Entah mengapa saya jadi pengen nambahin fic utangan saya. Bukan maksudnya gimana sih. Apalagi saya sering kelabakan kalau ditagih lanjutannya. Gomen, tapi ide ini mendadak ada di kepala saya tadi kemarin malam. Saat saya tidak bisa berbuat apa-apa karena sedang mengalami sakit dan panas tinggi hebat. Nah, dalam keadaan gelisah tidak bisa tidur inilah imajinasi saya berkeliaran dimana-mana.

Let's start the story

.

.

.

Disclaimer : Bleach yang pasti punya Tite Kubo seorang.

Summary : Aku tahu seharusnya aku tidak melakukan ini terhadap Rukia dan anak-anakku"/"Setidaknya aku harus mengabulkan permintaannya yang terakhir"/ "Aku sudah tahu mengapa Ichigo melakukan ini semua"

Pairing : Kurosaki Ichigo dan Kuchiki Rukia.

Genre : Family, Hurt/Comfort, Drama, Romance

Rated : T

Warning : OOC (Maybe), Typo masih bertebaran. Penulisan masih hancur. Don't Like, Don't Read yah ^^

.

.

.

Kau tahu Ichigo?

Sudah beberapa hari ini aku bermimpi kau meninggalkanku

Meninggalkan buah hati kita

Aku tidak ingin percaya dengan mimpi itu

Namun, sepertinya aku harus mempercayainya

.

.

New fic from Kurosaki Kuchiki "Always Be With Me In Mind"

.

.

.

"Bercerai maksudnya?" tangannya yang sedang memegang secangkir teh hangat tiba-tiba gemetar. Inikah maksud dari alasan mengapa suaminya mengajaknya untuk menikmati teh malam-malam begini? Untuk menyampaikan hal yang tidak disangka-sangkanya?

"Bukan bercerai Rukia, hanya berpisah sementara. Sampai….waktunya berakhir," jelas suaminya dan menggenggam telapak tangan istrinya yang tiba-tiba saja mendadak mendingin.

"Jelaskan padaku Ichigo, mengapa kau melakukan ini? Tanpa memikirkan perasaanku dan anak-anak. Apa alasanmu ingin berpisah denganku sementara waktu?" tuntut istrinya kali ini. Ia ingin mendengar alasan suaminya tersebut baru bisa ia memutuskan apa ia akan setuju dengan permintaan suaminya.

"Aku akan menjelaskannya Rukia dan ini jujur. Kau masih ingat teman SMA kita yang bernama Inoue Orihime? Dia ada di Karakura. Suaminya, Ulquiorra Schiffer sudah meninggal dunia karena kecelakaan. Sekarang ia tinggal sendiri," jelas suaminya.

"Ah…aku masih ingat. Mana mungkin aku tidak ingat pada gadis yang dulu sangat mencintai suamiku yang ada di depanku ini? Bagaimana mungkin aku lupa pada gadis yang sampai berlutut di depanku agar aku memutuskanmu? Bagaimana mungkin aku lupa pada gadis yang langsung menghilang dari kehidupan kita saat kau menolaknya? Aku ingat semuanya, Ichigo," jawab istrinya. "Biar aku tebak, sekarang dia janda kan? Kau mau menikahinya? Kau ingin memaduku?"

"Dengarkan aku sampai akhir, Rukia. Selain tinggal sendiri, ia juga mengidap penyakit kanker otak yang membuat hidupnya semakin singkat. Ternyata selama ini ia menjadi salah satu pasien di rumah sakit. Kemarin, saat aku dirumah sakit ia mendatangiku dan memohon agar aku bisa menemaninya selama sisa hidupnya. Hanya tiga bulan,"

"Hanya kau bilang? Bagiku tiga bulan itu tidak bisa dikatakan hanya, Ichigo. Bagaimana kalau selama tiga bulan itu kau tidak kembali padaku dan anak-anak? Bagaimana kalau selama tiga bulan itu kau berpaling padanya?" tanya istrinya. Bagaimanapun istrinya mengkhawatirkan keselamatan rumah tangga yang sudah mereka bangun selama enam tahun ini.

"Tidak Rukia, aku akan kembali pada kalian. Aku berjanji," suaminya menggenggam tangannya dan menatap mata violet istrinya lekat-lekat berharap istrinya tahu kalau ia bisa memegang janjinya.

"Untuk sementara ini aku akan tinggal di bekas apartemenmu. Kau tidak keberatan kan?" tanya suaminya lagi.

