BTS – BigHit Entertainment.

Penulis tidak mengklaim apapun selain plot cerita.

AU. Taehyung, 27 tahun, sedang berusaha memantapkan hati agar tetap profesional dan tak tergoda meninggalkan jadwal demi seorang pemuda bermata besar yang sedang haus kasih sayang.

.


.

.

Angka di jam digital meja lampu masih menunjukkan pukul satu lebih lima menit. Taehyung terlentang permukaan ranjang, dadanya naik turun mengiringi napas yang agak tersengal. Punggung tangan bergerak menyeka bulir-bulir keringat di dahi, kemudian perlahan naik menjambak rambutnya sendiri. Bercinta di siang bolong memang selalu menguras stamina, meski Tehyung tak pernah terlalu keberatan. Lengan yang tadinya tergolek di perut kini terkulai lemas di sisi tubuh. Mata memejam tak terusik, menyelami sisa-sisa orgasme yang masih berdenyut di sekujur tubuh.

Cuping telinganya berderik ketika seseorang di sampingnya beringsut bangkit, tapi Taehyung tak ambil pusing untuk terbangun. Sayup terdengar suara langkah kaki, sesuatu berderit, pintu lemari dibuka, serta bunyi keran diputar. Taehyung sudah nyaris terlelap lagi saat tumitnya disepak tiba-tiba. Menggerung buas, satu matanya terbuka dan memergoki sosok familiar berdiri di dekat tempat tidur. Besar, pinggang ramping, mulut merengut lucu. Paha telanjang, hanya mengenakan atasan piyama bermotif kulit pisang.

Kening Taehyung terlipat tak suka, "Kok sudah pakai baju sih?"

Jungkook balas menyepak tumitnya lagi, mengacuhkan erang kesakitan dari pria berusia lima tahun di atasnya tersebut. Selembar handuk yang telah dibasahi air hangat tersodor di depan hidung, "Kalau hyung masih berkeringat begitu, aku tak sudi dekat-dekat."

Taehyung melengos enggan, meski akhirnya menerima handuk yang dimaksud agar tumitnya tak terus menjadi sasaran tendang. Berguling duduk, Taehyung segera mengusap lengan dan badan bawahnya dari peluh serta bekas sperma. Taring kecilnya menyembul sambil melirik Jungkook yang berkacak pinggang, "Ini punyamu lho? Tidak mau bantu bersihkan?"

"Peduli setan. Hyung sendiri keluar di dalam."

"Tidak boleh? Masa subur ya?"

Sebuah bantal terlempar beringas membentur kepala Taehyung.

"Aku kan cuma tanya!"

"Perutku selalu sakit gara-gara itu, sialan! Lain kali kupotong penismu!" Jungkook mendorong dada tamunya sampai terjengkang, namun Taehyung hanya menanggapi dengan cengir lebar seraya buru-buru menghindar saat akan dihantam.

"Ampun, ampun, aku janji akan rajin beli kondom. Jangan mengadu pada kakakmu atau aku akan dikuliti lalu dijadikan campuran makanan anjing."

"Ide bagus."

"Ayolah Guk-ah, kalau kekasihmu yang tampan ini berakhir jadi santapan hewan peliharaan, Yoongi-hyung tak akan pernah dapat keponakan. OW! OW! AKU BERCANDA!" Taehyung terbahak-bahak sambil berkelit dari tinju pemuda berlengan kokoh tersebut, handuknya dibuang entah kemana dan sekian menit kemudian—Taehyung menemukan dirinya tengkurap paksa dengan beban seorang manusia menduduki punggungnya. Tidak ringan, tentu. Terakhir kali melirik timbangan Jungkook kala hendak donor darah sebulan lalu, jarumnya menembus angka enam puluh delapan.

"Guk-ah! Berat! Aku bisa mati!"

"Mati saja sana!"

