Author's Note:
Marilah kita mulai A/N ini dengan teriakan: KAMI CINTA FUGAMINAAAAAA! *ditampol*
Xixixi~ Silahkan katakan kami gila, tapi saya dan Kyou jadi tergila-gila dengan pair ini gara-gara bikin Wrong Mistakes. Jadi, untuk melampiaskan ide sinting dan kecintaan kami terhadap pair ini, jadilah Prekuel dari Wrong Mistakes yang memang berfokus pada masa lalu Fugaku dan Minato. Berhubung ini prekuel, ceritanya bisa berdiri sendiri tanpa perlu membaca Wrong Mistakes yang ada di akunnya Kionkitchee. Tapi bakal lebih afdol kalau baca itu juga. Spoiler ending fic yang ini 'kan adanya di sana. :D *tampoled again*
Disclaimer:
We do not own Naruto. Masashi Kishimoto does.
Genre: Romance/Drama
Rating: T (for this chapter)
Pairing: FugaMina (main)
Warnings: AU, Shounen-Ai, Yaoi, possible OOC. Don't like? Then please don't read, kay?
A Naruto Role Play Fanfiction by Ange la Nuit and Kyou Kionkitchee
Mistakes
1st Mistake: Meeting
Pagi menjelang siang. Sinar mentari sudah sangat cukup menghangatkan bumi. Orang-orang telah sibuk beraktivitas di tempat mereka masing-masing, termasuk orang ini.
Uchiha Fugaku, 21 tahun. Mahasiswa tahun ketiga Universitas Otto. Kini tengah berjalan pelan dengan map plastik di lengan kiri, dan kedua tangan berada di dalam saku, melintasi halaman depan universitasnya.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai ke dalam gedung dan melangkah di koridor. Jam kuliahnya hari ini masih akan dimulai beberapa puluh menit lagi. Tapi dia bukan orang yang bisa berdiam diri dengan tenang di apartemennya jika tahu ia akan terlambat semenit saja. Itulah mengapa ia telah berada di sini sekarang.
Dari ujung koridor yang satunya, terdengar derap langkah tergesa-gesa yang memantulkan suara decitan sepatu ke seluruh arah. Pemilik sepatu itu berlari seakan tak melihat arah ke mana tujuannya. Rambut pirang cerahnya yang menutupi separuh wajah kecoklatan itu membuatnya tak melihat ada seseorang di depannya. Sehingga, ketika ia menabrak orang itu secara tak sengaja, jus jeruk kesukaannya—yang kini tengah berada di tangan kanannya—tumpah, membasahi kemeja yang dikenakan orang itu.
Namikaze Minato, 20 tahun, mahasiswa tahun kedua jurusan Entertainment di Universitas Otto, mengawali kelas siangnya dengan menumpahkan jus pada orang yang tak dikenalnya.
"AKH! Gomennasai!" paniknya, masih terpaku dengan noda yang ia buat di kemeja itu. "Saya tak bermaksud—" kalimat Minato berhenti ketika mata biru lautnya beradu pandang dengan mata oniks di hadapannya.
Rasa kesal yang sempat terlintas di pikiran pemuda yang satu juga segera menghilang saat melihat penyesalan di mata biru laut itu. Fugaku bahkan sempat terpaku sejenak.
Rambut pirang, kulit putih, dan mata yang sebiru laut… memangnya ada mahasiswa asing di sini? Dan mengapa ia belum pernah mendapati mahasiswa semenarik ini sebelum—ah, bukan itu masalahnya sekarang.
"Tak apa," katanya tenang, sembari membuang pandangan dari orang yang berada di hadapannya.
'Tak apa.'
Dua kata yang didengarnya dari sang pemuda yang ia tabrak membuat bulu roma Minato berdiri. Suara baritone yang bagaikan samudera menangkup hujan menggetarkan ombak membuatnya seperti membeku di tempat. Dan kalau dilihat dari jarak sedekat itu, perawakan sang pemuda—rambut raven, mata oniks, kulit putih, bahu lebar, tinggi dan gagah—membuatnya terkesima. Sungguh berbeda darinya. Orang itu seperti figur orang Jepang asli yang klasik yang dibacanya di buku… yang membuatnya terkagum-kagum.
