Hai… Ringo Akira here..

Iyahhh… ini adalah fic saya yang pertama di fandom tercinta saya Gintama. Anime yang super duper kece ini sengaja saya pilih karena saya tertarik sama ceritanya (saya juga suka gaya humornya Sorachi Hideaki sensei. Seger bener). Tapi kali ini saya kasih Genre Drama/Family untuk fic saya kali ini.

Saya adalah penggemar OkiKagu (baru aja tahun 2017 awal). tapi karena (GnKagu) ini adalah pair lawas saya sebelum saya suka OkiKagu dan fic saya ini sudah dibuat tahun 2015 yang lalu jadilah saya pake pair ini. Dan jika kalian tau fic saya yang IchiRuki ada emiripan dengan fic ini, maka bingo tepat sekali. Fic ini dapet inspirasi dari fic sebelumnya tapi dengan jalan cerita yang berbeda. Hahaha..

Fic ini hanya 2 sampe 3 chapter kayaknya. Ringo Akira ga suka chapter yang terlalu panjang. Hehe..

Okee… check it out..

.

Dosakah jika aku meminta kepada Tuhan agar kau kembali lagi... kembali ke sisiku?

.

.

Samurai Heart.

Ringo Akira

Gintama © Sorachi Hideaki

.

.

.

Bulan September. Hujan kembali mengguyur Kabukichou seiring dengan awan mendung yang terus menyelimuti. Awal bulan yang seharusnya menjadi awal dimana musim gugur dimulai, entah kenapa hujanlah yang menyapa di tahun ini. Pria dengan mata Ruby itu termenung memandang jembatan yang terdapat disudut kota dimana ia menghabiskan banyak kenangannya. Jembatan pendek yang membentang disepanjang sungai Kabukichou dengan dilewati beberapa orang yang membawa payung itu masih setia dipandanginya.

Ya... begitu dalam mata itu menatap jembatan kecil itu. Walaupun hujan membasahi sekujur tubuhnya, nyatanya pria itu tidak peduli akan hal itu. Bahkan rambut silvernya yang basah akan guyuran hujan pun, tak dihiraukannya. Sudah 30 menit, posisinya tidak berubah dengan kedua tangannya yang ia letakkan di kedua sisi tubuhnya dan berdiri termenung menatap kosong benda mati yang berada 15 meter darinya. Jangankan badan yang bergerak beberapa inci dari tempatnya, bahkan mulutnya pun tak sedikitpun mengucapkan sepatah atau dua patah kata yang mengindikasikan bahwa jiwanya masih ada di tubuhnya. Hanya deru nafas saja yang terdengar lirih dari pria itu.

Mata itu berkedip. Kedipan mata akibat air hujan yang terus mengalir dari rambut silvernya. Bukan hanya air hujan saja yang mengalir dari mata ruby indah itu, air mata yang tersamarkan oleh air hujan pun turut serta ikut mengalir di pipinya. Ya... air mata. air mata yang mengindikasikan bahwa hatinya merasakan pilu mendalam akibat kebodohannya. Kebodohan akan dirinya yang tak mampu membahagiakan apa yang Kami-sama takdirkan untuknya. Takdir indah yang berujung akan sebuah penyesalan yang coba ia ungkapkan lewat tangisannya.

Pria itu jatuh terduduk. Kakinya pun bahkan sudah tak mampu untuk menopang badannya lagi. Keterpurukan mendalam kini menggelayuti hati kecil sang Iblis Putih. Belahan jiwanya kini terenggut oleh takdir yang dinamakan kematian. Takdir yang memisahkan dirinya dengan sang Dewi Surga.

"Dosakah.." tangannya mencengkram dadanya. "Dosakah jika aku meminta kepada Tuhan agar kau kembali lagi, kembali ke sisiku?"

Tangisan pilu menggema disertai derasnya hujan yang mengguyur. Awal musim gugur yang seharusnya awal dari sebuah kebahagiaan dimulai, menjadi awal sebuah cerita pilu yang dialami sang Samurai.

.

.

Samurai Heart

Ringo Akira

.

.

"Kemana Gin-san pergi? Sudah 1 jam dia pergi tanpa pamit." Shinpachi melirik jam yang ada di dinding sudut ruangan.

Pemimpin dari Yorozuya itu sudah 1 jam pergi tanpa berpamitan. Jangankan mengatakan tujuannya kemana, mengatakan 'aku akan pergi keluar' saja, ia tidak bilang.

