"Tolong... Ayah.. Ibu..."

Sebuah suara rintihan terdengar begitu lemah di tengah kobaran api yang kian membumbung tinggi. Terlihat seorang gadis terbaring tak berdaya di lantai dikelilingi kobaran si jago merah. Air mata mengaliri wajahnya yang menghitam akibat asap pekat di sekitarnya. Dia tidak bisa bergerak, sebuah rak besi yang besar dan berat menimpa kaki hingga pinggangnya. Gadis itu yakin kaki kirinya sudah remuk, karena dia sempat mendengar suara mengerikan saat rak itu menimpanya. Seluruh tubuhnya sakit, bahkan sebagian kulit tangan dan rambutnya sebagian terbakar. Napasnya sudah sangat sesak akibat terlalu banyak menghirup karbon monoksida. Tangisan mengalir dari matanya yang nanar. Dia sudah pasti tidak akan tertolong, pikirnya putus asa.

Prang!

Samar-samar gadis itu bisa mendengar suara kaca pecah. Namun gadis malang itu sudah terlalu lemah untuk mencari asal suara. Perlahan tapi pasti, kesadarannya mulai menipis, hingga seluruh pandangannya tertelan kegelapan tiada ujung.

Ia pingsan.


.

Sakura's Lover with full heart present,

Connected by Fire

Disclaimer Naruto © Masashi Kishimoto

Author just owe some charas from his work and do not get any profit with this fanfict. But this story 1000% is mine. :)

Sakura, Sasuke, Kakashi, Naruto, Sai

Rate Teen

Hurt/Comfort, Family, Friendship, Drama

Warning:

AU, Sakura nangis terus, penuh keputusasaan, mungkin feel kurang, deskripsi sangat panjang, typos, misstypo, EYD, dll.

Don't Like?

Just read then click back

Enjoy!


Sakura terbangun karena merasa terganggu dengan bebauan tajam obat-obatan yang menyerang indra penciumannya. Matanya terbuka perlahan, memandang kosong langit-langit putih di atas tempat ia berbaring. Suara alat-alat medis berbunyi berisik dekat ranjangnya, membuat kepalanya terasa berputar dan sakit. Akhirnya gadis itu sadar, dia ada di rumah sakit sekarang.

Setelah terdiam cukup lama, dia pun mencoba menggerakan tubuhnya yang terasa sekaku kayu. Seketika rasa sakit menjalar ke setiap ruas tulangnya, membuat matanya terbelalak dan rahangnya mengeras, susah payah menahan diri agar tidak berteriak. Kepala berhelaian soft pink itu sedikit diangkat. Dia langsung dapat melihat kaki kirinya digantung membentuk sudut 60°, gips tebal menyelimuti organ bawahnya itu. Tangan kanannya ditancapi infus, dan kedua lengannya dibalut perban yang sudah sedikit basah dengan cairan kuning, entah apa. Dia merintih, berharap rasa sakitnya bisa sedikit berkurang. Dia kembali membaringkan kepalanya di bantal, merilekskan tubuhnya agar tidak semakin menderita.

Sakura mulai memperhatikan sekeliling kamar pasiennya yang kosong dengan pandangannya yang terbatas. Sinar mentari sore masuk melalui kisi-kisi meski jendela dan pintu tertutup rapat. Ada televisi di ruangan ini, yang entah kenapa dibiarkan menyala meski tidak ada siapapun yang menonton. Sakura tidak bisa mendongak untuk melihat layar televisi, namun dia bisa mendengar suara pembawa berita yang kini bergaung di ruangan serba putih itu.

"...Kita kini beralih ke lintas peristiwa. Pemirsa, terjadi kebakaran di distrik Aota pada Kamis malam pukul 22.00. Diduga kebakaran berasal dari hubungan pendek arus listrik di dekat dapur. Api cepat menyebar akibat hembusan angin, sehingga dengan mudah melalap rumah berlantai dua tersebut. Peristiwa ini menewaskan pasangan suami-istri Haruno yang saat itu tengah ada di lantai satu dan tidak sempat menyelamatkan diri. Sementara putri mereka yang saat itu sedang berada di lantai dua berhasil diselamatkan oleh tim pemadam kebakaran setempat..."

Sakura tercekat mendengar berita mengenaskan itu. Tiba-tiba rasa mual dan pening menyerangnya, air liur terasa pahit di mulutnya yang kering. Seketika ia menjadi tuli, tidak didengarnya lagi lanjutan berita tragis itu. Air mata berkumpul di mata sewarna klorofil milik Sakura, lalu terjun bebas membasahi kedua pipi tirusnya. Suara isakan pilu menemani pecahnya tangisan sang gadis yang tengah terpuruk. Dia menjerit sekuat yang ia bisa, tidak peduli meski harus merobek tenggorokannya yang lemah. Sakura memanggil-manggil keluarganya yang telah tiada, tubuhnya yang tidak bisa bergerak itu bergetar kuat, seolah setiap inchi tubuhnya diterjang penderitaan tiada akhir, menambah rasa sakitnya berkali-kali lipat. Namun tidak ada yang bisa mengalahkan rasa sakit di hatinya yang tercabik-cabik, hancur tanpa bisa ia cegah. Dan yang ia bisa lakukan hanyalah menangisi takdirnya yang kejam dan kelam, menyadari ia telah sendirian di dunia ini.

.

.

.

.

.

.

.

..

.

.

..

Sakura memandang langit-langit kamarnya dalam diam. Hanya itu yang bisa ia lakukan sejak ia membuka mata hingga ia terlelap lagi, sejak ia sadar di rumah sakit ini. Wajah gadis itu terlihat kuyu, jejak-jejak air mata masih terlihat di matanya yang semakin cekung kehilangan sinar. Bagaimana tidak, jika seharian dia hanya bisa menangis dan menangis, hingga air matanya habis sendiri. Tapi sungguh, dia tidak peduli. Tidak ada yang memedulikannya lagi di dunia ini, pikirnya. Kedua orang tuanya telah direngut paksa lewat kejadian naas itu. Kedua orang tua yang paling ia cintai dan kasihi, kini telah tiada, hangus dilalap kobaran api.

