamu. Tapi sebelum Sasuke bisa membantah, ayahnya sudah kembali lagi ke ruang telepon.
Sasuke menghela napasnya. Hari ini akan menjadi sangat, sangat panjang untuknya.
"Ehm, Sasuke, kalau kau tidak mau mengantarku tidak usah repot-repot kok.."
"Tidak apa-apa."
"Lebih baik kita kembali saja.."
Sasuke menolehkan kepalanya, dan melirik pemuda pirang di belakangnya dengan tatapan tajam. Tatapan itu mengatakan: ikuti-aku-atau-kubiarkan-kau-tersesat-disini. Naruto menutup mulutnya, dan memilih untuk mengamati objek-objek budaya di sekitarnya. Desa Konoha memang satu diantara sedikit desa yang memilih untuk tidak 'latah' dengan trend westernisasi yang sedang melanda Jepang. Para wanita disini masih lalu lalang dengan bedak dingin di muka mereka sebagai bentuk perlawanan pada panas, anak-anak kecil masih berlarian dengan geta, dan penggunaan wakufu masih populer disini. Di desa itu, kelihatannya hanya Sasuke dan ayahnya saja yang terpengaruh dengan westernisasi, walaupun hanya terbatas pada gaya arsitektur rumah dan bacaan mereka saja.
"Kau bilang tadi namamu Naruto?"
Naruto menoleh ke arah Sasuke, kaget karena mendapat pertanyaan pertama dari remaja pendiam itu. Ia mengangguk.
"Tapi ayah bilang kau dari Australia." Tanya Sasuke lagi. "Kenapa..Naruto?"
"Memangnya tidak boleh?" Naruto balik mengajukan pertanyaan.
"Tidak apa-apa sih.." Sasuke mengangkat bahunya. "Tapi kupikir nama orang Barat lebih seperti John, David, Richard..yang semacam itu."
Naruto hampir tak bisa menahan tawanya saat mendengar kata-kata Sasuke. Ternyata remaja judes di depannya ini punya sisi polos juga.
"Aku punya nama seperti itu," kata Naruto. "Tapi aku lebih nyaman menggunakan nama ini disini,"
"Sekalipun kau sendiri susah melafalkannya?"
"Hitung-hitung belajar bahasa," jawab Naruto enteng.
Sasuke mengalihkan pandangannya ke depan jalan, dan melangkahkan kakinya diatas jalan berbatu—sesekali menendang kerikil yang mengganggu jalannya. Tiba-tiba—ya, tiba-tiba—ia tersenyum. Ia merasa sudah membuat perkembangan. Kalau Itachi tahu adiknya yang pendiam dan judesnya bukan main itu bisa mengobrol dengan orang yang baru saja ia kenal beberapa jam yang lalu, mungkin Itachi akan bangga. Sasuke tiba-tiba merasa perlu memulai percakapan dengan Naruto lagi. Jarang-jarang ia bisa—dan senang—mengobrol panjang lebar dengan orang lain selain ayahnya dan Itachi.
"Bawa uang?" tanya Sasuke.
Naruto mengernyitkan dahinya ketika mendengar pertanyaan aneh ini, tapi ia tetap menjawab. "Ya, bawa,"
"Bagus," kata Sasuke. "Sudah makan?"
Naruto menggeleng, dan baru teringat kalau perutnya meraung-raung minta diisi sedari tadi. Tapi ia ragu apakah ia akan menemukan sandwich atau daging panggang disini.
"Ayo makan di tempat terenak sedunia," kata Sasuke, lalu menarik tangan Naruto. Setengah sadar, Naruto mengikuti remaja itu. Tak beberapa lama, mereka berhenti di depan sebuah kedai dengan papan kayu bertuliskan kanji tertempel di atas kedai itu. Ichiraku Ramen, itu arti kanji yang tercantum di papan itu.
"Tahu ramen?" tanya Sasuke. Mereka melangkahkan kakinya ke dalam kedai itu. Untung saja Ichiraku Ramen sedang sepi waktu itu. Kalau tidak, mungkin Sasuke harus kembali berhadapan dengan rasa jengah karena kehadiran orang asingnya yang mengundang rasa ingin tahu.
