Lampu-lampu menyorot pada sebuah panggung kecil di tengah studio. Kamera yang tersebar di sekeliling panggung sudah dalam kondisi menyala. PD acara talkshow tersebut sudah mulai memberi arahan pada Sang Host yang sudah siap di panggung sambil membenahi poninya yang menutupi sebagian wajah. Penonton sudah duduk rapi di kursi-kuris yang tersedia.
Seorang kru menghitung jumlah bintang tamu yang kali itu tidak sedikit. Ada delapan orang. Kemudian ia memberi acungan jempol pada PD. Sang PD mulai memberi aba-aba untuk semua kru yang bertugas. "Tiga, dua, satu!"
"Kembali lagi dalam acara Heart to Heart bersama saya Lee Sojung, host Anda, yang akan memandu Anda selama satu jam ke depan," kata seorang perempuan cantik berambut panjang sambil menatap ke salah satu kamera yang lampunya berkedip-kedip.
"Tujuh tahun lalu, grup ini melakukan debutnya dengan mengusung konsep yang berbeda dari grup-grup lain yang sedang booming di masanya. Mereka berhasil menembus pasar internasional dengan album pertama mereka yang banyak dinanti fans dan berhasil menjuarai chart-chart musik nomor satu di berbagai belahan dunia berdasarkan penjualan album dan lagu secara nyata maupun online. Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan yang memiliki subgrup masing-masing." Sojung tersenyum. "Langsung saja kita sambut mereka."
Empat orang laki-laki dan perempuan memasuki panggung. Mereka berjejer. Salah satu diantaranya yang paling tinggi berkata, "We are one. We are…"
"EXO!"
.
.
.
.
.
Seorang perempuan sedang duduk di depan cermin dengan mata tertutup. Ia membiarkan seorang makeup profesional melakukan pekerjaannya dengan baik. Ia menikmati sapuan-sapuan makeup yang terasa seperti pijatan lembut di wajahnya. Ketika ia membuka mata, wajahnya yang semula polos kini sudah benar-benar berbeda, terutama pada bagian mata yang dijadikan fokus.
Ia kemudian digiring ke belakang panggung, menunggu gilirannya untuk berjalan di atas catwalk. Tubuhnya mungkin tidak seperti model-model profesional yang memiliki tinggi lebih dari seratus tujuh puluh lima senti meter. Tingginya hanya seratus enam puluh delapan, namun dengan modal nama besar dan senyum menawan serta tubuh yang elok membuatnya tidak kalah menarik dari model-model tersebut.
Ia mulai berjalan dengan pandangan lurus, menampilkan gaun pengantin berwarna putih yang ia kenakan. Ya, ia memang diminta untuk menjadi model gaun pengantin milik designer ternama, Vera Wang. Ia mengenakan gaun dengan aksen brukat di bagian pinggang dan ujung-ujung bawah gaunnya yang terlihat bersinar kala disorot lampu. Ekor gaun ini pun tidak terlalu panjang, hanya sekitar satu setengah meter. Ia pernah membayangkan ia akan memakai gaun seindah ini ketika menikah nanti.
Menikah? Ah, sepertinya ia masih harus menunggu beberapa tahun lagi untuk impian indah itu.
Setelah kembali ke belakang panggung, ia meminta ponselnya dari Sang Manager yang menemani lalu menelfon seseorang. Tak lama panggilan pun dijawab, tapi bukan suara orang yang ia tuju yang ia dengar. Suara orang lain.
"Yeoboseyo?"
"Yeoboseyo, Manager Oppa," katanya.
"Ah… Lay-ah. Kau masih saja sempat-sempatnya memegang ponsel saat bekerja. Kau sedang ada dalam peragaan busana, kan?" kata orang itu. "Kau menelfon tepat setelah dia menyelesaikan pertunjukkannya. Akan kuberikan padanya. Tunggu sebentar."
Lay menunggu telefonnya dijawab lagi dengan sapaan, "Yeoboseyo," oleh orang yang ia maksud.
"Hai. Bagaimana pertunjukkannya? Lancar?" tanya Lay.
.
.
.
.
.
