A to Z
Naka Morin and VociferousTronic Sonata
Presents
#
A to Z
[chapter 1—Late Twilight]
Disclaimer: Kalau aku jadi Tite Kubo, Riichiro Inagaki&Yuusuke Murata, Duo TO, atau Megane Kikuya&Hiroshi Matsuyama, manga mereka—yang tokohnya kupakai disini—pasti sudah berubah jadi manga lawakan tingkat wahid. Sementara Kiseki Seiren tercinta (?) murni milik saya seorang.
Warning: OCs, maybe OOC, setting jauh berbeda, alur takdir bisa dijamin menyimpang, bahasa agak baku. Don't like don't read…
#
#
Tokyo, 05:23 p.m.
Waktu terus berputar dengan cepat seakan tak sabar melenyapkan keriangan langit biru dan menggantikannya dengan semburat jingga yang memesona. Perlahan tapi pasti, semburat oranye yang turut menghiaspun mulai menyelimuti matahari tua dan menggiringnya beristirahat. Dengan latar belakang goresan-goresan abstrak tinta jingga, beberapa orang masih sibuk berlalu lalang di jalanan sepulang dari rutinitas keseharian mereka masing-masing. Seorang lelaki dengan jaket hitam kelamnya berjalan dengan langkah lebar-lebar seraya menyandang sebuah ransel biru dongker di balik bahunya. Kedua tangannya dimasukkannya ke dalam kantung jaket, sementara kepala hingga separuh wajahnya tertutup oleh tudung jaket. Sebuah earphone yang juga hitam dengan corak putih, menggantung manis di kedua sisi kepalanya dan mengalirkan nada-nada dari iPhone di kantung celananya. Terkadang ia menggerakkan langkahnya seirama dengan musik R&B yang sedang didengarnya. Sneakers biru tua-nya—yang bisa terbilang cukup mahal—menampakkan dua penggal nama pada salah satu sisi sepatu kanannya; Kiseki Seiren.
Manik mata tajamnya yang sewarna dengan langit saat itu menatap lurus ke bawah tanpa memedulikan pemandangan monoton di sekelilingnya—berpikir ia sudah cukup jenius untuk berjalan dengan hanya mengandalkan insting.
Kaki-kaki jenjangnya—yang menjadi alasan kedua kenapa ia sering dikejar agen pencari bakat, setelah wajahnya—yang berbalut jeans biru gelap, melangkah dengan lincah diantara banyak pasang kaki yang berseliweran di sekitarnya. Tak lama kemudian, ia telah sampai di sebuah stasiun yang cukup luas. Seiren bergegas membeli tiket dan mengambil kereta rute satu yang akan datang lima menit lagi. Mata senjanya menyapu ke sekeliling peron dan menangkap sebuah kursi aluminium panjang yang kosong. Ia segera mendaratkan pantatnya disana dan bersandar seraya memejamkan mata, mencoba melepas lelah barang sedikit.
Lima menit kemudian kereta yang ditunggunya datang. Decitan rem kereta cukup bisa membuat Seiren sedikit terlonjak kaget. Ia segera masuk ke salah satu gerbong yang lengang dan mengambil kursi di dekat pintu keluar. Kereta-pun berangkat.
Gerbong itu lengang. Hanya ada lima orang disana termasuk dirinya. Seiren melepas earphone-nya dan mengalungkannya di leher, ia menyingkapkan tudung yang langsung memperlihatkan rambut seleher merah marunnya. Diliriknya jam putih yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, 17:31.
Ia melengos kesal dan mengacak-acak rambutnya sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk melorotkan sedikit tubuhnya pada kursi dan kembali memejamkan mata.
Pada kursi di seberangnya, tak jauh dari tempat Seiren duduk, seorang gadis memperhatikan lelaki sekitar 17 tahunan itu dengan heran. Walau sekilas, ia bisa melihat dengan jelas semburat oranye yang menetap sebagai permberi warna pada sebuah bulatan bening di wajah lelah lelaki itu. Warna dan tatapan mata yang sulit ditebak. Terkadang terlihat sangat merah, oranye, maupun kuning. Sorot mata yang menampakkan ekspresi lelah, kesal, dingin, datar, kejam, tenang, sekaligus hangat dan nyaman pada waktu bersamaan. Ditambah lagi warna rambutnya yang unik. Ia menebak-nebak apakah itu rambut asli atau hanya cat, dan ia memutuskan untuk menganggapnya sebagai cat.
Merasa sedang diperhatikan, bola mata Seiren bergerak-gerak di balik kelopak matanya dan membuka secara tiba-tiba. Insting menuntunnya untuk menemukan sepasang mata yang bertanggung jawab atas hawa mengganggu itu. Ia menangkap sesosok gadis dengan beberapa buku dalam pelukannya yang bergestur jelas kalau ia baru saja menundukkan kepalanya dalam-dalam secara tiba-tiba sebelum tertangkap basah bulatan senja Seiren. Seiren memiringkan sedikit kepalanya, curiga. Tapi sayang, ia tak bisa melihat wajah gadis itu karena tertutup oleh rambut panjangnya.
Lima belas menit setelah keberangkatan, akhirnya kereta itu berhenti juga di sebuah stasiun lain. Seiren segera memalingkan wajahnya dan beranjak keluar kereta dengan langkah terburu, tak tahu tatapan coklat muda bening gadis tadi mengikuti kepergiannya. Gadis itu merasakan pipinya menghangat dan tanpa sadar ia memeluk buku dalam dekapannya lebih erat, kemudian segera beranjak dari tempatnya duduk.