"Tahu. Tapi belum pernah coba," jawab Naruto. Tentu saja. Selama ini hidupnya sudah cukup puas dengan bisa melahap daging panggang dan sesekali, bir.
"Paman!" Sasuke melambaikan tangannya pada seorang pria paruh baya yang sedang mengelap gelas di meja kasir. "Pesan ramen miso 2, untukku dan pria ini!"
Pria paruh baya itu menghampiri meja Sasuke dan Naruto, agak terkejut ketika melihat kemunculan Naruto yang bisa dibilang tidak biasa di desa itu. Tapi pelanggan adalah pelanggan—ia mencantumkan pesanan Sasuke diatas kertas dan menelan rasa penasarannya.
"Ada lagi, botchan?" tanya si paman.
"Tolong tambahkan juga dua gelas ocha—kau suka minum teh tidak?" tanya Sasuke. Naruto mengangguk. Dimana-mana teh sama saja kan?
Sasuke ikut mengangguk puas, dan memberi gestur agar si paman mencantumkan pesanannya yang itu juga. Tak beberapa lama kemudian, pria paruh baya itu undur diri untuk meracik pesanan mereka.
"Bagaimana rasanya tinggal di Australia?" tanya Sasuke.
"Panas," kata Naruto, mencoba bercanda. "Dan penuh masalah."
"Maksudnya masalah?"
Naruto berusaha mencari-cari kata pengganti dalam bahasa Jepang untuk deflasi, tapi gagal. Ia menghela napas. "Hmm..kemiskinan..lalu, kematian. Masalah seperti itu."
Sasuke lalu menepuk punggung tangan Naruto, pertanda pemuda itu merasa iba. Ia ingin bertanya lebih jauh lagi soal itu, tapi diurungkannya.
"Aku tidak tahu berapa usiamu," kata Sasuke, berusaha mencari pertanyaan yang bisa menggantikan pertanyaan tadi.
"Memangnya tidak kelihatan?" tanya Naruto, pura-pura kaget. "22 tahun. Kau sendiri berapa? 14, atau 15?"
"Yang benar itu 17 tahun," Sasuke menatap Naruto sebal.
Naruto tertawa. "Aku tidak bisa mengira-ngira umur orang Asia,"
"Aku juga tidak bisa menduga-duga usia orang Barat," balas Sasuke.
"Apa yang sedang kau lakukan di bawah pohon sakura tadi?" tanya Naruto, mengganti topik pembicaraan.
Sasuke menimbang-nimbang sebentar, apakah ia akan memberitahu Naruto soal cerita Itachi atau tidak, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berbohong.
"Istirahat,"
"Oh, begitu. Perjalanan dari sekolah ke rumahmu memang panjang ya, beruntung sekali ada tempat seperti itu untuk beristirahat."
"Aku tidak pergi ke sekolah," kata Sasuke. "Tidak seperti orang-orang pada biasanya,"
"Maksudmu?"
"Guruku datang ke rumah, lalu mengajarkan matematika, literatur, filsafat…semacam itu. Tapi aku tidak pergi ke sekolah,"
Naruto gatal sekali ingin melontarkan pertanyaan seperti: 'Lantas kenapa tadi kau ada disana dengan seragam sekolah?' tapi ia simpan pertanyaan itu. Apapun alasannya, itu urusan Sasuke.
"Gurumu menyenangkan?"
Sasuke menimbang-nimbang sesaat, sebelum akhirnya berujar. "Ya, lumayan. Ia cukup baik."
Ketika Naruto hendak bertanya lagi, Paman Ichiraku datang sambil membawa nampan berisi dua mangkuk ramen. Ia kembali lagi ke dapur dan menghidangkan dua gelas ocha yang tadi dipesan, kemudian pergi.
"Selamat makan," kata Sasuke sambil membuka sumpitnya.
Naruto hanya memandang hidangan di depannya dengan wajah bingung. Aromanya jelas menggugah selera, tapi ia bingung apa yang harus ia lakukan dengan makanan ini. Ada sendok, tapi hanya mampu menciduk kuahnya saja—tidak dengan mienya karena mie itu terlalu licin. Dua batang kayu yang ada di sebelah mangkuk itu juga tidak terlihat membantu. Naruto mengamati Sasuke yang mulai menyantap makanannya.
