Author(s): Meonk And Deog.
Title: Somebody Else.
Rate: M.
Pairing: Donghae/Hyuk Jae/HaeHyuk.
Warning: Boys Love/Yaoi, possibility of typo(s), this fiction contains mature scenes that not adviced for minors.
Disclaimer: We own nothing but our own ideas. We own no characters in this fiction. Don't do bad thing, plagiarism is still illegal
Summary: "Hyuk Jae, ketahuilah, aku benci sekali melihatmu berdekatan dengan pria lainnya. Aku tidak ingin tubuhmu, tapi aku gila sekali sewaktu aku melihatmu dengan orang lain. Mungkin kekejaman itu menyangkutpautkanmu juga ke dalamnya, maksudku, hatiku yang berubah-ubah disebabkan oleh dirimu sendiri."
"I don't want your body but I hate to think about you with somebody else. I don't want your body but I'm picturing your body with somebody someone you love? Get someone you need? Fuck that, I can't give you my soul."
Somebody Else — the 1975.
Donghae POV.
Sungguh, aku mengingat kata-katanya yang tidak terbuka itu, yang mana akhirnya menimbulkan serentetan keributan. Dan kepelikan itu berujung kepada berakhirnya hubungan kami. Sebagian dari ungkapan perasaan yang menyakitkan itu adalah kedengkiannya kepadaku, dia bilang aku tidak berperan sebagai seorang pacar yang wajar karena diantara kami hanya ada ketegangan, ketegangan ini diawali kurangnya percaya diriku untuk mengambil alih ucapan Hyuk Jae. Dan Donghae yang pengecut bertanggung jawab atas kemarahannya. Aku tidak tampak seperti siapapun dalam hubungan kami, aku hanyalah orang yang dikencani Hyuk Jae dan berarti kosong di hidupnya, tidak ada pesona spesifik maupun kelangkaan yang hidup. Sepertiga dari ini semua, maksudku putusnya kami adalah salahku dan sisanya mungkin karena aku cemburu.
Lucu sekali, darimana dia mendapatkan konsep yang kurang lebih sangat bangsat dan mengada-ada? Akulah yang menghubungkan kekacaun menjadi keredaan, aku yang telah berangsur-angsur menenangkan segala sesuatu dari rendahnya kontrol diri Hyuk Jae. Aku yang selalu memotivasi diriku supaya tidak membalas kata-kata kasarnya serta setiap dia beralih dengan keinginan putusnya, demi Tuhan, hanya mengakhiri hubungan yang dia ketahui.
Mula-mulanya dia akan tertekan akibat stres, kemudian dia berpindah hati dari mencintaiku menjadi menyukaiku, mencambuk semangatku menjadi setengahnya. Dia akan melalui masa-masa sulit dimana hatinya bekerja terlalu berat buat hanya melihatku seorang, dia mengusahakan dirinya menjadi lebih keji dari hanya sekedar mengusirku dari rumahnya. Dan karena aku sudah menceritakan rumah idaman yang layak buat ditinggali kami berdua, aku tidak akan meninggalkannya begitu saja. Mengenai itu juga, aku tidak gampang putus asa.
Aku tidak menelponnya selama sarapan. Dia bekerja sampai larut malam, aku cukup yakin buat tidak menganggu paginya yang pekat. Dia sendiri ternyata memiliki tekanan hidup yang lebih rendah dari diriku karena Hyuk Jae adalah jenis orang yang tidak mau ambil pusing. Dan itu membuatku membutuhkan waktu yang cukup lama buat terbiasa bahwa Hyuk Jae memang hanya pernah selama beberapa saat mencintaiku. Aku tidak lebih dari seorang mantan pacar yang belum sah ditinggalkannya. Aku sudah kehilangan motif-motif bijakku, kalau dalam beberapa waktu ini aku terbangun dan melihat kehadirannya (aku ditinggali dengan kekesalannya selama dua minggu hingga menimbulkan trauma yang hebat) lalu aku menyadari jika aku seorang diri dengan pesan maaf yang belum terbalaskan. Menghilangkan Hyuk Jae dari sisiku, aromanya, ciumannya membutuhkan usaha yang keras. Karena toh aku juga kehilangan reaksi besar dari tubuh Hyuk Jae. Dia tidak bersikap emosional sebesar aku menangisi kepergiannya, dia meninggalkan bunyi beep di tengah malam yang mencungkil perasaan gagalku, dan dia memulai hari-hari selanjutnya yang terasa seperti neraka buatku.
Aku kecanduan dengan suaranya jadi aku menelponnya terus, dia akan mengalihkan panggilanku menjadi kotak suara tetapi aku akan mengjangkaunya dengan cara lainnya. Yaitu dari meninggalkan panggilan menjadi meninggalkan pesan, datang ke rumahnya, memblokade keinginan Hyuk Jae buat melupakanku. Aku juga sudah mempunyai cara yang mengagumkan. yakni menggunakan daftar yang berisi cara-cara yang bisa kumanfaatkan sebaik mungkin agar Hyuk Jae kembali lagi. Tetapi kemudian, secara menyakitkan Hyuk Jae melegalkan semua kegagalanku.
Dia dua minggu lalu bertukar nomor ponsel dengan seorang pria berusia tiga puluh dua tahun, bahkan sebelum pria itu menanyakan nomornya, aku sudah merasa waspada. Dia tampak tiga puluh persen lebih bersahaja dari sejumlah mantan-mantan kekasih Hyuk Jae (aku tidak akan mengelompokkan diriku ke dalam daftar nama orang bejat itu sebab dengan berat hati kami belumlah resmi berpisah). Dan Hyuk Jae kemudian menawarinya puding dari café kopi sebelah kantornya, dia akan terpakau dengan suara pria itu yang lengket. Aku merasa tercabik-cabik. Pria itu mengutarakan pujian yang belum pernah kusampaikan, mereka beradu argumen dengan cara yang asyik, bertukar pendapat tentang politik luar negeri, blokade demo di Arizona setelah itu memasuki sebuah Gym. Akan kuulangi lagi, mereka berkencan di sebuah Gym.
Sialan! Tetapi di minggu berikutnya, Hyuk Jae berkenalan dengan seorang Jurnalis payah dan aku merasa lebih ragu dari sebelumnya. Mereka berkenalan lewat teman Hyuk Jae, pada akhirnya mereka berdua sama-sama tertarik dengan beberapa kebetulan yang disebabkan oleh dunia yang sempit ini. Mereka berdua baru saja melalui patah hati yang menyakitkan. Patah hati. Tunggu dulu, Hyuk Jaeku tidak pernah ada di kategori patah hati itu. Jangan ungkapkan kebusukan itu ke wajahku. Akulah yang seratus persen merasa dirugikan oleh kebejatannya.
Mereka ketemuan di toko buku, tetapi karena pria itu kurang banyak bicara, Hyuk Jae jadi tertarik dengan seorang Pustakawan disana. Dan aku tidak bisa menyesuaikan kekhawatiranku yang berjumlah secuil dengan kesukaan Hyuk Jae yang lain. Untungnya, dalam dua bulan terakhir dia tidak sedang tidur dengan siapapun. Aku berani jamin itu.
