We Love You, Taeyongie!

NCT ONESHOT

Jaehyun x Taeyong centric

Maknaeline!teachers. Hyungline!students. Friendship. Humor(fail). Slight!Nomin.

.


NCT Dreams Kindergarten and Playgroup, Autumn 1997

Selamat datang!

Ini adalah tempat dimana hanya keceriaan yang kau jumpai di sini. Ketika kau memasuki tempat ini, kau akan disambut oleh pagar kayu berujung runcing dengan sentuhan warna krem yang elegan. Untuk menuju pintu masuk, kau harus berjalan di jalan setapak yang dikelilingi oleh rumput hijau dan terdapat beberapa wahana bermain seperti, papan luncur, ayunan, kolam pasir, dan wahana menyenangkan lainnya.

Kemudian, sebuah bangunan mungil sudah berada di hadapanmu. Tembok luarnya dicat berwarna-warni dengan berbagai macam mural bunga dan binatang yang konon digambar sendiri oleh para founder-nya. Tepat di atas pintu masuk, sebuah papan besar bertuliskan NCT Kindergarten akan menyambutmu.

Bangunan itu tampak tenang dan damai dari luar. Tapi, saat kau masuk ke dalam suasananya sungguh riuh dengan teriakan manis anak-anak kecil berpadu dengan suara berat yang berasal dari beberapa lelaki dewasa.

"Aaakh! Lepasin, Yuta! Pesawat ini punya Ten!"

"Kau yang lepasin! Yuta yang nemu duluan di kolong lemari!"

"Tapi ini punyaku! Kemalin diculi Doyoung!"

"Berisik! Sini pesawatnya ssaem ambil!"

Ada jeda beberapa detik sebelum tangis pecah dan membahana dengan lantangnya. Ah, memang, si Donghyuck-ssaem ini selain biang perusak suasana juga jagonya membuat anak kecil tidak berdosa menangis.

" #$%%^^&&^*(())(((*&%%%^##&(#())_&#&#^ ^& * *!" –Yuta dalam bahasa Jepang.

" #$%#^&**#^$&$(#()*&$^$&$*#(#)) )*#&&*$*$&$##(#!" –Ten dalam bahasa Thailand.

"Ya ya ya! Kalian curang! Aish! Pasti kebiasaan kalau marah pakai bahasa planet yang ssaem tak mengerti! Sudah diam!"

"YA LEE DONGHYUCK! Kau apakan bubble-bubble kesayanganku?! Minggir sana! Dasar kau ini memang kejam! Monster! Jelek!"

"Jeamin-ssaemhiks …,"

"Iya, sudah tenang Yuta-kun, Tennie … Coba lihat apa yang ssaem bawa. Tadaaa! Si kapal putih ini juga mau main sama pesawatnya. Ayo kita buat pesawat dan kapal berteman, ya," bujuk rayu nan manis Jaemin selalu bisa membuat anak-anak luluh. Bermodal senyum angel dan wajah rupawan juga merupakan kiat sukses dirinya berkecimpung di bisnis ini. Tidak salah jika dirinya menjadi favorit anak-anak, termasuk sang Kepala Sekolah, Mark Lee.

"Aigoo, seperti biasa, kau pintar sekali mengambil hati mereka, Jaeminie," puji Mark sambil mengacak rambut Jaemin.

"Ehehe, tidak, hyung, kebetulan saja aku suka anak kecil dan mereka sungguh menggemaskan."

Ada sepasang mata yang melirik dengan laser membunuh, ia berujar sinis, "Cih, penjilat. Suka anak kecil apanya! Bilang saja mau cari perhatian di depan Mark-hyung!"

Sayang, kata-kata pedas yang dilontarkan Donghyuck terlalu kentara dan didengar sepasang telinga di belakangnya, "Makanya, kalau mau dipuji juga, kerja yang benar. Tempat ini dibuat untuk membuat anak tertawa, bukan sebaliknya. Aku heran monster macam dirimu bisa diterima jadi guru playgroup. Kau masuk jalur belakang, ya?"

"Aku masuk lewat pintu depan. Jeno-hyung tidak lihat? 'Tuh di sana," jawab Donghyuck asal-asalan. Terkadang pria tampan bermata sipit dengan senyum menawannya ini membuat Donghyuck kesal karena lidah tajamnya. Jeno juga salah satu favorit di taman playgroup ini. Tawanya yang riang dan wajahnya yang sumringah, tidak jarang menarik perhatian anak-anak untuk segera menyukainya.

"Itulah sebabnya kau disebut monster jelek. Marah itu jangan dijadikan hobi, Donghyuckie."

"Jeno-hyung berisik. Kau sama sekali tidak membantu. Lagipula, si centil Jaemin yang pertama kali mengatakan aku monster! Gara-gara dia aku ditakuti anak-anak."

"Salahmu sendiri yang selalu dipergok Jaemin saat anak-anak menangis. Dia hanya melakukan tugasnya supaya tidak makan gaji buta sepertimu."

"Huh, bela saja terus pacarmu. Hyung tidak cemburu apa, Jaemin disayang-sayang Mark-hyung begitu?"

"Kau kira aku tidak? Tentu saja aku cemburu saat bubblegum-ku dijamah sembarangan oleh kepala sekolah hidung belang macam Mark."

"Kalau begitu jaga baik-baik pacarmu agar tidak sering tebar pesona!"

"Mark-hyung saja yang kelewat bawa perasaan. Haha, lihat dia sekarang sedang diserang Johnny. Anak itu memang selalu bisa aku andalkan," seringai dan tawa evil keluar begitu saja dari mulut Jeno saat melihat Johnny sedang menarik-tarik kaus belakang Mark.

"Hm? Johnny, yo! What's up, Little bro?"

"Mr. Mark, can I tell you a story?"

Johnny adalah salah satu murid pindahan dari Amerika dan belum terlalu fasih berbahasa Korea. Sebagai orang yang mempunyai darah Kanada dan bilingual, Mark menjadi satu-satunya teman Johnny di playgroup yang bisa ia ajak bicara.

"Of course, John! What kind of story?" Mark dengan senang hati mendengarkan dan berjongkok di depan anak rambut belah tengah itu.

"Once upon a time …,"

"Mm hm …,"

"There was a goldfish …,"

"Okay …,"

"Who lived alone …,"

"And then …,"

"The end."

