Sasuke dan Hinata berpacaran.
Seenggaknya, itulah yang diketahui seluruh siswa satu sekolah ini. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebaliknya. Apa mereka betulan pacaran, atau hanya... berpura-pura.
Hinata sendiri tidak berani memikirkannya. Ia sudah "berpacaran" dengan Sasuke selama kurang lebih tiga bulan (terhitung dari insiden tak terlupakan itu) sampai sekarang... dan selama itu, mereka tidak pernah melakukan hal yang biasa orang berpacaran lakukan. Nonton bioskop? Film di bioskop kota akhir-akhir ini jelek semua. Jalan-jalan ke taman? Penuh dengan anak-anak balita. Benar-benar lucu.
Gadis bermata lavender pucat itu sudah setengah jam di sini. Sejenak tatapan matanya bertabrakan dengan tatapan Sasuke, sehingga Hinata menunduk, mendengarkan cowok itu membuat skor lagi. Acara menonton latihan basket sepulang sekolah ini berubah kaku bagi mereka berdua. Apalagi ketika latihan basket itu sudah selesai.
"Ke mari," kata Sasuke. Masih mengenakan seragam basket, ia mengambil ranselnya dan mendorong punggung Hinata.
Seharusnya Sasuke bilang sesuatu. Aku cinta kamu, atau apalah... Hinata tidak boleh banyak berharap. Mungkin "pacaran" yang ia pikirkan selama ini hanya usaha Sasuke membantunya, atau justru rencana cowok itu untuk mempermainkannya. Gadis itu memejamkan mata. Sepotong-sepotong adegan flashback yang tersimpan dalam memorinya kembali berseliweran di kepala.
Waktu itu ulang tahun Sasuke.
Aku merasa harus menghargai Sasuke-sa—Sasuke-kun dengan sesuatu.
Jadi... aku memberikan sebundar kecil kue tiramisu dingin untuknya, di saat istirahat.
Waktu itu. Pertama kalinya aku lihat Sasuke melakukan dua hal sekaligus: tersenyum tipis, tipiiiiis sekali, sambil makan.
Tapi sayang, kejadian itu langka sekali. Kalau tahu hal seperti itu, mungkin aku sudah memotret wajahnya.
Hinata tersenyum-tersenyum sendiri. Sasuke meliriknya.
"Ada apa?" tanyanya datar.
"Teringat sesuatu... yang..."
Sasuke menarik leher Hinata mendekat ke arahnya. Dipaksa berdekatan dengannya, bahkan seragam mereka bersinggungan. Hinata tidak bisa bernafas. Siapapun yang melihat mereka saat itu, tidak bisa memungkiri bahwa lavender dan onyx adalah dua pasangan serasi.
"Aku akan membawamu ke hadapan orang tuaku," kata Sasuke. Pemilihan katanya membuat Hinata merasa bahwa dirinya adalah tumbal kecil yang diserahkan kepada kawanan serigala. "Minggu depan. Atau lusa. Mereka ingin melihatmu."
Itu berarti, cepat atau lambat Hinata juga harus memperkenalkan Sasuke kepada ayahnya. Batinnya menerawang. Apa Sasuke benar-benar serius menganggap Hinata sebagai pacarnya, atau sengaja memperlakukannya seperti mainan? Gadis itu sendiri tidak yakin apa dia naksir, well... suka dengan cowok sedingin dan setampan—eh?—Sasuke. Dan ia akan berusaha. Jatuh cinta kepada Sasuke.
.
ϧʜⱷɡɑɪ кαяɪᴎ
.
Hormone Exchange
a sequel?
Naruto © Masashi Kishimoto
WARNING: Ide nggak masuk akal, alur belepotan, ending nggak jelas dan
warning ini nggak menjelaskan banyak hal
Keesokan harinya, di sekolah, Hinata tidak bisa berkonsentrasi. Ia memikirkan perkataan Sasuke kemarin. Tidak juga—ia tidak nyaman karena sedari tadi Sasuke memerhatikannya terus dari belakang. Nggak pegel, apa?