Aku menghela nafasku, mengawasi Hyuk Jae dari sini. Keramaian di kelab mengurangi jarak pandangku yang jauhnya sepuluh meter darinya. Dia tengah bicara dengan seorang wanita berambut perak dan berkelakuan manis. Hyuk Jae memesan dua gelas bloody mary untuknya dan wanita itu. Dari sini dia tampak seperti seorang konsultan managemen yang sukses dan berduit. Wanita itu tertawa sebelum memalingkan pandangannya, dia melihatku, kami menatapi keluguan masing-masing tetapi dia kembali lagi ke wajah Hyuk Jae. Hyuk Jae menjauhi wanita itu sebab wanita itu sudah mulai gegabah akan kata-katanya. Kupikir dia mengomentari rambut Hyuk Jae, sehingga Hyuk Jae berpaling darinya dan berdansa dengan seorang pria. Dia tidak terlampau tinggi, sekurang-kurangnya dua kaki. Pria itu berprasangka buruk terhadap Hyuk Jae, dia kira Hyuk Jae adalah seorang bujangan nakal. Tetapi sesudah lima detik memandanginya, Hyuk Jae persisnya bukanlah seorang pengidap sakit menular melainkan pria kesepian yang tidak tahu diri dan suka kelayapan.
Mereka berbisik-bisik, memberikan panggilan sayang. Aku ingin segera menghantam wajahnya, menjauhkan bibir pria itu dari telinga Hyuk Jae dan memperingatinya. Oleh keganjilan dari mataku, Hyuk Jae jadi menyadari keberadaanku. Dia menatapku menggunakan tatapan yang sama seperti dua minggu lalu sewaktu aku berakhir di rumahnya saat aku mabuk. Kurang lebih itu adalah pandangan kebencian yang memaki eksistensiku. Dia berteriak ke wajahku, menyuruhku pulang dan tekanan di suaranya bersifat agresif. Aku berlapang dada dengan kemarahan Hyuk Jae, aku berakhir di depan pintunya dan dia terkurung disana, di balik dinding itu. Aku secara serius menyalahkannya yang tidak tahu diuntung. Aku berteriak-teriak hingga seorang tetangga Hyuk Jae mendatangiku kemudian menelpon penjaga buat mengusirku. Kudengar Hyuk Jae berterimakasih kepadanya.
Aku tidak lagi kembali kesana karena orang-orang telah mengenaliku, aku pastilah adalah orang yang dingin dan maniak yang sedang mengejar-ngejar Hyuk Jae. Jadi karena aku tidak mau mengurangi imejku yang sudah bobrok ini, aku berhenti berpikir mengenai konsep untuk kembali lagi dengan Hyuk Jae menggunakan cara yang kusebut sebagai pemaksaan. Akan kubuktikan kepadanya, bahwa para pria dan wanita yang sedang dikencaninya sekarang adalah sekumpulan bedebah yang memiliki obsesi kepada penampilan fisik dan takut komitmen. Mereka merupakan faktor yang paling dibenci Hyuk Jae. Lebih dari itu, siapa lagi yang bisa menerima dirinya selapang dada Donghae? Yang sama sekali tidak menganak tirikan pekerjaan Hyuk Jae, melainkan mengagung-agungkannya. Siapa lagi yang tidak menghina kepiatuannya, dan sama sekali tidak merasa dirugikan oleh kebiasaannya memaki pasangannya ketika dia mabuk? Untuk itu seharusnya dia lebih bersyukur dari saja tidak ada yang bisa menggantikan posisiku yang terdahulu. Dan dalam tolak ukur manapun, aku adalah pria yang bertanggung jawab dan cocok buatnya, serta tabah.
Aku memijat keningku, Jung Soo menatapku dengan pandangan yang kotor. Dia pula berhati-hati dengan gaya bicaranya, dia menatapku dan Hyuk Jae bergantian, setelah itu menepuk pundakku sehingga aku terlonjak bangun. Dia menawariku rokok, lalu berkata, "bajingan itu memang kurang ajar." Tersirat nada-nada yang menanggalkan kegetiran jiwa. Kalaupun dia berniat menghiburku, ini bukan prinsip yang benar. Sungguh salah rasanya menikmati musik bersama Jung Soo yang sekarang jadi membenci Hyuk Jae.
Dia terheran-heran lalu menggelengkan kepalanya seolah dia tidak menginginkan kemarahanku. "Donghae, aku bisa pukul dia, kau itu bodoh."
Aku menggelengkan kepalaku, dengan penuh tekad menatap matanya. "Kalau dia perlu dipukul, aku yang bakal memukulnya."
Jungsoo tertawa, berpaling menatap Hyuk Jae lagi, tetapi dia tidak menemukan Hyuk Jae. Aku takut memikirkan kemana perginya dia, namun pria yang bersamanya tadi masih berada disekitaran sini jadi Hyuk Jae mungkin pulang karena mereka tidak serasi. Jung Soo menajamkan pandangannya ke pintu keluar kemudian menghela nafas. Wajahnya sejengkal lebih marah dari sebelumnya. Baiklah, ada berbagai macam kemungkinan, dari yang paling memprihatinkan dan paling melegakan. Kemungkinan yang masuk akal. Hyuk Jae menemukan teman tidur setelah dua bulan, tetapi karena aku merasa sangat konservatif dengan mencemburui siapapun wanita dan pria itu, aku melenyapkan perasaan sentimental yang pribadi ini. Hyuk Jae tidak melakukannya dan Jung Soo pun menyadari jalan pikirku.
Jung Soo mengacak rambut, duduk lebih dekat, mulai berpikir lebih dalam. Dia tidak bicara satu patah kata pun, dia mulai mengingat kebrengsekan Hyuk Jae hingga otomatis dia mendesis begini, "kau akan sangat bermurah hati kalau kau bilang dia impoten, Donghae!"
Aku menatap dua gelas bir di depanku berupaya buat tidak tertawa. Aku memasang-masangkan kebaikan Hyuk Jae bersama kejalangannya, yang bisa dipercaya Jung Soo juga. "Aku yang salah, seharusnya aku bilang sesuatu buat mencegahnya."
Jung Soo menatapku dari senti kakiku menuju kepala, bersikeras bahwa tidak ada yang salah dengan otakku. "Kau bodoh Donghae, tapi kau bukan orang yang brengsek. Dialah orang itu."
Aku mengambil gelas dan menekannya, memutar-mutarnya sebentar, akhirnya merasa tersinggung juga. "Kenapa kau pikir putus cinta itu mudah?"
Jung Soo tertawa, tawa yang menyiratkan sakit hati. "Aku sudah melampaui perceraian, yang mana yang lebih mudah dari putus cinta Donghae?"
"Maafkan aku, Jung Soo." Dia tidak terhibur dengan kata-kataku, oleh sebab itu aku bicara lagi. "Tetapi aku tidak mau kehidupan yang pelik. Aku tidak mau muak cuma karena dia berubah drastis dari kencan pertama kami. Kupikir dia satu-satunya."
Jung Soo pada akhirnya merasa lebih kecewa padaku, "kau pikir orang yang minta putus darimu setelah mendapatkan panggilan yang kurang mengenakkan, maksudku dari ibumu, dan kita sudah tahu manis getirnya hubungan sepasang pria lalu dia berteriak kepadamu, menyuruhmu memilih Hyuk Jae atau ibumu, adalah orang yang kau sebut satu-satunya?" tanya Jung Soo. Senyum lembutnya yang tadi musnah sudah, dia mengalihkan sebuah keramahan menjadi kekuatan fisik dan ingin segera membogem wajahku. "Aku akan marah padamu Donghae bila kau masih menghubunginya. Kau memang harus melakukan sesuatu, tetapi tidak dengan bersama Hyuk Jae. Jangan buat kekonyolan lainnya."