#vociferoustronic#
Seiren mempercepat langkahnya karena hari semakin gelap. Bukannya ia takut gelap, justru ia sangat menyukai gelap, hanya saja ada satu hal yang dikhawatirkannya. Hal yang sudah bisa ditebak akan terjadi—hal yang cukup mengganggu untuknya.
Kini ia sudah mulai memasuki daerah di mana tak seorangpun berada di luar. Rumah-rumah di kanan-kiri jalan terang benderang, menandakan adanya kehidupan di dalam sana, tapi tak seorangpun tertarik untuk keluar. Lampu-lampu jalan yang menyala mencetak siluet hitam panjang Seiren di aspal jalanan yang keras dan dingin. Seiren berjalan tanpa mengurangi kecepatan langkahnya dengan tangan di dalam kantung jaket. Tak lama kemudian, sebuah bangunan tinggi dan mewah sudah berada di hadapannya—apartemen miliknya.
Seiren memasuki halaman apartemen yang kecil dan mulai mengutak-atik pintunya.
Ia menarik sesuatu yang menggantung di lehernya—sebuah kalung dengan liontin mungil dari metal berbentuk persegi panjang. Lalu Seiren memasukkan salah satu ujungnya pada sebuah lubang kecil—yang memang didesain untuk liontin tersebut—pada kotak putih kecil yang menempel di tembok, tepat di bawah intercom. Dengan otomatis, sebagian tembok di sebelah intercom tersebut membelah, maju beberapa mili, dan terbuka, menampakkan sebuah alat pendeteksi sidik jari dan sebuah alat input password. Dengan sigap Seiren menempelkan ibu jarinya dan memasukkan kode pintunya seperti biasa—sebuah rutinitas yang telah ia jalani selama bertahun-tahun dalam tahun tenangnya.
Password Accepted
Pintu terbuka. Dengan langkah terburu Seiren naik ke lantai teratas dengan lift dan menyusuri lorong-lorong apartemen yang lengang dan menuju ke salah satu pintu kayu putih. Disini, lagi-lagi ia harus memasukkan kode untuk menghindari ledakan dari bom yang sengaja dipasangnya di balik pintu kalau-kalau ada tamu tak diundang.
Pintu terbuka, tapi tidak langsung menampakkan ruangan melainkan masih ada sekat berupa kaca tebal anti peluru yang tidak cukup transparan. Tapi ia sudah bisa mendengar suara berisik dari dalam—hal yang dikhawatirkannya. Seiren mendorong salah satu sisinya dan kaca itu terbuka. Sekarang bisa terlihat dengan jelas ruang tengah flat luas dengan kombinasi warna serba hitam-putihnya itu sangat berantakan. Bantal-bantal sofa telah keluar dari habitatnya, beberapa bungkus snack kosong dan botol-botol minuman berserakan di mana-mana, berlembar-lembar file tersebar di meja bulat mungil di tengah ruangan, dan masih banyak lagi kekacauan lainnya.
Di sofa bulat di depan televisi, seorang lelaki berambut biru menenggelamkan pantatnya sementara sebuah console PlayStation tergenggam di tangannya. Ada garis memanjang berwarna serupa dengan rambutnya di bagian bawah kedua matanya. Seorang lelaki lain yang berambut putih duduk di lantai sebelahnya, juga dengan sebuah console PS di tangan. Keduanya menatap layar flat televisi 72 inch itu tanpa berkedip.
Sementara itu, pada sofa panjang yang membelakangi pintu, duduk seorang lelaki lain dengan rambut pirangnya. Tangannya sibuk mengelap sebuah AK-47nya dan mulutnya sibuk mengunyah sebongkah permen karet. Dan di sofa pendek di sebelah timur kursi panjang tadi, seorang lelaki berambut coklat madu sibuk bercumbu dengan kertas-kertas berisi ribuan kata memusingkan. Wajahnya terlihat sangat serius.
Seiren langsung sweatdrop melihat semua itu.
Tiba-tiba saja si rambut biru berseru heboh, "Arrgghh! Aku kalah lagi!" sementara si rambut putih di sebelahnya memasang seringai puas. Si rambut putih itu yang (baru) sadar ada seseorang yang baru saja sampai sudah mendapat sambutan hangat itu, mengalihkan pandangannya dari televisi pada Seiren dan berucap, "Well, kau terlambat 3600 detik. Tapi, selamat datang, Ketua!" sambutnya. Dua mata sipitnya terlihat makin tenggelam saat ia tersenyum—senyum familiar yang mengerikan.
#saishuu#
Jiah, pendek sekali, desu?
Yah, namanya juga permulaan, sayong. Waa, tokohnya belum saia tulis yah? Tapi bagi para otaku sejati yang (mungkin) bakal nulis 'Zangetsu no Oosan' di lembar jawab UUS IPS, 'F****ng Dread' di lembar Agama, ato malah 'Oiroke no Jutsuu' di lembar Biologi, mungkin sudah bisa menebak siapa makhluk-makhluk diatas. Haha, saia memang orang yang terlalu jujur *dibekep pake gombal*
Nee, ini penpik ber-chapter PERTAMA saia yang DITERBITIN DI SINI. Dengan kata lain, ini bukanlah fanfic ber-chapter saia yang pertama. Jadi, anonymous dipersilahkan, flame diterima dengan lapang dada, dan repiu mempunyai triliyunan pintu masuk *smirk*
Hontouni Arigachuu~ m(_ _)m *bowsbowsbows*