Krik krik krik. Suara jangkrik imajiner terdengar begitu saja di otak Mark. Mulutnya menganga, menutup, membulat, mengatup tidak jelas. Oke, Mark bingung harus menanggapi bagaimana. Sementara peluh dingin sudah membanjiri keningnya, takut membuat Johnny menangis karena salah paham telah mengabaikannya, Jeno dan Donghyuck tambah membuat Mark gugup dengan tawa yang begitu menistakan di telinganya.

"Woah, that's a … um … eem … unusual story," ya, jika Mark berkata weird atau freak terlalu kejam untuk didengar anak umur empat tahun, 'kan?

"Mark-ssaem…?"

"Eh, iya, ada apa, Taeil-ah?"

"Aku juga mau cerita…," serangan kedua datang, pikir Mark diam-diam.

"Baiklah, cerita apa, sayang?" tapi Mark menghadapinya dengan sabar.

"Suatu hari, ada seekor ayam. Lalu ayamnya digigit lebah."

"Wah, terus terus, nasib ayamnya bagaimana?" tanya Mark dengan mata melotot.

"Ah! Aku tahu lanjutan ceritanya," Donghyuck mulai beraksi, "ayamnya jadi besar, kan?"

"Benar, seperti balon!" Jeno ikut serta. Dan Taeil segera pindah menuju Donghycuk dan Jeno yang sepertinya lebih antusias dengan ceritanya, mengabaikan Mark yang sedang jongkok sendirian.

"Iya, ssaem! Berubah jadi balon ..."

"TAPI BANYAK BULUNYA!" seru Taeil, Jeno dan Donghyuck bersamaan. Diikuti tawa terbahak-bahak dari ketiganya yang begitu melengking di telinga Mark.

Baiklah, beri kacang saja padaku. Umpat Mark dalam hati.

"Doyoung-aaaah, jangan lari dulu! Celanamu belum terpakai, ya ampun!"

Yang dikejar semakin menggoda guru yang mengerjarnya, Jisung, dengan berlari-lari mengelilingi kelas seperti kelinci lepas.

"Yeyeyeyeye! Aku baru saja pipis, yeyeyeye."

"OMOOO … ini anak siapa tidak pakai celana begini?! Jisungie, apa yang kau lakukan?! Cepat tutup aurat Doyoung!" pekik Renjun setengah panik.

"Renjun-hyung, bantu aku menangkapnya! Doyoooung-ah tungguu!"

Doyoung memang jagonya melarikan diri, kakinya panjang dan gerakannya gesit menghindari tangkapan para ssaem-nya.

"Renjun-ssaem … engg …," sebuah suara halus memanggil guru berdarah China itu, membuatnya berhenti mengejar Doyoung dan mendapati Hansol yang terdiam sambil menggigit telunjuknya.

"Iya, Hansol-ah, ada apa?" tanyanya dengan terengah-engah, tidak ia sangka mengejar kelinci kecil dapat menguras tenaganya begini banyak.

"Itu … mm … Hansol …,"

"Iya, kenapa? Hm?" ujar Renjun mulai tidak sabar. Saat salah satu tangan Hansol memegang celana belakangnya, dahi Renjun berkerut kusut, matanya membelalak. "Oh! Hansol mau pipis?!"

Hansol menggeleng pelan, ekspresinya setengah panik dan ia mulai bergidik.

"Astaga! Mau itu? Oke, oke, ssaem antar, anak manis! YA! Jangan dikeluarkan di celanamu! Tunggu sampai di pispot!" Renjun tergopoh-gopoh mengangkat Hansol menuju toilet kecilnya, meninggalkan Jisung yang masih kewalahan mengejar Doyoung.

"Renjun-hyung mau kemana? Aish jjinja! Chenle-hyung! Berhenti menjodohkan Kun dan Winwin! Cepat bantu aku memasang celana anak ini!"

Abaikan saja Jisung. Chenle sedang asyik bersama duo Chinese Kun dan Winwin yang saat ini sedang minum jus burberry dari gelas yang sama. Bahkan, keobsesian Chenle pada kemanisan Kun dan Winwin mengantarkannya untuk membuat kedua anak kecil polos itu minum dari sedotan couple berbentuk hati yang biasa ia lihat di taman ria.

"Pintar. Jangan cepat-cepat dihabiskan, santai saja nikmati jusnya ... Aigoo, kalian manis sekali. Sering-sering akur, ya."

Tinggalkan Chenle dan kegiatan tidak berfaedahnya, kita menuju ke anak yang belum tampil.

"Jiiiiiaaaaat! Hap! Jeno-ssaem tangkap bolanya!"

"Adaw!"

Donghyuck terpingkal-pingkal, "Hahaha, kalau terjitak bola golf secara tidak elit begitu, kadar ketampananan Jeno-hyung menurun drastis."

"Diam kau, jelek! ... Aduh, Jaehyunie, kenapa bermain dengan tongkat, sih? Kau tahu itu berbahaya, sini kemarikan tongkatnya!"

"Tidak mau! Papa bilang, Jaehyunie boleh main tongkat ini. Jaehyunie 'kan mau jadi pemain golf yang hebat!"

Jeno terkadang heran dengan anak berkulit putih kelewat menggemaskan yang satu ini. Di saat anak-anak seusianya hanya mengenal sepak bola, basket, dan bola tangan, Jaehyun dengan bangga mengenalkan bola golf yang justru dinilai tidak menarik bagi teman-temannya. Bolanya kecil, putih, membosankan, dan gampang hilang dibanding bola kaki yang besar dan berwarna-warni. Dasar keturunan chaebol, pipis masih di celana saja hobinya main golf.

"Tapi kalau main di sini berbahaya, Jaehyunie. Main di luar saja, oke?"

"Tidak mau! Di luar panas. Hyiaaaaaat!"

Jeno mengacak rambutnya. Kenapa anak zaman sekarang susah sekali untuk berteman dengan matahari? Berbeda dengan masa kecilnya dulu yang pagi siang sore tidak takut untuk bermain bola di lapangan atau petak umpet di taman terbuka. Jeno hanya bisa mendesah pelan, mencoba membiarkan Jaehyun beratraksi dengan tongkat golf plastik sambil mengawasi agar ayunan tongkat anak itu tidak sampai memecahkan kaca. Ngomong-omong, dari mana anak gembul ini mendapat tongkat golf mainan yang terlihat mahal itu?