Tawa Taehyung menggema diselingi rintih pura-pura tersiksa. Pada akhirnya Jungkook patuh untuk turun dari punggung dan membiarkan Taehyung beralih meluruskan tungkai di pangkal ranjang. Jungkook berbaring beralas bantal di sampingnya, menata napas sambil menusuk-nusuk kulit paha Taehyung memakai telunjuk. Terkekeh, Taehyung memainkan pucuk rambut hitam pemuda itu serta mengelus kepalanya dengan sayang. Merunduk sedikit, dikecupnya pelipis Jungkook yang tersenyum samar. Satu. Dua kali.

"Jadi ke rumah sakit?" ekor mata Jungkook menangkap perubahan angka di layar jam, agak kurang senang tiap akan ditinggal pergi. Taehyung ikut berpaling ke titik yang sama lalu mengangguk pasrah, "Sejam lagi, ada diskusi pembangunan gedung rawat inap baru. Seokjin-hyung bisa mengamuk kalau ada yang bolos."

Jungkook manggut-manggut sok paham, bagian kiri wajahnya terbenam di gundukan bantal. Mau tak mau Taehyung jadi penasaran, "Kenapa?"

Yang ditanya balas berkedik acuh, "Capek."

Alih-alih simpati, Taehyung justru nyengir kuda. Jari-jari panjangnya turun menyusuri lengan mulus Jungkook, "Padahal cuma dua kali main lho? Bagaimana jadinya kalau kutambah jadi tiga?"

Jungkook langsung menggigit telapak tangannya tanpa aba-aba. Tak peduli Taehyung yang meraung kaget meski tetap meringis dengan sangat kurang ajar. Untung tampan. Untung pacar.

"Sakit, Guk-ah!" sergah Taehyung jahil, namun melihat mimik muka Jungkook yang mendung mendadak, batinnya reflek mencelos kasihan, "Jangan murung dong. Lagipula kau tidak memberitahu kalau kampus sedang libur semester, tahu begitu kan aku bisa minta absen sehari ke Seokjin-hyung lebih awal."

Jungkook tak menjawab, melainkan memegangi pergelangan tangan di pipinya supaya tetap di sana. Melihat kekasihnya bersikap manja, pertahanan Taehyung jadi gamang. Walau kadang agak bandel dan suka mengumbar kalimat mesum tiap ada kesempatan, Taehyung dididik untuk tak main-main jika menyangkut urusan tanggung jawab. Tak ada istilah bertindak seenaknya sebelum semua pasien beserta jadwal kontrol kesehatan mereka masuk catatan petugas pemeriksa. Taehyung sadar soal resiko yang harus dihadapi sejak memutuskan mengikuti jejak kakaknya dalam barisan jas putih di silsilah keluarga. Tidak ada lagi waktu hura-hura dan bersenang-senang sembarangan kecuali ada dokter pengganti atau urusan penting menyangkut hidup dan mati.

"Jangan nekat, hyung. Kalau memang harus hadir, aku tak melarang."

Alis tebal Taehyung terangkat, "Aku tidak bilang apa-apa lho?"

"Kita sudah bersama hampir dua setengah tahun. Aku bisa membaca apa yang kau pikirkan dari raut wajah," dijilatnya sekilas bekas gigitan di telapak besar tersebut lalu mendongak mendapati ekspresi pria itu perlahan melunak. Kekasihnya boleh berlagak parlente dan sok pintar saat bertemu pertama kali, namun hati pria itu tak lebih lunak dari permen jeli.

"Aku akan menelepon Seokjin-hyung."

Jungkook segera menyambar tak setuju, "Tidak boleh! Meski cuma rapat, hyung tetap harus datang! Aku tak mau dimarahi Seokjin-hyung gara-gara adik lelakinya kabur dari pekerjaan..." celetuk pemuda itu, mengadu. Pun, Jungkook tak akan bohong jika sebenarnya dia cukup tersanjung karena selalu jadi prioritas utama dari daftar kepentingan Taehyung. Tak bertemu seminggu penuh membuat egonya memenuhi ubun-ubun. Kuliah di pengujung semester menguras staminanya lebih dari dugaan dan Jungkook tengah berada dalam status jenuh yang luar biasa. Maka ketika kampusnya mengirim pemberitahuan soal masa jeda selesai ujian, Jungkook langsung memutuskan bahwa apartemennya tertutup untuk umum. Dia ingin istirahat total, tidur sepuasnya lalu bergelung dengan bantal. Persetan jika teman-temannya berniat mengunjungi diskotik, berenang, atau terjun ke jurang. Jungkook hanya perlu kasurnya dan usapan Taehyung untuk memulihkan tenaga.