Aku malas berdiskusi lagi, aku butuh dia, secara seksual dan mentalku. Aku sudah berusia nyaris tiga puluh tahun, itulah yang paling penting. Bagaimana aku bisa mencari teman tidur lainnya dan pasangan-pasangan esensial yang bisa kuajak kencan, kencan yang berumur kurang lebih tiga bulan lamanya? Bahwa aku tidak lebih dari Hyuk Jae yang pintar bicara, yang tidak semenarik dirinya serta tidak punya humor baik dan aku selalu merasa terancam oleh ketidakberadaan orang-orang di sekelilingku, singkatnya aku adalah si pengecut. Aku sudah malas bercukur, menata rambut, berpenampilan modis, jadi darimana dari ini yang bisa bisa kusebut tampan dan rupawan? Kecuali sejumlah cara kreatif buat mengembalikan Hyuk Jae lagi ke hidupku, tidak ada yang cerdas dari diri Lee Donghae.
"Kau juga harus bercukur, maksudku, seksi sih pria yang punya jenggot, tapi kau seperti kambing gunung yang sudah puasa lima hari. Dan jangan mengeluh lagi, move on Donghae."
Aku tertawa dibuatnya.
.
.
.
Aku lelah sekali dengan fantasi itu, fantasi yang menyangkut pautkan kepulihan kami, dimana Hyuk Jae datang ke hidupku lagi, mengetuk pintu rumahku, sikat giginya yang berwarna merah ada di kamar mandi. Dan responnya yang lucu-lucu menggemaskan sewaktu aku mencela caranya mengeringkan rambut. Tidakkah ini kedengaran lebih buruk dari putus asa? Kalau aku menolak seluruh panggilan pria yang ingin bersamaku dan hanya memikirkan Hyuk Jae sepanjang hari. Bahkan ketika aku sampai di rumah, menggantung jaket, mencuci muka dan siap tidur. Bahkan ketika aku ingin melupakan wajahnya, dialah satu-satunya orang yang datang ke mimpiku, yang paling kuharapkan keberadaannya, karena jujur saja kami adalah pasangan yang serasi. Jadi apabila pasangan yang serasi ini putus, bukankah harusnya Hyuk Jae merasa lebih tidak enak hati dari diriku?
Aku melirih, dia pernah cerita padaku bila aku adalah satu dari segelintir orang yang dapat membuatnya tertawa sebab aku bodoh bicara. Dia bilang dia akan menyiapkan hadiah kejutan di diulangtahun ke tiga puluhku. Kejutannya berisi perjalanan indah ke suatu tempat yang kaya pesona alami. Hanya saja rencana tidak pernah berjalan sempurna, aku putus dengannya bahkan sebelum tahun baru datang. Ironis sekali.
Aku kembali ke tempat tidurku, mengganti baju dan mematikan lampu. Besok aku akan mengunjungi ibuku agar tidak ikut campur lagi. Kami akan mengisi sepanjang hari dengan perdebatan sampai Nyonya Lee menyerah padaku. Hyuk Jae adalah contoh terburuknya, aku tidak mau memulai kegagalan-kegagalan lainnya. Aku sampai dimomen dimana aku nyaris terlelap tidur, tetapi panggilan yang nyaring dan suara telepon—yang awalnya kukira hanyalah orang iseng—menyadarkanku. Aku terbangun secepat kilat dan menyambar ponselku, takut-takut adalah panggilan dari kolega kerja dan bukan orang jahil. Namun dalam hitungan detik yang agaknya menyakitkan itu, aku melihat panggilan Hyuk Jae, yang belum kuganti nama kontaknya, yang kupatenkan kata sayang.
Aku menelan ludah yang sebesar biji ek, debaran jantungku terpompa dengan frekuensi yang sangat cepat. "Halo," bisikku.
"Oh, Donghaeku sayang, kupikir kau sudah tidur."
Aku melipat bibirku, suaranya terguncang. Dan dari ketidakstabilan itu kuraih kenyataan yang ada, berarti Hyuk Jae masih memikirkanku. "Kenapa telpon malam-malam begini? Apa yang terjadi?"
Hyuk Jae tertawa, suara tawanya menakutiku. "Tidak Donghae, tidak ada yang salah dariku. Aku hanya merindukanmu sebesar tetek bengek rasa bersalah ini. Tidakkah kau tahu kalau aku tidak bisa tidur dengan siapapun karena aku selalu memikirkanmu?" Dia berkelakar canda, suara tawa yang kubenci timbul lagi. "Kalau tidak karena ibumu yang sialan itu, kita pasti sudah tidur berdua, mungkin bercinta di meja makan. Aku merindukanmu Donghae sayang, aku ingin kita kembali seperti dulu."
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku, berpindah dari kiri ke kanan, kepalan tanganku berkeringat, aku merasa gugup.
"Ini adalah diam yang positif kan Donghae? Kalau aku sangat merindukanmu dan kaupun begitu," dia terkekeh dan kuyakini dia tengah menggusar rambutnya yang agak panjang. "Ayolah, sayang, katakan sesuatu."
"Kau sedang mabukkan?"
Aku mendengarnya bergelisah ria, seperti dia sedang menerkam ponselnya karena dia marah atau dia tengah bernegosiasi dengan isi hatinya. Aku pula mendengar dia bergumam, dia berkata kalau aku harus segara menutup telepon atau dia akan jadi lebih gila dari ini. "Omong kosong bila kau bilang tidak menginginkanku lagi Donghae, aku tahu kau selalu berada di dekatku ketika aku kencan dengan seseorang. Kau tidak bisa hidup tanpaku."
"Katakan Hyuk Jae, katakan apa yang ingin kau katakan." Aku berubah jadi mengambil risiko, sesungguhnya aku merasa lebih senang dari apapun. Sehingga aku bangun dan menyalakan lampu, aku mengitari kamarku, membayangkan mengapa suaranya yang mabuk itu jadi lebih seduktif. Dan mengapa aku bergabung kembali dengan kebodohanku apabila aku harus percaya akan kata-kata Hyuk Jae yang tidak masuk akal, terlebih dia mabuk. Namun aku merindukan suaranya, apapun yang berkaitan tentangnya, kemarahannya.
Dia bicara konyol dan aku tidak mengerti, dia menyadari keheninganku selama beberapa saat, lalu dia membuka suaranya lagi. "Ayo kita pacaran lagi Donghae, aku minta maaf."
Kau tidak bisa melakukannya Hyuk Jae, kau pikir hatiku berarti seperti apa? Bermakna kekesalan dan kesenangan yang bisa kau campakkan kapanpun kau mau dan kau pikir Donghae yang bodoh ini tidak akan marah, malahan aku akan loncat-loncat kegirangan karena aku mendapati Hyuk Jae yang mabuk menghubungiku kembali.
Persetan! Mereka benar semua, Hyuk Jae selalu benar. Belenggu kerinduan ini membuatku naif, aku mencintainya sehingga aku dengan kebodohan yang sangat payah, berceletuk, "dan ketika kau bangun, kau akan melupakan ini. Aku tidak mau yang seperti itu Hyuk Jae."
Hyuk Jae meringis sedih, "tidak Donghae, kau tidak boleh menyerah. Kau harus menyadarkanku bahwa aku hanyalah gundik kecilmu yang menggantungkan hidupku kepada Donghae seorang, yang sebenarnya adalah pecundang, yakinkan aku kalau kita harus bersama lagi sayang. Sebab aku hanya orang gila yang masih bingung dengan perasaannya."
Aku terdiam. Ungkapan hatinya bermakna dalam. Hyuk Jae pun ikut merenung. "Maafkan aku Hyuk Jae," kataku.