Hembusan asap rokok dari rokok Otose membumbung tinggi dan menyeruak keseluruh ruangan. "Kau tahu kan apa yang baru menimpanya? Sudah jelas kan kenapa dia bisa bersikap seperti itu." Matanya menatap pemandangan hujan dari ruangan tersebut

'Tapi?"

"Otose-san, dia sudah tidur."

"Oh syukurlah. Hampir beberapa jam ini dia menangis terus. Aku khawatir padanya."

Tama dan Otae yang tadi keluar dari pintu kamar, duduk di bangku bersama dengan Otose dan juga yang lainnya. Di dalam rumah ini ada 7 orang yang berada di ruangan yang sama dan menunggu 1 orang yang belum juga datang semenjak selesainya acara pemakaman bagi orang yang ia kasihi. Hampr semua orang yang ada di ruangan keluarga tersebut hanya berdiam diri tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Hijikata Toushirou mantan wakil komandan Shinsengumi menghisap rokoknya yang sudah hampir habis di dekat jendela ruang keluarga. Kondo Isao mantan komandan Shinsegumi duduk di bangku dekat dengan Otae, Tama, dan juga Shinpachi. Sarutobi dan Zenzou hanya berdiri di dekat pintu geser.

Ketujuh orang ini kini terdiam dengan lamunan dari pikiran mereka masing-masing. Pikiran akan apa yang baru saja menimpa pemimpin Yorozuya. Jangankan untuk dirinya, semua yang ada disini pun juga tidak sanggup mengungkapkan apa yang mereka rasakan saat ini.

'kringgg... kringgg'

"Biar kuangkat teleponnya." Shinpachi berdiri dan meraih gagang telepon.

"Halo, Yorozuya disini."

Tidak ada suara yang menyahutnya dari seberang telepon. Yang terdengar hanya suara hujan yang begitu deras saja. "Halo, siapa disana?" kembali Shinpachi mencoba berbicara untuk mendapat respon balik dari lawan bicaranya.

Lagi, tidak ada jawaban satu pun dari sana. Ia mulai kesal dengan orang diseberang sambungannya ini. Kenapa orang ini tidak mau merespon?

"Ano maaf, jika tidak ada yang dibicarakan akan kutu–"

'Ini aku, Shinpachi.'

Suara berat dari orang tersebut seketika membuat mata Shinpachi terbelalak. Ya Sakata Gintoki, Orang yang sudah mereka tunggu 1 jam ini akhirnya menelepon.

'Gi-Gin-san? Kemana saja kau? Kami mencarimu dari tadi." Shinpachi berteriak heboh dan mengundang orang yang berada di dekat situ berdiri dan mendekat padanya.

'Aku akan kembali sebentar lagi.' Balasnya dengan suara parau yang dibarengi dengan riuhnya hujan.

Mendengar suaranya saja Shinpachi sudah paham bahwa Gintoki pasti merasa tertekan dan menangis di tempat –yang entah dimana itu- untuknya menangisi kepergian orang terkasihnya.

Shinpachi mengangguk paham "Baiklah kalau begitu. Pastikan kau segera kembali Gin-san. 'dia' lebih membutuhkanmu daripada kami. Kau paham kan?"

'Ah. Aku tahu. Shinpachi, apa dia rewel dan menangis?'

"Tentu saja. Bayi mana yang tidak menangis ketika ibunya sudah tiada dan ayahnya yang terus merutuki dirinya karena kematian istrinya dengan alasan 'ini semua kesalahanku'? sedikit saja pikirkan perasaan putrimu."

'Aku tahu. Tapi bisakah kau membiarkanku untuk sendiri sebentar?'

'Aku mengerti. Segeralah kembali.'

'Ah. Tolong jaga Kaguya untukku.'

'Baik.'

"Bagaimana?"

Shinpachi menghela nafasnya panjang "Dia masih shock.

.

.

Samurai Heart

Ringo Akira

.

.

Gintoki mengatupkan kedua kelopak matanya mencoba untuk beristirahat. Setelah tadi sore selepas hujan berhenti, ia mengejutkan orang-orang yang ada di rumahnya dengan bajunya yang basah kuyup dan juga matanya yang merah akibat air hujan yang ia biarkan masuk kedalam kelopak matanya. Setelah ia berhasil meyakinkan semuanya kalau ia baik-baik saja, ia meminta mereka semua untuk pulang dan membiarkannya sendiri.