"Ada apa? Ayo dimakan!"
When you're in Rome, do what the Romans do. Nasihat dari ayahnya sewaktu ia hendak berangkat ke Jepang terngiang-ngiang di benaknya. Ragu, Naruto mengambil sumpit dan membukanya seperti yang Sasuke lakukan tadi. Membukanya sih gampang, tapi bagaimana cara menggunakannya? Menyerah, Naruto memilih untuk makan dengan cara yang ia tahu.
"Sasuke," bisik Naruto.
Sasuke mendongakkan kepalanya dari kesibukannya. Mangkuk ramennya tinggal seperempatnya lagi, dan Naruto iri melihatnya.
"Ya?"
"Apa ada garpu disini?"
Sasuke meletakkan sumpitnya dan menepuk dahi. Ia baru ingat kalau pemuda yang ada di depannya tidak terbiasa dengan cara makan yang sering ia lakukan sehari-hari. Sasuke memutar otaknya. Ada tidak ya? Rasanya ia ragu. Kalau di rumahnya, barang seperti itu jelas ada, tapi yang mereka bicarakan sekarang adalah desa yang masih menganut pola pikir zaman feodal beserta segala kekunoannya. Dan terima atau tidak, Ichiraku adalah bagian dari desa itu.
Sekarang Sasuke berada dalam posisi serba salah. Kalau ramen itu dibiarkan, rasanya sayang. Kalau Sasuke yang makan, rasanya tidak sopan. Ah, masa ia harus menyuapi Uzumaki di depannya ini? Kenal saja baru beberapa jam yang lalu! Sasuke merasa sedikit menyesal mengajak Naruto kesini.
"Sini, coba lihat aku," kata Sasuke sambil mengangkat sumpitnya. "Pegang sumpitnya seperti ini—ya, ibaratkan saja seperti memegang pensil—bukan, bukan seperti itu.." Gemas, ia mengambil tangan Naruto dan membetulkan posisinya. "Nah, begitu.."
Kemudian Sasuke mengambil sumpitnya, dan menjepitkan mie di dalamnya. "Ambil mienya seperti ini—nah benar, seperti itu—lalu gunakan sendok ini untuk menadahinya,"
Naruto berusaha mengikuti langkah demi langkah yang diajarkan Sasuke, dan puas bukan main ketika ia berhasil mempraktekkannya. Walaupun kuahnya banyak yang tumpah-tumpah, yang penting ia bisa. Apalagi ramen itu lezatnya luar biasa. Naruto berharap bisa membawa pulang Paman Ichiraku ini ke Australia agar bisa menikmati ramen ini sering-sering.
"Bagaimana?" tanya Sasuke penuh harap.
"Enak sekali. Sungguh. Aku mau warungnya pulang ke rumah," jawab Naruto.
Sasuke tertawa pelan mendengar kata-kata Naruto yang kacau balau. Kemudian ia melihat keluar jendela kedai, dan terkejut melihat matahari sudah terbenam. Sasuke merogoh-rogoh uppawarinya untuk mengeluarkan dompet, tapi Naruto menepisnya.
"Sebagai tanda terimakasih, karena sudah mengajariku cara menggunakan sumpit," katanya.
"Tapi—"
"Sudahlah. Biarkan aku merasakan serunya membayar di negeri orang," candanya. Sasuke tertegun, dan menatap Naruto yang berdiri di depan kasir, lengkap dengan bahasa Jepang level bawahnya.
Jalan sudah gelap sewaktu mereka berjalan keluar dari kedai Ichiraku. Belum ada lampu di Konoha. Penerangan hanya mengandalkan cahaya bulan, dan sesekali lampu dari sepeda yang melintas. Mereka berjalan di tengah-tengah kesunyian. Hanya bunyi dari geta Sasuke atau sol sepatu Naruto yang menemani langkah mereka.
"Kalau di tempatmu, apa jalannya gelap seperti ini?" tanya Sasuke.
"Tidak. Selalu ada temaram lampu dari gedung-gedung di pinggir jalan," jawab Naruto.
"Betulkah gedung di negara-negara barat tingginya bisa menembus langit?"
"Aku tidak tinggal di daerah barat…tapi aku yakin, itu cuma rumor."