Ingin rasanya Minato terus menatap pemuda itu. Didapatinya Fugaku memindahkan map yang dibawanya dari tangan kiri ke kanan dan juga sebaliknya, untuk meraih kantongnya dengan tangan yang bebas, berusaha mencari sapu tangan yang hampir selalu ia bawa. Sayangnya usaha ini tak kunjung berhasil.
Ia pun segera sadar akan kesalahannya yang harus ia tebus. Karenanya, ia meraih satu tangan sang pemuda lalu menariknya ke wastafel di samping kantin. Ia ambil saputangan dari kantung celananya dan ia basahkan. Setelahnya, ia usapkan pada bekas jus yang ia tumpahkan tadi.
"Gomenne, tadi saya tak melihat depan…" sesal Minato sambil membersihkan noda di kemeja sang pemuda.
Reaksi Fugaku hanyalah mata yang dikerjapkan. Ia bahkan tak menyangka sebegitu mudahnya tubuhnya terbawa oleh pemuda yang menggenggam tangannya itu hingga ke wastafel untuk 'dibersihkan' seperti ini.
Dengan amat kaku, Fugaku berusaha sebisa mungkin menghindari apa yang dipandangnya sebagai sentuhan fisik ini—sentuhan kecil dari tangan berkulit putih lewat sapu tangan yang dipegangnya itu, juga 'sisa' kehangatan dari genggamannya tadi… sentuhan fisik yang entah mengapa membawa perasaan aneh dan membuat jantung si Uchiha mulai berdetak tak beraturan.
"Tidak apa-apa. Biar aku saja," ucapnya lagi, berusaha meraih sapu tangan basah di hadapannya.
Satu tangan Minato yang tadinya sedikit menarik kemeja sang pemuda—agar mudah dibersihkan—refleks menahan tangan yang seperti ingin meraih saputangan yang ia genggam di tangan satunya. Lalu ia kembali menatap mata oniks yang membuatnya tertarik itu dengan mata birunya yang dibarengi dengan lengkungan senyum di bibirnya.
"Tolong biarkan saya saja yang membersihkannya," pinta Minato, "bagaimanapun juga ini kesalahan saya," tambahnya yang kembali membersihkan noda yang hampir hilang itu.
Perlahan, Fugaku dengan pasrah menarik tangannya yang sempat ditahan oleh pemuda itu.
Bibirnya terkatup. Ia memutuskan untuk diam dan membiarkan pemuda dengan senyum yang—harus ia akui—menawan ini bekerja membersihkan kemejanya.
Tak butuh waktu lama hingga noda beraroma jeruk itu hilang meskipun tentunya menyisakan sedikit bagian basah di kemeja itu. Minato tersenyum riang.
"Ha'i, selesai!" serunya bangga. Kemudian, tanpa menunggu persetujuan dari sang pemuda, Minato kembali meraih tangan si pemuda klasik lalu menariknya berjalan menuju salah satu meja yang telah ditempati empat orang.
"Sebagai permintaan maaf, saya akan menraktir Anda makan siang," ucap Minato, masih dengan tampang cerianya. "Saya mohon Anda tidak mengatakan 'tidak' untuk permintaan saya ini. Bagaimana pun juga saya masih merasa bersalah," lanjutnya—seperti sedikit memaksa.
Entah mengapa Minato masih ingin berinteraksi dengan sang pemuda. Ia tak—belum mau membiarkan pemuda itu pergi. Ia seperti tertarik ke dalam mega magnet yang dipancarkan pemuda itu.
"Ah, nama saya Namikaze Minato! Salam kenal!" serunya bersemangat sambil nyengir kuda.