"Tidak, bukan maaf. Aku tidak main-main, kau pernah dengar kalau orang yang mabuk jauh di dalam lubuk hatinya selalu bicara jujur kan? Itu terjadi padaku sekarang."
Aku tersenyum, Hyuk Jae bersama kata-katanya yang luar biasa ini. "Jangan matikan ponselmu Hyuk Jae, aku ingin mendengarmu tidur."
.
.
.
Aku masih tidak memahami mengapa aku selalu mengikuti kata hatiku. Kata hati yang gampang diombang-ambingkan olehnya. Bila kujelaskan secara luas, aku tahu bahwa anggapan mengenai diriku yang tidak berakhlak karena masih mengharapkannya akan disetejui kebenarannya oleh Jung Soo. Sialan, aku tidak peduli apakah Jung Soo akan memukulku, mengeroyokiku. Aku pernah melakukan pengorbanan yang lebih besar demi Hyuk Jae dari hanya sekedar ditendangi perutku saja, dan meski kobaran amarah itu masih menguasai sebagain besar kepalaku, aku tidak bisa mengelak bila aku benar-benar mencintainya.
Dia memberikanku sebuah kesempatan, peluang besar yang kecil kemungkinannya tetapi sekarang mereka berada disini, memicuku buat tampil sempurna cuma untuk Hyuk Jae kasihku. Aku akan meyakinkan kepadanya kalau tidak ada lagi perpisahan kedua mengenai kami, atau keikutsertaan Nyonya Lee tentang gaya hidup Hyuk Jae yang dipercayanya tidak sehat. Sudah berulang kali kukatakan kepada Hyuk Jae kalau ultimatum ibuku tidak akan memiliki pengaruh besar dalam keputusanku, tetapi kerikil-kerikil kecil itu masihlah megganggu kami. Lagi pula dia pernah bilang kalau segala sesuatunya memiliki risiko yang sama-sama harus ditanggung kedua orang yang saling mencintai. Kalimat itu tidak ada salahnya, hanya saja Hyuk Jae baru-baru ini tidak mencintaiku lagi. Oleh karena itu dia suka mencari-cari cara untuk menemukan kesalahanku. Dan yang dibidiknya adalah prilaku ibuku.
Hyuk Jae membenci warna-warna terang seperti ungu maupun hijau, jadi aku mengganti ungu dengan cokelat, dan aku tidak mengenakan ikat pinggang karena mereka akan terlepas secepat aku berada di depan pintunya. Aku menyukai kesan santai yang diberikan warna cokelat, warna cokelat seolah menghapus dugaan mengenai ketegangan pelik diantara kami. Aku pikir ini cukup adil. Dia mencampakkanku selama beberapa saat, dan aku mau segala sesuatunya dibenamkan dan kami akan kembali seperti semula. Aku ingin kami menjadi pasangan yang berlagak seperti dua ekor burung cinta, selalu memadu sayang, dan itu berarti pertengkaran terhapuskan.
Aku tidak akan menunggu panggilan telepon dari Hyuk Jae lagi. Aku akan buru-buru menghampiri rumahnya, dengan alasan yang sama pula aku akan meraih wajahnya dan mencium bibirnya seganas kerinduan ini. Kami akan bersenggama kilat juga sebelum memasuki proses mengungkap rindu. Aku kembali lagi ke kamarku, bergonta-ganti aroma yang pas, memilih pewangi mana yang berbau kayu dan lebih jantan, sehingga dari beberapa opsional yang ada, aku memilih botol bewarna hijau yang berbau lumut dan rempah.
Beginilah kita akan berakhir, aku tahu bahwa perpisahan bukanlah pilihan yang bijaksana. Dari satu hari ke hari berikutnya merupakan serangan gangguan mental yang mencekikku, namun rupanya aku tidak sendiri, Hyuk Jae merasakannya juga. Kami sama-sama dilanda trauma pasca putus yang ganas, begitupula dengan kenyataan kalau tidak ada satupun dari kami yang mengikhlaskan kandasnya hubungan ini. Aku merasa lega setelah lima belas menit menatapi wajahku di cermin, buatnya seorang aku sudah bercukur. Aku buru-buru mendatangi salon pria yang dikhususkan buat merapikan rambut yang agak panjang, dan karena penampilanku dulu tampak seperti pengidap narkoba organik, aku kini beralih jadi lebih segar dan gaya yang baru ini membuatku kelihatan kalau aku memiliki pandangan yang lebih berharga dari sekedar mengejar-ngejar pacar lama. Aku tidak lagi memikirkan hal lain yang tak kunjung bisa kucapai, tidak perlu diragukan lagi, aku akhirnya keluar dari fantasi menggila ini.
Aku mengira-ngira mengapa Hyuk Jae dulu tidak bahagia, mengapa tidak ada pengalaman kencan kami yang dapat membuatnya terkesan. Maksudku urung buat putus. Aku menghitungnya lagi, apa sih pengalaman kencan yang paling kuingat serta mendamba Hyuk Jae selain suatu hari yang lembab ketika kami berkunjung ke luar negeri? Karena aku terlalu banyak termenung, akhirnya aku mendapati diriku ini bergegas menuju ruang tamu. Ponselku berdering dengan keras, bila seumpama Hyuk Jae mau memajukan kencan ini lima belas menit lebih awal, aku punya tiga puluh menit lainnya buat digadai untuknya. Tidak apa-apa, kencan tidak selalu harus sesuai kesepakatan.
Kemudian aku mengangkat telepon dengan profesional, kutanggalkan panggilan sayang. "Hyuk Jae sayang, aku sudah siap. Ini masih pagi sekali jadi aku berniat membawakanmu sarapan? Menu sarapan seperti biasa?"
Kudengar Hyuk Jae menghela nafasnya seolah dia sedang berpikir, "sudah kutebak ada yang salah. Aku mabuk, sangat mabuk."
Sungguh, betapa berbahayanya sepenggal kalimat itu. Tetapi aku tidak bisa mendeteksi secercah harapan lainnya. Aku merasa pusing dan khawatir, mengapa rasanya seutas kalimat itu kedengaran tak bertanggung jawab, tidak beruntungnya aku. "Tunggu Hyuk Jae, apa maksudmu?" Aku memilah rasa sakit hatiku, dendam pribadi dan seonggok kepedihan ini. Terlebih kepadanya yang bertindak jahat dan tanpa batas itu. "Kita sudah membicarakannya semalam, kau tidak bisa melakukan ini padaku!"
Hyuk Jae jelas ingin mengada-ngada alasan lainnya, mengingat kalau dia kemarin tiba-tiba menjadi pria yang baik dan bukan sebaliknya. Aku ingin menelan jiwaku sendiri setelah kudengar dia kembali menghela nafas yang panjang. Sisa-sisa rasa sayang kami, sesi kedua dalam memadu kasih itu, masihlah segar diingatanku, karena Hyuk Jae tidak ingin melebih-lebihkan perasaannya, Hyuk Jae malah menorehkan luka yang sengit dengan kata-katanya yang satu ini.
"Aku mabuk, itu alasan yang jelas mengenai omong kosong yang kukatan semalam. Seharusnya kau tidak anggap itu serius Donghae."
Aku menggenggam lebih erat ponselku, sudah cukup dengan kekejaman mosaik ini. Hyuk Jae menabur garam di lukaku yang dulu, terlepas dari itu semua kenyataan adalah yang terpedih.
"Kenapa kau melakukan ini?"
