Always Remember

DISCLAIMER: Fujimaki Tadatoshi

ORIGINAL STORY By AUTHOR

CHAPTER 1: About You

.

.

Dengan tergesa-gesa ia menapaki kaki disepanjang koridor, sesekali menolehkan kepala kesetiap ruang kelas yang dilewatinya. Nihil. Tak ditemuinya juga sosok tinggi, berkulit gelap dengan surai dark blue yang dicarinya. Momoi Satsuki—sosok yang sejak tadi mengelilingi sekolah—hanya menghela nafas pasrah. Selalu seperti ini. Bahkan sejak kekalahannya di Winter Cup tahun lalu, laki-laki itu, Aomine Daiki, samasakali tidak berubah. Walau tidak samasekali juga. Sesekali laki-laki itu akan datang ke Gym dan berlatih bersama anggota basket yang lain. Ingat, hanya SESEKALI. Setelah itu ia akan lenyap entah kemana. Tidur disuatu tempat atau asik membaca majalah yang berisikan gadis-gadis seksi berbikini.

"Satsuki-san? Sedang apa? Wajahmu pucat sekali.."

Gadis itu menoleh dan tersenyum simpul. "Sedang menjalani rutinitas. Ya kautahulah, mencari si idiot mesum itu. Wakamatsu-senpai mencarinya sejak tadi." Jelasnya yang hanya disambut kekehan teman sekelasnya itu.

"Kau sangat perhatian sekali padanya. Kau juga tahu semua tentangnya, dari luar maupun dalam. Apa kalian sedang kencan?"

Momoi menyambut pertanyaan temannya itu dengan tawa. "Manamungkin," ujar Momoi disela-sela tawanya. "Kau tahu sendiri bahwa laki-laki yang mampu memikatku hanya Tetsuya-kun." Momoi membayangkan wajah Kuroko Tetsuya, pemain keenam di tim basket chugakko-nya dulu.

"Lalu kenapa kau malah sekolah disini, bukannya di Seirin Gakuen?"

"Awalnya aku memang ingin mengikuti Tetsuya-kun kesana.." ujarnya. "Tapi untuk sekarang, aku masih belum bisa meninggalkan Dai-chan sendirian."

Gadis yang menjadi lawan bicaranya itu mengerutkan dahi. "Apa karena kalian sudah terbiasa selalu bersama sejak kecil?"

Momoi menggeleng lemah, tatapannya beralih pada daun-daun pohon yang berubah kecoklatan diluar jendela. "Karena aku tahu dia masih merasa kesepian."

"Apa maksudmu?"

Percakapan itu terhenti dengan adanya bunyi yang berasal dari ponsel Momoi. "Moshi-moshi.." Jawab Momoi. "Ah, souka? Baiklah aku segera kesana." Momoi memutuskan sambungan telfonnya. "Sepertinya Wakamatsu-senpai sudah menemukannya. Kalau begitu aku duluan, jaa~"


Agak tergesa-gesa Kuroko Tetsuya menyusun beberapa buku sesuai abjad disetiap rak, walau ekspresi wajahnya tidak menunjukkan demikian. Inilah rutinitasnya selain menjadi anggota klub basket andalan sekolahnya yang meraih juara di kejuaraan Winter Cup tahun lalu. Menjadi anggota komite perpustakaan sekolah yang bertugas merapikan buku dan menjaga kebersihan perpustakaan. Ia bisa saja meminta bantuan pada anggota komite yang lain. Hanya saja, mereka sudah pulang lebih dulu daripada dirinya. Mungkin mereka kira tidakada siapapun lagi di perpustakaan. Inilah resiko memiliki hawa keberadaan yang tipis. Ada, namun seperti tak tampak. Tapi Kuroko bersyukur, karena hawa keberadaannya yang tipis inilah ia beserta klub basketnya meraih juara pertama Winter Cup.

"Kuso." umpatnya.

Didongakannya kepala melihat rak-rak kosong yang berada diatasny. Itu adalah rak terakhir tempat dimana buku-buku yang ia pegang diletakkan. Tidak terlalu tinggi, tapi tetap saja ia tak bisa dicapai tanpa bantuan tangga. Sayangnya, ia tidak tahu kemana tangga itu diletakkan. Kuroko akhirnya menjijit, berusaha mencapai rak tersebut dan meletakkan buku-buku ditangannya, tapi percuma. Ia terdiam sesaat, memutar otak untuk mencari cara agar ia segera menyelesaikan tugasnya agar bisa segera berlatih di Gym. Saat ia berusaha untuk menjijit, tiba-tiba ada tangan yang membantunya meletakkan buku itu.

"Arigatou." Ujarnya sambil menoleh menatap sosok yang membantunya

Gadis itu—yang membantunya meletakkan buku—mengangguk. "Belum pulang, Kuroko-kun? Kupikir semua anggota komite sudah pulang tadi.."

"Mereka tidak tahu kalau aku masih ada disini, Nanami-senpai."

"Hawa keberadaan yang tipis tentu saja.." gadis itu mangut-mangut. Ia mengambil buku ditangan Kuroko dan meletakkannya dirak yang sejak tadi Kuroko gapai. "Ada lagi yang bisa kubantu?"

"Iie. Arigatou." Ujarnya sekali lagi.

"Douita." balas gadis itu.