Kurenai-sensei menjelaskan tentang hukum Fisika, tapi di telinga Hinata perkataannya terdengar kosong. Gadis itu menulis-nulis penjelasan Kurenai di buku catatannya. Tulisannya jadi agak jelek.
Sasuke masih memerhatikannya.
Nada dering terdengar pelan. Guru senior di sekolah itu menepi ke pinggir kelas, menjawab panggilan telepon itu dengan raut serius. Kemudian, Kurenai kembali pada murid-muridnya.
"Anak-anak," kata Kurenai setelah menghela nafas pelan. "Tulis apa yang sudah saya catat di papan tulis. Saya ada keperluan. Kalau jam pelajaran saya sudah habis, ketua kelas diminta memanggil guru selanjutnya, ya." Wanita itu mengangguk sopan, kemudian keluar kelas.
Pluk! Sepotong pesawat kertas mampir di kepala Hinata.
Kelas berisik karena kekosongan guru. Hinata menggeram dalam hati, berusaha melanjutkan menulis catatannya. Karin yang menjadi teman sebangkunya, mencolek bahunya.
"Hei, kamu." Karin tersenyum. "Minum, gih. Mukamu suntuk banget."
Hinata balas tersenyum, meskipun ia bingung kapan terakhir kali Karin tersenyum padanya. Seingatnya Karin tidak pernah benar-benar baik padanya (apalagi setelah beredar kabar bahwa Hinata pacaran dengan Sasuke). Yah, Karin, kan... suka sama Sasuke.
Karin menyodorkan botol minumnya pada Hinata. "Minum airku aja."
"T-terima kasih," jawab Hinata canggung.
Diterimanya botol minuman itu, meskipun bingung. Hinata meminum airnya sedikit dan memberikan sisanya pada Karin. Rasa minumannya mirip air ber-ion. Gadis berambut merah itu tersenyum.
Akhirnya guru mata pelajaran selanjutnya yang ditunggu-tunggu Hinata itu tiba. Iruka-sensei mengajarkan mata pelajaran...
... pusing.
Ada sesuatu dalam pusat otaknya yang bergolak. Ia pernah mendengar nama kelenjar yang terletak di tengah-tengah otaknya, namanya... kelenjar pituitari? Hinata tidak ingat.
"Hinata," panggil Iruka tiba-tiba. "Ada apa? Wajahmu kusut begitu. Mengantuk?"
Gadis itu tidak bisa menjawab. Ia hanya menggeleng-geleng pelan. "Badanku lemas," bisiknya. Iruka kembali ke tengah kelas.
"Seseorang, bawa Hinata ke UKS," perintahnya. Sasuke langsung bangkit dari tempat duduknya.
.
ϧʜⱷɡɑɪ кαяɪᴎ
.
Sasuke membawa Hinata ke UKS. Tapi, kata penjaga UKS, lebih baik Hinata dibawa pulang ke rumahnya. Jadi sekarang Sasuke membopong Hinata di punggungnya, ke rumah Hinata, sambil membawa ransel gadis itu.
Hinata terlalu lemas untuk berjalan. Otaknya masih terus bergolak, dan sekarang setiap organ-organ tubuhnya ikut berdenyut nyeri. Selain itu, dia malu banget dilihat banyak orang di atas punggung seorang cowok. Seharusnya pipinya memerah. Namun kulitnya semakin memucat.
"Rumahmu ada di mana?" tanya Sasuke datar. Gadis bermata lavender itu menyadarkan diri sepenuhnya untuk menjawab. Jadi, dari tadi mereka hanya berjalan tanpa tujuan?
"Ada... sebentar lagi. Di ujung belokan ke kanan."