Seorang laki-laki berambut hitam berdiri di bawah guyuran hujan tanpa menggunakan payung. Ia tidak mempedulikan air yang sudah membasahi sekujur tubuhnya. Matanya terpaku pada satu sosok perempuan yang kini berdiri di depannya sambil menangis dan sama basahnya dengan dia. Tangan putihnya terulur untuk menyeka air mata gadis itu, namun ditepis.
"Pergi. Bukankah kau lebih memilihnya?" tanya perempuan itu sambil membuang pandang ke arah lain. Ia tak habis pikir dengan kekasihnya yang mengkhianati kepercayaannya selama dua tahun ini. "Kubilang pergi! Kenapa kau masih ada di sini?"
"SooYeon-ah…" bisik lelaki itu. Ia menarik gadis itu masuk dalam pelukannya meski gadis itu memberontak. "Mianhae… jeongmal mianhae…"
Gadis itu memukul dada lelaki berambut hitam tersebut sambil terus menangis. "Kau menyebalkan! Kenapa kau selalu menyakitiku? Aku benci padamu."
Lelaki itu memandang sendu pada genangan air di jalan akibat hujan yang masih tetap mengguyur mereka. Ia tahu, ini semua salahnya. Ia bermain api di belakang kekasihnya, tapi tak berani untuk mengatakan yang sesungguhnya kalau ia bosan dengan hubungan ini. Katakan ia egois karena tidak mau melepaskannya. Karena di dasar hatinya, ia benar-benar mencintai kekasihnya.
Lama mereka berpelukan sampai akhirnya sang sutradara yang sejak tadi memandang monitor berteriak, "CUT!" Hujan buatan yang tadi mengguyur mereka langsung berhenti. Kru langsung menghampiri kedua aktris dan aktor yang sudah melepaskan pelukannya dan menyerahkan handuk pada masing-masing merka.
Sang sutradara menghampiri mereka sambil menepuk-nepuk pundak keduanya, "Kerja bagus, Sohee-sshi, Chanyeol-sshi."
Chanyeol langsung memberikan senyum lima jari andalannya.
.
.
.
.
.
Seorang gadis sedang bergelung dalam sebuah selimut dengan nyaman. Berbeda dengan orang lain yang memilih pantai, baginya hawa musim panas adalah saat-saat terbaik untuk tidur. Suhu udara tidak dingin, juga cukup hangat. Ia tidak merasa terusik dengan cahaya matahari yang sudah mengintip dari sela-sela gorden. Tidak sampai suara ponsel yang nyaring memaksanya untuk bangun.
Matanya baru terbuka setengah ketika tangannya meraba-raba ke bawah bantal kepalanya di mana ia meletakkan ponselnya semalam—atau tadi subuh. Kemudian ia berhasil mendapatkan benda tipis berwarna putih itu. Ia tidak bisa melihat tulisan di layar dengan jelas. Ia pun langsung men-slide layarnya dan menempelkan ponsel itu ke telinga.
"Yeoboseyo?" tanyanya dengan suara serak.
"Xi Luhan! Perempuan macam apa kau jam segini belum bangun?" seru suara perempuan di seberang sana. Ia mengenali suaranya sebagai suara milik bibinya.
Gadis itu, Luhan, melirik jam bundar yang terpasang di salah satu dinding kamarnya. Baru jam delapan. Masih terlalu pagi untuknya bangun mengingat ia baru sampai di apartemennya jam satu pagi setelah mendarat di Bandara Gimpo. Luhan menenggelamkan kepalanya di bantal, hal yang jarang ia lakukan. Ia bersiap memejamkan matanya lagi kalau saja suara bibinya tidak mengagetkan gedang telinganya.
"Pantas saja kau belum menikah sampai sekarang. Tidak akan ada lelaki yang mau dengan perempuan pemalas sepertimu, Xi Luhan!"
"Bibi… ini masih pagi. Aku masih mengantuk," balas Luhan dengan suara paruh. "Sudah, ya?" Sungguh, ia malas meladeni adik ibunya ini.
"Hei kau, Bocah! Jangan matikan telefonnya!–PIP."