"Kau lebih membutuhkanku daripada Seokjin-hyung. Setidaknya hari ini.":

Jungkook menarik napas panjang lalu terdiam sejenak. Tubuhnya dimiringkan sembari sibuk bergumam. Piyamanya kusut sewaktu lengan Taehyung memaksa menyusupkan lengan di ketiaknya dan menarik Jungkook merapat. Dibawanya pergelangan kanan Jungkook lalu mengecup punggung tangannya dengan lembut. Bila jatuh cinta berulang kali pada orang yang sama adalah benar adanya, maka Taehyung akan mengaku jika dia sedang mengalami hal serupa. Jungkook adalah pendorong hidupnya, penasehatnya agar tak bersikeras hidup sia-sia, dan alasannya untuk belajar supaya bisa menyelamatkan banyak nyawa.

Batal berpikir melankolis terlampau jauh, dihirupnya wangi tengkuk Jungkook yang kini duduk memunggungi dan bersila diantara dua kaki Taehyung. Dia paham apa yang sedang ditimbang ragu oleh pemuda berambut hitam tersebut. Jungkook tak ingin Taehyung jadi terbiasa meninggalkan shift hanya karena dia merengek sedikit. Susah payah mengomeli Taehyung berbulan-bulan supaya mulai disiplin, sangat tidak etis kalau sekarang Jungkook malah bertindak kekanakan. Toh Taehyung pasti kembali ke apartemennya sepulang dari rumah sakit. Masa bodoh ada Yoongi atau tidak.

Bingung akibat hening yang terlalu lama, Taehyung menjulurkan kepala melewati bahu kanan Jungkook lalu menempelkan pelipisnya sambil berdehem maklum, "Kau memang sanggup membaca pikiranku, Guk-ah. Tapi bukan berarti aku mampu melakukan hal yang sama. Kalau kau benar-benar ingin aku tetap berada di sini, katakan saja. Soal aku berangkat atau tidak, itu bergantung keadaan."

Kening Jungkook tertekuk tujuh, "Cari masalah ya? Bagaimana kalau ada yang mencarimu di rapat nanti? Meski cuma bahasan tentang gedung, tidak lantas mengubah skalanya untuk diabaikan."

Taehyung mendengus antara bangga bercampur sindiran, "Mentang-mentang calon sarjana, gaya bicaranya langsung bijak ya?"

"Aku serius, hyung."

"Aku juga serius, Guk-ah," kedua lengan Taehyung berangsur melingkari pinggang Jungkook dari belakang, membiarkan pemuda itu bersandar di dada sembari pucuk hidungnya menelusuri lekuk leher. Ditariknya pelan kerah piyama yang terbuka lalu mencium bahu Jungkook yang balas berkedik geli, "Dibanding mempermasalahkan diskusi rumah sakit, aku justru ingin tahu kenapa kau mendadak menelepon ingin ditemani."

Jungkook masih terdiam selama beberapa saat. Baru ketika Taehyung mengulum telinganya, Jungkook menengadah seraya bersandar makin rebah, "Tidak ada apa-apa, hyung. Cuma capek dan bosan. Rasanya tugas kuliahku jadi banyaaaaaaaaak sekali dan dosennya sulit ditemui. Aku bahkan sempat membanting mahasiswa yang tak sengaja menyenggol pundak sampai semua bukuku jatuh ke lantai. Dari jauh-jauh hari aku sudah memutuskan jika sudah dapat libur, maunya di rumah terus-terusan. Tidak ada telepon, tidak ada ajakan keluar. Titik."