Bola putih itu menggelinding perlahan setelah dipukul dengan tongkat golf dan mengenai kaki seorang anak yang sedang duduk sendirian di pojok ruangan, sibuk dengan pensil warna dan buku gambarnya. Anak itu terlihat berekspresi datar saja ketika ada bola kecil menyenggol pelan jemari kakinya yang terbungkus kaos kaki. Ia tetap fokus dengan coretannya di atas meja dan mengabaikan kehadiran Jaehyun yang sudah berdiri di hadapannya.

"Taeyong, kau sedang apa?" ujar anak itu seraya mengambil bolanya.

Yang dipanggil Taeyong hanya melirik sekilas di balik ekor matanya, dan kembali memainkan pensil warnanya. Jaehyun memiringkan kepalanya, memasang wajah bingung sambil memajukan bibirnya. Aura Taeyong yang memancar es seolah tidak menggetarkan Jaehyun untuk menyondongkan tubuhnya di meja, mengambil paksa kertas putih yang digambar Taeyong.

"Hm? Ini siapa?" Jaehyun mencoba menebak. Sosok dengan rambut panjang berwarna cokelat, memakai sweater pink dengan rok selutut hitam. Wajahnya digambar dengan bibir melengkung ke atas dan mata yang melengkung ke bawah. Jaehyun tidak tahu persis siapa yang digambar Taeyong, tapi energi yang menyeruak dari gambar itu seolah dapat membius Jaehyun untuk tersenyum balik kepada sang tokoh.

"Ya! Apa-apaan kau?! Kembalikan!"

"Tunggu ... ini cantik sekali. Siapa dia, Taeyong?"

"Bukan siapa-siapa! Kembalikan!" Taeyong beranjak dari tempat duduknya, tangannya sudah memegang erat kertas miliknya, berusaha menariknya.

"Pelit sekali sih! Aku 'kan cuma tanya," sebagai rasa tidak puas karena pertanyaannya tidak dijawab, Jaehyun tanpa sadar juga menarik salah satu sisi kertas.

"Cepat berikan! Ini punyaku!"

"Jawab dulu pertanyaanku!"

Sraak.

Kertas utuh itu kini telah menjadi dua bagian. Satu bagian di tangan Jaehyun dari figur perut sampai kaki, dan satu lagi di tangan Taeyong, menyisakan badan atas serta wajahnya.

Kedua anak itu terdiam. Jaehyun hanya termangu memandangi kertas di tangannya yang kini telah robek. Bagaimanapun ia tahu, gambar itu milik Taeyong. Begitu juga dengan siapapun yang digambar Taeyong, pastilah sangat berharga baginya karena Taeyong menggambarnya dengan sepenuh hati.

Ketika Taeyong mendapati gambarnya sudah tidak bersatu lagi, Taeyong menggeram. Yang dilakukan anak berambut hitam itu selanjutnya adalah mendorong Jaehyun hingga terjatuh. Jaehyun menangis sejadi-jadinya.

Namun, Jaehyun tahu, sakit yang dirasakan tubuhnya jauh lebih ringan dibanding sakit yang dirasakan hatinya. Perasaan menyesal karena telah merusak gambar Taeyong, dan perasaan sedih saat Taeyong marah dan kecewa padanya. Jaehyun yang masih balita pun tahu. Dan ia menangis karena perasaan bersalah.

"Jaehyunie! Kau kenapa? Kenapa menangis?" pekik Jaemin saat mendatangi Jaehyun yang masih terduduk di lantai. Tangisan keras Jaehyun mengundang semua perhatian guru dan anak di sana, tidak terkecuali Jeno yang tadi mengawasinya.

"Ayo, berdiri, sayang. Sudah tidak apa-apa," Jeno refleks mengangkat anak bertubuh gembul itu ke pelukannya, membiarkan kemejanya kusut karena cengkeraman tangan mungil Jaehyun, basah karena air mata Jaehyun.

Jeno mencoba melirik ke sekitar, instingnya bekerja begitu saja untuk mencari tahu penyebab murid kesayangannya menangis. Jeno mengetahui semua jenis tangisan anak kecil. Dan ia tahu bahwa tangisan Jaehyun bukan karena efek yang timbul setelah ia terjatuh, yang akan cepat selesai ketika ia digendong atau ditawari permen kesukaannya.

Jeno tahu bahwa Jaehyun sedang menangisi hatinya yang terluka. Jeno sempat melihat robekan kertas di tangan Jaehyun, dan saat ia melihat Taeyong sedang menatap kosong kertas robek di tangannya, pada waktu itulah Jeno mengerti.

Berbeda dengan Jeno yang tenang, Jaemin yang gampang panik tidak bisa menghadapi anak kecil yang menangis dengan elusan lembut di punggung seperti yang Jeno lakukan. Logika Jaemin terkadang lebih bermain ketimbang perasaannya, dan bertanya adalah hal yang sering dilakukannya. Maka, ketika Jaemin hanya menemukan sosok Taeyong yang terakhir kali bermain bersama Jaehyun, Jaemin dengan wajah masih setengah panik mulai mendatangi Taeyong.

"Taeyong-ah, kenapa Jaehyun menangis? Apa yang terja—,"

Tapi, Jaemin harus berhenti saat sebuah tangan menyentuh pundaknya dari belakang. Jaemin pun menoleh, dan mendapatkan Jeno yang menggeleng pelan dengan senyuman tipis. Jaemin tidak tahu persis apa yang coba disampaikan kekasihnya, tapi Jaemin tahu ketika Jeno sedang memohon kepadanya. Yang bisa Jaemin lakukan selanjutnya hanya menghela napas, dan membalik tubuh Taeyong perlahan ke hadapannya.

"Taeyongie sayang, mau main di taman?"

Taeyong tidak berkata apapun, pandangannya masih lurus tertuju pada kertas di tangannya. Saat ia merasakan sentuhan Jaemin yang begitu lembut di kedua pipinya, menyeka air matanya, Taeyong menyerah. Taeyong mengangguk pelan sebelum menubruk Jaemin dan mengalungkan tangannya di leher Jaemin, menangis tersedu-sedu di sana.


Hanya terdengar suara deritan yang bergesek-gesek dari besi ayunan di taman itu. Suaranya mengalun teratur bersamaan dengan sebuah kaki jenjang orang dewasa yang menggerakkannya pelan, dan seorang balita mungil di pangkuannya.