Fugaku tahu ia tak bisa menolak. Dan sejujurnya, Fugaku kini terperangah. Mengapa ia bahkan tak mampu menolak tawaran seorang pemuda di pertemuan pertama mereka?
Akhirnya, dengan wajah yang kembali stoic hampir tanpa ekspresi, pemuda bermata oniks ini membalas pendek, "Uchiha Fugaku."
Minato tidak mempedulikan bahwa ia mendapatkan wajah stoic terarah padanya. Malahan, ia semakin menyengir lebar seolah bertambah senang. "Nama yang klasik, Fugaku-san! Saya suka!" serunya—kini menghampiri keempat temannya yang menatapnya heran.
"Mina-kun, kau membawa temanmu?" sapa seorang gadis berambut panjang merah bermata hijau.
Minato mengangguk, mengiyakan bahwa pemuda yang ditabraknya tadi adalah temannya. Ia bahkan belum mendapatkan persetujuan dari yang bersangkutan, namun ia tak peduli.
"Begitulah, namanya Uchiha Fugaku," balas Minato.
Kini ia beralih pada Fugaku dan berkata, "Fugaku-san, gadis ini Uzumaki Kushina, kenalkan!" Lalu ia 'menunjuk' ketiga pemuda yang duduk berderetan, "yang berambut coklat bernama Umino Iruka, yang memakai masker bernama Hatake Kakashi dan yang rambutnya diikat ke atas bernama Nara Shikaku," jelasnya lagi—tak mempedulikan tatapan 'cengok' para pemuda itu.
Ah. Andai mereka tahu yang cengok bukan mereka saja—sayangnya Fugaku hanya bisa diam sebagai pengganti ekspresi terpananya.
Betapa… betapa anehnya pemuda pirang ini!
Bayangkan. Menabrak, membersihkan, memaksa mentraktirnya, lalu… mengenalkannya sebagai teman—Itu semua terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh menit! Dan yang lebih aneh lagi…
…kenapa ia sama sekali tak mampu menghindar ataupun menolak?
Sungguh. Fugaku hampir menghempas nafas sebelum ia berkata pendek pada para pemuda itu, "salam kenal."
Minato pun mempersilakan Fugaku duduk di sebelahnya yang telah mengambil tempat duluan. Ia juga memesankan pemuda itu makanan dan minuman yang disukainya—lagi-lagi tanpa bertanya terlebih dahulu.
Kushina, mengetahui kebiasaan 'baik' dan memahami Minato, tertawa kecil seraya menepuk pundak sang pemuda pirang dengan ringan. "Mina-kun, lebih baik kau tanyakan dulu Fugaku-san mau apa!" serunya masih dengan tawa kecil renyah yang keluar dari tenggorokannya.
"Ah! Benar juga! Fugaku-san mau pesan apa?" akhirnya Minato bertanya juga pada sang Uchiha.
Ah. Tiba-tiba saja, Fugaku jadi ingin terus memandang pada kedua bola mata indah beriris warna laut itu.
"Cukup kopi," jawabnya pelan, tanpa mengalihkan pandangannya sedetik pun.
"Oke!" sahut Minato masih dengan aura keceriaan di sekelilingnya. Pemuda itu pun segera menuju counter pemesanan, meninggalkan sang Uchiha dengan teman-temannya.
"Ya ampun Mina-kun itu selalu riang ya!" seru Kushina—tak heran-herannya dengan sikap yang ditujukan teman masa kecilnya itu.
"Karena itulah Senpai dikenal banyak orang," timpal Iruka dengan senyum di wajahnya. Pemuda yang memiliki garis menlintang di atas hidung itu sebenarnya sedang berusaha beradaptasi dengan 'teman baru' yang dibawa seniornya entah darimana. Awalnya ia bingung, tiba-tiba saja sang senior memperkenalkan pemuda dengan tampang tanpa emosi itu. Belum lagi tatapan yang ditujukan dari pemuda itu terhadap Minato, ah-salah, Minato pun menatapnya dengan sedikit… aneh—mungkin. Benar-benar mengundang tanya.