Suara isakan kembali meramaikan kamar itu, meski air matanya sudah tidak tersisa untuk dijatuhkan. Rasa sesak di hatinya datang tanpa diminta. Masih jelas sekali di ingatannya kejadian di malam mengerikan itu, seolah semuanya diputar berulang kali dalam kepalanya tanpa bisa dihentikan. Saat api menjilat-jilat setiap jengkal rumahnya, bersamaan dengan jeritan ibunya di lantai bawah, yang mungkin merupakan suara terakhir wanita itu sebelum ia pergi dijemput kematian, dia malah tidak berdaya untuk untuk melakukan apapun.

Sakura hanya gadis lemah yang hanya bisa menangis, kehilangan membuat jiwanya tersayat-sayat. Sekalipun dia tahu orang tuanya tidak akan bisa kembali sebanyak apapun ia menumpahkan air mata, tetap saja fakta itu enggan meringankan penderitaannya ini. Dia terus-menerus mengutuki takdir. Kenapa kejadian ini harus menimpa keluarganya? Kenapa orang tuanya harus mati dan meninggalkan sendirian di dunia ini? Kenapa di saat dia masih membutuhkan keduanya, mereka justru pergi meninggalkanya? Kenapa dia harus selamat jika selamanya dia harus menangisi kepergiaan mereka? Segala pertanyaan muncul berturut-turut di kepalanya, membuatnya muak dan benci pada hidupnya, dan pada dirinya sendiri yang nyatanya tidak berguna.

Tok tok

Sakura masih terisak-isak, mencoba mengelurkan air matanya yang telah kering. Meski dia mendengar suara ketukan pintu itu, dia tidak mau peduli. Dia sedang tidak mau diganggu siapapun. Seharusnya orang itu akan menyerah dan urung masuk ke sini. Dia hanya ingin sendiri.

Tanpa ia duga, pintu itu terbuka, menampilkan sosok seorang pria bersetelan jas abu-abu dan membawa briefcase. Sakura langsung terdiam, mengamati ciri-cirinya dengan leluasa.

Pria itu memiliki rambut abu-abu dengan model melawan gravitasi, bermata hitam sayu, serta mengenakan masker seperti orang flu. Tidak lama, pria bermaker itu dengan seenak hati memasuki kamarnya tanpa permisi. Dia duduk di kursi lipat sebelah ranjang Sakura. Ia menatap Sakura ramah, yang justru membuat gadis bermarga Haruno itu curiga.

"Konnichiwa, Sakura," sapa si pria aneh dengan mata menyipit, mungkin tersenyum di balik maskernya. "Maaf baru datang sekarang. Kemarin dokter bilang kondisimu belum stabil."

"Siapa kau?" Tanya Sakura sinis, tatapan curiga dan amarah terlukis di wajah pucatnya. Dia sedang tidak ingin dikunjungi siapapun. Betapa tidak sopannya pria ini mengganggu privasinya.

"Ah, aku lupa memperkenalkan diri rupanya," dia menaruh briefcase-nya di nakas, lalu menatap mata Sakura lagi. "Aku Hatake Kakashi, pengacara keluargamu. Mulai sekarang akulah yang menjadi walimu. Aku bertanggung jawab mengurusi segala kepentinganmu setidaknya sampai kau berusia 17 tahun," jelas Kakashi santai.

Sakura semakin memicing, terlihat tidak suka. "Aku tidak membutuhkan siapapun!" Sakura membentak. Dia memalingkan wajah dari Kakashi, menolak melihatnya.

"Tentu saja kau membutuhkanku. Aku yang akan mengurus dana-dana asuransi rumah dan asuransi kesehatanmu," Kakashi terus berbicara. Dia sepertinya tidak berpengaruh sedikitpun dengan penolakan Sakura. "Kemarin aku sudah mengumpulkan brosur-brosur sewa flat untuk satu orang untuk kau tinggali. Aku memilih yang letaknya dekat sekolahmu agar memudahkan mobilitasmu."

"Jangan ganggu aku! Aku tidak butuh apapun! Pergi!" Sakura kembali berteriak, tidak menoleh sedikitpun. Dia lelah, dia hanya ingin sendiri. Kenapa si Hatake ini tidak mengerti?

Melihat kliennya yang tidak mau diganggu, Kakashi mengalah. Dia beranjak dari duduknya, mengambil briefcase dan merapikan pakaiannya sedikit. "Baiklah, aku akan pergi. Besok aku akan kembali lagi. Cepat sembuh, Sakura." Katanya, lalu berlalu dari ruangan Sakura, meninggalkan gadis itu sendirian, lagi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

..

.

.

Subuh masih membayangi bumi ketika Sakura terbangun dari mimpi buruknya. Keringat dingin mengalir di pelipis lebar gadis itu dan napasnya terengah-engah. Dia menjambaki rambut berwarna merah mudanya yang kini berpotongan pendek, membuat kulit kepalanya semakin sakit karena masih ada luka bakar di sana. Dia abaikan rasa sakit itu, apapun dia lakukan agar mimpi itu musnah dari kepalanya. Api-kali ini dia kembali melihat api di mana-mana. Kedua orangnya terbakar dan meronta-ronta. Dia hanya bisa menjerit, mencoba menggapai ibu dan ayahnya yang terpanggang bara api. Tapi dia tertahan lemari raksasa yang menindihnya dan meremukan tulangnya. Suara jeritan orang tuanya terngiang-ngiang di telinganya, hingga mereka hangus, menjadi arang, dan Sakura terbangun dari tidurnya.

Untuk kesekian kalinya Sakura menangis. Seandainya saat itu dia tidak tertimpa lemari besi di kamarnya, dia pasti bisa menyelamatkan kedua orang tuanya. Tapi dia terlalu lemah, dan sayangnya ia selamat, sementara mereka tidak. Itulah yang paling Sakura sesali di dunia ini, ketidak berdayaannya yang membuat kedua orang yang ia sayangi mati.

