Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Kekkon Sagi © Haruno Aoi
Setting: selalu AU
Warning: selalu OOC, fanfic picisan pembangkit mood author, masih berhubungan dengan Cintaku Seperti Hantu dan Mertuaku Seperti Hantu
.
.
.
-x- Kekkon Sagi -x-
~Pregnant~
.
.
.
Pagi hari yang sepertinya agak berbeda dari biasanya. Sasuke menuruni tangga kayu menuju lantai satu rumahnya sambil membetulkan ikatan dasi merah bergaris abu-abu yang melingkari kerah kemeja putihnya yang berlengan panjang. Di belakangnya, Hinata yang sudah berseragam lengkap dan membawa dua tas samping serta menenteng satu blazer, terlihat berusaha mendahului Sasuke. Sayangnya tangga di kediaman Uchiha yang sempit itu seolah dikuasai oleh Sasuke yang saat ini berjalan tepat di tengahnya.
"Key, aku telat…" rengek Hinata saat Sasuke mulai menginjakkan kaki di koridor rumahnya.
Kening Sasuke tampak mengernyit untuk sesaat sebelum meraih blazer dan tasnya yang diangsurkan oleh Hinata. Ia mengenakan blazer hitam kebiruannya, lalu menyampirkan tasnya dengan asal di salah satu pundaknya.
Mikoto yang hendak menuju halaman samping rumah untuk menjemur pakaian basah di keranjang yang dipeluknya, memutuskan untuk mengurungkan niatnya barang sejenak. Ia berjalan mendekati anak dan menantunya karena tertarik dengan kata terakhir yang baru saja didengarnya.
"Aku telat gara-gara kamu," protes Hinata sembari merapikan kaus kaki selututnya yang berwarna hitam. Ia sedikit merapikan poni ratanya yang tebal sekaligus rambutnya yang dikuncir kuda, kemudian berjalan dengan sedikit berlari menuju rak sepatu.
Hinata telat gara-gara Sasuke? Sembari meletakkan keranjang pakaian di dekat meja telepon, Mikoto berusaha mencerna kata-kata yang telah diucapkan oleh Hinata. Seketika matanya sedikit membulat tatkala otaknya memproses sebuah dugaan sementara.
"Kenapa baru bilang sekarang?" Sasuke bertanya tak acuh sambil memasukkan satu tangannya ke saku celana panjangnya yang berwarna abu-abu. "Aku akan bawakan bekal makan siangmu," tambahnya.
"Ya," sahut Hinata yang sedang mengambil sepatunya di rak, "Sankyuu."
Selagi Sasuke berjalan menuju dapur untuk sarapan, Mikoto menghampiri Hinata yang sedang mengenakan sepatu hitamnya. "Kamu telat?" tanyanya penuh keraguan dengan kedua alis hampir bertautan, "Berapa bulan, Hinata?"
Berapa bulan atau berapa kali dalam satu bulan? Entah mengapa Hinata jadi sedikit meragukan indera pendengarannya. Apa mungkin Hinata salah dengar karena sedang dalam keadaan terburu-buru yang menyebabkannya merasa panik?
"Masih satu, Bu," jawabnya tanpa pikir panjang karena sebagian besar perhatiannya masih terfokus pada sepatunya.
"Kami-sama…" lirih Mikoto ketika salah satu telapak tangannya membungkam mulutnya yang sebelumnya hampir menganga. Ia mengembalikan ekspresi tenangnya saat Hinata mulai menegakkan badan. "Tidak sarapan dulu?" tanyanya kalem.
"Masih terasa penuh, Bu," jawab Hinata sambil mengelus perutnya yang rata. Ia tersenyum lembut, kemudian berbalik setelah mengucapkan salam, "Ittekimasu."
"Itterasshai," balas Mikoto dengan suara pelan yang menyerupai bisikan. Raut wajahnya masih menunjukkan keterkejutan dan rasa tidak percaya. Masih seperti orang linglung, ia berjalan menuju dapur dan mendapati Sasuke sedang makan di satu meja yang sama dengan Fugaku. "Sasuke, istrimu benar-benar telat?" Mikoto bertanya seraya menduduki kursi di seberang Sasuke.