Taehyung tersenyum, mengerti apa yang sedang dikeluhkan pemuda tersebut, namun tetap menahan diri untuk tak mengomentari. Jungkook bukan tipe orang yang memerlukan saran untuk tiap persoalan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Taehyung yang jauh lebih berpengalaman. Kadang, sebuah ciuman dan ucapan rindu lewat kiriman pesan sudah lebih dari cukup untuk meredam emosi Jungkook.

Sadar tengah diperhatikan, yang bersangkutan balas menoleh lalu mengecup sekilas rahang Taehyung yang menawan, "Aku sudah baikan kok, hyung. Asal tak disuruh pergi kuliah lagi sampai sebulan penuh."

"Yoongi-hyung bilang apa?"

Dagu Jungkook tertuding ke arah sejumlah kotak donat kosong yang bertumpuk di atas meja belajar, "Cuma menaruh camilan, menepuk kepalaku sebentar, lalu pergi seharian."

Menggeleng-geleng gemas, Taehyung meletakkan dagu di bahu Jungkook, "Kalau ada apa-apa, jangan sungkan mengadu padaku. Suasana hati Seokjin-hyung juga tak selamanya bagus. Tapi setidaknya dia memilih untuk mengunci diri di ruangannya daripada memarahi bawahan atau perawat yang lewat di koridor."

Bola mata Jungkook membulat, "Kasihan. Tidak disuruh liburan?"

"Paling juga ambil cuti lalu menguras isi lemari es sambil nonton televisi. Kakakku baru mau keluar kalau suaminya pulang dari luar negeri," Taehyung bergidik jijik, "Mesra sekali padahal sudah kepala tiga. Bikin mual."

Jungkook tergelak. Gigi-gigi depannya terpampang imut, "Kau dan aku juga sama, hyung."

"Beda dong. Kita kan masih muda."

"Lantas?"

"Aku tak mau tinggal seatap dengan mereka seterusnya," dengus Taehyung mantap, "Kalau lulus nanti, kau harus mau kunikahi dan tinggal di apartemen dua blok dari sini. Tidak ada penolakan. Tidak boleh protes apalagi tawar-menawar."

Kelopak mata Jungkook tertutup setengah, ditatapnya tajam pria itu penuh penilaian, "Serius, hyung? Cuci piring saja kau belum bisa, sok-sokan memaksaku hidup bersama. Memangnya gajimu cukup untuk sewa apartemen lebih dari setahun? Bagaimana kalau aku minta dibelikan rumah atau barang lain yang harganya tidak murah? Bagaimana kalau aku ingin mobil, kamera baru, paket figurin paling trendi sejagat beserta kotak kacanya sekaligus? Apa kau—mmh..."

Taehyung bergegas melumat bibirnya tanpa banyak bicara. Lengannya memeluk Jungkook lebih erat selagi pemuda itu menjulurkan tangan meraih kepala Taehyung agar lebih merunduk. Lidah Jungkook menyerbu masuk, senang diijinkan mendominasi, apalagi saat mendengar erangan rendah kekasihnya yang tampak menikmati. Jemari Jungkook mengelus telinga Taehyung, turun menelusuri jakun sebelum kembali meremas rambutnya dan memperdalam ciuman. Jungkook suka sensasi bulu halus dari dagu Taehyung yang menggesek kulitnya, menyukai cara pria itu mengelus perutnya yang berbentuk, sentuhannya yang menggoda di sekujur tubuh, gerakan tumit bergumul dengan kaki, juga aroma maskulinnya yang seksi.

Tepat saat Jungkook berjengit akibat kemaluannya disentuh, alarm di layar ponsel Taehyung berbunyi nyaring dan pemiliknya spontan mengumpat-umpat, "BRENGSEK!"