Sekarang disinilah dia. Tepat disamping bayi mungilnya yang terlelap tidur menyelami mimpi indahnya. Mungkin bagi bayi mungil ini, yang ia lakukan hanya menangis ataupun tertidur saja tanpa mengetahui apa yang telah terjadi di hari ini. Mata ruby Gintoki melihat dengan seksama bayi perempuan cantik berambut vermillion itu. Bibir mungilnya yang mengatup, deru nafasnya yang teratur, serta kedua tangan kecilnya yang tergenggam membuat Gintoki semakin merasa bersalah atas apa yang menimpa malaikat mungilnya.

"Kaguya, maafkan ayah." Tangannya menggengam tangan mungil putrinya. Matanya kembali berkaca-kaca "Karena ayah, kau tidak bisa merasakan dekapan ibumu. Maafkan ayah."

Mata ruby itu kembali meneteskan air mata kepedihan yang menohok ruang hatinya. "Maafkan aku yang tidak mampu menepati janjiku... Kagura."

Tangisan yang terdengar begitu lirih serta air mata yang tak henti-hentinya mengalir membuat malam itu terasa pedih bagi seorang Shiroyasha.

.

.

Samurai Heart

Ringo Akira

.

.

'Kau bilang… jika kau untuk yang kesekian kalinya, ingin melihat pohon sakura yang bersemi disini. Pohon sakura dengan kelopak merah muda. Pohon sakura yang hanya dapat bersemi walau dengan waktu yang cukup singkat sebelum bunga tersebut berguguran.'

'Hey, sekarang aku sudah membawamu kesini. Ke tempat dimana bunga sakura yang kau inginkan akan bermekaan nantinya.'

'Maaf jika pohon yang kau inginkan tidak sedang bersemi. Maaf jika terlalu awal aku membawamu. Maaf aku tidak bisa memegang kata-kata ku. Untuk yang kesekian kalinya, maafkan aku.'

'Maafkan aku…'

.

.

.

11 September. Hari ini cuaca terlihat begitu menyambut bahagia kegiatan sehari-hari yang akan dilakukan oleh semua orang. Tak terkecuali bagi penduduk Kabukichou. Cuaca seperti ini bukannya lebih asyik kalau berjalan-jalan di taman? Sama dengan prospektif itu, Gintoki juga tengah asyik menikmati indahnya suasana di taman yang tengah ia kunjungi bersama seseorang. Dengan mendorong sebuah kursi roda, ia berjalan-jalan mengelilingi taman yang ada di rumah sakit Kabukichou ini. Ah tidak hanya dia saja, orang yang tengah bersamanya pun juga terlihat menikmati taman dengan berbagai bunga yang berwarna-warni. Yah meskipun tidak seindah bunga di musim semi.

"Ne bisakah kita duduk di bangku sebelah sana? Aku ingin menikmati udara disini sebentar saja." Pinta seseorang yang bersamanya seraya menunjuk bangku yang tepat berada 100 meter dari tempatnya berada.

Helaan nafas terdengar cukup jelas kala orang itu memintanya untuk duduk di bangku taman itu.

"Oi, oi, bukankah dokter mengatakan kalau kau harus segera kembali?"

Gintoki mengambil tempat dihadapan orang itu dan menyamakan tubuhnya dengan orang itu. "Kurasa kita harus kembali ke kamarmu. Aku khawatir dengan kesehatanmu." Ujarnya seraya menggenggam erat tangan orang itu.

Melihat raut wajah khawatir dari pria dihadapannya, membuatnya terkekeh pelan. Digenggamnya erat tangan pria itu "Tidak apa-apa. Percayalah padaku. Kau tahu kan jika aku keluarga Yato yang kuat. Sinar matahari seperti ini tidak akan mengalahkanku, Gin-chan."

"K-kau yakin?"

"Tentu saja. Sekarang, berikan aku waktu 10 menit saja untuk menikmati suasana disini. Boleh kan?" mata biru lautnya menatap penuh harap agar ia diperbolehkan duduk walau hanya sebentar.

Gintoki menggarukkan rambutnya pelan. "Baiklah, baiklah, tapi hanya 10 menit saja. Lalu aku akan membawamu kembali ke kamar. Kau paham?"

Kagura menganggukkan kepalanya setuju. "Aku mengerti."

Gintoki berdiri dan beralih ke kursi roda itu dan mendorongnya pelan menuju ke bangku taman yang diminta oleh Kagura tadi.

Ia menggeleng-gelengkan kepala. Bahkan untuk hal sepele seperti ini saja, ia tidak akan bisa menang melawan wanita ini.

"Nah sudah sampai. Sekarang, gendong aku Gin-chan dan pindahkan aku ke kursi ini. Ayo, ayo." Kagura mengayun-ayunkan kakinya dan mengulurkan kedua tangannya kepada pria berambut silver itu.