Jaemin tersenyum ketika melihat Taeyong yang tidak berhenti menatap kertas yang digambarnya. Sosok wanita dengan rambut panjang yang bergelombang itu membawa Jaemin pada sebuah de javu sentimentil.

"Yeoppo yo, apa dia ibumu, Taeyongie?"

Taeyong mengangguk tipis. Ibu jari kecilnya mengusap lembut wajah itu, yang digambarnya dengan senyum lebar. "Bogossippo yo, ibuku."

Jaemin memejamkan matanya, berusaha menekan genangan air yang akan keluar. Mendengar pengakuan lirih dari anak di pangkuannya membuat hati Jaemin teriris, karena pengakuan itu begitu dingin, sedih dan kesepian di saat yang bersamaan. Jaemin semakin mengeratkan pelukannya dari belakang, menyandarkan keningnya pada pucuk kepala Taeyong kecil.

"Ne, Taeyongie. Ssaem juga sangat merindukannya."

Suara Jaemin yang menahan isak terdengar sangat getir di taman itu.

Jeno menatap punggung kekasihnya dari pintu masuk sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Matanya memicing karena terpaan silau matahari terik yang sudah menyongsong ke tengah langit. Di bawah pohon buah mangga di taman itu, Jeno melihat kekasihnya yang memeluk Taeyong dengan penuh sayang. Jeno hanya bisa menghela napasnya, menggigit bibir bawahnya pelan.

"Apa Jaehyun sudah tidur?" tepukan halus di pundak Jeno membuat sang pemilik pundak menoleh, mendapatkan Mark yang sudah berdiri di sampingnya. Kedua matanya ikut memandang apa yang sedang dipandang Jeno di taman.

"Ya, baru saja. Aku minta Renjun menjaganya."

"Begitu."

Keduanya larut dalam diam, meski mata mereka fokus pada hal yang sama. Pada sosok Jaemin yang sedang tertunduk dan mengelus rambut Taeyong.

"Sudah satu bulan," Mark akirnya bersuara, "aku rasa Taeyong masih belum bisa terbiasa."

"Dia hanya anak kecil berumur empat tahun, hyung. Bagaimana kita memaksanya untuk mengerti? Apalagi ibunya pergi dengan cara seperti itu," Jeno menyahut datar.

"Ya, kau benar. Aku sampai sekarang juga tidak mengerti. Apa orang baik selalu pergi tiba-tiba?"

Jeno kembali menghela napasnya, menunduk lesu, seolah lehernya kehilangan tenaga untuk sekedar menopang tegak kepalanya. Bayangan seorang wanita muda yang dulu menjadi rekan kerja di taman kanak-kanak ini bermain begitu saja dalam benaknya. Sosok wanita cantik yang masih berumur 20-an, senyumnya adalah senyum malaikat yang mampu memikat siapa saja untuk ikut tersenyum. Parasnya yang begitu menarik, polos, dengan jiwa keibuan dan perhatian yang tinggi, membuat anak-anak di sini langsung menyukainya pada pandangan pertama.

Seorang wanita tangguh, yang menjadi panutan Jeno, Mark, Jaemin, Jisung, Renjun, Chenle dan Donghyuck di taman kanak-kanak ini, untuk mendidik anak dengan hati. Karena kita sedang merawat anak kecil, bukan bunga di kebun, begitu katanya terakhir kali, sekaligus nasehat yang Jeno jadikan acuan untuk yang kesekian kali.

Wanita berhati malaikat, dengan nama Joo Hyun, ialah ibu Taeyong. Yang meninggal karena tenggelam di sungai.

"Kau baik-baik saja?" Mark menepuk pundak Jeno lagi.

Jeno cepat-cepat mengusap wajahnya yang sedikit memerah, "Jangan khawatirkan aku. Taeyongie ... anak Joohyun-noona ... seharusnya kita bisa menjaganya lebih baik."

Mark mengangguk pelan, "Sudah seharusnya."

Semuanya tentu ingin melakukan yang terbaik untuk Taeyong, karena anak sekecil itu terlalu berharga untuk merasakan penderitaan dan kesedihan yang belum sepatutnya ia rasakan. Sejak kematian ibu Taeyong, ketujuh guru lelaki itu sepakat untuk membantu Taeyong semaksimal mungkin meringankan beban kesepiannya. Dan semuanya tahu bahwa sedikit dari mereka yang berhasil, karena bagaimanapun juga cara pikir orang dewasa tentu berbeda dengan tanggapan yang diterima oleh seorang anak balita.

Mereka hanya butuh sedikit bantuan. Sedikit keajaiban. Keajaiban yang mampu mengembalikan senyuman Taeyong dan menjadikan Taeyong utuh kembali, yang sebenarnya keajaiban itu sangat dekat dengan mereka. Mereka hanya belum mengetahuinya.


Jaehyun. Saat ini ia sedang tertidur pulas di jok khusus anak yang terpasang di samping kursi pengemudi. Sosok di belakang setir mobil hanya tersenyum ketika melihat balita berkulit putih yang sedang menggeliat sambil mungucek pelan sudut matanya.

"Papa?"

Suaranya sungguh menggemaskan, membuat pria yang bernama Suho dan dipanggil Papa itu tambah merekahkan senyumnya, "Iya, Nak. Kau sudah bangun?"

"Eung ... Mama ke mana?" tanya Jaehyun heran, tidak biasanya ayahnya yang menjemput sepulang sekolah.

"Mamamu di rumah istirahat. Ingat Mama sedang mengandung adikmu? Jadi, Mama tidak boleh capek," jelas ayahnya lembut.

Jaehyun hanya menggumam mengiyakan. Entah mengapa sosok ibunya yang mengandung mengingatkan Jaehyun pada kejadian siang tadi. Saat ia terpana melihat wanita yang digambar Taeyong. Jaehyun kecil mencoba menyimpulkan sendiri, apakah berarti wanita itu ibu Taeyong? Apakah wanita itu Joohyun-ssaem yang saat ini sudah berhenti mengajar seperti yang para ssaem-nya katakan?

"Apa kau lapar, Jaehyunie?" Jaehyun sedikit tersentak karena lamunannya terbuyar. Jaehyun menatap pria yang sama berkulit putih dengannya, lalu mengangguk semangat.