"Hn," gumam Sasuke tanpa berhenti mengunyah nasi dalam mulutnya, "Dia jadi melewatkan sarapan."
Mikoto menelan ludah. Nampaknya ia sedikit ragu untuk meneruskan bertanya, "Apa kamu pernah melihatnya mual dan muntah?"
Kedua alis Sasuke tampak naik mendengar pertanyaan yang diajukan oleh ibunya. Ia meminum susu cair full cream kesukaannya, sebelum menjawab, "Beberapa kali." Sasuke menghabiskan susu di gelasnya, seraya menambahkan, "Memangnya kenapa, Bu?"
Wanita berambut biru tua itu hanya menggeleng cepat dan setelahnya mengalihkan pandangan kepada Fugaku yang terlihat tidak mengerti karena sebelumnya kurang menyimak perbincangan di sekitarnya. Pria paruh baya yang sudah menyelesaikan makan paginya tersebut malah menaikkan satu alisnya tatkala Mikoto menunjukkan air muka yang seolah ingin menyampaikan sesuatu kepadanya.
Tanpa memedulikan kedua orang tuanya yang mendadak bersikap aneh, Sasuke memutuskan untuk berangkat ke sekolah. Ia mengambil dua kotak bekal yang sudah disiapkan ibunya di meja dapur, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan dapur.
.
.
.
Mikoto sedang menonton dorama kesayangannya yang ditayangkan pada sore hari sambil makan cracker beras, ketika terdengar suara pintu yang digeser.
"Tadaima."
Itu suara Hinata. Mikoto menurunkan volume suara televisi sembari membalas salam yang diucapkan oleh Hinata, "Okaeri." Ia hendak mengeraskan kembali suara televisinya, tapi tidak jadi karena indera pendengarannya juga menangkap suara Sasuke.
"Sejak tinggal di sini, berat badanku naik, lho…"
Mikoto semakin menajamkan telinganya setelah mendengar suara Hinata lagi. Ia bangkit dari duduk bersimpuhnya, kemudian berjalan mengendap-endap mendekati pintu geser untuk mencuri dengar pembicaraan antara Sasuke dan Hinata yang berjalan di koridor.
"Aku tak melihat perubahan pada tubuhmu," timpal Sasuke.
"Kamu tidak sensitif," sahut Hinata, "Padahal naik tiga kilo, Key…" Hinata terdengar menghela napas sebelum melanjutkan, "Sepertinya aku harus diet."
"Kenapa perempuan gemar sekali melakukannya?"
"Bukankah laki-laki menyukai perempuan yang memiliki body indah?"
Mikoto masih menempelkan telinganya di pintu geser ruangan televisi yang merangkap sebagai ruang keluarga, meskipun suara Sasuke dan Hinata mulai mengecil karena semakin mendekati tangga menuju lantai dua.
"Aku kira perempuan juga menyukai laki-laki bertubuh bagus," balas Sasuke tak acuh. "Sebagai laki-laki, aku lebih mengutamakan kepribadian, kepandaian, dan selera humor dari seorang perempuan," imbuhnya.
"Wah, pantas saja kamu menyukai Karin yang pandai," cibir Hinata dengan nada kesal.
"Begitukah menurutmu?"
"Setahuku, kamu sering sekali meminjam buku catatan Karin," jawab Hinata dingin.
"Tulisan tangan Karin sangat rapi dan enak dibaca," kata Sasuke.
"Uh, kenapa malah membicarakan manajermu di klub judo?"
"Siapa yang memulai?"
Jeda untuk beberapa saat sebelum suara Hinata terdengar lagi, "Eh, kupikir-pikir aku tidak pandai dan selera humorku buruk."
"Jangan memulai lagi."