Sasuke tidak bertanya-tanya lagi. Ia membawa Hinata sampai ke depan rumahnya, menurunkannya di depan gerbang, berdiri di situ sampai Hinata bertanya,
"M-mau mampir, Sasuke-kun?"
"Di saat seperti ini kau masih bertanya hal seperti itu," kata Sasuke sinis. "Sekolah belum selesai."
Hinata menelan ludah dan tersenyum. "Hati-hati."
Gadis itu berjalan terseok-seok ke dalam rumahnya. Dari balik gerbang, Sasuke masih tinggal untuk beberapa saat. Dia mengkhawatirkan Hinata.
.
ϧʜⱷɡɑɪ кαяɪᴎ
.
"Hinata-nee!" seru Hanabi kaget. "Sekolah Nee-san pulang cepat, ya?"
Hinata menggeleng. Heh, dikira mau nanyain keadaannya. "Hanabi, bawa Nee-san ke kamar, ya?" pinta Hinata pelan.
Ia menurut ketika Hanabi memapahnya ke kamar kakaknya. Hinata ditinggalkan sesaat. Gadis itu mencoba tidur, di saat muncul rasa sakit yang lain lagi.
Suara tulang bergemeretak.
Seminggu lalu, ketika Kiba tidak sengaja menjatuhkan model kerangka yang akan kelas mereka gunakan untuk pelajaran... suaranya mirip suara tulang itu.
Nah. Sekarang rasa sakit itu agak berkurang. Hinata memejamkan matanya, dan tertidur pulas.
.
ϧʜⱷɡɑɪ кαяɪᴎ
.
Di sekolah
Naruto memutar-mutar matanya di depan kelas. Dia mencari seseorang.
"Hinata-chan mana?" tanya Naruto.
"Kan tadi izin pulang, Naruto," kata Sakura.
"Yah. Sayang," komentar Naruto. "Padahal tadi Tenten memintaku memanggilnya."
Jam istirahat baru dimulai. Seperti bisa diduga, murid-murid langsung menyerobot keluar dan menghampiri kantin. Hanya tinggal segelintir orang di dalam kelas—contohnya Sakura dan Sasori yang lagi rebutan pensil (yeah, bukan saudara kalau tidak pernah berantem, kan). Merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, Naruto keluar kelas. Ia berniat memberitahu Tenten.
Saat melewati taman depan sekolah, langkahnya terhenti. Naruto melihat Karin menumpahkan isi botolnya ke wadah kosong, seolah-olah botol itu berisi air beracun.
Ia menunggu sampai Karin selesai, meninggalkan wadah itu dan berjalan melewatinya. Naruto mengeluarkan kantong plastik dari sakunya, mendekati wadah yang kini berisi air itu dan menuang sedikit airnya ke dalam plastik.
.
ϧʜⱷɡɑɪ кαяɪᴎ
.
Pulang sekolah
Braak!
"Eh..." Naruto melongo, melihat Sasori duduk di meja laboratorium, di hadapan tabung-tabung berisi cairan berwarna-warni. Sasori sendiri sibuk memilah-milah cairan itu. "Aku kira tidak ada siapa-siapa di sini."
"Ada apa?" tanya Sasori datar. Masih sibuk memilih cairan antara yang warna ungu dengan yang hijau.
"Kau sendiri lagi ngapain?" tanya Naruto balik. Tangannya masih memegang plastik itu. Sasori mengangkat bahu, kemudian mengangkat dagunya dan melirik Naruto.
"Di suruh Orochimaru-sensei menjaga laboratorium sampai beliau kembali," katanya otomatis. "Nah. Sekarang ada apa?"
Naruto berpikir-pikir sebentar. Kemudian, diberikannya kantong plastik itu pada Sasori.
"Coba teliti, air ini bisa diminum atau tidak," kata Naruto. Sasori mengerutkan dahi. Diterimanya kantong plastik itu.