"Bagaimana kalau kita makan spagetti? Atau terserah padamu, kau mau apa, Sayang?"

"Spagetti saja, Pa. Jaehyunie sukaaa sekali spagetti."

"Baiklah, Jagoan. Ayo kita ke sana!" seru ayahnya tidak kalah semangat.

"Yaaay! Let's go! Broooom broooom!"

Sembari menikmati matahari sore di balik jendela mobil, Jaehyun bersenandung pelan yang diikuti oleh Suho. Mereka bernyanyi bersama, mengobrol bersama, dan bercanda bersama. Sampai pada saat mobil yang dikendarai ayahnya melewati jalan di pinggir sungai, mata Jaehyun menangkap seseorang yang cukup familiar baginya. Senandung Jaehyun berhenti seketika, diganti dengan teriakan kecilnya.

"Papa! Berhenti! Stop!"

Suho terkejut mendapati anaknya yang kelihatan begitu panik. Meskipun tidak tahu apa yang terjadi, pria berumur 30-an itu segera menginjak rem. "Jaehyunie, ada apa?"

Tanpa menjawab, Jaehyun kecil segera melepas seatbelt-nya, membuka pintu mobil dengan tergesa-gesa dan melesat keluar.

"Astaga, Jaehyunie! Tunggu!" Suho tergopoh-gopoh memutari sisi mobil saat ia berlari mengejar Jaehyun. Ternyata Jaehyun berlari tidak jauh dari badan jalan, ia berhenti di atas bukit berumput yang merupakan pembatas jalan dan sungai. Suho segera menghampiri puteranya, ia tertegun saat mendapati Jaehyun menerawang jauh ke arah sungai. Suho refleks mengikuti arah pandang anaknya.

Mata Suho perlahan membelalak. Bahkan tidak perlu mendekat pun, Suho tahu persis siapa sosok yang sedang berdiri dan menatap sungai. Ia adalah Taeyong, anak dari sahabat baiknya, Chanyeol. Taeyong, yang juga merupakan teman sekolah anaknya, Jaehyun. Pantas saja jika Jaehyun berteriak ingin turun.

Suho selama ini hanya mendengar cerita dari Chanyeol. Cerita bagaimana anak semata wayangnya, di usianya yang masih terbilang belia, menghadapi kematian ibunya. Bukan salah Taeyong dengan sifat suka menolongnya. Di waktu hujan deras, di saat air sungai mengalir dengan kencangnya, Taeyong yang baru saja menemani ibunya berbelanja tidak sengaja melihat anak anjing hampir tenggelam di sungai. Taeyong tidak bisa untuk tidak panik dan melepaskan begitu saja genggaman tangan ibunya, membuat ibunya memekik keras karena Taeyong dengan cepat berlari menyeberang jalan.

Tepat pada saat Taeyong mencapai tengah jalan raya, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Ia pasti tertabrak jika tubuh mungilnya tidak diraih oleh dua tangan ramping yang mendorongnya ke depan. Membuat si pemilik tangan ramping itu terbanting oleh tabrakan keras dari sebuah mobil sport, tepat di depan mata Taeyong.

Begitu cepatnya mobil itu melaju, mobil itu sempat oleng ketika pengemudinya mencoba menginjak pedal rem, dan berakhir menabrak pembatas jalan lalu melesat menuruni bukit pinggir sungai. Tubuh ibu Taeyong masih berada di atas kap mobil saat menuruni bukit, sebelum terpental dan tercebur ke sungai. Ibu Taeyong hanyut oleh aliran deras, dan baru ditemukan subuh besoknya.

Sejak saat itu, yang Taeyong tahu, ibunya tidak lagi ada. Taeyong mungkin belum mnegerti ketika foto ibunya dipajang di atas altar pemakaman. Atau ketika ia dipakaikan jas hitam dan banyak orang berkunjung ke rumahnya dengan pakaian serba hitam pula. Ia juga tidak mengerti ketika melihat sebuah kotak besar persegi panjang harus ditimbun di dalam tanah. Ia sungguh ingin bertanya apa isi kotak itu pada ayahnya. Tapi, Taeyong urungkan niatnya karena ayahnya terlihat begitu sedih pada hari itu.

Yang Taeyong kecil tahu, ibunya berada di dekat sungai yang ia pandangi saat ini. Karena di sungai ini adalah terakhir kali ia melihat ibunya. Ketika melihat ibunya terbanting ke sungai, ia percaya bahwa saat itu ibunya dengan berani menceburkan diri untuk menyelamatkan anak anjing yang hampir tenggelam. Ya, yang perlu ia lakukan adalah menunggu ibunya sambil menggendong anak anjing, pikir Taeyong selama ini.

Dan di sanalah Taeyong sekarang. Jaehyun melihat teman seusianya yang masih menggendong ransel kecilnya berjalan mondar-mandir di sepanjang pinggir sungai. Terkadang Jaehyun melihatnya berhenti, menatap sebentar air yang beriak-riak dan memancar kilau karena cahaya senja, kemudian melanjutkan berjalan lagi. Jaehyun samar-samar dapat melihat keringat di seluruh wajahnya. Pasti capek sekali, sudah berapa lama ia berjalan bolak-balik begitu, gumam Jaehyun dalam hati.

Pada suatu kesempatan, Taeyong berhenti dan berjongkok, memeluk lututnya yang mungkin kebas karena kecapekan. Jaehyun hanya melihatnya dalam diam. Ia berpikir Taeyong pasti berhenti kali ini. Tapi tidak. Taeyong hanya kelelahan, dan berhenti sejenak untuk mengumpulkan tenaganya. Taeyong kembali berdiri, berjalan di atas rumput yang tumbuh di sekitar pinggir sungai dengan kaki kecilnya. Terus seperti itu sampai sebuah suara menggaung memanggil namanya.

"Taeyong-ah! Astaga, Taeyong-ah! Ayah mencarimu ke mana-mana!"

Jaehyun memandang temannya yang saat ini sudah dipeluk ayahnya, dielus-elus kepala dan punggungnya. Jaehyun dapat melihat punggung Taeyong yang bergetar setelah itu, dan suara tangisnya yang menyedu pelan terbawa angin sampai ke telinganya.

"Papa, Taeyong kenapa, sih?" Jaehyun sungguh tidak mengerti.