Sudah seminggu berlalu semenjak kejadian itu, namun bayang-bayang kematian orang tuanya tidak pernah bisa lepas dari pelupuk matanya. Sampai detik ini dia masih belum bisa mempercayai kejadian itu. Sakura selalu berharap segalanya hanyalah mimpi buruk, sehingga ia bisa bangun dan melupakannya kemudian. Namun ketika dia terbangun, justru dia harus dihadapkan bahwa mimpi buruknya itulah yang nyata. Rasa pilu dan kehilangan tidak pernah bisa hilang, mencengkram dadanya sedemikian kuat. Dia mencoba menepuk bagian itu, ingin mengusirnya, dan sia-sialah yang ia dapat. Sesegukannya kian hebat, hingga ia sendiri lelah menghadapi kesedihannya itu. Gadis berhelaian soft pink itu hanya bisa menangis, meringkuk di ranjang pasiennya yang tidak nyaman, dan mengutuki takdirnya lagi, hingga ia kelelahan dan kantuk kembali menyergapnya perlahan-lahan.

.

.

.

.

.

..

.

.

.

.

.

Sakura terjaga karena mencium bau sari apel. Saat matanya terbuka, dia bisa melihat Kakashi sedang duduk di dekat ranjangnya sambil menikmati sarapan. Pria itu memakai pakaian formal tanpa jas, masih dengan maskernya. Kakashi terlihat senang kala melihat Sakura sudah bangun. Sementara Sakura hanya mendengus dan berpaling, bosan karena setiap hari pria ini selalu hadir ketika ia membuka mata di pagi hari.

"Kau sudah bangun rupanya. Mau sarapan?" Tanya Kakashi sambil mengangkat dua tangkup roti dan sekotak besar sari apel, masih belum menyerah dengan penolakan Sakura.

Sakura bergeming. Dia tidak ingin menanggapi pria itu.

Kakashi menghampiri Sakura, lalu mengatur bantal untuk Sakura bersandar. Sakura menghentak tangan Kakashi kasar, tapi pria Hatake tidak mau berhenti. Dia akhirnya berhasil membuat Sakura duduk meski membuat wajah gadis itu memerah karena marah.

"Jangan ganggu aku!" Bentaknya keras pada Kakashi.

"Aku senang kau marah-marah. Itu artinya kondisimu semakin membaik," canda Kakashi sambil kembali ke kursi.

Ya, kondisi Sakura memang sudah membaik. Luka-luka bakar di tangan, betis dan pinggang Sakura sudah berganti kulit, meski masih bisabterlihat jejak-jejak luka di sekujur tubuhnya. Justru trauma yang dialami Sakuralah yang menghambat kesembuhannya. Kejadian naas sepuluh hari yang lalu tentu saja mengguncang mental Sakura dan meninggalkan post traumatic yang cukup serius. Itulah mengapa dokter menyarankan agar Sakura tetap berada di rumah sakit daripada harus dirawat jalan.

"Aku sudah mengurus segalanya. Kau hanya perlu banyak beristirahat agar cepat sembuh," ujar Kakashi, lalu memakan sepoting roti di tangannya, sementara yang satu lagi ia taruh di kotak bekal dan ditaruh di pangkuan Sakura.

Sakura terdiam tidak menghiraukan Kakashi. Dia tidak mau mempercayai pria asing ini sedikitpun. Bisa-bisanya dia berkata dengan begitu santai pada Sakura, tidak peduli dengan perasaan Sakura yang masih bernanah.

"Kau tau, banyak teman-temanmu yang ingin mengunjungimu. Tapi kudengar dari suster Hana kau menolak mereka ya? Kau tidak boleh begitu. Mereka kan sudah capek-capek datang ke sini." Kakashi menasehati dengan lembut.

"Aku tidak butuh," ujar Sakura ketus.

"Jadi apa yang kau butuhkan?" Tanya Kakashi.

Sakura tidak menjawab. Pertanyaan Kakashi membawa gelenyar pedih di hatinya, membuat pelupuk matanya basah seketika. Gadis itu menunduk, menatap kedua tangannya yang mencengkram kuat selimut rumah sakit. "Aku butuh ayah dan ibuku," ujarnya lirih, bersamaan dengan air matanya yang mulai jatuh lagi. Dadanya kembali sakit, seolah jantungnya baru saja diremas kuat-kuat oleh penderitaannya sendiri.

Ya, Sakura butuh orangtuanya sekarang, butuh melihat senyum mereka, butuh mendengar suara lembut mereka, butuh merasakan usapan lembut mereka di kepalanya. Bahu gadis itu bergetar pelan. Dia merindukan mereka, tapi mereka sudah meninggal. Begitu mudahnya mereka meninggalkannya sendirian di dunia ini.

Sakura bisa merasakan ranjangnya berderit. Kakashi duduk di sampingnya. Dengan lembut, pria itu memeluk Sakura dari samping, dan mengelus bahunya yang tidak bisa berhenti bergetar. Pria itu tidak berkata-kata. Kakashi tahu, Sakura tidak butuh mendengar apapun sekarang. Biarkan gadis itu menumpahkan kesedihannya sepuas-puasnya, agar hatinya lega. Tidak ada sesegukan, hanya derai deras air mata yang terus membasuh wajah Sakura.

Sepuluh menit berlalu, dan hening masih mengisi ruangan itu. Kakashi melepaskan pelukannya dari Sakura. Perlahan dia angkat wajah gadis iu, lalu mengusap tangisnya dengan tisu yang ia ambil di nakas. Kakashi mengakui dia ikut merasa terpukul ketika melihat air mata Sakura dan wajahnya yang memerah. Dia menatap lembut mata sepasang iris klorofil itu, yang kini memancarkan duka yang mendalam.

"Sakura, aku akan menjagamu. Mulai sekarang aku adalah orang tuamu. Aku tidak peduli berapa kalipun kau menolak kehadiranku, aku akan selalu ada di sampingmu," Kakashi menepuk pelan pucuk kepala Sakura dengan penuh kasih sayang.