Akhirnya Kakashi yang sedari tadi hanya mengunyah sarapannya memutuskan untuk memulai pembicaraan dengan 'tamu' mereka yang sepertinya sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Anda dari jurusan mana, Uchiha-san?" tanyanya.
Fugaku perlahan menoleh ke arah Kakashi dan menjawab pertanyaan itu.
"Hukum," jawabnya. "Kalian?"
Sembari tersenyum tipis, Kakashi menjawab, "aku dan Shikaku dari Matematika. Sedangkan Iruka—" Ia melirik ke arah pemuda berambut cokelat itu, memintanya melanjutkan.
"Saya dari jurusan Sastra Jepang Klasik," lanjut Iruka. Setelahnya ia diam karena tak tahu harus berkata apa lagi.
Gadis berambut merah yang telah manghabiskan ramennya akhirnya ikut berbicara, "wah, hukum ya? Kalau Mina-kun dan aku sama-sama dari jurusan Entertainment. Sebentar lagi kami akan mengadakan pementasan drama. Kalau berkenan, datang dan saksikan kami ya, Fugaku-san!" infonya.
Fugaku tak langsung menjawab.
Pementasan drama… Itu sungguh bukan 'makanan' seorang Uchiha Fugaku. Tapi kalau pemuda pirang itu juga—ah. Tak ada salahnya sesekali mencoba menyegarkan diri dengan hal seperti ini, bukan?
"Akan kuusahakan," katanya datar, menjawab penawaran Kushina.
"Pesanan datang!" seru Minato yang telah kembali ke meja mereka—membawakan kopi untuk Fugaku dan Unagi Udon untuk dirinya sendiri. "Untungnya counter sedang sepi, jadi tidak perlu mengantri," ucapnya seraya menyodorkan kopi kepada sang Uchiha. "Silakan kopinya, Fugaku-san!"
Fugaku memandang kopi yang disodorkan kepadanya sejenak. Tangannya baru akan bergerak mengambil gelas kopi itu—saat pandangan matanya tertumbuk pada arloji di pergelangan tangannya, dan teringat sesuatu.
Ah.
"Maaf, Minato-san," Fugaku mencoba meminta maaf, tanpa menyadari nama kecil pemuda itu itu terucap begitu lancar di lidahnya, "kuliahku akan dimulai beberapa menit lagi."
Wajah datar ini hampir tak berubah, padahal tanpa sadar ia amat menyesali pertemuan pertama mereka yang harus berakhir secepat ini.
"Hee? Secepat itukah?" protes Minato—juga tidak rela mengakhiri pertemuan mereka. Entah mengapa ia masih ingin bercengkerama dengan pemuda Uchiha itu. Ia ingin mengetahui lebih lanjut tentangnya.
"Mina-kun," panggil Kushina, "apa kau lupa kita juga ada kelas sebentar lagi?" curiganya pada pemuda itu yang sepertinya lupa. Dan memang benar ia lupa.
"Ah! Kita ada kelas ya?" ingat Minato, "padahal aku belum memakan udonku…" sesalnya. Namun, sebenarnya bukan itu yang ia sesalkan, melainkan pertemuan dengan sang Uchiha akan segera berakhir.
"Saya juga ada kelas Kebudayaan. Mungkin sudah saatnya saya masuk," timpal Iruka yang kini berdiri. "Kakashi-san dan Shikaku-san bagaimana?" tanyanya pada kedua pemuda di sampingnya.
"Kami belum lama keluar tadi. Kuliah berikutnya kurang lebih sejam lagi," jawab Shikaku.
Kakashi menambah dengan sebuah cengiran dari balik maskernya, "tidak apa-apa 'kan kalau makanan kalian buat kami saja?"
Iruka menaikkan sebelah alisnya, "Kakashi-san, apa dua porsi donburi belum cukup untukmu? Ya ampun, jangan karena kau sering berolahraga lalu makan banyak, nanti perutmu buncit loh!" ujarnya sambil tersenyum.