Mikoto sedikit menggeser pintu di depannya. Ketika ia melongokkan kepalanya melalui celah pintu, ternyata Sasuke dan Hinata sudah meninggalkan koridor rumahnya. Ia kembali menutup pintu dan langsung membalikkan badannya. Namun, seketika punggungnya membentur pintu geser kala ia menabrak dada bidang seseorang, yang seketika hampir membuatnya terkena serangan jantung saking kagetnya.
"Ayah mengejutkanku saja…" pekiknya tertahan sambil mengelus dadanya yang masih berdebar kencang. "Kapan masuknya?"
"Sejak kamu menguping," jawab Fugaku santai, yang mampu menciptakan rona merah samar di pipi Mikoto. "Aku melihatmu dari sana," tambahnya sambil mengarahkan salah satu ibu jari tangannya ke pintu geser kaca yang menghubungkan dengan halaman samping, yang menjadi garasi terbuka untuk mobil biru tuanya.
Detik berikutnya, Mikoto sudah menarik Fugaku ke meja kayu berkaki rendah di tengah ruangan. Ia duduk bersimpuh di samping Fugaku dan mulai bercerita dengan disertai keraguan yang menggelayuti hatinya.
"Ayah, apa dugaanku benar?" tanyanya setelah menyelesaikan penuturan panjangnya, "Apa kita harus memberitahu besan?"
"Jangan gegabah dan terburu-buru dalam menyimpulkan," tutur Fugaku seraya meraih remote control televisi dan mengganti saluran dorama menjadi channel yang menayangkan berita sore.
"Pria memang tidak sensitif," gumam Mikoto sembari menopang dagunya pada salah satu lengannya yang menumpu pada meja.
"Bunda," panggil Fugaku sambil menepuk pundaknya menggunakan salah satu tangannya.
"Aku ingin nonton dorama," ujar Mikoto dengan nada datar.
Fugaku mengalah dan mengganti berita sore dengan dorama yang sebelumnya ditonton oleh sang istri. Tanpa diminta lagi, Mikoto berlutut di belakang Fugaku dan mulai memijit kedua pundak suaminya tersebut.
.
.
.
Mikoto yang baru keluar dari kamar mandi di lantai satu, dikejutkan oleh Hinata yang berlarian dari arah pintu depan. Di belakangnya, Sasuke berjalan dengan langkah lebar mengikuti Hinata menuju kamar mandi yang sebelumnya digunakan oleh Mikoto. Tadi pasangan muda itu terlihat bersemangat ketika mengatakan ingin makan malam di luar rumah, dan sekarang pulang dengan wajah tanpa senyum. Seolah refleks, Mikoto mengikuti anak dan menantunya sambil membetulkan handuk yang membungkus rambut basahnya. Ia yang berdiri di ambang pintu, sontak menunjukkan ekspresi shock saat melihat Hinata memuntahkan isi perutnya di wastafel, apalagi karena melihat Sasuke mengelus punggung Hinata sambil berbisik lirih, "Aku memang ceroboh…"
Tidak salah lagi! Mikoto memekik dalam hati.
.
.
.
Pagi ini Mikoto menyiapkan sarapan seorang diri, seperti kemarin. Biasanya menantu keduanya tidak akan keberatan untuk membantunya. Ia bisa maklum bila mengingat kondisi Hinata semalam, yang secara bersamaan membuatnya merasa tidak tenang dan ingin segera memberikan kabar kepada orang tua Hinata. Sepertinya Sasuke dan Hinata masih bermalas-malasan karena hari ini libur sekolah, dan pekerjaan paruh waktu Sasuke di akhir pekan memang dimulai agak siang.
"Bagaimana, Ayah?" tanya Mikoto dengan berbisik kepada Fugaku yang sedang membaca koran.
"Kalau kamu ingin memberitahu keluarga Hyuuga, lakukan saja," balas Fugaku sembari melipat korannya dan meletakkannya di meja. Ia sudah tergiur oleh aroma sedap dari sup buatan Mikoto, membuatnya ingin segera mencicipinya.
"Kenapa Ayah bisa begitu tenang? Padahal putra bungsu kita terancam dicincang Hiashi…" pekik Mikoto dalam bisikan.