"Maafkan aku."
Sepasang kata itu tidak bisa memupuk kepulihanku, setelah mewujudkan mimpiku yang sebesar bongkahan es batu, Hyuk Jae dengan ekspresi kesakitannya melintas di balik ponselku, lalu dia bilang kita tidak bisa bersama lagi dan kukatakan kepadanya jika ini adalah sakit hati yang miskin, bahwa aku sungguhlah seorang pria bodoh yang terlantar tanpanya, tanpa kehadiran Hyuk Jae yang selama ini kuanggap sebagai pria dewasa yang licik.
Aku merutuki kecerobohanku, aku dengan suku kata yang sedikit mencercanya, kuteriaki dia brengsek, sialan, apapun itu, segenap rasa yang menumbuh kebencianku kepadanya. "Kau memang bangsat, kau tahu, aku sangat membencimu juga!" dan setelah aku menghakimi prilakunya yang buruk itu, dia menutup telepon kami.
.
.
.
Aku ingin segera menghentikan kisah yang menghembohkan semacam ini, sudah tidak ada lagi manipulasi mengenai kebiadaban Hyuk Jae. Tanpa intruksi yang jahat aku akan memukulinya, menghantam hidungnya sampai patah dan akan kucamkan kepadanya jikalau dia salah memilih orang buat diajak main-main. Rasa sakit ini memicu airmataku, pandanganku berkunang-kunang, yang kulihat hanyalah kelabu dan keemasan. Cahaya menghubungkan dirinya ke satu tempat ke tempat berikutnya tepat di depan mataku sebelum akhirnya terpisah dua menit berikutnya. Perutku terkocok oleh sensasi ingin muntah, tenggorokanku panas, lidahku merapal namanya. Aku menggelengkan kepalaku, pada akhinya reaksi yang keras muncul setelah botol kedua. Aku tahu mabuk di jam dua belas pagi kedengaran terlalu bodoh, selain itu aku masih setengah sadar jadi aku tidak benar-benar menyerah pada alkohol.
Aku berusaha menyembuhkan diri dua jam sebelumnya, aku tidak mau merepotkan orang-orang yang tidak terlibat dengan hubungan ini, termasuk Jung Soo sendiri. Aku tidak mau dia memprovokasi kenyataan yang ada dan mulai mengada-ada akan insiden penyiraman anggur ke wajah Hyuk Jae di depan keramaian. Aku pula menghindari cara Zhoumi yang berniat menyembuhkanku dengan teknik yang norak. Ujung-ujungnya akan ada percakapan tentang aku yang harus melupakan Hyuk Jae. Meskipun itu bisa lebih diterima ketimbang ambisi Jung Soo.
Aku tertawa, aku perlu dipukul biar aku sadar. Seseorang, tetapi bukan Hyuk Jae orangnya. Hilangkan sakit jiwa ini, enyahkan bayang-bayang Hyuk Jae dari hidupku. Lekukan dadanya yang bagus, pinggangnya yang ramping, pesona matanya dan ketelanjangannya. Aku butuh seseorang yang memiliki emosional rendah buat menghadapinya. Sebab kini disinilah aku berdiri, terhuyung-huyung menjaga kewarasanku, di depan rumahnya, mengendap-endap bagai bujang yang telah kehilangan akalnya. Aku menggenggam apapun yang bisa menjaga kestabilan posisi tubuhku, tanganku melambai-lambai menuju gagang pintunya, bersidekap disana dan mengoyak gagang itu dengan upaya yang lebih keras. Dengan tangan kanan memegang lengan yang hendak terjatuh, kubenamkan wajahku ke pintu rumahnya dan kutendang-tendang mereka.
Aku mendengar suara gaduh naik turun dan suara itu akhirnya melengking, teriakan itu bercabang dari peringatan buatku supaya tunggu sebentar sampai ancaman akan dipukul bila aku tidak sabaran. Aku mendengar suara langkah terpogoh-pogoh kemudian Hyuk Jae membuka pintu. Kulihat wajah Hyuk Jae meratapiku dari atas hingga ke bawah, tidak percaya akan kedatanganku yang tiba-tiba. Dia hendak menutup pintu, bagaimanapun juga aku mendorongnya menyingkir dan menerobos masuk sebelum signyal bahaya lainnya datang.
Dia menunjuk wajahku sebagai bentuk komprominya, dia berusaha menaruhku dalam ingatan yang paling dalam. Dia berpikir kalau kedatanganku bisa disimpulkan oleh kata-kata, tapi karena aku ingin segera memukulnya, Hyuk Jae tidak mengusirku pergi. Selama beberapa saat aku membiarkan tubuhku terpana kepada wajahnya. Oh, betapa aku merindukan mukanya yang berkilau itu, namun kemudian ingatan tentang betapa jahat prilakunya kepadaku datang seperti angin yang mengoyak hatiku, mencegahku berbaik hati kepadanya. Jadi dalam waktu yang kuhitung mundur, aku mengalihkan kemarahanku dengan hantaman tangan yang tepat mengenai tulang pipinya hingga dia terhuyung jatuh. Meski begitu aku tidak berniat untuk menghentikan marahku yang melalap kewarasanku. Aku ingin dia merasakan betapa sakit fisik itu kugunakan sebagai gambaran patah hatiku. Aku menarik kerah bajunya, mendorongnya menuju dinding. Ada suara debaman yang muncul sehabis kulempar tubuhnya ke dinding, sewaktu aku hendak menonjok hidungnya, suara wanita melengking dari lorong menuju dapur.
Suara itu amat tidak kusukai jadi aku berbalik arah, menghilangkan fokusku yang sebelumnya ada kepada Hyuk Jae, menusuk wanita itu dengan tatapan yang sama tajamnya seperti sebilah pisau. Wanita itu berjalan mundur, dia terperangah akan kedatanganku. Dia seakan mengetahui maksud burukku terhadapnya bahwa aku membenci kehadirannya disini bersama Hyuk Jae. Aku tidak menyenangi kenyataan bahwa dia mungkin tidur bersama kekasihku.
Kekasihku.
Energi yang begitu buruk dari gagasan itu membuatku merasa lebih frustasi. Aku tidak lagi berpikir jernih, setiap saat dia bergerak mundur aku mendekatinya selangkah maju. Aku berteriak kepadanya, Hyuk Jae yang paham benar rencanaku menggunakan tubuhnya sebagai tameng agar wanita itu tidak terluka.
"Hyuk Jae, jadi sekarang kau tidur dengan seorang wanita murahan!" Marahku, namun aku mengakui marah itu bohong belaka sebab tidak ada satu patah kata pun yang berarti benar.
Aku mengulas senyum getir dan mencekik lehernya tetapi kemudian wanita itu berteriak, wanita yang berekspresi ketakutan karena dia pikir aku akan mengakhiri hidup Hyuk Jae. Dia barat-birit menjauhkan kami, dia berkata begini, "ya Tuhanku, siapapun kau namanya, aku tidak punya hubungan apapun dengan Hyuk Jae!" Dia meringkuk ke belakang Hyuk Jae yang dirasanya paling aman.
Hyuk Jae memandangi wanita itu dengan nafas lega, lalu mengalihkan pandangan matanya ke wajahku. Wajahnya menelangsa, dia menyadari ada sedikit ketenangan sebab aku akhirnya menjauh dua meter dari Hyuk Jae. Dia berbisik parau kepada wanita itu, agar si jalang ini segera pulang dan jangan kembali lagi. Wanita itu pamit pergi, tampak lebih takut dari kelihatannya. Dia menghilang setelah dua menit yang kejam itu. Hyuk Jae menjatuhkan bulir keringat dingin yang bergerak turun ke dagunya, pada saat tertentu dia juga mencari-cari akal buat menjauh dariku.