"Apa gadis-gadis di negaramu suka pakai bedak dingin untuk menangkal panas?"
"Setahuku tidak, tapi kurasa itu bisa jadi usul yang bagus untuk mereka."
"Apa di tempatmu—ah!"
"Ada apa?" tanya Naruto dengan nada khawatir.
"Sepertinya aku tersandung sesuatu," kata Sasuke panik. Ia meraba getanya, dan terkejut saat merasakan talinya putus. Sial. Harusnya ia lebih hati-hati lagi. Ah, tapi mana bisa berhati-hati saat yang ada di sekitarnya cuma gelap, gelap, dan gelap? Sasuke kemudian beranjak sambil menepuk wappurinya untuk membersihkan debu.
"Lalu, bagaimana? Kau bisa berjalan tidak?" tanya Naruto.
"Bisa..tapi kulepas dulu getaku," jawab Sasuke.
"Jalan tanpa alas kaki?"
"Kurasa ya,"
Naruto meringis. "Sepertinya itu bukan ide bagus," katanya. "Bagaimana kalau kugendong saja sampai ke rumah?"
Kali ini Sasuke yang meringis. "Tidak usah—aku berat."
"Aku sudah pernah mengangkat yang lebih berat darimu," kata Naruto. "Lagipula aku tidak mau Paman Fugaku menuntutku kalau anak kesayangannya terkena tetanus,"
Sasuke bingung. Kalau Itachi ada di posisinya, apa yang akan ia lakukan? Kalau Itachi, mungkin ia lebih memilih jalan saja. Peduli setan mau terkena tetanus atau tidak, yang pasti gengsi Itachi itu sama tingginya dengan langit ketujuh. Mana mau Itachi menerima uluran tangan dari orang lain, apapun alasannya.
Tapi Sasuke adalah Sasuke, dan bukan Itachi. Sasuke tidak mau mengambil resiko terkena tetanus—kakeknya pernah terkena penyakit itu di masa kecil dan harus merelakan kakinya gara-gara di masa itu pengobatan belum memadai. Sasuke mau pulang, dan yang ia tahu semakin cepat ia sampai keluar dari kegelapan ini, semakin baik. Ia tak suka kegelapan, sejujurnya.
"Oke," kata Sasuke. "Tapi kalau kau tiba-tiba merasa keberatan, jangan jatuhkan aku ya,"
"Roger that, sir," jawab Naruto.
"Apa artinya?"
"Sama saja dengan yes, tapi lebih keren,"
Sesaat kemudian, Sasuke sudah berada di punggung Naruto. Hangat, kalau ia boleh jujur. Dan Naruto tak henti-hentinya bercerita selama mereka berjalan, walaupun dengan tata bahasa yang kacau balau. Ia seakan lupa kalau di punggungnya ada beban seberat 50 kilogram dan jarak yang harus ia tempuh untuk sampai ke kediaman Uchiha jauhnya luar biasa. Pemuda itu tidak sekalipun merasa lelah—dan tidak seperti yang Sasuke ramalkan sebelumnya, menjatuhkan dirinya karena merasa keberatan. Sesekali ia memalingkan wajahnya—dan menanti tanggapan Sasuke atas pertanyaan atau cerita-ceritanya.
Di dalam hatinya, Sasuke ingin mengenal laki-laki ini lebih jauh lagi.
Naruto mungkin saja akan menggendong Sasuke sampai ke depan kamarnya kalau saja yang bersangkutan tidak memintanya untuk diturunkan di halaman. Di rumah, Fugaku sudah menunggu mereka. Ketika melihat Naruto dan Sasuke pulang terlambat, Fugaku hanya menatap mereka dari balik kacamatanya sambil bertanya, "Apa kalian bersenang-senang?"
Kedua orang itu hanya mengangguk.
"Aku sudah menyiapkan makan malam—mohon maaf kalau rasanya kurang enak, karena pengurus rumah, Nona Haruno, hari ini izin karena ibunya sakit," kata Fugaku sambil membimbing Naruto dan Sasuke ke ruang makan.
"Aaah, maaf, tapi sebetulnya aku dan Naruto sudah makan di Ichiraku tadi.." Sasuke merendahkan suaranya, takut ayahnya kecewa.