"Jangan berlebihan." Fugaku mulai menyumpit nasi di mangkuk kecilnya. "Nasi sudah menjadi bubur," katanya setelah mengunyah dan menelan suapan pertamanya.
Suasana di dapur menjadi hening ketika dua penghuninya mendengar derap langkah tenang yang semakin mendekat.
"Bu, ada jeruk?" Sasuke bertanya dari ambang pintu dapur.
Mikoto tampak sedikit gugup sebelum berdiri dan berjalan menghampiri kulkas. "Ada," jawabnya singkat sambil mengeluarkan keranjang kecil berisi mikan yang dipanen Fugaku dari beberapa pohon jeruk di pojok halaman belakang kediaman Uchiha. Karena masih menjelang musim panas, pohon jeruk yang ditanam Fugaku belum menghasilkan banyak buah, karena biasanya pohon yang tidak dapat dipanjat itu berbuah pada musim panas. "Pagi-pagi mau makan jeruk?" tanyanya saat keranjang berisi jeruk berkulit jingga itu sudah berpindah ke tangan Sasuke.
"Hinata mengeluh mual," balas pemuda yang sepertinya baru saja mandi itu, dapat dilihat dari rambut hitam kebiruannya yang agak basah. Tanpa pamit, ia meninggalkan ibunya yang tengah diliputi perasaan yang bercampur aduk.
.
.
.
Ayah dan ibu Hinata berada di ruang keluarga Uchiha setelah menyantap makan malam yang dihidangkan oleh Mikoto dan Hinata. Kebetulan Itachi dan Hana datang berkunjung dengan membawa putra pertama mereka yang hampir berusia dua bulan, membuat kediaman Uchiha semakin terasa ramai. Ruangan yang berisi televisi dan meja berkaki rendah itu tampak lebih sempit karena diisi oleh sembilan manusia.
Hana pergi ke dapur untuk menyeduh teh ketika sang kepala keluarga mulai membuka perbincangan, dan membiarkan putranya berada di pangkuan Hinata. Itachi yang duduk di samping Sasuke belum berhenti menyunggingkan senyum penuh arti untuk adik kesayangannya sejak mendengarkan penjelasan ibunya beberapa saat lalu. Sedangkan pemuda yang mendapatkan senyum aneh itu hanya mengernyitkan kening hingga hampir menautkan alisnya.
"Kau sudah gila?" desis Sasuke.
Itachi malah menyeringai sambil melirik Hinata yang duduk di samping Hiashi. "Benarkah aku akan menjadi seorang paman?" bisiknya.
"Hah?"
Sebuah deheman dari Fugaku membuat semua perhatian tertuju pada pria paruh baya itu. Setelahnya, ia mempersilahkan Mikoto mengatakan maksud dari undangannya untuk ayah dan ibu Hinata. Tidak hanya orang tua Hinata yang terlihat shock karena mendengar penuturan Mikoto. Tetapi, Sasuke dan Hinata juga terbelalak dengan mulut terbuka, wajah pasangan muda itu tampak memucat.
"Begitulah," kata Mikoto mengakhiri ceritanya, "Kami menduga kalau Hinata tengah hamil."
"Tidak mungkin!" sahut Sasuke dan Hinata secara bersamaan. Keduanya saling berpandangan untuk beberapa detik, dan setelah itu sama-sama memalingkan wajah mereka yang memerah.
Hiashi yang masih shock karena berita yang baru saja didengarnya, hanya memijit pelipisnya dengan mata terpejam. Entahlah, mendadak ia jadi merasa pusing. Ibu Hinata yang sudah menenangkan diri, kini mengelus punggung suaminya sambil sesekali menoleh ke arah Hinata yang hanya menunduk.
Selain suara tangisan bayi Itachi, tidak ada yang berminat untuk mengisi suasana yang tiba-tiba menjadi sunyi. Sebagai ayah yang baik, Itachi mengambil putranya dari pangkuan Hinata dan membawanya meninggalkan ruangan beratmosfer suram itu. Bahkan bayi yang masih polos seolah mengerti dan merasa tidak nyaman berada di dalamnya.