"Hanya jaga-jaga," balas Kakashi, "mungkin sebentar siang aku tak akan sempat makan."
Sang Uchiha lalu memandang pemuda berambut pirang di dekatnya. Ia pun berusaha meminimalisir rasa enggannya untuk pergi dan berkata, "aku duluan, Minato-san."
"H-hai!" jawab Minato dengan sedikit kaget karena perhatiannya sempat teralihkan pada Iruka dan Kakashi.
"Selamat belajar, Fugaku-san," salam Kushina yang kini meraih lengan Minato, "kami juga akan ke kelas setelah ini," tambahnya seraya menarik lengan yang dibaluti sweater coklat itu.
Fugaku berusaha mengalihkan pandangannya dari lengan Minato yang dipegang oleh Kushina itu dengan memandang ke arah Iruka dan yang lainnya. Ia lalu mengangguk pelan sebagai tanda salam, sebelum akhirnya mengambil langkah meninggalkan kantin.
Tanpa diketahuinya, sepasang mata beriris lautan tengah menatapnya lurus-lurus. Seakan tak ingin mengalihkan pandangan, Minato masih menatap lekat punggung pemuda itu. Punggung yang entah mengapa begitu menarik minatnya dari pemuda yang memang telah merebut perhatiannya sedari awal mereka bertemu.
Menyadari perubahan sikapnya, Kushina kembali menarik lengan Minato—berusaha mengalihkan pandangan pemuda pirang itu padanya. "Mina-kun, ayo, kita juga pergi," ajaknya sambil tersenyum manis.
Awalnya Minato masih menatap punggung itu, namun, ia pun segera mengiyakan ajakan sang Uzumaki. "Kami permisi ya. Ah, Kakashi-kun, udonku untukmu saja."
"Arigato, senpai!" balas Kakashi segera.
_Teater Otto_
Suasana panggung yang gelap dengan tirai hitam bercorak merah mulai terasa mencekam. Udara dingin seperti kutub utara semakin terasa melingkupi keseluruhan napas yang berhembus di dalamnya. Ketegangan yang mulai tampak ketika tirai diangkat pun semakin memuncak, memperlihatkan sesosok makhluk dengan jubah hitam yang setengah wajahnya ditutupi topeng perak berkilau dengan mata haus akan darah yang disukainya.
Sang Phantom, makhluk yang hidup di bawah panggung tempat lakon sandiwara dimainkan. Makhluk yang tak pernah melihat luar karena belenggu hitam nan berat yang menangkap kedua kakinya. Makhluk yang tenggelam dalam kesendirian yang mengerikan… hingga ia bertemu dengan seseorang.
Christine, wanita biasa yang bermimpi untuk menjadi aktris yang bersinar di atas segala kemegahan panggung. Wanita ini tengah berdiri, berhadapan dengan sang Phantom untuk pertama kali. Sedikit rasa takut yang melandanya, tapi ia tak gentar. Wanita itu penasaran dengan sosok kegelapan yang menghantuinya.
Sang Phantom pun demikian. Makhluk itu penasaran dengan wanita yang tidak takut berhadapan dengannya yang dikenal sebagai monster itu. Ia, mungkin tanpa sengaja telah jatuh hati pada sang wanita yang tengah bermain panggung sendirian. Sama sepertinya, terperangkap dalam rasa sepi yang abadi.
Perlahan, sang Phantom maju mendekati Christine yang juga maju mendekatinya. Satu tangannya mulai terangkat seakan bermaksud menyentuh sang wanita. Ketika dirasa lembut pipi yang disentuhnya meski terhalangi oleh gloves, Phantom memajukan wajah dan menghentikannya tepat di depan wajah putih nan halus itu.
Wanita berambut coklat bergelombang itu hanya diam menatapnya. Tak ada keraguan dan ketakutan dalam bola mata hijau yang dimilikinya. Malahan, Christine semakin memajukan wajahnya lalu mengambil satu kecupan lembut dari bibir dingin sang Phantom.