"Tentu saja pakai saja sesukamu. Itu juga rumahmu,"jawab istrinya. Satu lagi yang ingin kutanyakan padamu, apa Orihime tahu kalau kau sudah menikah dan punya anak?"

"Ia tahu semuanya, Rukia,"

"Ayah…ibu…" mereka berdua menoleh dan mendapati anak perempuan kecil mereka yang memeluk boneka chappy putih kesayangannya memanggil mereka. "Aku mimpi buruk. Tidak bisa tidur,"

Sang istri cepat-cepat bangkit meninggalkan suaminya dan berjalan menuju anaknya. "Ayo ibu temani tidur, Hikari," dan menggendong anaknya menuju kamar.

.

.

.

Kuchiki Rukia namaku. Ralat Kurosaki Rukia namaku. Ya margaku berubah setelah menikahi suamiku, Kurosaki Ichigo enam tahun yang lalu. Selama enam tahun kami telah di karuniai dua orang anak. Pertama Kurosaki Rei yang berusia enam tahun dan Kurosaki Hikari yang berumur lima tahun.

Ichigo berprofesi sebagai dokter sedangkan aku hanya seorang ibu rumah tangga yang mengabdikan hidupku pada suami dan anak-anakku. Ichigo begitu menyayangiku dan anak-anaknya. Walaupun ia sibuk ia tidak pernah absen saat makan malam maupun bercanda dengan anak-anaknya saat ingin tidur. Ya, kami hidup bahagia.

Sampai malam ini Ichigo meminta padaku untuk berpisah dengannya sementara waktu. Dengan alasan demi teman kami saat kami masih SMA dulu. Orihime Inoue nama wanita itu. Aku tahu ia dulu sangat menyukai Ichigo sampai mendatangiku untuk memutuskan Ichigo. Namun, aku tidak tahu ternyata ia masih menyukai Ichigo sampai sekarang. Bahkan sampai suaminya meninggal pun ia masih menaruh hati pada suamiku. Bisakah aku menyalahkannya? Ia tahu bahwa Ichigo sudah berkeluarga seharusnya ia tidak egois, namun mengingat apa yang dialaminya sungguh menyedihkan membuatku mengurungkan niatku untuk menamparnya keras-keras. Ditinggal oleh suami, tinggal sendiri dan dalam keadaan sakit-sakitan.

Sekali lagi permintaan Ichigo membuatku sedih, sakit. Namun aku mengakui bahwa aku cukup kuat untuk tidak menangis didepannya. Janjinya yang membuatku kuat. Ya ia akan kembali setelah tiga bulan.

.

.

.

"Ibu menangis?" tanya Hikari yang tidur disamping Rukia.

"Menangis? Tidak sayang, ibu tidak menangis. Hanya kemasukan debu," dusta Rukia. Entah bagaimana airmatanya bisa jatuh saat ini, padahal ia tadi tidak mengeluarkan airmata sama sekali.

"Besok Hikari akan membersihkan kamar Hikari agar debunya tidak ada lagi," jawab Hikari dan menghapus airmata Rukia yang turun.

"Lihat betapa pintar putri ibu ini. Baiklah, ibu akan membantumu besok, Hikari-chan," jawab Rukia dan memeluk anaknya.

"Ibu, tadi aku bermimpi ayah akan pergi jauh. Itu tidak benar kan?" tanya Hikari. Rupanya Hikari bermimpi itu. Ia sangat dekat dengan Ichigo tentu saja ia bisa merasakan ayahnya tidak akan bersama mereka lagi.

"Tentu saja tidak, Hikari. Ayah tidak akan meninggalkan kita. Ayah sayang kan pada kita? Pada ibu, Hikari-chan dan Rei-nii," jawab Rukia. Lagi-lagi airmatanya keluar begitu saja. Hikari tidak melihatnya karena ia ada di pelukan ibunya. "Ayah tidak akan meninggalkan kita,"

"Tentu saja. Lagipula itu hanya mimpi kan ibu?" tanya Hikari lagi.

"Tentu saja sayang, itu hanya mimpi. Jadi sekarang tidurlah," Rukia menepuk-nepuk punggung Hikari agar tidur. Rukia sangat ingin berharap bahwa ini hanyalah mimpi saja. Dan saat terbangun Ichigo masih akan terus ada disampingnya.

.

.

.