Gintoki terkekeh melihat tingkah lucu wanita klan Yato ini. Kalau sudah begini, bagaimana ia akan menolak permintaan wanitanya ini?

Dengan pelan, Gintoki menggendong Kagura dan meletakkannya di bangku taman ini. Kagura menghirup dalam-dalam udara musim gugur yang ada disekitarnya.

"Fuah... segar sekali udaranya. Sudah lama aku tidak merasakan udara di saat musim gugur. Apalagi.." Tangan halusnya membelai perut buncitnya dengan lembut "Dengan kehadiranmu didalam rahim ibu,, kau suka?"

Mendapat respon tendangan dari sang calon bayi, membuat senyum Kagura terkembang. Gintoki yang berada disampingnya tersenyum simpul menatap wanitanya bisa merasakan kebahagiaan kecil ini.

"Hey Gin-chan, dia sedang aktif didalam sini. Sepertinya dia senang sekali."

"Benarkah?"

"Em. Tidurlah dipangkuanku dan bicaralah padanya. Mendengar suaramu dari tadi, bayi kecilmu benar-benar aktif. Sepertinya, ia menyukaimu."

Gintoki mengernyitkan dahinya heran. Benarkah bayi kecilnya menyukai suaranya saja? Perlahan ia menempatkan kepalanya di pangkuan Kagura dan mendekatkan telinganya ke perut buncit Kagura. Dapat ia rasakan respon tendangan dari bayi kecilnya yang begitu aktif. Tawa kecil terlontar dari bibir Gintoki.

"Hahaha... Oi, oi, kau suka jika ayah selalu memegang perut ibumu? Ayah benar-benar tidak sabar melihat dirimu, nak." Gintoki menatap Kagura dengan lembut. Tangannya membelai pipi Kagura pelan "Kau tahu, ibumu sudah berjuang keras agar kau bisa tumbuh sehat didalam sana. Karena itu.. tumbuhlah dengan sehat. Ayah harap kau dan ibumu akan selamat."

Kagura tersenyum simpul dan membelai rambut perak pria yang ia cintai dengan penuh kasih sayang. Dibalik senyumnya, tersembunyi senyum pahit yang selama ini menyelimuti isi hatinya. Rasa sakit akibat dirinya yang tak mampu memberikan kebahagiaan seutuhnya pada orang yang selama ini telah mengasihinya.

'Maafkan aku, Gin-chan. Kumohon... biarkan keegoisanku ini menjadi permintaan terakhirku walaupun harus menyakitimu, Maaf.'

.

.

.

Dengan tas plastik yang ada ditangan kirinya dan juga komik JUMP yang ada di kanannya, Gintoki masih asyik menikmati bacaan yang selama ini tidak pernah ia lewatkan. Bahkan suara tawa pelan juga sesekali terdengar dari mulut pria berambut silver itu.

Gintoki baru saja selesai membeli camilan berupa puding, snack, dan juga beberapa es krim untuk Kagura. Entah kenapa Kagura menyuruhnya untuk membeli beberapa camilan sebanyak itu.

"Gin-san."

Suara seseorang yang dikenalnya, menyapa dari balik punggungnya. Shimura Shinpachi dan Shimura Tae tersenyum simpul.

"Habis berbelanja rupanya?"

"Ya. Kagura meminta ku untuk membelikan beberapa camilan tadi."

"Tapi... kenapa banyak sekali? Apalagi es krim sebanyak ini pula. Apa Kagura-chan akan baik-baik saja?"

"Aku hanya meng-iyakan apa yang ia minta. Kau tahu kan Kagura seperti apa jika keinginannya tidak terpenuhi?"

"Ahahaha... kau benar, Gin-san. Seharusnya aku paham juga dengan hal itu."

Gintoki dan dua kakak beradik itu berjalan menaiki tangga rumah sakit yang berjarak kurang dari 50 meter didepan mereka. Namun tidak seperti biasanya, tangga ini begitu ramai sekali dengan perawat dan juga dokter yang berlalu lalang dengan raut wajah yang pucat.

"Ada apa dengan dokter dan suster yang ada disini? Mereka kelihatan panik sekali." Shimura Tae mulai merasakan kejanggalan yang terjadi di tangga menuju kamar tempat Kagura di rawat.

"Aku juga merasa aneh. Apa ada pasien yang sekarat di salah satu kamar?"