Tidak ada balasan dari Sakura, dan Kakashi masih di sana, menjaganya. Perlahan timbul sebuah pertanyaan di sanubari gadis itu, bisakah Sakura mempercayainya?

.

.

.

.

.

.

.

.

Di hari ke-15, kondisi post traumatic Sakura mulai stabil. Dokter memperbolehkan gadis itu dirawat jalan, namun memperingatkan untuk terus melakukan kontrol setiap seminggu sekali. Kakashi menggendong Sakura masuk ke mobilnya, sementara suster memasukkan kursi roda gadis itu ke bagasi. Setelah mengucapkan terima kasih, Kakashi lalu masuk ke mobil dan mengendarainya meninggalkan rumah sakit.

"Sakura, untuk sementara kau akan tinggal di apartemenku dulu. Lusa kau sudah bisa bersekolah. Aku akan mengantar dan menjemputmu. Dan setelah kau sudah bisa berjalan, kita akan mencari apartemen untuk kau tinggali," Kakashi berceloteh panjang lebar sambil melirik Sakura yang duduk diam di kursi sebelahnya, menatap keluar kaca jendela.

"Kakashi-san," Sakura memanggil perlahan, tidak menoleh sedikitpun.

"Ya?"

"Aku tidak mau masuk sekolah," ucapnya jujur dengan nada datar.

Kakashi terdiam sejenak, membuat hening mengisi mobil itu sesaat.

"Kau harus sekolah, Sakura," Kakashi berkata dengan lembut. "Kau harus menyibukan dirimu agar tidak terus larut dalam kesedihan," tambahnya memberi pengertian. Dia lalu membelokan mobilnya ke kiri. Dari persimpangan jalan, gedung apartemennya sudah terlihat. Tujuan mereka sudah dekat.

Sakura tidak merespons. Dia kecewa dengan jawaban Kakashi. Kenapa walinya itu tidak mengerti kalau dia masih butuh waktu untuk dirinya sendiri? Kakashi terlalu mengatur hidup Sakura, dan sayangnya Sakura hanya bisa menuruti walinya ini.

Sesampainya di parkiran apartemen, Kakashi dengan sigap langsung keluar dari mobil, mempersiapkan kursi roda Sakura, dan menggendongnya turun. Lelaki bermasker itu mendorong kursi roda Sakura ke lift, menuju apartemennya yang ada di lantai lima. Kakashi kembali bercerita soal perlengkapan yang sudah ia beli untuk Sakura dan mendeskripsikan kamar yang ia siapkan untuk anak walinya ini, namun Sakura tidak menanggapi sedikitpun hingga mereka sampai di tempat tujuan mereka. Kakashi langsung membawa Sakura ke kamar gadis itu, dan menurunkannya agar Sakura berbaring nyaman di tempat tidur.

"Panggil aku kalau butuh apa-apa," Kakashi meletakan sebuah ponsel di atas nakas. "Di sini sudah kutaruh kontakku, kau hanya tinggal menelponku saja. Sekarang beristirahatlah."

Sakura mengangguk, dan Kakashi pun meninggalkan gadis itu sendirian di kamarnya.

Sakura menghela napas perlahan. Inilah yang ia butuhkan, keheningan untuk menemaninya. Setidaknya dia bisa dengan mudah menumpahkan air matanya, tanpa perlu membuat Kakashi khawatir. Dia bekap mulutnya agar suara isakannya tidak terdengar. Dia membiarkan tangisnya kembali mengambil alih bersama bayangan orang tuanya.

Sementara itu, Sakura tidak tahu, Kakashi masih berdiri di depan kamarnya, sayup-sayup mendengarkan isak kecil tangisnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Makanlah, Sakura. Supmu mulai dingin."

Sakura melirik Kakashi sejenak, lalu tatapannya beralih ke cream soup di hadapannya. Dia sebenarnya sama sekali tidak lapar, tapi Kakashi masih saja terus memaksanya makan. Untuk menghargai perhatian Kakashi, Sakura menyuapkan sesendok sup. Dia makan dalam diam.

Mereka sekarang sedang makan siang di kantor Kakashi. Pria berambut abu-abu itu membawanya ikut ke kantornya dengan paksa. Dia tidak ingin meninggalkan Sakura sendirian, katanya. Padahal Sakura benar-benar tidak ingin ikut.

"Kau tadi sudah membaca rincian warisan keluargamu dan dana asuransi orangtuamu, kan?" Kakashi kembali buka suara.

Sakura mengangguk.

"Itu semua hakmu. Kau baru bisa mendapatkannya di hari ulang tahunmu yang ketujuh belas. Aku memindahkan sekitar 50 ribu yen ke rekeningmu, untuk jaga-jaga bila kau ingin beli sesuatu," jelas Kakashi lagi.

"Kakashi-san," Sakura memanggil. "Kurasa aku tidak memerlukan bantuan Nenek Chiyo," Sakura menatap manik hitam walinya. Yang ia maksud nenek Chiyo adalah perawatnya yang Kakashi sewa untuk membantu Sakura mandi, berganti baju, dan sebagainya.

"Kenapa? Aku tidak mungkin membantumu saat kau ingin ke kamar mandi. Kau membutuhkan Chiyo-baasan sampai kau setidanya melepas gips di kakimu," Kakashi berargumen.

"Aku tidak mau merepotkan," Sakura memberi alasan.

"Kau tidak merepotkan," Kakashi menyipitkan matanya, tersenyum di balik masker. "Sudah menjadi kewajibanku mengurus dan memenuhi kebutuhanmu."

Sakura diam lagi. Rasanya tidak ada gunanya dia mecoba menolak bantuan Kakashi. Namun di satu sisi dia muak dianggap lemah begini.

"Oh ya, sebenarnya aku mengajakmu keluar untuk mempertemukanmu dengan beberapa orang," Kakashi kembali memecah keheningan, membuat Sakura menoleh padanya dengan kening berkerut.