Namun, Suho sungguh tahu. Ia hanya bisa menatap sahabat beserta puteranya di kejauhan dengan mata nanar. Selama ini, Suho hanya mendengarnya dalam cerita. Selama ini, Suho tidak benar-benar tahu bagaimana derita yang dialami Chanyeol dan Taeyong. Dan setelah melihat kejadian yang baru saja ia lihat dengan matanya sendiri, bagaimana akhirnya hatinya benar-benar mengerti, Suho berusaha keras agar air di sudut matanya tidak sembarangan jatuh membasahi pipinya.

Suho berlutut dan membalik pelan tubuh Jaehyun ke hadapannya, menatap lurus kedua mata anaknya dengan penuh kasih sayang dan berkata halus, "Jaehyunie, mulai sekarang, apapun yang terjadi jangan pernah membuat Taeyong menangis, ya?"

Jaehyun melotot terkejut, benaknya berkata bagaimana ayahnya tahu bahwa ia sudah membuat Taeyong menangis hari ini. Dan sebelum sempat membela diri, ayahnya sudah berujar lagi, "Kau harus peduli padanya, jangan pernah tidak mengacuhkannya, oke?"

Jaehyun memiringkan kepalanya, mengerjapkan kedua mata bulatnya, "Mengacuhkan itu apa, Pa?"

Suho terkekeh, tentu saja kosa kata itu terlalu sulit bagi anaknya yang masih empat tahun. "Pokoknya, apapun yang dilakukan Taeyong padamu, kau harus tetap menyayanginya. Meskipun kalian bertengkar, berebut mainan, atau saling mengejek, Jaehyunie harus bisa memaafkan Taeyong. Sayangi dia seterusnya, oke?" Suho mengelus belakang kepala Jaehyun lembut, membuat anak itu tersenyum manis dan mengangguk antusias.

"Siap, Papa! Serahkan pada Jaehyunie!"


Sejak saat itu, sedikit demi sedikit, tanpa ia sadari, kehidupan Taeyong berubah karena determinasi Jaehyun yang bahkan tidak ia ketahui. Jaehyun selalu mengikutinya saat ia bermain di taman sendirian. Jaehyun selalu mengekorinya saat ia membaca di perpustakaan sendirian. Dan Jaehyun selalu mendekatinya ketika ia berada di kelas. Taeyong tentu saja risih bukan kepalang. Anak kurang ajar yang telah merobek gambarnya tempo hari tiba-tiba bersikap sok ramah kepadanya.

Taeyong selalu berteriak kepada Jaehyun untuk tidak mengikutinya, menghardiknya dengan kata-kata pedas, bahkan memukul kepalanya. Namun, entah anak itu kebanyakan makan gula atau apa, Jaehyun tetap keras kepala membuntutinya.

Seperti saat ini, pada waktu pelajaran menggambar yang diampu oleh Jeno. Jaehyun sengaja duduk di samping Taeyong. Taeyong yang sudah gerah, hanya bersikap mendiamkan dan tidak peduli. Perhatiannya terpusat penuh pada kertas putih di mejanya.

Jeno menyuruh mereka untuk menggambar apapun yang mereka suka, tapi Taeyong sama sekali tidak bisa memikirkan apapun. Menggambar adalah hal yang paling digemarinya, dan baru kali ini ia kehilangan ide. Bukan hanya itu saja, ada sedikit trauma yang menggerogoti hatinya. Takut jikalau gambar yang susah payah ia buat robek lagi. Salahkan bocah gendut yang saat ini duduk di sampingnya.

"Taeyong-ah, kau menggambar apa?" tiba-tiba saja Jaehyun mendesakkan tubuhnya di samping Taeyong, membuat Taeyong semakin gerah. Taeyong cepat-cepat menutupi kertas gambarnya dengan kedua lengannya.

"Minggir sana! Jangan dekat-dekat!"

"Ayolah, sedikiiit saja, gambar Taeyong 'kan pasti bagus-bagus," Jaehyun memelas.

"Tidak!"

Jaehyun tetap keras kepala. Ia mencoba meraih paksa kertas Taeyong lagi. Jaehyun memang kuat, dengan sekali angkat ia berhasil merebut kertas yang disembunyikan Taeyong di bawah tubuhnya.

"YA! Kembalikan!"

Jaehyun mengangkat tinggi-tinggi kertas yang dipegangnya. Matanya memicing, dahinya berkerut. Tidak ada apapun di sana. Putih bersih, hanya kertas kosong.

Taeyong kesal dan panik setengah mati, malu juga. Karena sedari tadi Taeyong tidak bisa menggambar apa-apa. Bagaimana kalau Jaehyun mengejeknya habis-habisan?

"Taeyong-ah! Apa-apaan ini?!" –'tuh kan.

"Kenapa gambarnya bagus sekali?"

Eh?

"Salju putih yang menutupi seluruh halaman?"

Hah?

"Benar-benar imajinasi yang luar biasa."

Apa?

"Gambar ini benar-benar hebat, Taeyong-ah!"

Taeyong dengan mata bulat indahnya terpana. Ia masih melebarkan matanya ketika Jaehyun mengangkat jempolnya tinggi-tinggi ke udara. Taeyong melihat senyum Jaehyun yang merekah, yang entah mengapa menghadirkan kehangatan yang menyelimuti hatinya. Taeyong tahu, bahwa Jaehyun benar-benar tulus memujinya. Entah Taeyong tahu dari mana, yang penting semuanya terasa begitu jelas ketika ia menatap Jaehyun yang balik menatapnya. Kedua mata Jaehyun yang menatap penuh kasih kepadanya.

Tatapan itu sama, dengan sosok yang begitu ia rindukan.

Tatapan ibunya.

"Jeno-ssaem, lihat! Taeyong menggambar salju di halaman rumahnya! Indah sekali, ya!"

Jeno yang sedari tadi memperhatikan, hanya mengangguk dan tersenyum penuh haru kepada mereka berdua. "Eoh! Tentu saja, Jaehyunie! Taeyongie memang hebat dalam menggambar, 'kan?" ucapnya sambil mengusak rambut Jaehyun.

"Eung! Teman-teman, lihat! Taeyong baru saja menggambar taman salju, lho!" Jaehyun berkeliling kelas dan memperlihatkan kertas di tangannya pada teman-temannya. Yang anehnya disambut positif pula oleh seluruh penghuni kelas.

"Wah! Itu sih kutub utara!"