Walaupun Hinata dan Sasuke sudah menikah, sejauh ini sepertinya memang belum ada seorang pun yang mengetahui pernikahan mereka, selain keluarga beserta kerabat dekat. Hal itu dikarenakan tidak ada seorang teman sekolah pun yang diundang dalam upacara pernikahan mereka yang dilaksanakan secara tradisional di kuil. Sasuke dan Hinata tidak bermaksud untuk memalsukan status mereka yang sudah tidak lajang. Hanya saja, keduanya memberikan kehormatan bagi sang waktu untuk membongkar segalanya.
Sebenarnya Sasuke dan Hinata dinikahkan di usia remaja karena keluarga mereka ingin mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, mengingat hubungan keduanya yang semakin dekat. Andai hal yang belum diinginkan terjadi, setidaknya tidak akan menjadi aib karena keluarga dari kedua belah pihak dapat membeberkan status putra-putri mereka yang sudah terikat dalam janji suci. Namun, meskipun awalnya sudah mengaku siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, nyatanya mereka yang berada di dalam ruangan itu masih membutuhkan waktu untuk menerima.
"Baru satu bulan aku mengizinkanmu membawa putriku ke rumahmu," desis Hiashi sambil melirik Sasuke yang juga menunduk seperti Hinata, "Tapi, kamu sudah…" Hiashi kembali memejamkan matanya karena tidak sanggup meneruskan ucapannya. "Oh, Kami-sama…" gumamnya.
"Itu tidak benar."
Para golongan tua memusatkan perhatian kepada Sasuke yang baru saja menyumbangkan suaranya. Pemuda itu masih menunduk, begitu pun dengan Hinata. Tidak lama kemudian, empat orang dewasa di sekitar Sasuke dan Hinata tampak bingung karena mendengar tawa kecil yang berasal dari pasangan muda tersebut. Setelah menegakkan kepalanya, barulah dapat terlihat wajah Sasuke dan Hinata yang memerah karena menahan tawa.
"Sasuke," seru Mikoto, meminta penjelasan.
Sasuke berdeham sekali, lalu kembali membuka mulutnya, "Kenapa kalian berpikiran begitu?"
Kini semua pandangan mengarah pada Mikoto. Wanita berdarah Uchiha itu terlihat gelagapan untuk sesaat, kemudian secara kronologis memberitahukan tentang tanda-tanda kehamilan yang ditunjukkan oleh Hinata.
"Kemarin, Hinata terlambat mengikuti ekskul di pagi hari," Sasuke menjelaskan sambil menahan tawa. Andai ia tidak harus menjaga image, pasti sekarang ia sudah tertawa terbahak-bahak. "Yang kebetulan baru sekali dalam satu bulan terakhir," imbuhnya.
"Untuk berat badan," sekarang giliran Hinata yang menjelaskan dengan wajah memerah. "Belakangan ini saya memang kurang menjaga pola makan," lanjutnya seraya menunduk dan menutup mulutnya yang hampir meluncurkan tawa.
"Terakhir," kata Sasuke, "Hinata mual dan muntah setiap kali tak sengaja makan udang." Seringai terukir di wajah rupawannya sebagai ganti tawa.
"Kami-sama…" lirih para orang tua dengan wajah melongo. Mereka tergelak setelah menyadari adanya kesalahpahaman. Sebagai keluarga bermartabat, tentu saja tawa mereka terdengar pelan dan anggun.
"Bukankah belum dilakukan tes atau pemeriksaan terhadap Hinata?" Mikoto kembali bersuara, membuat keadaan menjadi hening kembali. "Kenapa kalian terlihat sangat yakin?"
Haruskah Sasuke dan Hinata mengatakan alasannya? Mungkin sebaiknya tidak. Privacy.
.
.
.
End of Chapter 1: Pregnant
Tuesday, August 02, 2011
Mind to CnC or RnR?
Thank You