"Temanku?" Tanya Sakura enggan. Dia sedang tidak ingin bertemu mereka sekarang, meskipun itu sahabatnya.

"Bukan, kurasa kau tidak mengenal mereka," Kakashi terkekeh kecil. "Aku tadi sudah mengirim pesan pada mereka untuk ke sini," jelasnya santai.

"Kurasa itu ide yang buruk," Sakura mendesah. Dia menenggelamkan diri di kursi rodanya, membuatnya sedikit mundur dari meja ruang tamu kantor Kakashi. "Aku belum siap bertemu siapapun."

"Setidaknya, beri salam pada mereka," bujuk Kakashi. "Mereka bisa dikatakan pahlawan."

Sakura semakin bingung. Apa maksud Kakashi? Dia benar-benar tidak mengerti.

Tok tok

Belum sempat Sakura bertanya, suara ketukan pintu menginterupsi percakapan mereka. Kedua mata Kakashi langsung bersinat cerah, seolah dia sudah lama menunggu untuk ketukan pintu itu.

"Ah sepertinya itu mereka," ujar Kakashi sumringah. "Masuk!"

Pintu terbuka, menampilkan tiga lelaki tampan berpenampilan kasual. Satu orang berambut jabrik kuning yang kini tersenyum sangat lebar, satu orang pemuda pucat berambut klimis yang tersenyum mencurigakan, dan seorang lagi pemuda berambut raven model emo berwajah datar, tanpa ada senyum seperti dua orang yang lain. Sakura memperkirakan usia mereka masihlah awal dua puluhan, dilihat dari gaya mereka yang keren dan kekinian meski sederhana.

"Konnichiwa, Kakashi-sensei!" Si pemuda kuning melakukan gerakan hormat pada Kakashi, membuat Kakashi tersenyum. "Oh, jadi ini Sakura-chan ya?" Naruto mengalihkan tatapannya pada satu-satunya gadis di ruangan itu. Wajahnya terlihat sangat ramah dan antusias. "Aku Naruto, Uzumaki Naruto! Salam kenal-dattebayo!"

Sakura mengangguk, masih bingung, juga tidak begitu berminat. "Nama saya Haruno Sakura, salam kenal," Sakura menunduk kecil, mencoba bersikap sopan.

"Bagaimana keadaanmu, Sakura-chan?" Naruto tiba-tiba bertanya, membuat Sakura sedikit berjengit. Rasanya Naruto terlalu sok akrab. Kenapa dia langsung memanggil nama kecil Sakura sejak awal?

"Daijobu. Terima kasih," Sakura menjawab sekenanya sambil menunduk lagi.

"Duduklah, kalian," Kakashi mempersilakan para pemuda itu, yang langsung dilakukan dengan sigap. Mereka bertiga sudah ada di hadapan Sakura dan Kakashi sekarang. "Sakura, perkenalkan. Ini Shimura Sai, dan di sebelah Naruto itu Uchiha Sasuke," Kakashi menunjuk pemuda pucat dan pemuda raven berturut-turut. "Mereka bertiga adalah petugas pemadam kebakaran yang menolong memadamkan api di rumahmu," Kakashi berkata hati-hati, namun nada bangga tertoreh di warna suaranya, jelas sekali pria yang berprofesi sebagai pengacara itu memiliki hubungan yang akrab dengan ketiga pemuda itu.

"Aa," hanya itu respons Sakura, tidak lebih. Tingkahnya itu membuat kening Kakashi mengernyit. "Terima kasih," Sakura buru-buru menambahkan, sebelum ditegur oleh Kakashi.

"Hanya itu?"

Sakura menoleh pada pemuda raven yang memasang wajah datar, dihiasi tatapan tidak suka.

Sakura merasa tersinggung dengan pertanyaan bernada dingin Sasuke itu. "Aku kan sudah berterima kasih," katanya pelan.

"Tapi kau terlihat melakukannya dengan terpaksa," Sai menyahut, senyum aneh masih terlukis di bibir tipisnya.

"Lalu aku harus apa?" Sakura mulai kesal. "Apa aku harus bersujud di hadapan kalian?" Sinisnya sarkatis. "Kurasa memang itulah tugas kalian, memadamkan api," tambahnya lagi tidak peduli. Sejujurnya dia tidak ingin bertemu siapapun, apalagi dengan orang-orang yang berkaitan dengan peristiwa itu. Kedatangan mereka hanya mengingatkan Sakura dengan kejadiaan yang telah merengut segala kebahagiaan di hidupnya, mengingatkannya pada luka menganga di dadanya yang berlubang dalam.

"Sopanlah sedikit, bocah," Sasuke menegur dingin. "Kau harusnya merasa beruntung masih bisa selamat," sambung pemuda itu dengan nada tajam.

Sakura menatap kaku ketiga pemuda di hadapannya. Si Uchiha itu telah melangkah memasuki teritorinya, dan dia tidak bisa hanya diam. "Beruntung?" Sakura bisa merasakan tubuhnya menggigil karena amarah. "Kalian pikir aku senang diselamatkan kalian?!" Bentaknya kasar, membuat keempat lelaki di ruangan itu sedikit terlonjak akibat respons tidak terduga gadis ini.

"Memangnya kalian tahu apa?! Seharusnya kalian jangan menyelamatkanku!" Sakura menjerit, meluapkan segala kesesakan di hatinya yang terluka. Air matanya sudah menetes-netes entah sejak kapan. "Hiks! Kalian pikir aku senang masih bisa hidup?! Lebih baik aku menyusul orang tuaku! Aku tidak bisa hidup tanpa mereka! Aku tidak mau ditinggalkan sendirian begini!" Sakura meraung, memegangi dadanya yang sesak. Rasa sakitnya menyeruak tanpa bisa tertahan lagi. Hatinya pedih kala ia sadar orang tuanya sudah tidak lagi bersama dirinya. Sekeras apapun gadis itu mencoba menerima kenyataan ini, emosinya malah semakin memberontak. Jiwanya lelah menangisi mereka, dia sudah tidak kuat pura-pura bersikap semuanya baik-baik saja.