Di baris kedua bangku penonton yang hampir penuh, duduklah seorang lelaki muda berambut hitam dan bermata sama.
Entah kenapa Fugaku merasa perih melihat adegan itu dengan kedua mata oniksnya. Hanya sebuah scene, hanya satu kecupan lembut sang Phantom dan Christine, yang ia ketahui diperankan oleh Minato dan Kushina.
Fugaku memejamkan mata perlahan. Mencoba menganggap bahwa rasa sesak ini muncul karena ia terbawa alur drama—tapi kalau memang begitu, bukankah seharusnya ia merasa terharu ketimbang sesak seperti ini? Lagipula, toh ini hanya sebuah pentas drama, hanya tokoh-tokoh yang dilakonkan dalam sebuah alur cerita. Dan kalaupun dua orang itu memang menjalin hubungan—apa urusannya? Ia bukan siapa-siapa. Bukan siapa-siapa… tapi mengapa ia merasa seperti ini?
Sang Uchiha kembali membuka matanya, berusaha fokus kembali pada drama yang tengah ditontonnya.
Di tengah-tengah pertemuan sang Phantom dan Christine, tiba-tiba muncullah tentara Perancis yang diketuai oleh pemilik panggung yang juga merupakan tunangan sang wanita. Para tentara itu pun segera mengepung Phantom lalu menangkapnya. Keriuhan menggema dalam ruangan dingin itu ketika teriakan Christine meledak—memohon agar Phantom dibebaskan. Sang tunangan yang marah memerintahkan para tentara untuk menggantung Phantom dengan dalih agar penduduk merasa aman dari kekejiannya.
Phantom pun mulai memberontak. Dengan sekuat tenaga, makhluk kegelapan itu berusaha membebaskan diri sehingga berakibat lepasnya topeng perak yang menutupi sebagian wajahnya. Para tentara berjengit, ketakutan menguasai mereka hingga membuat mereka melarikan diri, meninggalkan sang Phantom dengan Christine dan sang tunangan. Tak lama, sang tunangan pun pergi meninggalkan sang wanita, mengatakan bahwa Ia tak lagi mengenal Christine yang telah terkotori oleh noda yang tak bisa dibersihkan.
Sementara itu, Christine terdiam, terpaku menatap wajah sang Phantom yang telah bebas dari topeng peraknya. Wajah yang dilihatnya sungguh tak enak dipandang. Sekeliling mata kirinya penuh dengan luka bakar yang berwarna hitam kemerahan sementara yang kanan seperti habis tersayat-sayat pisau api, membuat kedua mata itu tampak mengerikan. Pada bagian dahi, terdapat dua lubang yang telah tertutup di dalam yang semakin menambah kengerian wajah tanpa topeng itu… mampu membuat siapapun melarikan diri. Namun, tidak untuk kali ini.
Perlahan, Christine maju untuk kembali mendekati sang Phantom yang menyiratkan kesedihan dan kecemasan dalam bola matanya. Jemarinya yang lentik menyentuh kedua belah pipi sang Phantom seraya menariknya mendekat. Sebuah senyum tulus kini bermain di bibir wanita itu. Mata hijaunya menyiratkan rasa kasih sayang untuk sang monster, berusaha memberitahu bahwa ia ada untuknya.
Sang Phantom pun perlahan tersenyum.
Bersamaan dengan itu, tirai hitam kembali diturunkan.
Suara tepukan tangan para penonton riuh bergemuruh. Tangan Fugaku juga ikut bertepuk, menyanjung betapa baiknya drama yang baru ia saksikan. Tapi kakinya segera ia gerakkan untuk berdiri. Sungguh. Entah karena alasan apa, ia tak nyaman untuk berada di sini lebih lama lagi, melihat mereka—ah, sudahlah. Ia masih punya beberapa tugas kuliah yang harus dikerjakannya minggu ini, dan itu bisa menjadi alasan yang tepat baginya untuk segera melangkah meninggalkan kursinya dan pulang.