Kuroko mengamati gadis itu sesaat. Dari segi postur tubuh, Kuroko memang cukup iri dengan senpainya itu. Dilihat dari gadis itu meletakkan buku dirak yang sejak awal sulit dicapainya, Nanami memiliki tinggi sekitar 175 cm. Bahkan lebih tinggi dari gadis Jepang kebanyakan. Walau penampilannya terlihat sangat biasa—seperti penampilan siswi kutu buku kebanyakan—bohong jika ia bilang tidak tertarik dengan senpai-nya itu. Tentu saja tertarik disini hanya sebatas kagum, tidak lebih. Dengan rambut agak ikal sebahu yang dikepang kesisi kanan bahu, mata yang bewarna senada dengan rambutnya—terlihat dari balik kacamata bingkai hitam yang dikenakan—juga bulu mata yang lentik, hidung mancung, dan kulit putih mulus, senpainya itu bisa saja menarik perhatian para siswa di sekolahnya. Hanya saja, sebagian besar dari mereka tidak menyadari kecantikannya, kecuali Kuroko tentunya.

"Senpai sendiri kenapa datang kemari?" tanyanya mengingat perpustakaan hampir tutup.

"Aku ingin mengembalikan ini." gadis itu mengacungkan sebuah buku novel fiksi yang dipinjamnya. "Aku masih bisa meminjam yang lainnya, bukan?"

Kuroko mengangguk. "Itulah gunanya perpustakaan."

Menurut laki-laki bersurai skyblue itu, tidak heran jika para siswa tidak menyadari kecantikan dari paras dari Harasawa Nanami—senpai-nya itu. Kepribadian Nanami sebenarnya cukup tertutup. Dia hanya mengamati lingkungan sekitar, namun tidak berinteraksi kedalamnya. Pernah sesekali ia berinteraksi, itupun jika ia benar-benar memerlukan atau diperlukan. Namun orang-orang tidak mengasingkannya karena kepribadian yang Nanami miliki. Ia justru cukup dikenal dikalangan para siswa dan guru. Nanami pintar, memiliki kemampuan analisis yang tajam, tapi tidak menyombong karena bakat yang dimilikinya. Nanami justru sukarela membantu teman-teman, bahkan para kouhai jika mereka sedikit kesulitan dalam hal akademik. Ia juga terlihat tenang hingga bisa dengan bijak mengambil sebuah keputusan.

Kuroko mengerjapkan mata sesekali saat tangan Nanami melambai didepan wajahnya.

"Kau melamun." ujarnya pendek. "Tidak latihan?"

Kuroko tersedar dari lamunannya dan mengangguk. "Aku permisi lagi, Arigatou."

Kuroko dan Nanami keluar bersama-sama dari perpustakaan. Mereka berbincang-bincang sejenak, dan berpisah setelah keluar dari gedung utama. Nanami pergi menuju pintu gerbang sedangkan Kuroko menuju Gymnasium.

Sesekali, terlintas dibenaknya betapa ia tidak asing dengan wajah senpainya itu. Namun beberapa kali ia berusaha mengingat, ia tidak menemukan jawaban. Ia selalu berpikir hanya sebuah kebetulan jika ia merasa tidak asing dengan Nanami. Tapi, ego mengalahkan segalanya. Dari tubuhnya, Kuroko bisa merasakan ia sudah lama berinteraksi dengan Nanami, namun pikirannya tidak berkata demikian.

"OI! Kenapa lama sekali?!"

Lamunan Kuroko terpecah saat melihat Kagami berjalan kearahnya sambil memegang bola basket ditangan.

"Sumimasen, aku baru saja dari perpustakaan."

Kagami hanya mengangguk. "Kalau begitu ayo latihan! Hanya sekali mendapatkan juara di Winter Cup tidak membuatmu tinggi hati'kan?"

Kuroko tersenyum samar, "Tentu saja tidak. Justru sebaliknya." Setelah meminta maaf pada pelatihnya—yang tentu saja terkejut dengan kehadirannya—Kuroko menuju ruang ganti dangan pikiran masih tertuju pada Nanami. "Dia tidak asing. Tapi dimana aku bertemu dengannya?"


"Daiki kau sudah pulang?"

Laki-laki itu hanya menjawab dengan anggukan dan langsung duduk diruang makan.

PLAKK!

"Ittai! Kenapa memukulku?" laki-laki berambut darkblue itu mengeluh.

"Setidaknya kau mandi dulu. Aku tidak ingin punya anak hitam yang dakian. Mandi sana!" perintah wanita paruh baya yang memiliki rambut darkblue seperti dirinya.

Aomine Daiki hanya bersungut-sungut malas dengan segera menuju kamarnya dilantai dua. Ia meletakkan tasnya disembarang tempat dan bersiap mandi. Saat ia sedang melepaskan kaos yang berbau keringat, tubuhnya tiba-tiba bergerak dan berjalan menuju meja belajar. Dibukanya salahsatu laci dan mengambil sebuah karet gelang yang terlihat lusuh. Ia tersenyum miris.

"Aku mengerti kenapa Satsuki mengatakan aku bodoh. Hanya karena kau saja, aku jadi seperti ini. Berani sekali pergi dan tidak mengabariku samasekali."

"Hei, mau makan atau tidak? Ayahmu nanti menghabiskan makan malammu loh." Ujar Ibunya yang muncul dari balik pintu.

Daiki bangkit dan menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. "Aku akan segera turun."

To Be Continued

Dengan nistanya saya mengupdate FF baru. Lalu bagaimana dengan FF yang lain? Masih lanjut, hanya saja mungkin membutuhkan waktu untuk mengupdate chapter berikutnya. Jujur saja FF ini terus-menerus menghantui otak saya dengan liar. Dan akhirnya, terpublishlah di fandom ini. Semoga readers menyukainya dan bisa mengetik saran dikolom review dibawah ini. Untuk para reader yang kurang bahkan samasekali tidak menyukainya, tombol 'back' selalu tersedia untuk kalian. Doumo arigatou. Jaa nee~