Aku memandangi ketakutan Hyuk Jae dengan penuh bengis, kedua mataku berpencar mengikuti Hyuk Jae dan melihat ke seluruh ruang kamarnya. Dia bisa saja memiliki pesta seks dan ada wanita-wanita lain yang akan muncul dari kamar mandi, dari dapur. Selagi aku berkutat dengan keheningan, dia meluruhkan kemarahannya dan mendekatiku.
"Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan."
Aku duduk di kursi, di bawah naungan kejinya. Kami bertukar pandangan mata dan rambutnya berkilau di bawah siraman matahari. Dia melirik-lirik wajahku sepanjang keheranannya, dia menyentuh rasa kebas di mukanya dan itu membuat kesenanganku tergelitik.
"Kau itu sama jalangnya dengan wanita yang tadi!"
Hyuk Jae ingin membalas pukulan fisikku, tetapi dengan penuh perhatian dia kembali ke jiwanya yang tenang. "Aku tidak tidur dengannya, lagian kalau iya, apa itu urusanmu?"
Aku membenci suaranya, aku membenci tatapannya, tetapi aku mencintainya lebih baik dari siapapun. Dan karena aku mencintainya, aku menahan gairahku untuk memeluknya seerat mungkin. Hyuk Jae yang sekarang kelihatan lebih murung dari apa yang seharusnya dia rasakan, dia sama putus asanya denganku. Bahkan lebih kacau dari apa yang kuinginkan.
Hyuk Jae secara tak terduga menghapus airmatanya dan memijat keningnya. "Kupikir kita seharusnya sudah selesai."
Seraya menyipitkan mataku, aku menahan jatuhnya airmataku. "Kau sialan Hyuk Jae! Ini sungguh tidak adil buatku." Aku menghidupkan rokok, mengabaikan peringatannya. Aku merasa diriku akan meledak. Berada dalam jarak sedekat ini sama seperti menyiksa batinku. Aku menginginkan tubuhnya.
"Aku tidak tahu mengapa kau jadi seorang yang pemaksa begini Donghae, kau tahu aku muak sekali. Kau tidak bisa memaksakan perasaanku, kalau aku ingin menyudahinya berarti kita memang selesai! Kau sadar sebetapa jahatnya kau sekarang?" katanya. Mereka jelas berbanding terbalik dari kenyataannya.
"Kalau begitu kenapa kau menghubungiku, membuatku lebih rusak dari sebelumnya? Karena bukan aku saja yang ingin menghatammu! Jung Soo juga berharap banyak!"
Dia terdiam. Tetapi dia tidak menanyakan kenapa Jung Soo memiliki ambisi sebesar itu buat membabak belurkan Hyuk Jae, karena Jung Soo pada dasarnya bukan bagian dari pertengkaran kami. Dia kembali mengacak rambutnya, dia sudah berada dalam tingkat frustasi yang parah. Jelas sekali dia tidak memiliki jawaban yang spesifik, melainkan memanglah Hyuk Jae masih mengharapkan keberadaanku.
"Kau payah beromong kosong Hyuk Jae! Aku akan menyakitimu sama besarnya dengan kau yang menyakitiku! Dan kau akan banyak bicara jujur tentang perasaanmu ketika kau berada diposisiku sekarang! Aku tidak mau melihatmu dengan orang lain! Aku tidak mau melihatmu tidur bersama orang lain, karena aku masih sangat memikirkanmu dan kau orang yang bresengek!"
"Donghae, kau tidak pernah mengerti mengapa aku ingin putus denganmu! Pada dasarnya, ini bukan hanya tentang berhenti mencintai atau sebaliknya. Kau mulai terdengar gila dan itu membuatku muak. Kau dan teman-temanmu selalu memiliki konsep berpikir yang payah, termasuk ibumu sendiri! Dan meski aku tidak mempunyai hak buat mengatakan ini, aku membencinya karena dia membenciku." Dia menghunus jantungku dengan tajam. Isi hatinya tadi adalah seonggok ungkapan yang bersifat final. Aku menginginkannya mengatakan hal itu, oleh karena itu aku terus-terusan memancingnya buat mengeluarkan semua kebusukan itu dari mulutnya. Dan Hyuk Jae memiliki lebih dari sebuah alasan, dia memiliki selusin di hatinya.
"Kau tidak hidup lebih baik tanpaku."
"Bukan itu tujuan dari aku putus denganmu," Hyuk Jae beringsut mendekatiku, suaranya yang dipenuhi kegetaran memecah keheningan.
Dan gara-gara kilasan tangisannya muncul diingatanku, aku tidak mampu berkata-kata. Dia bergetar hebat, dari ujung kaki menuju ujung kepalanya. Aku melihatnya melunak sedetik aku menjangkau wajahnya namun dia kembali ketakutan karena dia pikir aku tidak akan pergi dari sini dan berkeinginan untuk menyerangnya, tetapi aku menghapus semua ketakutannya dan mendekatinya, lantas aku meraih pipinya, memojokkannya ke dinding. Aku berbisik kepadanya, kukatakan hal-hal yang sepintas kedengaran tidak penting, sekedar menakutinya.
Dia menyadari keanehanku dan oleh dorongan itu dia menatap mataku. "Kenapa kau masih mengharapkannya? Kita sama-sama telah menyerah Donghae, aku tidak bisa menghadapimu dan aku tidak perlu alasan khusus selain sikapmu sendiri." Dia memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan itu padahal dia tahu kalau perpisahan ini pada dasarnya hanya keinginannya sepihak. Putus adalah negosiasi yang seharusnya melibatkanku juga.
Aku tidak keberatan sama sekali apabila kita putus secara normal, tidak, aku bukan seorang maniak. Aku akan merelakannya, malah aku tidak akan mencurigainya. Namun dia bersikap sewenang-wenang, seolah-olah aku tidak berpartisipasi dalam hubungan ini. Hubungan ini adalah hubungan yang sepele, dan itu membuat Hyuk Jae merasa superior atas dirinya, itu membuatku tidak mau melepaskannya.
Aku menghirup aroma rambut Hyuk Jae yang baru dicuci, aku lepas kendali, aku tidak punya apapun buat dikatakan selain kehangatan ini. Aku mendambanya, ketahuilah, kenakalannya, sikapnya yang cuek terhadapku, ciumannya, cemburunya, apapun itu tentangnya. Aku terpukau oleh wajahnya yang berjarak sejengkal denganku hingga aku membelai pipinya yang luar biasa lembutnya. Sentuhan itu meninggalkan reaksi listrik dikedua jariku. Aku tidak pernah menginginkan sentuhannya sebesar aku membutuhkannya sekarang buat tertunduk di bawah tubuku dengan sukarela. Tidak, perpisahan ini membawa efek kerinduan yang sulit dihentikan.
Hyuk Jae menyadari perubahan sikapku, dia menjangkau wajahku dan berupaya untuk menghindari sentuhan fisik lainnya. "Kita sudah selesai Donghae, kita tidak bisa memulai lagi."
"Benar, tetapi aku tidak peduli, persetan Hyuk Jae! Aku tidak peduli."
