Hutan yang terlihat indah siang tadi, saat ini menampakkan sisinya yang lain. Malam adalah sesuatu hal yang ajaib. Yang mampu memperlihatkan wajah asli suatu tempat. Atau mungkin manusia, yang saat siang terlihat berkilauan oleh cahaya matahari yang terang.

Tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menutupi wajah aslinya dari sang malam. Ketakutan, keputus asaan, amarah, kebencian, kesedihan, dan kesepian. Dan malam ini, adalah malam yang tak akan pernah kulupakan.

"...hah...hah...hah..." aku menyandarkan tubuhku sejenak pada batang pohon besar disampingku. Si kecil yang tertidur di punggungku mulai tersadar.

"Kakak... Apa yang terjadi?" tanya anak lelaki kecil polos yang tak tahu apapun.

"Kita harus pergi...." jawabku masih terengah-engah. Sang bunga malam memunculkan wajahnya dari balik awan gelap, memperlihatkan sosok adikku dengan lebih jelas. Kulitnya yang putih terlihat pucat, tangan kecilnya gemetar, matanya yang sebiru laut yang paling dalam itu mulai berubah perlahan menjadi warna yang tak pernah dimiliki manusia. Warna merah darah yang bersinar dalam kegelapan.

"Mana ayah dan ibu?" tanyanya lagi. Aku memalingkan wajahku. Takut. Kaget. Setiap kata yang ia katakan membuatku gemetar, karena ia memperlihatkan sepasang taring yang seakan siap untuk menusuk leherku yang berada tepat di bawah hidungnya.

"Mereka...." sebelum aku menjawab pertanyaannya, terdengar sayup-sayup suara dari kejauhan.

"Dimana?"

".....tahu...."

"...sana...."

"dia..."

Lebih dari 20 orang mengejar kami. Aku segera berdiri tegak dan melihat sekeliling. Takut, bila mereka sudah berhasil mengejar kami.

"Kita harus segera pergi, Aki!" Aku kembali memerintahkan kakiku untuk berlari sekuat tenaga. Aki yang tak tahu apa-apa itu hanya memeluk erat leherku. Wajahnya tertunduk. Pipinya yang dingin menempel pada pundakku. Sekali lagi aku ketakutan. Tapi sekali lagi kuyakinkan pada diriku, dia adalah adikku.

Saat itu hanya bunga malamlah, yang menyaksikan peristiwa lenyapnya sebuah memori.

-----------

Angin musim semi yang sejuk melambaikan ranting-ranting pohon disekelilingku, menerbangkan dedaunan hijau yang mulai tumbuh. Aku melompati bebatuan kecil ditengah sungai bening. Suara gemericik air mengalihkan pandanganku. Aku memperhatikan pantulan diriku di air. Rambut hitam panjangku menari tertiup angin. Aku memfokuskan pandanganku pada mata biru yang menatap lurus. 'tak bisakah warna ini abadi?' tanyaku pada diri sendiri. 5 tahun berlalu sejak hari itu, tapi detik-detik yang kulewatkan masih tetap melekat dalam pikiran. Sungai yang transparan ini menyilaukan, aku tak mampu melihatnya terlalu lama, apalagi cahaya yang masuk di sela-sela awan menambah kilauannya.

"Akiiiiiii...." kuteriakkan nama adikku yang terkasih. Tak ada jawaban.

Aku kembali melompat ke bebatuan di depanku. Sambil berpikir, ke arah mana aku harus melompat supaya tidak terkena cipratan air jernih yang hangat.

"Akiiitoooo..." teriakku lagi. masih tak ada jawaban. Kali ini aku melompat dari batuan terakhir di sungai dan mendarat di tanah lembab. Aku memasang sepatu yang dari tadi aku pegang.

"Akiiii.... Kau dimanaaaaa?" lagi-lagi aku meneriakkan namanya. Aki memang anak yang lincah, sekali saja luput dari pandanganku, ia selalu berlari kesana-kemari.

"Kemana anak itu?" tanyaku tidak pada siapapun. Kali ini aku menyusuri pinggir sungai. Dengan harapan menemukan ia bermain air.

"Aki—" saat aku menoleh, benar saja. Ternyata ia memang di pinggir sungai. Ia terlihat sedang memperhatikan sesuatu dengan seksama. Matanya benar-benar serius. Tapi aku tidak melihat yang ia perhatikan karena terhalangi batu besar. Aku berlari menyusulnya.

"Aki! Kau kemana saja! Jangan membuat kakak khawatir dong!" teriakku padanya. Ia menoleh. Pandangannya berubah menjadi khawatir.

"Kau sedang lihat apa sih?" aku menengok ke arah di balik batu.

"......!!!" begitu melihatnya, aku tak sanggup lagi berfikir. Mataku perih. Jantungku berdebar tak karuan. Dadaku panas. Seorang pria tak sadarkan diri dengan bersimbah darah. Aku mengalihkan pandanganku pada Aki.

"Aki! Apa yang kau lakukan?!" teriakku padanya. Tapi ia justru berlinang air mata.