Ichigo masih mendengar isak tangis Rukia yang tidur membelakanginya. Walau pelan ia mendengarnya karena ia belum tidur. Semenjak sejam yang lalu matanya tidak bisa ia pejamkan sedetik pun. Ia mengakui bahwa ia sungguh pria terkejam di dunia yang dengan gampang meninggalkan keluarganya tanpa memikirkan perasaan mereka. Tapi ia sudah terlanjur berjanji pada Orihime akan menemaninya dan meninggalkan keluarganya.

Egois? Tentu saja ia sadar akan hal itu. Ia dan Orihime sama-sama egois. Ia pun terlalu baik sampai-sampai mengorbankan keluarganya sendiri. Ia berjanji akan menebus semuanya setelah ini. ia berjanji akan membahagiakan keluarganya terutama Rukia. Karena disini ia bersalah pada Rukia.

'Gomen, Rukia'

.

.

.

Ia benci menangis. Ia benci airmata. Terakhir kali ia menangis adalah saat ayahnya, keluarga satu-satunya yang masih tersisa di dunia ini meninggalkannya setahun yang lalu. Namun ia tahu kalau ia tidak sendiri. Ada anak-anak dan suaminya yang tentu saja menemaninya sepanjang ia hidup.

Namun sekarang airmata mengalir lagi. Rasa sakitnya lebih berbeda sekarang. Lebih sakit. Lebih pedih. Lebih perih. Bagaimanapun ia ingin menghapus airmatanya, cairan bening ini akan turun lagi dengan seenaknya. Ia terisak pelan, berharap suara isakannya tidak sampai pada suaminya yang sedang tidur membelakanginya itu. Ia tidak ingin membuat suaminya khawatir padanya. Selama enam tahun ini ia sudah terbiasa bergantung pada suaminya. Tapi, besok ia harus belajar mandiri tanpa suaminya dan tentu saja ia harus merelakan tempat tidurnya lebih lowong daripada biasanya. Ia harus bisa menghadapi anak-anaknya yang sering ngambek. Mengingat bagaimana ia akan hidup sendiri airmatanya kembali jatuh.

Kami…mengapa sesakit ini?

Dan keduanya masih saling membelakangi dengan pikiran masing-masing.

.

.

.

"Aku akan membantumu mengemas-ngemas," Rukia mengeluarkan baju Ichigo dan melipatnya dengan rapi dan menaruhnya di koper hitam milik Ichigo.

"Arigatou,"

Keduanya masih saling diam. Pagi ini Ichigo sudah akan pindah ke apartemen milik Rukia. Tidak banyak yang Ichigo bawa. Hanya baju secukupnya dan beberapa buku kedokterannya.

"Selama aku tidak ada jangan memanjat tangga tanpa seijinku untuk membersihkan loteng," Ichigo masih membantu Rukia untuk memasukkan pakaiannya kedalam koper.

"Aku mengerti,"

"Makan teratur jangan sampai maag mu kambuh lagi,"

"Aku mengerti" tes. Satu airmata menetes dan jatuh pada rok ungunya.

"Jangan memarahi Hikari kalau ia sedang ngambek,"

"Aku tahu," tes. Jatuh lagi.

"Jagalah anak-anak,"

"Aku akan menjaganya," tes. Tes. Tes. Semakin banyak.

"Telpon aku kapanpun kau mau,"

"Baiklah. Aku mengerti, hiks…aku akan menuruti semuanya. Jangan cemaskan aku. Aku…"

GREP

Ichigo memeluk Rukia. Erat. Sangat erat. Bagaimana ia bisa menggambarkan perasaannya bahwa ia sangat menyesal melakukan ini pada Rukia? Bahwa ia sedih sudah membuat Rukia sakit hati. Bagaimana berat hatinya meninggalkan anak-anaknya dan juga Rukia? Bagaimana ia akan merindukan keluarga kecilnya ini?

"Maafkan aku Rukia. Maafkan aku. Aku minta maaf. Maaf. Maaf. Maaf," ucap Ichigo dan masih memeluk erat istrinya tersebut sampai ia benar-benar menyembunyikan wanitanya tersebut dalam pelukannya. Airmatanya pun tidak kalah dengan milik Rukia. Setelah ia tidak bisa mengeluarkan emosinya kemarin, akhirnya ia mengeluarkan semuanya hari ini dan Rukia bisa menyaksikan bagaimana tersiksanya Ichigo kali ini.

"Aku tidak apa-apa, Ichigo. Aku tidak apa-apa. Hanya tiga bulan. Tiga bulan dan kita akan kembali bersama," jawab Rukia melepaskan pelukannya, merangkum wajah suaminya dan menghapus airmata yang mengalir dari amber suaminya.

"Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi selain kata maaf, Rukia," ujar Ichigo sembari menghapus airmata yang jatuh juga dari violetnya.

"Jangan menangis lagi, Ichigo. Setelah ini kau harus pamitan pada anak-anak," Rukia kembali membereskan barang-barang milik Ichigo.

.

.

.

"TIDAK MAU! AYAH HARUS DISINI!" sesuai dugaan Ichigo dan Rukia, Hikari tidak mau melepaskan Ichigo pergi. Karena selama ini Ichigo tidak pergi tanpa Hikari apalagi Hikari sudah melihatnya membawa koper dan ia yakin ayahnya akan pergi lama.

"Hikari mau ikut ayah! Bawa Hikari, ayah!" Hikari terus menangis di pelukan Ichigo. Ia masih memeluk erat leher Ichigo dan tidak mau melepas Ichigo pergi.

"Hikari-chan, dengarkan ayah. Ayah hanya pindah rumah. Ayah tinggal dirumah ibu untuk sementara waktu. Jarak antara rumah ibu dan rumah sakit lebih dekat," Ichigo berusaha menjelaskan pada anak bungsunya tersebut.

"Kalau begitu bawa Hikari, Rei-nii dan Ibu. Kita tinggal sama-sama disana," Hikari merengek dan menangis.

"Hikari-chan, tidak boleh manja. Ingat Rei-nii bilang apa? Kalau kau manja Rei-nii tidak akan menemanimu main lagi," keluarlah suara Kurosaki sulung, Kurosaki Rei. Sedari tadi ia hanya berdiri di samping ibunya yang menatap sedih kepada Hikari dan Ichigo.

"Tapi Rei-nii, ayah mau meninggalkan kita. Ayah tidak akan bermain dengan kita lagi," Hikari masih merengek. Kali ini ia sudah melepaskan pelukannya dari Ichigo dan bicara pada Rei.

"Ayah masih bisa main sama kita. Kita kan masih bisa kerumah ibu buat ketemu ayah. Benar kan, Ibu," ujar Rei. Bocah berusia enam tahun itu masih mencoba membujuk adiknya

"Benar Hikari-chan. Kalau Hikari-chan kangen sama ayah, kita bisa kerumah ayah buat main. Sekarang lepasin ayah dulu. Nanti ayah terlambat ke kantor," jawab Rukia.

"Benar itu ayah?" tanya Hikari berpaling pada Ichigo.

"Tentu saja sayang. Kita bisa main kuda-kudaan lagi, bisa jalan-jalan atau Hikari mau dibelikan Chappy? Hikari bisa datang kapan saja kepada ayah. Atau menelpon ayah pun bisa," jawab Ichigo dan mencium pipi anaknya.

Rukia segera mengambil alih anak perempuannya itu dan menggendongnya. Sedangkan Ichigo berbicara pada Rei.

"Rei, ayah yakin ayah bisa mengandalkanmu. Jaga ibumu dan Hikari. Jika ada apa-apa telpon ayah saja," Ichigo mengacak-ngacak rambut anaknya yang warnanya sama sepertinya.

"Baiklah ayah. Ayah bisa mengandalkanku," jawab Rei dan nyengir. Melihat Rei, ia bisa melihat dirinya sendiri.

"Bagus, itu baru anak ayah," jawab pria berusia 28 tahun tersebut.

"Tapi ayah harus cepat kembali. Ibu pasti lebih membutuhkan ayah daripada aku dan Hikari-chan," lihat betapa pintarnya anaknya tersebut sampai bisa mengatakan hal tersebut padahal umurnya baru enam tahun.

Ichigo melirik Rukia yang masih sibuk membujuk agar Hikari tidak menangis lagi. Yang Rei katakan benar. Rukia lebih membutuhkannya.

"Terima kasih sudah mengingatkan ayah, Rei,"

.

.

.

Dengan ini Ichigo meninggalkan rumahnya yang ia beli dengan hasil keringatnya sendiri. Ia pergi dan meninggalkan istri dan anak-anaknya. Setelah pamitan pada Rukia dan mengecup bibir Rukia sebentar ia pun melaju dengan sedan hitamnya untuk pergi ke apartement Rukia dulu. Meninggalkan Hikari yang masih terisak memanggil nama ayahnya dan Rei yang sibuk dengan kegiatannya membujuk sang adik.