Gintoki menghentikan langkahnya menapaki anak tangga yang terakhir. Siluet matanya menangkap orang yang sepengetahuannya adalah orang yang menemani anaknya yang melahirkan kemarin. Wajah wanita paruh baya itu terlihat panik sekali melirik kearah kiri dan kanan tanpa tahu harus berbuat apa.

"Kouichi-san, ada apa?" Gintoki berlari dan menghampiri wanita itu.

"Astaga Gin-san, kau tahu aku mencarimu kemana-mana."

"Apa yang terjadi? Kenapa kau terlihat panik?"

"Istrimu." Nafasnya terlihat panik. "Istrimu tiba-tiba merasakan sakit luar biasa di perutnya. Aku yang baru saja kembali dari mengambil air melihat istrimu sudah mengeluarkan banyak darah."

"Se-sekarang ada dimana dia?"

"Dokter sudah membawanya ke ruang dia- ah tunggu!"

Panik. Ya kepanikan ini mampu membuat Gintoki berlari sedemikian kencang menuju ruang operasi yang jaraknya 100 meter dari kamar inap Kagura. Bahkan dia sekarang tidak menghiraukan omelan perawat yang memintanya untuk tidak berlari dan membuat keributan di koridor rumah sakit.

Di depannya, Kagura yang tengah terbaring lemah akan memasuki ruang operasi. Terlihat sekali banyak darah yang keluar dari perutnya. Sebenarnya ada apa ini?

"Dokter, izinkan aku untuk masuk ke ruang operasi! Aku ingin bersama istriku."

"Apa kau Sakata Gintoki?"

"Y-ya aku Sakata Gintoki suaminya."

"Kami akan segera mengambil tindakan operasi demi keselamatan bayi yang ada didalam kandungan. Kondisi Kagura-san kritis saat ini."

"Dokter katakan padaku, apa ada kemungkinan kalau ibu dan bayinya bisa selamat?"

"Kami tidak bisa memastikan hal itu. Semua tergantung takdir apa yang menanti Kagura-san."

"Kalau begitu, aku akan tetap menemani istriku didalam. Kumohon, dokter!"

"Tidak perlu, Gin-chan."

Gintoki tertegun melihat tangannya digenggam oleh tangan Kagura.

"Kau tidak perlu khawatir dengan hal ini. Dokter pasti akan melakukan sesuau."

"Apa kau piker aku akan diam saja melihatmu seperti ini? Tidak. Aku akan tetap menemanimu. Dokter, silahkan."

"B-baik. Suster, tolong dorong ranjangnya kedalam."

Dengan tergesa-gesa, suster segera mendorong ranjang Kagura kedalam uang operasi. Isakan kecil mulai terdengar dari bibir Kagura.

"Dasar bodoh. Kenapa kau harus melihatku dalam keadaan menyedihkan seperti ini? Kau pasti tidak akan sanggup untuk melepasku nantinya."

Entah itu didengar atau tidak oleh Gintoki, yang pasti ia benar-benar merutuki kebodohan pria berambut silver ini sekarang.

.

.

.

Di luar ruangan operasi yang sunyi, sudah ada beberapa teman dan keluarga yang menanti dengan harap-harap cemas disini. Bahkan Okita Sougo, Hijikata, dan Kondou Isao perwakilan dari shinsengumi pun juga menanti keadaan dari wanita Yato itu. Tidak ada satupun yang berbicara di depan ruang operasi tersebut. Pikiran mereka sudah penuh dengan bagaimana keadaan Kagura didalam.

Oekkk… oekkk..

Suara tangisan bayi yang menggema di lorong tersebut seketika memecah lamunan dari mereka yang sibuk dengan kecemasan masing-masing. Senyum lega jelas terpampang dari semua teman-teman Kagura yang ada diluar.

"Syukurlah bayinya sudah lahir."

"Bahkan suaranya keras sekali sampai-sampai aku kaget."

"Benar, benar."

Ini adalah ucapan kebahagian yang selama ini tidak dapat mereka ungkapkan karena rasa gugup yang mereka semua rasakan. Dari luar ruangan operasi, seorang suster dengan membawa seorang bayi mungil yang dibungkus kain menghampiri mereka.

"Bayinya perempuan yang cantik. Sangat mirip dengan ibunya."

Perawat tersebut menyerahkan bayi mungil itu pada Otose.

"Wah benar. Mirip sekali dengan Kagura-chan. Walaupun rambutnya begitu mirip dengan Gin-san." Shinpachi membelai pelan rambut keponakan barunya.

"Otose-san, aku ingin menggendongnya sebentar. Apa boleh?" Otae menyela Shinpachi dari belakang.