Tapi Fugaku sama sekali tidak terlihat kecewa atau sedih. Ia hanya berujar, "Oh, baguslah kalau begitu. Nah, Ayah makan sekarang ya,"
"Kalau begitu, saya undur diri dulu Paman, saya harus membereskan barang bawaan saya," kata Naruto.
"Eh, tunggu dulu! Sasuke, tolong bersihkan kamar tamu, lalu antarkan Naruto kesana," kata Fugaku, kali ini pada Sasuke. Dalam hati, Naruto salut pada Fugaku. Pria paruh baya itu sama sekali tidak pusing ketika harus menggonta-ganti bahasa seiring dengan bergantinya lawan bicara yang ia hadapi.
Sasuke menghela napasnya. "Baik, ayah," katanya. Dan tanpa menunggu Naruto, ia sudah berjalan menduluinya. Kadang-kadang Naruto tidak mengerti dengan remaja itu. Sedetik ia bisa menjadi seorang Sasuke yang ramah, sedetik kemudian ia berubah menjadi Sasuke yang tidak mau direpotkan oleh hal-hal simpel seperti mengurus orang asing. Tapi pikirannya buyar ketika mendengar Fugaku memanggil namanya.
"Naruto,"
"Ya, Paman?"
Fugaku menurunkan kacamatanya. Tanda kalau pria itu sedang serius.
"Setelah membongkar bawaan dan membersihkan diri, tolong temui aku di kamar. Ada masalah penting yang harus kubicarakan denganmu…"
Naruto sudah bisa menebak apa yang akan Fugaku katakan selanjutnya
"…terkait dengan telepon yang kuterima tadi sore."
"Baik, Paman."
"Tidak usah kaku begitu," kata Fugaku, kembali lagi ke tabiat asalnya. "Sekarang beristirahatlah dulu,"
"Baik, Paman."
Naruto langsung melangkahkan kakinya untuk menyusul Sasuke ke kamar tamu. Yang ada di kepalanya sekarang cuma spekulasi, asas praduga, dan prasangka.
Sasuke menatap hasil kerjanya dengan puas. Untuk ukuran orang yang jarang beres-beres, ia cukup berbakat juga mengingat kamar tamu yang tadinya ada di level 'sarang laba-laba' itu naik derajat jadi 'layak ditempati'. Dengan hati-hati Sasuke meletakkan lilin di atas meja kecil di sebelah kasur.
"Wah, rapi sekali."
Sasuke meringis ke arah lawan bicaranya. Wajahnya menyala dibawah temaram cahaya lilin.
"Terimakasih. Ini prestasi pertamaku dalam bidang beres-beres,"
Naruto meletakkan barang bawaannya dengan hati-hati di lantai. Selain koper, ada lagi satu kotak kayu yang menarik perhatian Sasuke. Mati-matian Sasuke menahan rasa ingin tahunya, tapi gagal.
"Apa isinya?"
Naruto menepuk kotak yang ditunjuk Sasuke. "Ini? Kotak ini berisi pujaan hatiku, gadisku yang cantik,"
Sasuke bergidik. Sadar kalau candaannya tidak tepat sasaran, Naruto langsung membuka kotak itu dengan hati-hati dan mengeluarkan sebuah gramofon.
"Pernah lihat gramofon?" tanya Naruto.
Sasuke menggeleng.
Naruto meletakkan gramofon itu diatas meja rias, dan mengaduk-aduk isi kotak gramofon sampai ia menemukan sebuah piringan hitam. Di sampul piringan hitam itu tertulis nama Judy Garland dengan huruf cetak rapi. Naruto meletakkan jarum gramofon diatas piringan hitam itu, dan sedetik kemudian, suara Judy Garland mengalun, melantunkan lagu Over The Rainbow dengan syahdu.
Somewhere over the rainbow, way up high
There's a land that I heard of
Once in a lullaby
Somewhere over the rainbow, skies are blue
And the dreams that you dare to dream
Really do come true
Naruto hendak mengecilkan volumenya, tapi tangan Sasuke menahannya.
"Jangan, biarkan keras seperti ini."
"Paman tak akan terganggu?"
Sasuke menggeleng. "Biar. Biar sekali-kali rumah ini tak diliputi kesunyian melulu," Ia mendudukkan dirinya di atas kasur, dan mendengarkan lagu itu dengan khidmat.