"Bukan Aki....! Aki menemukannya sudah seperti ini...!" ia menangis kencang. Tangisannya membuatku tersadar dari khayalanku.

"Maafkan Aki.... Jangan marah kakak!" teriakkan Aki, memilukan hatiku. Aku langsung memeluknya. Tanpa sempat berfikir. Aku malu telah mencurigai adikku sendiri.

"Kakak tidak marah. Tenanglah Aki..." setelah mendengar kata-kataku, Ia langsung berhenti menangis. Aku melepaskan pelukanku, menatap pada pria yang penuh darah itu. Ia masih bernafas.

"Aki, bantu kakak membawa pulang orang ini ya.." pintaku pada Aki yang masih sedang terisak-isak. Lalu ia cepat-cepat menghapus air matanya, dan mengangguk.

-----------

Aku membawanya ke rumah, lalu menidurkannya di kasurku. Aku keluar kamar dan mengambil beberapa peralatan untuk mengobatinya, sekaligus air hangat untuk menghapus darah yang menempel ditubuhnya.

Aku duduk disamping pria ini. Kuperhatikan dengan seksama wajahnya yang pucat. Wajahku tiba-tiba terasa panas. Rambutnya yang berwarna silver berkilauan oleh cahaya matahari yang menyelinap dari sela-sela jendela.

Aku meletakkan tanganku di dadanya, mencoba melepaskan pakaian yang sudah berubah warna menjadi merah darah.

Kubuka kancing pertama dari kemeja hitam yang dikenakannya. Jantungku berdetak kencang saat nafas hangat pria ini menyentuh jemariku. Suara tarikan nafasnya membuat dadaku panas. Tapi rasa ini berbeda dengan yang tadi, degupan dan rasa panas di dada ini lebih.... 'nyaman'.

Setelah kancing kedua kubuka, kulitnya yang pucat mulai terlihat. Aku meraba sedikit kulitnya yang tidak terkena darah. Lembut. Aku mulai merasakan degupan jantungnya. Suaranya terdengar. Tegas dan berani.

Selanjutnya kancing ketiga, setengah tubuhnya mulai terlihat. Aku bisa merasakan bahwa pria ini adalah seorang pemburu atau semacamnya. Di dadanya banyak terdapat luka-luka, baik yang masih baru, ataupun yang sudah tinggal bekasnya.

Tanganku turun untuk membuka kancing keempat. Degupan jantungku mengencang. Tubuh pria ini benar-benar sempurna. Pundak yang tegap, dada yang bidang, perut yang kencang. Wajahku semakin merah padam, rasanya panas.

Aku beranjak ke kancing terakhir. Lalu melepaskan seluruh pakaian yang menutupi badan atasnya. Aku beruntung karena menyuruh Aki untuk berada di ruang tengah. Karena saat ini aku tidak ingin memperlihatkan wajahku kepada siapapun.

".....haaaah...." aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diriku. Lalu mengambil handuk di sampingku, mencelupkannya pada air hangat yang sudah disiapkan. Setelah memerasnya, aku menyentuh dadanya dengan handuk hangat yang tadi kubasahi. Pria ini tidak bergeming. Sepertinya lukanya cukup parah.

Aku mulai membasuh darah ditubuhnya. Sedikit demi sedikit. Hingga darahnya lenyap. Tapi luka yang masih menganga, terlihat diperut dan dadanya. Luka yang dalam.

Aku mengambil beberapa obat serbuk dan menaburkannya di luka pria ini. Mengoleskan beberapa obat oles pada luka-luka kecil disekitarnya. Pria ini sepertinya sudah terbiasa dengan rasa sakit, karena seharusnya efek yang ditimbulkan obat serbuk tadi benar-benar perih, tapi pria ini sama sekali tidak bergerak.

Aku membalutkan perban kesekeliling tubuhnya. Melingkarkan tanganku di dadanya. Nafasnya yang panas jatuh ke kulitku. Membuatku merasa sesak. Aku mengambil kapsul dari kotak obat, dan mencoba meminumkannya dengan tanganku. Kubuka mulutnya.

".....!!" tidak mungkin. Aku meraba giginya. Terlihat sepasang taring yang tajam. Aku menyentuh taring itu, mencoba memastikan. Tapi taring itu asli. Takut. Aku menarik tanganku dari mulutnya. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Apa menolongnya adalah hal yang baik? Atau lebih baik kudiamkan saja?

"........" aku terdiam. Berfikir. Akhirnya kuputuskan untuk meneruskannya. Sudah terlambat untuk mundur, karena ia sudah hampir selesai di obati. Bila aku menghentikannya tak ada yang berubah, jadi lebih baik kuteruskan. Aku mengambil air minum dalam gelas diatas meja yang berdiri disamping kasur. Kumasukkan kapsul obat ini ke dalam mulutnya, kubuka perlahan, dan kujatuhkan obatnya. Setelah itu aku mengangkat kepalanya sedikit supaya air yang akan kuminumkan padanya tak akan tumpah.