Demi Tuhan, aku ingin sekali menanggalkan pakaiannya. Bersikap adil terhadap bibirnya dan menuju perutnya. Aku akan menjamah mereka sekaligus, bersama kehadiranku yang tidak diterima olehnya. Aku pun mulai memuji kecantikan fisiknya. Wajahnya yang berkilat karena keringat, kerutan tidak berdaya di keningnya membuatku meraih pipinya lagi. Ternyata sentuhanku menyulut redanya kemarahan Hyuk Jae. Aku menggapai pergelangan tangannya, mengunci tubuhnya, aku mengantisipasi bilamana dia nantinya sadar dan hendak memukulku kembali. Dia semakin tidak berdaya melihatku memiliki separuh akses tubuhnya.
Aku nyaris diburu oleh gairah ini, sebelum Hyuk Jae sadar lagi aku nyaris menciumnya.
"Donghae, kita tidak boleh melakukannya, ini gila."
Entah bagaimana kata-kata itu tidak berefek menyakitkan lagi. Aku tidak seterguncang seperti sebelumnya setelah mendengar keputusannya yang sepihak. Karena sebelum aku menjangkau bibirnya, menjatuhkan tubuh Hyuk Jae ke sofa yang rapi dan menyerap segela sesuatu yang berhubungan dengan Hyuk Jae, disinilah dia, sudah menyerah kepadaku. Terhadap ciumanku, terhadap rangsangan gairahku.
Aku mencium bibirnya secepat aku menyedot udara, dia berusaha mendapatkan kalimat yang pas buat menghindarkannya dari godaan ini, sayangnya aku sudah mulai menyibak bajunya dengan kritis. Aku menekan tubuhnya lebih kuat, kami berdesak-desakkan, dia menduga kalau aku sedang marah jadi dia memukul punggungku, tetapi aku menahannya lagi dan kami kembali berpusat pada ciuman itu. Aku menggigit bibirnya seirama dengan desahan Hyuk Jae, Hyuk Jae memanggilku seperti dulu lagi. Entah mengapa, kebusukan itu enyah dari embel-embel namaku.
Kami bertahan selama lima menit yang panjang, aku mengingatkannya sebetapa indah tulang punggungnya, keelokan tubuhnya di bawah tubuhku dan sepenggal tato di punggungnya. Aku merangkai kalimat-kalimat yang ingin didengar Hyuk Jae, jadi kukatakan, "aku mencintaimu, kau tidak bisa melupakanku," dengan satu karakteristik intonasi yang sama. Maksudku, kata-kataku dipengaruhi oleh gairah dan cinta, yang memiliki arti tertentu. Itu juga yang mendorongku meraba mukanya, dia melenguh diantara ciuman kami.
Dia tersengal-sengal selagi menekan pundakku. Dia menatap mataku dengan cinta yang bergelora."Aku pasti sudah gila," bisiknya. Sekarang dia yang malah berinisiatif buat menciumku. Kami kembali bertarung lidah, dia memekik diantara tingkah yang sama-sama tidak terkontrol. Hyuk Jae mengakangkan kakinya lebih lebar ketika aku menekan kejantannya dengan lututku. Dia terkulai lemas. Kedua bulu matanya basah dan lengket.
Aku tidak melepaskan pandangan mataku darinya, aku melihatnya memohon kepadaku untuk berhenti memaksanya mencintaku kembali. Jadi karena aku berpikir itu bukan pernyataan yang logis, aku menjilati lehernya, Hyuk Jaeku harus berpikir dua kali. Aku menghindari oral seks karena mood akan berubah menjadi kencan satu malam, spesifiknya Hyuk Jae akan berpikir bahwa ini melulu tentang kemarahanku dan mungkin akan membuatku kapok. Sesunguhnya, itu benar adanya. Tetapi mereka adalah bagian dari rencanaku yang belum sepenuhnya benar. Aku akan menyerah mengejar-ngejar cintanya, namun aku akan membuatnya berbalik membutuhkanku. Itu pula yang mendorongku untuk menarik Hyuk Jae menuju kamarnya.
Aku melihat fotoku bersamanya tergantung dinding. Berarti keberadaanku belum diganti oleh orang lain dan sejumlah kenangan kami serta catatan khusus yang kubuatkan untuknya selama kami berkencan.
Disertai suara-suara desahan yang amat dramatis, aku mendorong Hyuk Jae jatuh ke lantai. Kami bergelut terlebih dahulu, saling meninju bibir, merangsang tubuh hingga jari kaki Hyuk Jae terlipat saking senangnya. Aku bergidik geli sewaktu Hyuk Jae menggusar rambutku menuju lehernya. Dia memisahkan surai panjang dengan yang pendek, Hyuk Jae secara lihai menjambak senggenggam rambutku. Kekasarannya tidak menimbulkan efek perih yang dilebih-lebihkan malah menambah semangatku. Hyuk Jae menciumi aroma tubuhku, dia memijat perutku, aku menelangsa setuhannya yang bagai candu. Aku berguling dibawahnya dan dia makin mendesak lututku selagi aku mencubit bokongnya yang kenyal.
Dia tergoda oleh suaraku. Aku merasa kami diburu keinginan untuk menghisap satu sama lain. Aku melihat bulu matanya bergetar karena dia amat menyukai sensasi sesaat aku menggapai bibirnya lagi. Suaranya erangannya membuatku terhenti dan mundur selangkah darinya yang terkulai di lantai. Aku berdiri di bawah tubuhnya, memandanginya dengan bengis. Dia menerima keinginanku kemudian merangkak mendekatiku perlahan-lahan. Dia menggapai pahaku, melepaskan ikat pinggangku sekaligus membuka celanaku. Hyuk Jae terkesima, terkesima yang wajar mengingat kerinduan kami.
Hyuk Jae menciumiku, menjilati sentral perutku. Hyuk Jae mengecupnya dari pinggang hingga ke dada, kembali lagi ke pinggangku dan menggigiti kulitku, dia menariknya dengan giginya hingga aku mendesis dibuatnya. Dia melesatkan setengah fokusnya yang lain terhadap pahaku dan memijatnya. Aku ingat sekali bahwa dia amat mengagumi pahaku yang gembul. Dia menghisap mereka sehingga tertinggal bekas kemerahan yang sensual dan aku mengerang dibuatnya.
Kemudian kami sampai di tahap selanjutnya. Dia menarik celana dalamku secara hati-hati ke bawah, menelanjangi kedua kakiku, dia tampak terguncang dengan kenyataan yang ada tetapi dia tidak menghentikan ini. Hyuk Jae dengan percaya diri menjilati kejantananku. Aku bergidik mendapati sensasi yang aneh menjalar ke kuku-kukuku, Hyuk Jae bersama suaranya yang diputus-putus, menelan setengah bagiannya, memompanya dan mengulumnya. Dia keranjingan, karena dengan mataku aku memberikan intimasi yang luar biasa. Oh tidak, aku tidak membicarakan tentang seks dengannya maupun memopa gairahnya bersama kata-kata yang separuh menyindir. Sebab seks ini bukan mengenai Hyuk Jae melainkan mengenai Donghae yang ingin membalaskan dendam lamanya kepada kekasihnya yang jalang.
Hyuk Jae melepaskan bibirnya kemudian berjongkok menjauh dariku setelah dia pikir aku cukup basah dan tegang. Dia mengusap setetes saliva dari dagunya sebelum menuntut ciuman kepadaku. Aku mencium bibirnya lembut. Ciumannya amatlah mendamba sentuhan.
"Mentalku pasti agak terganggu karena kupikir tidak apa-apa bila kau meniduriku selama semalam saja Donghae," katanya selagi mencium pipiku dan beralih menuju leherku.