"Jarang mendengar musik ya?" tanya Naruto. "Buatku, inilah satu-satunya hiburan dalam hidup,"
Ah. Musik. Selama ini, rumah Sasuke selalu disuguhi kesunyian kalau ayahnya sedang tidak ada di rumah. Kalaupun ayahnya ada, paling-paling hanya suara radio saja yang menggema di ruang kerjanya. Pengurus rumah tangganya tidak bisa diajak bicara, begitupun dengan gurunya. Dulu..dulu, sekali, musik seperti ini pernah ada, saat Itachi masih ada di rumah itu. Tapi sekarang, sejauh yang ia ingat, Sasuke hidup dalam kesepian.
"Nah, Sasuke," panggil Naruto. "Aku harus menemui Paman Fugaku. Mungkin kau mau meminjam gramofonku?"
"Boleh?"
Naruto tak tahan melihat mata Sasuke yang penah harap. "Tentu saja boleh. Silakan dengar lagu ini sepuasnya. Aku bawa piringan hitam yang lain, mungkin kau mau dengar?"
Tapi Sasuke menggeleng. Hatinya tertambat pada lagu yang ini.
"Tidak, yang ini saja,"
"Baiklah kalau begitu. Aku keluar dulu," kata Naruto.
Pelan-pelan Naruto menutup pintu, dan melangkah pelan-pelan ke arah ruang kerja Fugaku. Sayup-sayup dari balik kamar tamunya, terdengar suara Sasuke, berusaha menyenandungkan lagu itu dengan irama Judy Garland.
To Be Continued
Jadi ide cerita ini dapet ketika lagi baca Naruto, tiba-tiba salah satu temen nyeletuk: "Kenapa Naruto mirip orang bule ya?" Saya pikir, ah, bener juga! Pas bener saya juga lagi jatuh hati dengan segala hal yang berbau era pra-WW2. Maka jatuhlah fic ini.
Fic ini juga usaha pertama saya bikin NaruSasu. Semoga bisa diterima sama masyarakat Ffn ya…maaf kalau di chapter ini bagian NaruSasu nya (sangat) kurang, tapi masih ada chapter selanjutnya. Saya janji akan saya tambah intensitasnya di bagian selanjutnya…nyehehehe.
Perihal kekatrokan baik Sasuke maupun Naruto disini, harap dimaklum—mereka ceritanya berasal dari dua negara dengan budaya yang saling kontras. Lalu tentang dialog Naruto yang kadang-kadang typo, itu karena beliau 'belum' bisa bahasa Jepang! Sepengetahuan saya, zaman segitu di jepang pesawat aja belum komersil(?) apalagi internet dan sebagainya, jadi jangan harapkan Sasuke dan Naruto bisa bertingkah seperti biasanya ketika dihadapkan dengan kultur masing2, okaay?
Terus soal timeline tahun. Jadi ceritanya ini tahun 1935, dua tahun sebelum perang Sino-Jepang, terus sepuluh tahun setelah usaha restorasi meiji. Disini Jepang sedang gencar-gencarnya disusupi budaya westernisasi, terus Jepang masih miskin banget gara-gara restorasi meiji. Gituuuuuuuu
Tentang Itachi yang sering disebut-sebut tapi nggak pernah nongol batang hidungnya? Tenang…nanti dimunculkan seiring dengan waktu…
Selamat menikmati ya! Review? *wink wink*
GLOSSARY:
Wappuri: Sejenis kimono luaran yang kurang lebih sama kegunaannya dengan jubah, cardigan, atau jaket. Dipakai sama laki-laki maupun perempuan, sifatnya lebih ke 'baju rumahan'
Botchan (atau bisa juga Bocchama): Kurang lebih sama dengan sebutan tuan muda. Kalau saya salah, jangan segan-segan untuk membetulkan!
Wafuku: pakaian ala jepang. Di era 1930, kebiasaan mengenakan wafuku mulai ditinggalkan karena pengaruh pakaian barat yang masuk.
Kalau ada yang salah, jangan ragu untuk membetulkan ya, dan kalau glossarynya ada yang kurang, jangan segan untuk bertanya