Selesai, aku kembali meletakkan gelas ke atas meja. Aku memperhatikan pria tampan didepanku. "....haah...." aku kembali menarik nafas. Lalu menyelimuti dirinya dengan selimut putih yang berada di pangkuanku. Pandanganku teralihkan oleh burung yang hinggap di ambang jendela. Menelengkan kepalanya yang seperti kebingungan. Aku tersenyum, pasrah menerima takdirku. Aku menatap ke langit biru cerah yang diwarnai oleh warna putih awan. Suara gemericik air sungai, suara ranting-ranting pohon yang bergesekan, dan suara dedaunan yang terbang ditiup angin tak dapat menutupi suara kekhawatiran di dadaku.

Orang ini. Dia. Sama seperti Aki. Seorang vampire.

-----------

"Kakak, hari ini sarapannya banyak sekali!" suara Aki yang manis selalu membuatku bersemangat. Aku tersenyum padanya, sambil menuangkan sup ke dalam mangkuk, dan meletakkannya ke atas nampan yang sudah disiapkan.

"Iya, ini untuk kakak yang sakit." Kataku sambil menuangkan air putih kedalam gelas.

"Memang dia sudah bangun?" tanyanya sembari mengambil roti di atas meja.

"Kakak akan coba untuk membangunkannya. Karena bagaimana pun ia butuh makan kan?" jawabku, lalu mengangkat nampan dan berjalan ke kamar.

Kubuka pintu kamar dengan kakiku. Rumah ini sudah tua, jadi suara pintu ini sudah berderik keras. Saat memasuki kamar, aku kaget, ternyata pria itu sudah bangun. Ia duduk diatas kasur. Tubuhnya masih dililit perban yang kupasang kemarin. Ia menghadap ke jendela disamping kirinya. Memandang ke langit kosong yang cerah. Cahaya yang masuk dari sela jendela membuatnya terlihat indah.

Aku terpesona pada kilauan dirinya, tapi pesona itu lenyap ketika aku tersadar bahwa pria indah didepanku ini adalah seorang vampire. Tapi kenapa ia tak bergeming memandang langit cerah tanpa awan?

Ia mengalihkan pandangannya padaku. Matanya yang berwarna ungu violet menatapku. Warnanya yang indah terlihat lebih menawan saat matahari memantulkan sorot matanya. Tatapannya yang tegas padaku seakan menyiratkan kalau dia berbahaya. Keheningan menyelimuti udara disekitar kami. Aku menelan ludahku, dan memberanikan diri untuk mendekat.

"Selamat pagi! Aku membawakan sarapan untukmu." Kataku dengan ceria. Untunglah aku bisa bersikap biasa. Aku berjalan mendekat dan meletakkan nampan diatas meja disamping kasur. Tapi pria ini tetap diam. Aku memandangnya dengan senyuman. Matanya sudah terlihat lebih lembut, mungkin cahaya yang terlalu terang tadi membuatku silau.

Aku duduk disamping kasur dan memangku mangkuk sup yang tadi kusiapkan.

"Aku menemukanmu tak sadarkan diri di tepi sungai, karena lukamu cukup parah aku membawamu pulang dan merawatmu. Tapi kau berat juga ya. Hhaha." Kataku tanpa henti untuk menutupi rasa takut dan gugupku.

"Aku buatkan sup hangat, dengan rumput Mugwort. Rumput ini bisa jadi obat, jadi dimakan ya! Walaupun rasanya agak sedikit pahit." Aku masih terus berkata, kalau aku berhenti maka gemetar dari tanganku ini pasti akan terlihat.

"Setelah makan, nanti obatnya dimakan ya. Sudah kusiapkan disamping minumanmu. Kalau perbannya lepas akan kupasang lagi, jadi—"

"Tidak usah pura-pura. Kau tahu yang sebenarnya kan?" tiba-tiba pria ini berbicara. Suaranya yang dalam membuat jantungku berdebar. Entah kenapa, rasa takut tadi sirna tanpa bekas.

"Ketahuan ya?" kataku sambil tertawa ringan. Rasa gemetar dan takut tadi benar-benar hilang. Seakan perasaan itu hanya bayanganku saja. Kenapa? Aku tidak mengerti. Apakah karena aku telah mendengar suaranya? Ya, mungkin karena itu. Tidak ada orang yang mampu membohongi suaranya.

"Asal kau tahu saja. Itu benar-benar darahku, bukan darah menjijikkan orang lain." Jawabnya cepat. Aku heran padanya. Bagaimana mungkin seorang vampire jijik pada darah orang lain? Bukankah darah adalah makanannya?

"Iya, aku tahu. Lukamu cukup parah, jadi wajar saja darahmu keluar begitu banyak." Balasku. Kuurungkan niat untuk mempertanyakan alasan ia membenci darah. Biarlah pertanyaan ini kusimpan dalam hati.

"Ah! Maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Haruka Kisaragi." Kataku tiba-tiba. Ia tetap diam tanpa menatapku. Ia diam seakan sedang berpikir.

"Zero Kiriyu"

-----------