Terlambat. Luhan sudah terlanjur memutus panggilan. Ia malas mendengar ceramah yang selalu menjadi bahan pertanyaan keluarganya di China. "Kapan menikah?" Luhan sudah bosan mendengarnya. Memangnya salah kalau di usianya yang menginjak kepala tiga ia masih belum memiliki pendamping hidup? Lihat para artis Hollywood, mereka santai saja hidup melajang sampai hampir mencapai usia empat puluhan.
Beep beep… beep beep…
Ponsel Luhan kembali berbunyi. Luhan mengerang kesal. Tanpa prikeponselan, ia melempar ponselnya ke pojok ruangan sampai casing dan baterainya terlepas dan ponsel itu benar-benar mati total. Ia tidak peduli. Toh ia bisa beli lagi yang baru.
.
.
.
.
.
Seorang lelaki berkacamata hitam baru saja keluar dari sebuah gedung berwarna merah muda berjalan dengan cepat menuju mobilnya meski sekarang sedang diburu oleh para pencari berita yang akhir-akhir ini mengikuti dirinya kemanapun ia pergi. Ia tetap bungkam meski ditanyai bermacam-macam pertanyaan.
"Kris-sshi, apakah benar Anda sedang menjalin hubungan dengan seorang gadis asal China?" tanya salah seorang wartawan. Tangannya yang memegang tape recorder diarahkan pada lelaki itu.
Kris bungkam. Ia berjalan sambil menunduk, menghindari kontak mata dengan lensa-lensa kamera yang terus menyorotnya sejak ia keluar dari gedung SM. Ia membiarkan managernya yang mendampingi dia menghalau para wartawan agar ia bisa segera mencapai satu-satunya mobil Lamborghini hitam di parkiran. Ia tidak peduli akan dicap sombong oleh wartawan dan masyarakat.
"Siapa gadis beruntung itu? Apakah Luhan-sshi?"
"Apakah Anda akan segera mengikuti jejak Xiumin-sshi ke pelaminan?"
"Kapan Anda berniat memperkenalkan gadis misterius itu?"
KRIS, LEADER EXO, TERLIHAT BERKENCAN SEORANG GADIS DI PAGI HARI BUTA.
Berita yang manis, bukan? Topik itu sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan fans dan media masa sejak foto Kris bermain basket dengan seorang gadis tersebar luas di internet. Sejak hari itu pula hidup Kris menjadi jauh lebih berisik dari biasanya. Tidak cukup dengan sasaeng-fans yang masih sering mondar-mandir di depan apartemennya, wartawan pun ikut-ikutan menunggunya di basement.
Akhirnya Kris berhasil masuk ke dalam mobil. Ia merogoh kantong jaketnya dan mengeluarkan sebuah ponsel touch screen keluaran terbaru lalu membuka menu kontak dan melakukan panggilan ke salah satu nomor. Bunyi nada sambung terdengar.
"Yeoboseyo. Ada apa, Ge?"
"Baby, kurasa kencan kita hari minggu nanti harus dibatalkan. Dui bu qi."
.
.
.
.
.
Cling…
Seorang perempuan berpipi chubby berlari keluar ke bagian front, membuat café yang mulanya sudah ramai dan ribut semakin menjadi-jadi. Ia hampir saja membuat lelaki berahang tegas yang sedang memegang sepiring cake menjatuhkan bawaannya. Ia masih mengatur napasnya sebelum akhirnya mulai bicara. "JongMin benar-benar rewel hari ini. Ia sama sekali tidak mau kutinggal dan terus-terusan menangis. Makanya tadi aku membawanya ke rumah Ibu."
Lelaki berwajah kotak itu menyerahkan sepiring blueberry cake pada salah seorang pegawainya agar diantarkan ke meja pelanggan nomor delapan. "Kau harusnya di rumah saja mengurus JongMin. Dia kan masih kecil dan butuh perhatianmu."
"Tapi kau di sini juga butuh bantuanku," balasnya. "Café ramai sekali hari ini. Ada yang bisa kuantar lagi?" tanyanya.
Lelaki berwajah kotak itu memutar tubuh istrinya menuju dapur. "Tidak. Kau pulang saja, Minseokkie."