Aku tersenyum, bukan senyuman yang getir melainkan senyum penuh pesona. Tidakkah dia pikir keberadaanku seberharga satu malamnya yang bukan apa-apa, namun napasnya berarti sepanjang malam hidupku? Hyuk Jae memanglah pria brengsek yang kurang ajar dan penuh kepelikan hingga membuatku menarik wajahnya dengan marah dan menjambak rambutnya, aku menggigit telinganya nakal, lalu aku menarik celananya jatuh dan menanggalkan bajunya. Dengan penuh ketelitian aku meremas bokongnya. Dia tidak berbasa-basi namun memanggil namaku serta memohon untuk langsung seks saja. Secara harfiah ini kedengaran lebih dari seks balas dendam sebab seluruh tubuhku dibanjiri cairan yang menginginkannya. Aku gembira sekali ternyata kondisi emosional Hyuk Jae mudah dipangaruhi oleh bujuk rayuku yang busuk.
Aku mengikuti keinginannya, kutanyakan kepadanya apakah kami perlu kondom, tetapi dia bilang, "aku tidak tidur dengan siapapun selama aku putus denganmu, jadi kita sama-sama bersih karena kuyakini kau pun begitu."
Aku menggiringnya berdiri. Aku menopang seluruh berat badannya menjadi satu sebelum membopohnya menuju dinding. Dia merekatkan tangannya ke leherku, menggantung disana. Kami bergabung menjadi satu, perlahan-lahan aku melilitkan kakinya ke pinggangku, aku yang memiliki konsentrasi handal pada akhirnya berhati-hati memandu milikku ke tubuhnya. Aku menggesekkan kulitku selama beberapa detik, memprovokasi kenakalan yang lebih bergairah. Kami digelitik sensasi panas membakar, ujung kejantananku terhisap oleh rayuannya, aku merasa basah sebab miliknya. Aku tidak terburu-buru merasukinya jadi dia mengeluh, dia berusaha menarik tubuhnya dariku, menjatuhkan bokongnya lebih dalam.
Hyuk Jae tidak sabaran, sehingga aku agak marah. Aku menahan tubuhnya dengan kedua tanganku, aku bersandar di dinding, menempatkan kepalaku disana karena dia lumayan berat buatku. Kami bercinta seperti kesetanan, dia bergaya pir terus-terusan bersenggama denganku, seluruh keringatnya meluncur ke perutku, karena keringat itu pula dia menggelinjang terus-menerus dan kelicinan perutku pun telah merusak nalar kami berdua. Ruangan terasa semakin sempit, aku ingin mendengarnya melenguh jadi aku memaksanya bicara vokal.
Selangkangan kami berdua berdenyut-denyut, telapak tanganku licin menggenggam tubuhnya, aku wanti-wanti agar tidak menjatuhkannya. Hyuk Jae yang sekarang adalah karunia yang hebat, kami terkoneksi lebih dalam lagi. Dia merapal namaku, memuja kulitku yang berwarna perunggu, merongrong supaya aku tidak berhenti dari kecepatan bercinta yang diluar normal ini. Lantas kami sampai secara tidak terduga. Aku memburu nafas, wajahku terbaring di lehernya sementara kepala Hyuk Jae dipapah oleh punggungku. Aku agak tak sadarkan diri dan kudengar Hyuk Jae bilang untukku tetap disini sampai besok.
Aku memodifikasi posisi kami hingga kami berdua terlentang di lantai. Ini bukan seks yang fantastis, itu bukan kosa kata yang tepat. Tetapi aku punya lebih banyak suka kata untuk mendeskripsikan kebanggaanku melihatnya di sampingku, tertidur lelap, menimbun malam yang kelam, membuatnya sendiri tidak tahan oleh rayuanku. Aku sulit menjelaskan darimana aku akan memulai kenyataan setelah Hyuk Jae bangun.
Tunggu, aku masih memata-matai wajahnya yang tertidur was-was. Kemarin aku melihatnya merespon sentuhanku secara magis, wajahnya penuh harapan dan bersinar. Bukan seperti Hyuk Jae yang dulu yang urung melihatku. Secara detail dia menyenangi seks yang bukan apa-apa bagiku. Hyuk Jae bahkan menukas cengiran karena dia bermimpi, mimpinya mungkin tentang aku.
Aku menghidupkan rokok, asapnya mengepul menuju kepala dan menghilang dengan ajaib ke atap rumah. Kutatapi wajahnya yang bergeser dari senyuman menuju ringisan, dia kemudian memelukku, terkesan dengan eratnya pelukan itu aku balik memeluknya. Tetapi jujur saja, aku ingin melepaskan wajahnya yang terkagum-kagum dari dadaku. Akhirnya kusingkirkan tubuhnya, aku melihat ciri khas fisiknya, dia lebih dari tampan dan mempesona. Aku naksir padanya, lebih dari itu, aku pula mengagumi warna favoritnya. Dan karena aku sudah bersusah payah melawan pertarungan sengit ini, aku akan mengubah taktikku.
Aku menghisap rokok lagi, aku mengulangnya terus menerus sampai sisa setengahnya, malam pun berganti subuh, sewaktu Hyuk Jae kupikir hendak terbangun, aku terburu-buru pergi melangkahkan kakiku meninggalkannya.
Oh, betapa aku menyukai wajahnya yang indah. Tidurlah Hyuk Jaeku sayang.
Aku lebih tidak percaya atas sikapku yang seakan melarikan diri, aku tersenyum sopan kepada seorang pria tua di pinggir jalan, dia menjual hazelnut panggang kesukaan Hyuk Jae. Aku melaju dengan kecepatan yang normal, aku pula mengganti lagu retro yang kusukai menjadi lagu-lagu blues yang digemari ibuku. Aku melihat sekeliling masih gelap, aku hendaknya mengunjungi Jung Soo sekedar untuk numpang sarapan atau mandi, tetapi aku enggan datang ke rumahnya. Ada empat blok yang harus kulewati sebelum rumah Jung Soo dan itu berarti lima belas menit lamanya. Secercah cahaya mendarat ke mobilku, tepat setelah sepenggal pesan dikirim Hyuk Jae untukku. Aku pikir dia terbangun dengan lusuh dan menyalahkanku. Kuyakini itu membuat percaya dirinya merosot jatuh. Kubayangkan dia mencari-cari keberadaanku dari ujung dapur ke ujung kamar mandi, dia akan berteriak secara tidak wajar, betapa menggelikannya selama kupikir itu akan terjadi.
Aku merasa terhuyung-huyung, sebab keingintahuan yang hebat kuhentikan mobilku. Aku terpenuhi rasa bahagia, kubaca ulang kalimat itu, pesannya yang mengandung rasa sakit hati. Dia bahkan tidak menyapa selamat pagi, kupikir dia benar-benar marah.
"Kau brengsek Donghae, kupikir hanya aku yang pantas mendapatkan hantaman di wajah, tapi kau tidak lebih baik dari itu. Kau itu bangsat yang bermuka dua, mati saja."
.
.
.
TBC
.
.
.
Author Note:
FF ini terinspirasi dari lagu The 1975 yang judulnya Somebody Else download aye? Hahaha
Least but not last, bantu Yesung buat menang charts Elfs! Vote, Stream! Serius baper liat post dia T_T Kangin ampe marah juga. Kemana pergi supportifitas kalian sobs vote show champion juga yang paling gampang kok sehari bisa berkali-kali :D cuma sampe sabtu ini jadi minta bantunya (todong golok) lmao
Feedback?
Enjoy reading!