"Aku juga mau menggendongnya." Caterine ikut menimpali.

"Hoi, hoi, kalian belum punya kemampuan menggendong bayi baru lahir. Biar nenek saja yang menggendong."

Walaupun mereka kini terlihat bahagia dengan bayi yang ada digendongannya, tetapi masih ada rasa kekhawatiran di diri Shinpachi kepada Kagura.

"Ano maaf suster, bagaimana keadaan Kagura? Dia baik-baik saja kan?" Shinpachi menanyakan hal itu seraya harap-harap cemas. Entah kenapa hatinya benar-benar merasakan firasat buruk tentang ini.

"Se-sebenarnya…"

Pintu ruang operasi terbuka lebar memperlihatkan Gintoki dengan kepala tertunduk yang menggendong Kagura. Mata kagura terlihat sangat sayu sekarang. Semua yang ada disana pun bahkan tertegun melihat apa yang ada dihadapan mereka.

"G-Gin-san, a-apa yang terjadi?" Shinpachi menghadang Gntoki yang berjalan menerobos mereka.

"Minggir, Shinpachi."

"T-tapi.."

"Kumohon, minggirlah. Ini adalah permintaan terakhir dari Kagura."

Mata Shinpahi terbelalak saat melihat mata ruby Gintoki yang memohon dengan amat sangat padanya. Bahkan matanya memperlihatkan kalau separuh dari jiwanya entah hilang kemana.

Semua yang ada disana tertegun melihat pemimpin Yorozuya itu membopong Kagura yang benar-benar tidak berdaya. Bahkan mereka sekarang sudah memberikan jalan bagi Gintoki untuk lewat. Mereka tahu kalau ini adalah hal terakhir yang bisa mereka lakukan untuk Kagura sekarang.

"G-Gin-chan, bi-bisakah kau berhenti sebentar? Aku ingin memberikan salam perpisahan terakhir untuk putriku."

Gintoki menganggukan kepalanya dan menghentikan langkahnya. Otose yang mendengar itu segera mendekatkan bayi mungil digendongannya pada Kagura.

"Hey Sakata Kaguya, akhirnya ibu sudah berhasil membawamu dengan selamat ke dunia. Maaf jika ibu tidak bisa mendampingimu hingga menjadi gadis cantik Sakata. Ibu harap kau bisa menjaga ayahmu yang ceroboh dengan baik. Dan juga.. tolong kau dengarkan kata-kata dari paman, bibi, nenek, dan kakekmu hem. Ibu menyayangimu."

Suara isakan bahkan terdengar dari semua yang ada disini.

"Shinpachi-kun?"

"K-kagura-chan"

"Aku titipkan Kaguya padamu. Tolong jadilah seorang paman yang baik untuknya."

"Baik. Kau jangan khawatir."

"Baa-chan juga tolong jaga Kaguya. Maaf selama ini masih merepotkan mu dan jarang membayar tagihan sewa rumah."

"Aku akan terus hidup sampai orang bodoh ini bisa membayar setiap tagihannya, jadi kau jangan cemas dan serahkan semua padaku."

"Terima kasih, baa-chan. Dan juga semuanya, ini permintaan pertama dan terakhirku sebagai Kagura Yorozuya. Tolong kalian jaga putriku baik-baik."

Kondou Isao Komandan Shinsengumi sekaligus teman kepercayaan Yorozuya menyeka air matanya dan berdiri tegap.

"Semuanya, berdiri tegak dan berikan tanda penghormatan terakhir. Hormat!"

Tanpa terkecuali, semua yang ada disana memberikan tanda penghormatan mereka untuk sahabat tercinta mereka. Kagura bahkan dengan tangannya yang lemah memberikan salam penghormatan terakhir dan tersenyum simpul.

"Terima kasih semuannya. Terima kasih." Bahkan air mata yang coba ia bendung agar tidak membuat siapapun sedih melepas kepergiannya pun sudah melesak sekarang.

Gintoki segera meneruskan jalannya menuju tempat terakhir yang diinginkan Kagura. Sebenarnya langkahnya ini terasa sangat berat dn semula bahkan tidak mengikuti kehendak hatinya. Tapi karena Kagura yang memaksanya, mau tidak mau ia akan melanjutkannya.