Melepas pelukan dengan sangat amat terpaksa, Taehyung mencium pipi Jungkook sekali lagi sebelum turun dari tempat tidur dan meraih ponsel sialan tersebut. Jungkook duduk memangku satu bantal sambil mengerjap kecewa. Paling buruk, dia harus melewati sisa hari ini dengan makan donat dan menyiksa sasak tinju di seberang ruangan. Mungkin sekalian menghubungi Yoongi agar mampir ke supermarket karena seluruh cangkir mi instan di dapur habis dilahap tadi pagi.

Kepala Jungkook berpaling cepat saat mendapati Taehyung memanjat kasur dengan ponsel tergenggam penuh dendam, berusaha untuk tak terlihat murung menerima kenyataan bila pria itu tak bisa tinggal lebih lama.

"Sudah harus berangkat, hyung?"

Di luar dugaan, Taehyung malah menyeringai seram ke arahnya, "Diskusi dibatalkan karena Pak Direktur harus menjemput suaminya di bandara," jelasnya, sumringah dari telinga satu ke telinga lainnya, "Namjoon-hyung mendadak pulang dari Belanda hari ini. Brilian. Luar biasa. Akan kusembah kakinya."

Terperangah, Jungkook menganga cukup lama hingga Taehyung mencubit bibirnya memakai dua jari. Kesal bercampur senang, dipukulnya lengan Taehyung sembari tertawa kecil, "Aku tak mau bertanggung jawab kalau pasien kalian protes gara-gara ruang inapnya tak kunjung dibangun."

Taehyung mengibas tangan cuek, "Seokjin-hyung sendiri yang mengirim pesan agar rapatnya dibatalkan. Jadwal kunjungan baru mulai besok siang jam sepuluh kurang lima. Salahkan Namjoon-hyung dan pekerjaannya yang selesai lebih cepat. Aku sih cuma memanfaatkan suasana," kekehnya, merangkul Jungkook yang memandang dengan bibir bawah tergigit lucu, "Lagipula, saat ini aku lebih dibutuhkan olehmu dibanding rumah sakit, Guk-ah. Aku tidak bisa bekerja dengan tenang sementara kau kesepian di rumah."

Mendengus walau pernyataan Taehyung benar adanya, Jungkook menyingkirkan bantal dari pangkuan lalu berdecak kecil, "Jangan terlalu percaya diri, hyung. Aku tak akan kangen semudah itu."

"Terima kasih kembali, Guk-ah."

Jungkook tergelak lagi sembari menyikut rusuk Taehyung yang meringis lebar memamerkan cengiran persegi, "Dokter sombong."

"Mm, mmm. Ayo puji terus."

Kehabisan suara tawa, pemuda itu memilih untuk menjungkirkan Taehyung dari tempat tidur hingga jatuh membentur kaki kursi. Anggaplah Taehyung sebagai masokis atau apapun, tapi melihat Jungkook yang kembali bertenaga serta terpingkal ceria kala berhasil mengalahkannya dalam segala hal, rasanya Taehyung sanggup mengorbankan apa saja.

"Aku mau makan masakan cina!" titah Jungkook, mengacungkan telunjuk, "Pesankan Panda Express! Hyung yang traktir!"

"Siap, tuan muda!"

Taehyung bergegas menegakkan tubuh, diambilnya ponsel dari permukaan kasur dan berniat menelepon restoran cepat saji—ketika Jungkook tiba-tiba memanggil namanya dengan kikik tertahan dan wajah yang memerah, "TAETAE-HYUNG!"

"Apa?"

"Aku tak keberatan melihatmu telanjang dada," sergah Jungkook sambil melempar segumpal pakaian berwarna hitam ke pelukan pria yang melongo keheranan, "Tapi setidaknya pakai celanamu dulu."

Tersentak, Taehyung menunduk sejenak dan balas beradu pandang dengan kejantanannya yang terpaku jumawa. Namun bukannya malu, pria itu justru mengangkat tangan dan menggerakkan telapaknya seolah menyapa.

"Halo, yang di sana. Kita akan kembali berjuang setelah makan siang."

"HYUNG!"

.

.


.

.