"Bukan! Pasti kutub selatan!"

"Tentu saja itu Alaska!"

"Afrika!"

"Ya, di Afrika mana ada salju?! Adanya gurun pasir, babo."

Semuanya tertawa dengan celotehan yang dilontarkan teman-teman mereka. Jeno juga ikut tertawa mendengar kalimat-kalimat polos dan lucu dari para muridnya. Begitu juga dengan rekan guru lain yang mengintip mereka di balik pintu.

Taeyong masih berdiri kaku di sana. Tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Namun, melihat senyum dan tawa di wajah teman-temannya, membuat Taeyong tidak bisa menahan otot-otot rahangnya yang perlahan bergerak, menyimpul senyum tipis yang memesona. Jaehyun melirik sekilas Taeyong yang tersenyum. Di dalam hatinya ia begitu merasa senang melihat senyum Taeyong yang sudah sekian lama tidak ia lihat.

Jaehyun kemudian mengambil kertas gambarnya sebelum ia menyembunyikannya di belakang tubuhnya.

"Taeyong-ah, aku punya hadiah untukmu," kata Jaehyun bersemangat.

Taeyong mengangkat alisnya, ia tidak sedang berulang tahun atau apa, "Hadiah?"

"Iya! Kau mau menerimanya kan?"

Taeyong sejenak ragu, tapi akhirnya mengangguk sebagai persetujuan. Kemudian ia melihat Jaehyun tersenyum, lebar sekali sambil memejamkan matanya yang hitam. Wajah Jaehyun yang tersenyum lalu berganti dengan sebuah kertas gambar yang tiba-tiba terangkat di depan wajahnya. Mata Taeyong sekali lagi membulat tidak percaya.

Di hadapannya kini sudah tersaji sebuah kertas dengan gambar sosok seorang wanita di sana. Seorang wanita dengan rambut ikal panjang, mengenakan kaus lengan pendek feminin dan rok di bawah lutut. Wajahnya digambar dengan sebuah senyum menganga yang cantik sekali. Taeyong berkaca-kaca seketika. Tanpa perlu ia lihat lebih jauh, Taeyong tahu bahwa itu adalah gambar Joohyun-ssaem. Gambar ibunya.

"I-ini ...," ujar Taeyong setengah terbata.

"Eung! Joohyun-ssaem yang saaangat cantik! Apa kau suka Taeyong-ah?" Jaehyun berlompat kecil kegirangan sambil menunggu jawaban Taeyong.

Taeyong meraih kertas gambar itu pelan-pelan. Menundukkan kepalanya dan memandang sosok yang tergambar di kertas lekat-lekat. Bayangan wanita cantik berbaju ungu muda dan rok hitam terngiang begitu saja di kepalanya. Taeyong ingat betul semua pakaian yang dipakai ibunya, dan baju ini dipakai ibunya untuk mengajar sehari sebelum tertabrak mobil. Taeyong benar-benar tidak menyangka kalau Jaehyun mengingatnya. Diremasnya kertas itu pelan, lamat-lamat jatuh buliran-buliran bening di atasnya.

"Mm," kata Taeyong sambil mengangguk pelan, "bagus sekali ... cantik sekali ... aku sangat suka ...,"

Taeyong tidak begitu tahu apa yang terjadi setelah itu. Yang ia ingat, tubuh gembul Jaehyun sudah menghambur kepadanya dan memeluknya erat-erat. Dan tawa senang Jaehyun mengalun nyaring di telinganya. Tanpa ia sadari, kedua tangannya mencengkeram kaus belakang Jaehyun, memeluknya balik. Melanjutkan tangisan haru sekaligus sedih di pundak Jaehyun. Jaehyun seolah merasa tak terganggu dengan hal itu, dan tetap mengoceh menceritakan bagaimana sulitnya menggambar Joohyun-ssaem yang begitu ia sayangi.

"Taeyong! Aku juga punya hadiah untukmu!" Taeil dengan semangat mengangkat gambarnya di hadapan Taeyong yang masih dipeluk Jaehyun, dan Taeyong lagi-lagi tidak percaya. Gambar ibunya lagi di kertas lain.

"Minggir! Aku juga punya sesuatu untuk Taeyong! Lihat, Taeyong! Joohyun-ssaem yang aku gambar cantik, 'kan?" Hansol dengan teganya mendorong tubuh Taeil ke samping dan memperlihatkan gambarnya di depan Taeyong pula.

"Hei! Punyaku juga cantik! Paling cantik malah!" sergah Doyoung.

"Mana ada! Masih cantik punyaku! Iya, kan, Taeyongie?" kali ini giliran Ten yang menyela di tengah Hansol dan Doyoung. Tersenyum lebar merasa bangga dengan gambarnya sendiri.

"Em... this is for you," dan Johnny dengan malu-malu mengangkat kertas gambarnya sambil memalingkan muka. Lucu sekali seolah ia sedang menyatakan cinta.

"Taeyongie! ! #%$^&**(&)!" meskipun tidak bisa berbahasa Korea, Kun tetap berusaha menyampaikan gambarnya pada Taeyong, membuat Taeyong tersenyum indah dengan bibir tipisnya.

"Taeyong ... ini ... mm ... %#&$*(()&^^!" dan membuat Taeyong tertawa kecil karena Winwin dengan bahasa tubuhnya yang menggemaskan saat ia menyerahkan gambar itu pada Taeyong.

"Minggir kau, Jaehyunie! Kau ini kan gendut, kasihan Taeyong yang kau peluk terus! Tubuhnya bisa retak nanti!" Yuta mencoba memisahkan Jaehyun dan Taeyong dengan tangan kurusnya. Ia kemudian membawa Taeyong ke sisi lain lalu tersenyum manis di hadapannya.

"Tadaaa! Aku juga punya, Taeyongie! Punyaku jelas lebih cantik dibanding mereka, percaya deh," sambil mengangkat kertasnya, Yuta berkata dengan berapi-api, membuat Taeyong bingung harus bagaimana dan hanya menerima kertas pemberian Yuta canggung.

"Apaan sih, Yuta jelek! Taeyong ini punyaku!" Jaehyun merebut Taeyong dengan meraih pundaknya.

"Enak saja! Taeyongie itu tidak suka padamu gara-gara kau gendut!"

"Mwo?! Coba bilang sekali lagi, kutu ayam!" seru Jaehyun tidak terima sambil mendorong kedua bahu Yuta dan mendorongnya ke balakang.