"Chenchen! Aku mau menjadi istri yang baik dengan membantumu di sini. Kenapa kau selalu melarangku?" tanya Xiumin sambil menggelembungkan pipi. Ia berbalik kemudian memegangi kedua pipi suaminya. Ia menatap sepasang mata onyx yang dilapisi kacamata persegi itu. "Aku tidak mau kalau JongDae sampai sakit karena kecapekan."
Chen tertawa mendengar Xiumin menyebut nama aslinya yang mirip dengan nama putra mereka. "Menjadi istri yang baik bagiku berarti menjadi ibu yang baik bagi anak kita."
Xiumin merengut. "Kau membuatku terdengar seperti menelantarkan JongMin," keluhnya.
Chen mencubit ujung hidung Xiumin. "Aku tidak berkata seperti itu, kan?"
"Secara tidak langsung iya. Sudahlah, aku mau bekerja dan tidak mau mendengar penolakan darimu, Yeobo," kata Xiumin sambil mengantarkan pesanan yang sudah disiapkan oleh pekerjanya. Sebenarnya ia malu karena banyak pengunjung café-nya yang mengabadikan momen lovey-dovey dirinya dengan Chen.
Chen kembali tertawa melihat wajah Xiumin yang sudah memerah bak kepiting rebus.
.
.
.
.
.
Tepuk tangan riuh dari penonton menggema dalam gedung pertunjukan di pusat Kota Seoul. Para pemain drama musikal yang tadi tampil berdiri berjajar di panggung, saling bergandengan tangan, lalu membungkuk memberi hormat pada para penonton sebelum tirai merah ditutup.
Lelaki berkulit putih yang tadi memerankan peran utama pria berpelukan dengan pemain-pemain lain karena hari ini adalah pertunjukkan terakhirnya dengan mereka. Ia pasti akan sangat merindukan drama musikal ini karena sudah mengisi hampir setengah tahun harinya mulai dari pembelajaran naskah, lagu, sampai akhirnya pementasan yang diadakan selama seminggu kemarin berakhir hari ini.
"Suho-sshi, senang berkerjasama denganmu," kata Luna yang menjadi partner Suho. Luna f(x) menjadi pemeran utama wanita dalam drama ini.
Suho membungkuk hormat pada Luna. "Terima kasih, Sunbae-nim."
Luna tertawa mendengar panggilan Suho untuknya. Ia menepuk-nepuk pundak lelaki yang lebih tinggi darinya itu. "Kau masih sama seperti dulu. Tetap formal dan kaku. Tidak berubah," katanya membuat Suho tersenyum menanggapinya.
"Suho-ah!" panggil seorang lelaki yang adalah manager Suho. Ia menyodorkan ponsel hitam ke depan lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu. "Ada panggilan untukmu." Managernya tersenyum menggoda Suho. Lelaki bermarga Kim itu sudah bisa menebak siapa yang menghubunginya.
Suho menepi dari keramaian sebelum menjawab telefon. "Yeoboseyo?"
"Hai. Bagaimana pertunjukkannya? Lancar?" tanya seseorang di seberang sana yang berhasil membuat Suho tersenyum sumringah hanya dengan mendengar suaranya.
"Tentu saja," jawab Suho mantap.
"Maaf aku tidak bisa menontonmu. Ada jadwal di China. Tidak apa-apa, kan?" tanya orang itu. "Oh ya, lusa aku kembali ke Korea. Katanya ada interview dengan EXO."
"Benar, kah? Aku belum diberi tahu." Otak Suho tidak berhenti sampai di sana. Bukan Suho namanya kalau tidak bisa menggombal—makanya ia disebut lelaki bermulut besar oleh teman-teman segrupnya. "Tapi aku pasti menjemputmu di bandara, Nona Zhang. Atau perlu kupanggil Nyonya Kim?"
Suho bisa mendengar suara kekehan geli di seberang sana. "Buktikan saja, Tuan Kim. Annyeong…"
.
.
.
.
.
Jreng…
"A… A… A… A… A… A… A… A…"
Jreng…
"A… A… A… A… A… A… A… A…"
Jreng…
"A… A… A… A… A… A…A… A…"
Jreng…
"A… A… A… A–"
Perempuan itu langsung menghentikan latihan vokalnya ketika ia gagal menggapai nada yang lebih tinggi. Ia memengangi lehernya. Akhir-akhir ini suara yang memang sedang tidak bagus sehingga tidak bisa mencapai nada-nada tinggi dengan mudah seperti biasanya. Ia meraih sebotol air yang ditaruh di atas piano lalu meminumnya hingga habis.