Sasori membawanya ke sisi sebelah meja, di mana terdapat pipet dan lainnya. Ia membuka kantong itu pelan-pelan. Mengendusnya.
"Aromanya biasa saja."
Kemudian, ia mencelupkan telunjuknya ke dalam air. Diperhatikannya air yang menetes-netes.
"Cara menetesnya... aneh," komentarnya. "Pasti sudah tercampur sesuatu."
.
ϧʜⱷɡɑɪ кαяɪᴎ
.
Keesokan harinya, jam 6 pagi. Hinata menggeliat di ranjangnya. Ia pasti ketiduran dari tadi siang, dan bahkan belum sempat ganti seragam. Dirabanya saku seragam sekolahnya. Mengabaikan perasaan 'sesuatu' yang kosong di dadanya, Hinata merogoh ponselnya dan mengecek.
Ada satu pesan tidak terjawab dari Sakura. Bunyinya hanya 'Hinata, kalau badanmu sudah enakan, bisa temani aku beli gaun prom, kan? -Sakura-'.
Hinata mendesah.
Prom nite.
Prom nite adalah salah satu momen yang paling ia tunggu-tunggu selama bersekolah di KHS, meskipun mungkin ia tidak akan berdansa dengan siapa-siapa... paling tidak Hinata bisa memakai gaun cantik dan merasa menjadi putri selama semalam. Juga pertanda sebentar lagi, gadis itu akan lulus dan memasuki perguruan tinggi. Eh...
Hinata menegakkan tubuh. Meregangkan lengannya sesaat. Aneh, tidak ada 'sesuatu yang mengganjal' ketika tangannya terjulur ke luar dan menyentuh dadanya. Kini, Hinata menganggap hal itu aneh. Ia menatap tangan kanannya. Dari siku sampai ujung jari tengah. Ada yang aneh.
Dulu, jemarinya kelihatan lembut—berisi, tapi sekarang...
... agak... skinny.
Gadis itu mencoba berbicara.
"... sekarang... sudah... pagi."
Ia melicinkan tenggorokannya. Kenapa suara yang tadi itu agak berat? Bukan mezzosopran seperti kepunyaannya dulu, tapi malah mirip bariton.
Tidak ada sensasi gerah di kulit kepalanya lagi. Seingatnya, rambutnya panjang—terakhir kali digerai saat akan tidur. Aneh. Mungkin aku masih bermimpi, pikirnya. Tapi orang yang sedang bermimpi kan, tidak tahu ia sedang bermimpi atau tidak...
Tapi mungkin aku... satu dari segelintir orang yang tahu aku sedang bermimpi atau tidak?
Dengan ragu-ragu, Hinata bangkit dari tempat tidur (saat menunduk memandangi tungkai kakinya, Hinata baru yakin ada sesuatu yang benar-benar aneh) dan menghampiri cermin. Bayangan seorang cowok mengantuk dalam seragam sekolah perempuan balas memandang dirinya.
Tiga.
Dua.
Terdengar suara yang bukan suaranya.
"AAAAAAAAAAAAA~!"
—Satu.
.
ϧʜⱷɡɑɪ кαяɪᴎ
.
"Suara siapa, sih?" gerutu Hanabi. Dengan terburu-buru ia mengenakan sandal tidurnya. Terhuyung-huyung ia menghampiri kamar kakaknya—berpikiran bahwa suara itu berasal dari kamar kakaknya.
Plis deh, ini 'kan hari libur. Hanabi berniat tidur sampai siang, sampai waktu les matematikanya tiba. Namun didorongnya juga pintu kamar Hinata—dan terhenyak.
"AAAAAAAAAAAAAA~!"
Hanabi yang berteriak. Di kamar kakaknya, terdapat seorang cowok berambut indigo, cepak, dan memakai seragam sekolah kakaknya! Sementara Hinata sendiri hilang tak berbekas.