Hanya beberapa detik setelahnya, para pemain sandiwara Phantom of The Opera berbaris membentuk garis horizontal di atas panggung. Saling berpegangan tangan, mereka pun membungkuk menjawab tepukan yang diberikan para penonton. Para pemain telah kembali menjadi diri mereka yang asli yang dapat tersenyum dan tertawa lega menghadapi akhir dari sandiwara mereka. Termasuk kedua tokoh utamanya.
Mata hijau Kushina yang berperan sebagai Christine mendapati satu sosok yang berdiri di antara ribuan penonton. Gadis itu tersenyum mengetahui ternyata teman barunya dan Minato menyaksikan pertunjukan mereka. Saat ia beralih untuk memberitahu Minato akan kedatangan Fugaku, ia terhenti. Ia terdiam melihat sosok Minato yang tengah menatap Fugaku dengan mata biru lautnya yang menyiratkan sesuatu yang seperti disadarinya. Sesuatu yang dulu hingga sekarang memenuhi warna emerald miliknya. Belum lagi senyuman yang direkahkan Minato, begitu lembut dan penuh kasih sayang. Gadis itu tersentak.
Mina-kun, jangan-jangan kau…
Sayangnya Fugaku tak sempat membalas pandangan itu—tidak, ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan sudah terlanjur menoleh ke arah lain saat tirai tadi kembali terbuka untuk menampilkan para pemain. Ia memutuskan untuk tidak lagi membuang waktu dan telah melangkah menuju pintu keluar dengan tenang.
"Mina-kun," panggil Kushina setelah berganti pakaian. Pemuda yang dipanggil masih diam, tak menunjukkan reaksi apa-apa. "Mina-kun, kau mendengarku?" tanya Kushina lagi, kali ini Minato menolehkan wajahnya.
"Ya, Shina-chan?"
Sejenak, Kushina menatap bola mata laut milik Minato lekat. Pandangan yang biasa terarah lurus padanya kini terlihat berbeda. Seperti melihat sesuatu diawang-awang, itulah yang tampak. Sedikit kesal, Kushina mencubit pipi Minato dan memelarkannya.
"A-aduuh! Shina-chan!" kaget Minato, "apaan si—" protesnya terhenti oleh sebuah kecupan yang dirasa pipinya yang tadi dicubit. "…Shina-chan?" bingungnya.
Kushina tersenyum lebar, "Tak ada apa-apa kok!" serunya seraya berjalan menuju pintu keluar, mendahului Minato yang masih kebingungan. Dalam hatinya, ia merasakan badai akan segera datang… untuk menghancurkan hubungannya dengan pemuda pirang teman masa kecilnya itu.
-
To Be Continued…
-
p.s.: Sebelum ditanyakan… saya menggerakkan Fugaku di sini, dan Kyou yang memerankan Minato (plus kawan-kawannya). Maaf kalau masih ada mistype atau kesalahan ejaan lain karena kepala saya udah pusing. Hihi. Just don't be afraid to tell me if you find any! ;D
p.p.s: Tolong jangan tagih fanfic mana pun kepada saya karena saya lagi… stuck. Ide ada banyak, tapi kesempatan untuk bisa menuangkannya dengan duduk di depan komputer pada waktu dan mood yang tepat itu bener-bener susah buat ditemukan. RP Fanfic ini masih bisa jalan karena dilakukan lewat message FB dan dari HP-pun tetap luancarr. Bahkan Kyou sekalipun harus banyak bersabar kalau saya males nge-reply thread RP-nya gara-gara stress. Apa boleh buat, my home's now full with chaos again~ jiakakakak! *error*
p.p.p.s: (Emang ada? *tampoled*) Untuk yang masih ujian… The last day… SEMANGAT!
Please push that cute purple/green review bottom and leave me some comment…
yeah, if you don't mind, of course! :3