"Gendut! Dasar gendut jelek!" lawan Yuta tidak mau kalah dan mendorong balik tubuh Jaehyun ke belakang.

"Yeeey! Berantem! Berantem!" sontak teman-temannya bersorak dan mengelilingi kedua anak yang sedang dorong-mendorong itu. Ruangan riuh oleh suara anak-anak yang berteriak beserta tepukan tangan.

Di balik pintu, beberapa lelaki dewasa diam-diam menyembulkan kepala mereka bersamaan, dan tidak kuasa untuk tidak menahan senyum lega. Salah satu diantaranya bahkan sudah berkaca-kaca.

"Jangan menangis. Aku tidak mau kekasihku satu-satunya jadi cengeng karena kurang dipeluk," Jeno menghardik tiba-tiba, membuat Jaemin terperanjat kecil saat tubuhnya sudah disenggol pelan oleh kekasih bermata sipitinya itu.

"Apaan sih, Jeno-hyung? Aku tidak menangis," kata Jaemin protes setengah manja.

"Dasar pipi gembul! Itu air mata di kedua sudut matamu apa, Sayang?" Jeno mencubit kedua pipi Jaemin dengan gemasnya.

"Jeno-hyung! Pipiku ini tirus! Sudah lepaskan, sakit tahu!"

"Astaga, ini masih pagi dan beraninya kalian bermesra-mesraan di depan publik begitu," –Chenle.

"Cari kamar sana, jangan sampai kelakuan mesum kalian dicontoh anak-anak," –Donghyuck.

"Bikin sakit mata," –Jisung.

"Dan perut mulas," –Renjun.

"Besuk akan aku pasang plakat 'Dilarang Pacaran'," –Mark.

Jeno hanya menjulurkan lidahnya dan semakin mendekat pada Jaemin dengan mengalungkan lengannya di sekeliling pinggang Jaemin, membuat Jaemin tersipu malu, membuat yang menonton tambah memasang rupa malas dan jengah.

"Ngomong-omong, Jeno-hyung, apa kau yang menyuruh mereka menggambar Joohyun dan menghadiahkannya pada Taeyongie?" pertanyaan Donghyuck hanya dijawab dengan gelengan pelan oleh Jeno. Semua tentu saja mengernyitkan alis, dari mana mereka mendapat ide seperti itu, semulia itu. Mungkinkah itu semua karena kepolosan mereka? Atau memang keajaiban sudah menghampiri mereka?

Sayup-sayup di tengan ruangan, sebuah suara halus muncul untuk menghentikan gulat kecil di antara Jaehyun dan Yuta. "Mm ... teman-teman,"

Semua menoleh pada Taeyong, menatapnya antusias. Yang ditatap masih menyiratkan mata yang sayu dan kabur karena sisa genangan air matanya. Sesaat setelah itu, Taeyong mendekap semua gambar yang diterimanya di dadanya. Memeluknya erat seolah itu adalah wujud ibunya sendiri. Dan tersenyum bak malaikat kecil sambil berujar, "Terima kasih banyak, ya. Kalian memang yang terbaik."

Semuanya tidak bisa untuk tidak ikut tersenyum. Mata mereka diam-diam menyorot sebuah kelegaan yang amat sangat. Terutama di mata Jaehyun.

"Taeyong-ah, mulai sekarang kita main sama-sama, ya. Dan pokoknya apapun yang terjadi, aku sayang Taeyong," lagi-lagi Jaehyun menenggelamkan tubuh Taeyong ke dalam pelukannya.

Dan Taeyong mengerti sekarang. Kenyataan bahwa semua temannya begitu menyayangi dirinya, sepenuh hati menghiburnya, semua itu tersampaikan dan diterima dengan indah oleh hati kecil Taeyong. Bagaimana sosok ibunya tidak pernah benar-benar menghilang dari hatinya, bahkan dari hati teman-temannya. Taeyong pikir selama ini bahwa hanya ia yang merasa kesepian, merasa sedih seorang diri. Tapi, hari ini semua anggapan itu hilang sudah. Ia punya teman-teman yang sangat menyayangi dirinya, dan bagaimana teman-temannya juga tidak pernah melupakan sosok ibunya.

"Aku juga sayang Taeyong!" –Doyoung.

"Aku juga!" –Taeil.

"Aku juga!" –Ten.

"Aku yang paling sama Taeyongie!" –Yuta.

"Tidak bisa, pokoknya aku!" –Hansol.

"Mm... me too." –Johnny.

"Wo ai ni, Taeyongie." –Kun.

"I love you, Taeyong!" –Winwin.

"Ne, ne. Kita semua sayaaang sekali pada Taeyongie, iya kan, anak-anak?"

"Ah, Mark-ssaem ikut-ikutan saja!"

"Tidak apa-apa, dong, Renjun-ssaem juga sayang Taeyong!"

"Jeno-ssaem dan Jaemin-ssaem juga lho!"

"Apalagi Jisung-ssaem, sayaang sekali dengan Taeyongie!"

"Yah, meskipun aku lebih sayang Kun dan Winwin, tapi Taeyongie juga nomor satu kok untuk Chenle-ssaem!"

"Aish, dasar kau tidak jelas. Yang paling jelas ya sayangnya Donghyuck-ssaem, iya kan, Taeyongie?"

"Hahaha kalau begitu ayo kita bilang sama-sama, teman-teman dan semua ssaem juga!" seru Jaehyun dengan mata berbinar-binar dan kedua tangannya yang terangkat ke atas.

"Yaaay! Hana...dul...set... SARANGHAE, TAEYONGIE!"


THE END


This oneshot would like to thanks to: iklan (hahaha), Chicken soup, Bleach anime

mybestbaetae for the idea :*


A/N:

Hahaha, semoga suka sama AU kaya gini, ya! Thanks a lot buat mybestbaetae yang sudah ngasih ide, maaaaaf banget udah php karena penulisan yg lamanya minta ampun, emang dasar author abal2 sayanya. Semoga suka yes!

Authors, jangan lupa hashtag-nya waktu posting JaeYong di hari Rabu dan Sabtu ya! ^^

Readers, yuk di favs, fols, and review! Terima kasih sebelumnya :*

Happy #SaturdaywithJaeyong

P.S. there will be epilogue, perhaps.