"SIAPA KAU? DI MANA HINATA-NEE? DI MANA NEE-SAAAAN? TIDAK AKAN KUBIARKAN KAU MELECEHKAN DIA!" teriak Hanabi dramatis pada cowok asing itu, yang sekarang mendekatinya dengan tatapan memelas. "Oh iya, satu lagi. KENAPA KAU MEMAKAI SERAGAM SEKOLAH PEREMPUAN? KAU PASTI BUKAN COWOK BAIK-BAIK!"
Cowok asing itu menggeleng-gelengkan kepalanya panik. "Hanabi, ini aku. H-Hinata! Hyuuga Hinata!"
"PEMBOHONG! KAKAKKU ITU PEREMPUAN, TAHU!" Hanabi melempar cowok asing itu dengan guling.
"Aku Hinata!" balas cowok yang mengaku-ngaku kakaknya itu setelah berhasil mengatur nafasnya. "Saat aku bangun tadi... tiba-tiba... aku berubah jadi c-cowok... aku tidak tahu kenapa, Hanabi. Aku benar-benar Hinata."
Hanabi menghentikan aksi brutalnya, tapi ia tetap waspada. "Kalau begitu, bagaimana aku bisa percaya bahwa kamu itu Nee-san?" tanyanya ketus.
"Carilah 'Hinata' di mana pun. Di lemari, di kolong tempat tidur, di mana pun yang kira-kira masuk akal. Hanabi pasti tidak berhasil. Aku Hyuuga Hinata."
Gadis tiga belas tahun itu berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Oke." Lalu ia mencari di mana pun. Bawah tempat tidur, bahkan atas lemari sekali pun. Namun Hinata tidak kelihatan. Ia mulai berpikir bahwa cowok ini memang kakaknya.
"Nggak ketemu kan, Hanabi?" tanya Hinata hati-hati.
"Iya. Nee-san ternyata benar-benar berubah jadi cowok," kata Hanabi cemberut. "Bayangkan reaksi Tou-san saat melihatmu, Hinata-nee."
Hinata sama sekali tidak mau membayangkannya. Pasti tidak terduga. Dan paling parah, mungkin Hiashi akan langsung menjambak kerah baju Hinata, menyeretnya ke depan gerbang rumah besar Hyuuga, dan mencampakkan Hinata seraya berkata, "kau bukan anakku!" seperti yang ada di drama-drama buatan Shakespeare.
"Nee-san mandi, deh. Ganti baju saja dulu," saran Hanabi. "Tapi jangan pakai rok, ya, Nee. Aku mau menemui Tou-san. Ada di ruang kerjanya, seperti biasa."
Sepeninggal Hanabi, Hinata melangkah ke depan lemari besarnya. Membuka lemari, dan memilah-milah baju di depannya. Rok (jangan). Dress berpita-pita (jangan). Baju balet yang sudah kesempitan (jangan). Akhirnya, dengan berat hati, ia memilih t-shirt dan celana jeans-nya. Meraba sekali lagi rambut yang tiba-tiba terpangkas pendek (dan agak berantakan karena baru bangun tidur), dadanya yang mendadak bidang, dan lehernya. Tonjolan leher—apa sih namanya? Yang membuat suaranya memberat mendadak.
Jakun. Hinata juga punya itu.
Dia tidak akan mau masuk ke kamar mandi juga dan melihat satu hal lagi yang belum dilihatnya, yang pastinya juga sudah berubah.
.
ϧʜⱷɡɑɪ кαяɪᴎ
.
Aku sudah baikan. Makasih, Sakura-chan.
tapi sepertinya aku tidak bisa.
Sakura menghela nafas lega begitu melihat Hinata membalas pesannya. Hari Minggu ini membosankan, tidak ada yang terjadi. Sekarang, sambil masih memikirkan ada apa dengan Hinata, gadis itu memakai sandal tidurnya dan keluar kamar.
.
ϧʜⱷɡɑɪ кαяɪᴎ
.