Guru vokalnya menghela napas. "Kusarankan dua hari ini kau banyak-banyak minum air dan jangan banyak bicara dulu, Kyungsoo-ah. Jangan makan gorengan, jangan makan biskuit atau kripik, dan jangan minum air dingin. Itu semua buruk bagi tenggorokan."
Ia ingat, beberapa hari lalu ia makan banyak popcorn saat pergi menonton. Kyungsoo menyesal dan membungkukkan badannya berkali-kali, "Joesonghamnida."
Gurunya tersenyum sambil menutup piano tersebut. Ia paham bagaimana perasaan dan usaha muridnya dalam mempersiapkan album perdananya meskipun ia sudah dikenal luas oleh masyarakat. "Jangan dibawa stress. Kau pasti bisa. Suaramu tak kalah bagus dengan suara Baekhyun."
Kyungsoo tersenyum mendengar kalimat dorongan yang diberikan guru vokalnya. "Ne. Kamsahamnida, Seosaengnim."
.
.
.
.
.
"Satu… Dua… Tiga."
BLITZ.
"Sekali lagi. Satu, dua, tiga."
BLITZ.
"Yak cukup!"
Namja yang sejak tadi diminta berpose di bawah sengatan terik matahari kini berjalan menuju bawah tenda di mana kru-kru pemotretan juga bekerja. Ia melihat hasil pengambilan fotonya yang langsung masuk ke dalam komputer untuk kemudian diseleksi yang terbaik. Ada puluhan foto dengan pose yang berbeda-beda di sana, namun tujuannya satu, memasarkan kaos yang kini sedang ia pakai.
Ia mengucapkan terima kasih pada salah seorang yang memberikannya sekaleng minuman dingin padanya setelah hampir dua pulut menit dibiarkan terjemur di bawah sinar matahari. Kulitnya yang sudah hitam makin terlihat memerah karena panasnya matahari pantai. Matanya memandang pada air laut yang memantulkan cahaya matahari. Muncul godaan untuk mencicipi ombak Pantai Kuta yang sangat terkenal itu. Pasti menyegarkan, pikirnya. Namun pikiran untuk bermain air segera ia hapus mengingat ia masih memiliki pekerjaan lain di Bali.
Toh besok ia memiliki satu hari free untuk bermain-main di pantai. Bersabarlah, Kai.
"Hyung, aku lapar," keluh Kai pada managernya.
"Sebentar, Kai. Masih ada satu sesi lagi. Setelah itu terserah kau mau makan apa," kata Manager.
Kai mendengus. Sungguh, perutnya lapar. Kalau saja EXO masih utuh, ia pasti sudah meminta pada Kyungsoo Noona atau Luhan Noona yang memang selalu membawa cemilan kemana-mana dalam tasnya. Kai sempat menjuluki tas Kyungsoo dan Luhan sebagai minimarket berjalan karena cemilan yang ia inginkan hampir selalu ada dalam tas dua perempuan itu.
"Setelah photoshoot ini, aku punya jadwal apalagi, Hyung?" tanya Kai sambil berjalan menuju lokasi pemotretan selanjutnya yang kebetulan tak jauh dari sana.
Manager Hyung membuka tablet-nya, melihat agenda Kai yang hampir selalu penuh. "Berbahagialah, kau punya jadwal interview dengan member EXO Jumat depan."
Kai tersenyum sambil memandang cakrawala yang terlihat cerah dengan langit berwarna biru muda dihiasi oleh gumpalan awan yang menggantung di langit layaknya ikan di laut. Ia rindu dengan tujuh member EXO lainnya yang kini sibuk dengan urusan masing-masing.
Sudah setahun, ya?
.
.
.
EXO © SM Entertainment ® 2012
.
.
.
Kazuma House Production
proudly present…
.
.
.
Me Prometa 2 : Years After
® 2013
.
.
.
COMING SOON
.
.
.