"Dasar perempuan rendahan."

Sakura terbelalak ketika mendengar suara makian tertahan itu. Saat mendongkak, dia bisa melihat Sasuke telah berdiri dari duduknya, menatap benci ke arahnya. Ketiga pemuda yang lain juga tidak kalah kagetnya dengan Sakura. Mereka sampai speechless gara-gara mendengar hinaan pemuda raven itu.

"Sungguh kasihan orang tuamu. Mereka sudah susah payah melindungimu agar tetap hidup, bahkan rela harus mati terbakar sampai jadi arang. Tapi anaknya malah tidak berterima kasih sedikitpun. Benar-benar gadis tidak tahu diri," cecar Sasuke tidak berperasaan. Tidak ada empati di maniknya yang segelap malam itu. Dia langsung pergi dari ruangan itu setelah mengucapkan kata-katanya yang menohok.

"Teme, jangan pergi!" Naruto yang memanggilnya tidak digubris. Pemuda pirang itu menatap Sakura menyesal. "Maafkan Sasuke, Sakura-chan," ujarnya, mewakili temannya itu.

"Wah, wah, wah, sepertinya kau sudah membuat Sasuke tersinggung-aduh!" Sai mengaduh setelah berkomentar, hasil injakan kaki Naruto di bawah meja. Pemuda kuning itu melotot pada Sai, namun dia hanya menampilkan senyum di wajah sepucat kertas.

"Ara, kalau begitu kami pamit-dattebayo. Sekali lagi maaf soal sikap teman-temanku," Naruto membungkuk sopan. "Tetap semangat Sakura-chan. Cepat sembuh," katanya lagi sebelum menyeret teman pucatnya keluar dari kantor Kakashi.

Blam!

Pintu yang tertutup membawa keheningan di ruangan formal itu. Tidak lama, Kakashi menghela napas berat. Dia menatap prihatin Sakura yang masih sesegukan. Sepertinya rencananya untuk menghibur Sakura gagal total, dia justru membuat suasana hati Sakura semakin buruk. Tapi Kakashi tidak menyesal, dia justru berharap kata-kata berbisa Sasuke tadi menyadarkan Sakura. Anggaplah ia jahat, tapi sesekali gadis yang keras kepala ini butuh diberi peringatan.

"Ayo, kuantar kau pulang, Sakura."

Kakashi bangkit dari kursinya, lalu menelpon sekretarisnya sesaat. Sakura hanya diam, kepalanya sudah kosong sekarang. Hingga Kakashi mendorong kursi rodanya pergi dari kantor itu, tidak ada lagi kata-kata yang terucap di antara mereka berdua, meski air mata Sakura terus mengalir dalam diam.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Sakura-chan, apa kau baik-baik saja?"

Sakura hanya diam, tidak memedulikan teman-temannya yang kini sedang mengerubunginya bagaikan lalat. Gadis beriris viridian itu hanya mengangguk, lalu kembali menunduk membaca buku di pangkuannya. Dia sedang tidak berselera untuk menanggapi sikap berlebihan mereka.

"Sudahlah Ino, jangan ganggu dia. Mungkin Sakura sedang mau sendiri," gadis berambut coklat dicepol dua itu menatap iba sahabatnya yang kini sediam patung. Dia memberikan isyarat pada teman berambut blonde-nya untuk menjauh dari Sakura. Ino yang masih memasang wajah khawatir menuruti kata-kata Tenten. Teman-teman sekelas mereka yang lain juga mulai menjauh dari Sakura, kembali ke tempat duduknya masing-masing.

Semua orang di sekolah ini tentu tahu soal kecelakaan yang menimpa keluarga Sakura. Sekarang mereka memandang gadis itu dengan tatapan kasihan. Tidak lagi tampak sikap Sakura yang suka tersenyum, cerewet, dan galak, semuanya digantikan dengan ekspresi datar dan sedih yang setia menggelayuti wajah pucatnya yang kehilangan sinar.

Sakura sendiri merasa muak dengan tatapan-tatapan yang dilayangkan padanya. Sungguh, dia tidak butuh rasa kasihan sekarang. Inilah yamg membuatnya urung kembali bersekolah, dia masih belum siap menghadapi teman-temannya. Dia hanya ingin sendiri. Beruntung Teten, salah satu sahabatnya, mengerti keinginan Sakura itu.

Sakura menatap keluar jendela kelas, pada langit biru yang tak tertutup awan. Apakah orang tuanya sedang menyaksikannya dari atas sana? Dada Sakura kembali sesak. Buru-buru ia alihkan tatapannya ke pangkuannya lagi, sebelum ada air yang kembali jatuh dari matanya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Terima kasih, Nenek Chiyo," Sakura tersenyum kecil setelah wanita paruh baya itu membantunya duduk di kursi rodanya kembali. Sesungguhnya Sakura merasa tidak enak harus merepotkan sang orang tua ini terus-menerus setiap ingin ke kamar kecil. Tapi Kakashi benar, Sakura memang membutuhkan seseorang, setidaknya sampai ia bisa jalan sendiri.

Nenek Chiyo tersenyum, membuat keriput di wajahnya terlihat semakin jelas. "Jangan sungkan padaku, Sakura-chan. Aku dulu ini suster lho. Aku senang membantu pasienku," katanya penuh semangat. Sakura mengangguk kecil. Keramahan Nenek Chiyo ikut membuatnya tersenyum.

Kata dokter, masih butuh waktu sekitar dua bulan untuk membuka gips di kaki Sakura. Ia masih beruntung patah tulangnya tidak begitu parah, dan dia juga masih dalam masa pertumbuhan, jadi dia bisa pulih cepat. Minggu depan dia akan pakai kruk saja, mengingat luka bakar di kaki kananya juga sudah berganti kulit. Luka bakar di kaki kanan Sakura memang cukup parah, sehingga ia tidak diperkenankan memakai kruk dan sampai harus pakai kursi roda untuk tidak memberikan terlalu banyak tekanan pada luka bakarnya. Namun sekarang semuanya sudah lebih baik, jadi Sakura tidak perlu khawatir lagi untuk mrmakai kaki kanannya.