Ia mengunjungi rumah Sasori. Cowok itu sedang mengeringkan rambutnya ketika Sakura tiba.
"Saso-kun punya sepeda, nggak? Aku mau pinjam," katanya tiba-tiba. Sasori meliriknya jengkel.
"Punya. Kenapa?"
"Lagi bosen."
Sasori menyeringai tipis. Ia masuk ke kamarnya, kemudian keluar lagi sambil membawa sebuah bungkusan. "Sakura, kamu 'kan lebih ngerti yang ginian. Ini didapat dari sekolah."
Gadis itu mendekati saat sepupunya menaruh bungkusan tersebut di atas meja ruang tamu dan membuka isinya. Cuma sampel cairan bening yang tidak ada artinya. "Maksudnya?"
"Ini," Sasori mengacungkan bungkusan itu tinggi-tinggi. "Kudapat dari Naruto. Katanya ini isi botol minuman Karin."
Sakura tertawa. Sasori mengerut.
"What's wrong?" tanya Sakura. "Mau pelet Karin, ya?"
"Jangan tertawa dulu," Sasori menggoyangkan bungkusan itu. Sakura terdiam. "Minuman ini tidak bisa diminum."
Krik. Krik.
Sunyi senyap.
"Maksudnya?"
"Jelas saja ini bukan air mineral."
"Kalau menurutmu begitu, memangnya buat apa Karin menyimpan cairan yang tidak berguna di dalam botol minumannya?"
"Itu dia."
Sakura terdiam lagi.
"Hmm... tugas biologi? Atau permintaan pembimbing ekskulnya?"
Sasori tertawa pelan.
"Dia 'kan sekelas dengan kita, Sakura-chan. Mana ada tugas bawa-bawa barang aneh seperti ini. Dan semua juga tahu, Karin ikut ekstrakurikuler Bahasa Asing."
Senyap lagi.
"Oke, itu urusan dia, kan?" Sakura tidak habis pikir. "Terserah dia mau bawa barang sebagaimana juga ke sekolah, toh kita bukan orang tuanya."
"Bukan itu yang mau aku bicarakan, Baka," potong Sasori. "Tapi berhubungan dengan Hinata."
"Hinata?"
"Iya. Soal yang kemarin. Kemarin aku lihat... Hinata... minum isi botol minuman Karin."
"Hah—cairan ini?"
"Yup."
"Maksudmu... ada hubungannya dengan Hinata yang tiba-tiba pulang ke rumahnya, begitu?"
"Bisa jadi."
Sakura menggelengkan kepala. "Sudahlah, aku tidak mau memikirkan hal-hal rumit seperti itu. Omong-omong, kalau dilihat-lihat, itu cairan apa—selain air mineral?"
"Jangan tertawa dan menganggap ini lucu, oke?" tanya Sasori.
"Oke."
"Kemungkinan ini..." Sasori menatap lekat-lekat bungkusan berisi cairan bening itu di tangannya. "Sesuatu yang ditambahkan sejenis... hormon."
.
ϧʜⱷɡɑɪ кαяɪᴎ
.
to be continued
Seperti biasa, gak jauh-jauh dari crossdress ==" dan agak ragu-ragu juga sih buat ngepublish... takutnya nggak memenuhi kemauan readers... =w=
Hmm... jadi, udah ngerti sedikit hint yang ada di sini? - #abaikan
Saya gak bisa bikin sequel yang bener-bener bagus dan jadinya malah... bikin konflik baru. hadeh... =="
But, emang sih. Sasori dan Sakura di sini incest OwO #eh
Ngebosenin ya fictnya? Gomenne v.v
Sebenernya saya SANGAT GAK TEGA mengorbankan Hinata di sini! TT^TT #plak
Bagi yang belum baca Phototragedy, lebih baik sih baca yang itu dulu. Tapi nggak pun gak apa-apa hehehe
.
Review?