Dari ujung lorong, Umibozu yang baru saja sampai dari planet lain berlari dengan tergesa-gesa ingin menemui putri tersayangnya. Melihat pria bersiluet silver dengan menggendong seseorang, langkah kaki Umibozu terhenti dan terdiam di tempat. Bahkan tidak ada orang yang menjelaskan tentang apa yang terjadi pun dirinya sudah tahu. Putrinya tidak dapat diselamatkan. Walaupun sekarang di depannya sudah berdiri pria Yorozuya itu dan putrinya yang semakin melemah, mulutnya tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

"P-papi, ka-kau datang?"

"Ka-Kagura."

"Me-memang lebih baik papi datang terlambat, em. Atau bahkan… Papi tidak usah datang."

"A-apa yang kau bicarakan? Papi akan berusaha datang biarpun meteor akan menghantamku dan merontokkan seluruh rambutku. Kau tahu kan?"

"Kurasa itu benar. Hehe."

Umibozu menggenggam tangan putrinya yang mulai mendingin. Ia sudah tahu tidak ada waktu lagi untuknya menahan atau bahkan melarangnya untuk menemui ibunya. Hal yang terbaik saat ini adalah merelakannya pergi. Bahkan ia tahu jika mendiang istrinya akan menjaganya dengan baik disana.

"Kagura, ayah tidak akan menahanmu untuk pergi. Ayah tahu jika memang sudah saatnya kau menemui ibumu disana. Bukankah kau begitu merindukannya?"

"Ehm. Aku sangat rindu Mami."

"Kalau begitu pergilah. Jangan khawatirkan ayah, anakmu, dan suami bodoh mu ini. Ayah akan menjaganya dengan baik. Jadi beristirahatlah dengan tenang."

"Terima kasih Papi. Dan juga, tolong titipkan salamku pada Kamui. Maaf jika aku tidak memberikan apapun untuknya."

"Apa yang kau katakan. Ayah akan menyampaikan salammu juga untuk kakak mu yang bodoh itu."

"Terima kasih, Papi."

Satu pelukan terakhir yang Umibozu berikan untuk putri tercintanya sebelum Gintoki melanjutkan kembali perjalanannya. Tidak ada air mata yang tertumpahkan dari mata seorang Umibozu. Walaupun ini kali kedua ia harus merelakan wanita yang dikasihinya pergi, tapi ia tahu jika air mata itu tumpah maka usahanya agar tetap tegar tidak ada gunanya.

Setelah benar-benar melakukan perpisahan terakhirnya, Gintoki kembali melanjutkan perjalanannya dengan kepala tertunduk. Kagura tersenyum simpul. Biasanya jika bertemu dengan Papinya, ia akan bertingkah sok ingin membuktikan jika dirinya yang sekarang bukan dirinya yang dulu. Ia sekarang sudah dipastikan membuat putri kesayangannya bahagia karena menikahi pria yang tepat. Tetapi sekarang apa? Hanya ada seorang Gintoki yang tertunduk sedih menggendong dirinya. Ingin rasanya tertawa mengejek, tetapi bahkan untuk berbicara banyak saja nafasnya sudah susah sekali.

Akhirnya setelah menyusuri koridor rumah sakit dan menuruni beberapa anak tangga dengan disaksikan banyak orang, mereka sudah sampai di taman belakang rumah sakit. Tujuan Kagura adalah kursi yang ada di bawah pohon bunga sakura yang kelopaknya belum mekar.

Dengan hati-hati, Gintoki membaringkan tubuh lemah Kagura di bangku taman dengan beralaskan kimono putih miliknya yang ia lipat. Setelah dipastikan nyaman, Gintoki duduk tepat dibawah bangku taman tersebut. Masih tidak ada sepatah katapun yang ingin dikeluarkan oleh Gintoki untuk Kagura. Bahkan Kagura sendiripun juga bngung dengan pria bersurai silver ini.

"Ada apa, Gin-chan? Kau tidak mau mengucapkan suatu kata perpisahan untukku?"

Tidak ada balasan untuk pertanyaan Kagura tadi. Gintoki masih tetap tidak mengubah posisinya yang tengah menundukkan kepalanya.

"Ne Gin-chan, maukah kau bergeser sedikit kearah kiri? Rasanya jauh sekali hanya untuk memegang kepalamu."

Tanpa menjawabnya, Gintoki hanya menggeserkan badannnya ke kiri mendekati Kagura. Memang tadi posisinya berada di tengah dan sulit sekali untuk Kagura menjangkau kepala uban kesayangannya ini. Oleh karena itu, ia memintanya mendekat.

Sekarang ia bisa membelai bahkan memeluk kepala dengan rambut uban keriting ini. Entah kenapa wangi sampo yang baru pertama kali tercium di hidungnya menguar.