"Ah ya, Sakura-chan, ada paket kiriman untukmu tadi siang," Nanek Chiyo menepuk dahi keriputnya pelan. "Aduh, maafkan orang tua ini yang melupakannya."

"Tidak apa-apa, Chiyo-baasan," Sakura tersenyum maklum.

"Akan kuambilkan, kau tunggulah sebentar di sini."

"Tidak, aku ikut!" Sakura buru-buru mendorong sendiri kursi rodanya, menyusul Nenek Chiyo yang sudah berjalan ke ruang tengah. Saat berhasil menyusulnya, Sakura menunggu mantan suster itu mengambilkan kirimannya di lemari TV, sambil sesekali menatap sekeliling ruangan.

Di rak pajangan di atas TV, Sakura melihat foto keluarga seukuran 5R yang dipigura dengan kayu pelitur cantik. Dalam foto itu terlihat Kakashi tersenyum bahagia tanpa masker bersama seorang wanita cantik bertubuh mungil yang menggendong bayi lucu.

Sakura tergugu, baru pertama kali ia melihat foto itu, meski sudah seminggu ia tinggal di rumah ini. Salahkan dia yang terus mengurung diri di kamarnya. Mungkinkah itu foto Kakashi dan istrinya? Ia baru tahu. Sakura pikir Kakashi masih bujang, mengingat sebelum ada Sakura, pria itu hanya tinggal sendirian. Lalu, ke mana istri dan anaknya? Apa mereka tinggal di tempat lain? Sakura sekarang mulai merasa penasaran. Kakashi memang banyak bicara, tapi dia tidak pernah membicarakan dirinya sendiri. Paling banter dia hanya menceritakan kasus yang pernah ia tangani, sekadar untuk menghibur Sakura yang selalu murung.

"Ini, Sakura-chan."

Sakura kembali dari lamunannya ketika sebuah kotak yang dibungkus kertas daur ulang disodorkan Nenek Chiyo ke hadapannya.

Sakura berterima kasih. Dia mengamati paket itu dengan penasaran. Siapa yang mengirimkan ini? Tidak banyak yang tahu alamat baru Sakura, dia benar-benar ingin tahu siapa yang repot-repot mengiriminya paket. Perlahan tangan mungil gadis itu mulai merobek dan membuka bungkusannya. Dan saat Sakura melihat isinya, gadis iu terpana, hingga tidak bisa berkata-kata.

"I-ini kan..."

Sakura dapat melihat sebuah album foto yang tampak telah terbakar itu, namun sudah dibersihkan. Tangan gadis itu bergetar pelan ketika menyentuh album hard cover itu. Dibuka halamannya perlahan, dan dia bisa melihat foto-foto masa kecilnya sendiri. Sakura menitikkan air mata. Dia terus membalik lembaran album yang keras, yang bagian atasnya sudah coklat akibat sempat terbakar. Di lembar keempat, dia bisa melihat foto ibu dan ayahnya yang sedang memeluknya sayang ketika ia balita, dengan dirinya sendiri ikut tersenyum lebar, sangat bahagia.

Sakura langsung memeluk album berbau hangus itu di dadanya. Ia kembali sesegukan, membayangkan bahwa yang ia peluk kini adalah kedua orang tuanya, bukan album foto. Foto mereka membuat Sakura kembali merindukan keduanya, menyadari bahwa dirinya begitu kesepian. Dia merindukan ayahnya yang suka tertawa, juga omelan ibunya, dan suasana rumahnya yang hangat. Bau hangus album di pelukannya itu seolah menampar dirinya, bahwa semua yang ia rindukan telah hilang dikarenakan kobaran api di malam mengenaskan itu.

Sakura terus menangis, suaranya memenuhi seluruh penjuru apartemen Kakashi, membuat Nenek Chiyo terenyuh menyaksikan penderitaan remaja di hadapannya. Tangan keriputnya mengelus pundak Sakura, sementara air mata ikut menetes di wajah tuanya. Sungguh kasihan, gadis sekecil ini sudah dihadapkan dengan kepahitan di usianya yang masih tergolong sangat muda. Biarkan saja gadis ini menangis, jika itu memang bisa meringankan beban kesedihannya. Nenek Chiyo hanya bisa berharap semoga di depan sana kebahagiaan akan membayat seluruh air mata Sakura.

.

.

.

.

.

.

Sakura terdiam, tidak begitu berselera menatap tempura di mangkuknya. Matanya masih sembab sehabis menangis sore tadi. Semua itu gara-gara kiriman yang ditujukan padanya. Dia tidak berminat untuk makan. Di kepalanya masih terbayang-bayang orang tuanya yang telah meninggal. Seberapa keraspun dia mencoba mengenyahkannya, kilas balik itu terus menghantuinya. Kepala Sakura jadi pusing, seolah-olah menunggu waktu yang tepat untuk pecah berhamburan.

"Apa kau tidak enak badan?" Kakashi bertanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. Dia sudah melepas maskernya sejak ia memegang sumpit.

"Kepalaku sakit," Sakura berkata jujur.

Kakashi menatap Sakura dengan perasaan bersalah, dia menyuapkan nasi terakhir ke mulutnya. "Aku minta maaf soal album foto itu," ujarnya lirih.

Sakura menatapnya nanar walinya itu."Jadi kau yang mengirimkan album itu untukku?" Sakura bertanya dengan nada lemah.

"Bukan aku. Tapi kurasa kau sudah bisa menebak siapa pengirimnya."

Sakura mengerutkan dahi, terlihat penasaran. "Aku tidak tahu."

Kakashi menatap viridian Sakura sejenak, nampak ragu. Namun sedetik kemudian dia sudah kembali bersuara.