"Hey kau mengganti sampo mu? Ini benar-benar wangi. Aku suka."

Harum. Hidung Kagura seperti mencium beberapa kuntum bunga yang baru saja dipetik. Begitu wangi dan membuatnya nyaman. Tapi lagi-lagi pria dihadapannya ini diam membisu. Seakan-akan dirinya hanya hantu yang asing baginya.

"Aku tahu jika kau marah karena keegoisanku yang terlalu banyak." Kagura merasa nafasnya benar-benar mencekiknya sekarang. Bahkan matanya sudah mengabur sekarang. Tapi dirinya harus bertahan walaupun itu hanya 1 menit.

Tangan lemahnya membelai pelan kepala Gintoki. Dengan gerakan perlahan, ia memberikan sebuah kecupan untuk pria yang sudah rela menerima keegoisannya ini. Tangan Kagura pun sekarang sudah mengalungi leher Gintoki. Menerima sebuah hal yang tidak terduga, membuat Gintoki menegakkan kepalanya dan membelalakkan matanya. Merasakan tangan yang dingin mengalungi lehernya dan sebuah kecupan yang mendarat di kepalanya, membuat Gintoki semakin merasa tersiksa. Bahkan sekarang tangannya yang gemetar, mencoba meraih tangan Kagura.

"K-Kagura, kenapa…"

"Ingatlah janji yang kau buat denganku, Gin-chan. Berjanjilah ehm."

Lidahnya begitu kelu hanya untuk mengatakan kata 'iya' sebagai jawabannya. Sekarang yang bisa ia lakukan adalah membalikkan tubuhnya dan memeluk Kagura untuk yang terakhir kalinya.

"Ne Kagura Kau bilang… untuk yang kesekian kalinya, kau ingin melihat pohon sakura yang bersemi disini. Pohon sakura dengan kelopak merah muda. Pohon sakura yang hanya dapat bersemi walau dengan waktu yang cukup singkat sebelum bunga tersebut berguguran."

Kagura menganggukkan kepalanya dalam pelukan Gintoki.

"Dan sekarang aku sudah membawamu kesini. Ke tempat dimana bunga sakura yang kau inginkan akan bermekaran nantinya."

'Aku tahu.'

Gintoki merasakan deru nafas Kagura yang terasa sudah mulai terputus-putus. Ia tahu jika Kagura sedang berjuang mendengarkan setiap kata-katanya. Tapi ia juga tahu jika inilah perpisahan yang bisa ia lakukan bersamanya.

Gintoki melepas rangkulannya dan beralih mendekatkan keningnya ke kening Kagura. Inilah yang bisa ia katakan untuk istrinya yang terakhir kali.

"Maaf jika pohon yang kau inginkan tidak sedang bersemi. Maaf jika terlalu awal aku membawamu. Maaf aku tidak bisa memegang kata-kata ku. Untuk yang kesekian kalinya, maafkan aku."

'Tidak apa-apa. Terima kasih, Gin-chan.'

Perlahan mata blue aqua itu menutup rapat diiringi dengan sebuah senyuman kecil. Dan bersamaan dengan itu, nafasnya berhenti berhembus. Sekarang hanya ada tubuh kaku seorang wanita yato. Ia telah menyusul ke tempat ibunya berada. Ke tempat orang yang paling ia rindukan selama puluhan tahun ini.

Bahkan mata ruby Gintoki tidak sanggup berkedip hanya untuk menyadarkannya tentang kenyataan yang ada. Sekali lagi ia hanya mampu memeluk tubuh kaku itu untuk yang terakhir kalinya,

"Maafkan aku… Maaf."

.

.

Samurai Heart

To Be Continued

.

.

Yoshhh… bersambung dengan halaman yang cukup panjang ya untuk satu chapter. Saya tau pair ini terlalu lemah dan tidak banyaknya peminat. Tapi karena saya pengen publish ya saya publish akhirnya,

Ringo trauma aslinya kalo mesti memperkuat keyakinan kalo pair ini lebih baik. Cuma yaaa… saya hanya mengikuti aturan main Sorachi sensei aja. OM SAYA JUGA PENDUKUNG OKIKAGU. 3

Okee seperti biasa saya ga memaksa untuk mendapat fave atau review. Kalo ada ya Alhamdulillah kalo gak ya tetep Alhamdulillah. Karena meskipun saya memaksa kalian, toh saya gak di gaji dan anda sekalian juga ga digaji kan? Jadi saya serahkan ke pembaca semua.

Welcome to Gintama Worlds,Ringo Akira!

See u next chapter…