"Itu dari para pemadam kebakaran yang pernah menolongmu."

Mata Sakura membulat, dia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Lenggang mengambil alih percakapan mereka sejenak. Sakura sendiri tidak tahu harus berkata apa untuk merespons fakta yang ia dengar barusan.

"Untuk apa mereka mengirimkannya?" Akhirnya gadis itu bertanya.

"Sudah jelas, kan? Mereka ingin kau menyimpan album itu, dan membukanya ketika kau merindukan orang tuamu. Syukurlah album itu tidah habis terbakar," Kakashi menjawab dengan tenang.

Sakura mendengus. "Kurasa kau salah. Mereka hanya ingin mengejekku," Sakura memainkan sumpit di tangannya, tidak berniat menyentuh tempura yang mulai dingin.

"Kenapa kau berpikir begitu?" Tanya Kakashi keheranan.

"Mereka hanya menganggapku gadis cengeng dan kurang ajar, kan?" Sakura menyahut malas. "Mereka pasti berharap aku kembali meraung-raung karena album yang mereka kirimkan itu akan membuatku menangis dan semakin merindukan orang tuaku. Apalagi sang Uchiha itu," Sakura kembali mengingat-ingat ucapan menyakitkan Sasuke tempo hari. Dia mengakui kata-kata si pemuda raven sudah menggoreskan luka sedemikian dalam di hatinya.

"Mereka tidak seperti itu, Sakura," Kakashi membantah tuduhan Sakura. "Mereka orang-orang yang baik, aku mengenal mereka sejak lama." Kakashi mendorong mangkuknya yang sudah kosong. Mata sayu pria itu menatap Sakura menerawang. "Dan mungkin saja, sebenarnya paket mereka ini merupakan bentuk permintaan maaf."

Sakura hanya diam. Jelas terlihat dia tidak mempercayai kata-kata Kakashi. Mana mungkin mereka minta maaf padanya. Mereka pasti muak pada Sakura dan tingkahnya waktu itu. Buktinya setelah sepuluh hari berlalu, tidak pernah sekalipun Sakura bertemu dengan mereka lagi. Kalau mereka memang mendukung Sakura, seharusnya mereka mengunjungunya lagi setelah pertemuan menyebalkan itu, kan? Jawaban terlogis kenapa mereka tidak menemuinya lagi adalah karena mereka memang tidak mau berurusan dengan Sakura untuk yang kedua kali.

Lagipula mana mungkin mereka mengerti perasaan Sakura. Kalau mereka peduli padanya, mereka tidak mungkin mengirimkan album foto itu, karena justru album itu membuat Sakura kian sedih berkali-kali lipat. Mereka tidak pernah merasakan betapa pahitnya takdir yang ia jalani, jadi mereka tidak perlu merasa simpati atau empati untuknya. Tidak ada yang akan bisa mengerti rasa sakitnya.

"Kau salah jika kami tidak pernah merasakan apa yang kau rasakan itu, Sakura." Kakashi bersuara seolah menjawab apa yang baru saja Sakura pikirkan. Saat Sakura menatap pria itu, Sakura bisa melihat gurat-gurat penderitaan di wajah tampan Kakashi, membuat gadis itu terkejut sejenak.

Kakashi yang selama ini menghiburnya, ternyata bisa memiliki ekspresi menyedihkan begitu? Sakura benar-benar tidak bisa percaya.

"Apa maksudmu?" Sakura bertanya perlahan. Entah kenapa melihat raut kelam Kakashi ikut membuatnya merasa sedih.

Senyap mengisi ruangan. Mata sayu Kakashi seolah memandang jauh ke masa lalu. Sakura hanya bisa diam, menunggu jawaban pria yang akan menjadi walinya setidaknya untuk satu tahun ke depan ini.

"Aku akan menceritakan banyak kisah padamu," Kakashi memecah kesunyian dengan suaranya yang dibuat setegar mungkin. Mata hitam Kakashi kini beralih pada Sakura sepenuhnya.

Sakura terdiam, bersiap mendengarkan cerita Kakashi, yang mungkin akan membawa perubahan pada hidupnya.

.


To Be Continued


A/N:

Hallo Minna-san! :D ketemu lagi sama author yang kali ini bawa cerita sedih. Author mau curcol sedikit nih soal latar belakang dibuatnya fict ini. :)

Jadi sebenarnya author udah bikin cerita ini sejak 5 bulan yang lalu. Tapiii author belum sempat publish karena author sibuk ini itu (biasa, maba mah gitu :p)

Nah, pas awal januari, keluarga author tertimpa musibah dengan meninggalnya nenek author akibat ledakan tabung gas. Author sedih banget, sampai author memutuskan untuk vakum sebentar di ffn, karena memang semangat author berada di titik terendah saat itu. Bukan cuma di ffn, author bahkan sampai ga bisa nulis untuk beberapa waktu saking sedihnya.. Ahahah maklumlah, soalnya author deket banget sama almarhumah.

Nah, hari ini author nemu file ini teronggok di draft author. Author baru sadar kalau dulu author pernah buat cerita ini, yang sedikit banyak mengingatkan author pada diri author sendiri. Untuk itu author memutuskan untuk melanjutkannya aja.

Author minta maaf kalau Sakura di sini kesannya lebay karena nangis terus. Tapi sebenernya itu merefleksikan diri author sendiri dan ibu author yang emang ga bisa berhenti bersedih setelah berpulangnya nenek. Sampai sekarang author masih ga nyangka nenek author udah meninggal.

Sebenernya fict ini pendek cuma karena author memutuskan untuk mengembangkannya sedikit, words fictnya jadi nembus 11k+. Untuk itu author putuskan untuk dibagi jadi dua chapter aja, biar readers ga pusing bacanya. :D

Anyway, thanks buat yang udah mau baca, follow, fave, dan review. :) Review akan dibalas di chap selanjutnya ya. Author menerima kritikan, flame, dll dengan tangan terbuka. :) so jangan sungkan ya~

So, sampai jumpa di chapter selanjutnya~