Sedangkan Rukia apa ia lakukan? Rukia terdiam di depan ruang keluarga dan menatap foto pernikahannya yang super besar. Didalam foto itu ia dan Ichigo sama-sama tersenyum bahagia. Bahagia sekali. Rukia sangka senyum itu akan ada pada diri mereka untuk selama-lamanya namun ternyata ia salah. Senyum itu kini tidak ada. Ini ujian buat keluarga kecil mereka. Terutama ini ujian untuk Rukia.

Satu lagi airmata yang jatuh mengalir dari violetnya.

.

.

.

"Bagaimana keadaanmu Inoue?" Ichigo menyiapkan alat medisnya dan bersiap memeriksa Inoue Orihime yang terbaring di salah satu ruang VIP rumah sakit Karakura tersebut.

"Keadaanku baik, Kurosaki-kun," jawab Orihime dengan penuh senyum. Ia bahagia karena Ichigo tadi pagi memberitahunya kalau Ichigo akan menemaninya setiap hari.

"Baiklah. Setelah ini minumlah obat dan tidurlah," Ichigo memperbaiki selimut Orihime dan memberikannya obat untuk diminum. "Aku akan meninggalkanmu karena akan ada operasi setelah ini dan aku dokternya,"

"Kurosaki-kun," panggil Orihime membuat Ichigo menghentikan langkahnya dan menoleh pada Orihime.

"Bisakah kau memanggilku Orihime saja? Tidak Inoue?" tanya Orihime penuh harap.

"Maaf Inoue. Sepertinya aku tidak bisa. Mungkin belum bisa," jawab Ichigo dan kembali berjalan keluar.

"Kurosaki-kun," panggil Orihime lagi.

"Ya?" Ichigo kembali menoleh.

"Maafkan aku karena menuruti keegoisanku kau jadi meninggalkan keluargamu," ucap Orihime. Sedangkan ia hanya mendapat senyuman dari Ichigo sebagai responnya dan Ichigo pun berlalu.

Sepeninggalnya Ichigo, airmata Orihime turun. Ia tahu senyum Ichigo bukanlah senyum tulus. Itu senyum penuh kepalsuan dan kebohongan. Ia tahu Ichigo masih belum bisa merelakan keputusannya. Orihime tahu betapa sedih hati Ichigo karena meninggalkan keluarganya. Yang ia dengar Ichigo sudah mempunyai dua anak yang masih sangat kecil-kecil dan pastinya masih membutuhkan sosok ayah. Ia tahu ia begitu tega memisahkan anak dari ayahnya dan memisahkan suami dari istrinya. Namun, untuk sekali ini saja ia ingin egois. Setidaknya biarkan di sisa hidupnya ini ia diperhatikan oleh orang yang ia cintai mungkin sampai mati. Orihime hanya ingin diperhatikan Ichigo. Orihime ingin Ichigo hanya memperhatikannya tanpa ada bayangan Rukia dan anak-anaknya. Hanya dia. Setelah ia mati ia tidak akan menuntut apa-apa lagi dari Ichigo.

'Kami, biarkan kali ini aku bersikap egois'

Cepat-cepat diraihnya kotak tissue yang ada disampingnya dan menghapus darah yang entah sejak kapan mengalir dari hidungnya.

.

.

.

Belum sehari ia sudah merindukan anak-anaknya dan Rukia. Ia berharap Hikari tidak akan merepotkan Rukia dengan sikap ngambeknya tersebut. Operasi besar tadi sungguh melelahkan ditambah lagi semalam ia tidak bisa tidur karena mengawasi Rukia yang menangis. Lelah fisik dan lelah pikiran. Lengkap sudah. Ichigo menyandarkan kepalanya pada kursi yang ia duduki dan menghelas nafas berkali-kali.

"Tidak baik menghela nafas terus, Kurosaki," Ichigo kaget dan kembali menegakkan badannya dan melihat Ishida Uryuu sudah ada di depannya. Ishida Uryuu yang merupakan teman SMA nya dan juga dokter di rumah sakit ini.

"Aku sedang kelelahan Ishida," jawab Ichigo. "Hei, kau sudah mendengar kabar dari Chad? Mulai tahun ini ia dan bandnya akan mengadakan tur keliling dunia dan Karakura akan menjadi tempat tur terakhir mereka,"

"Aku sudah dengar dan aku akan memesan tiketnya jauh-jauh hari sebelum kehabisan. Kalau kau mau, aku bisa memesannya," ujar Ishida.

"Ya, pesankan empat. Kau pasti lebih gampang melobi Keigo untuk memberikan tiket lebih. Aku dengar ia yang menjadi promotor konser Chad nanti," jawab Ichigo.

"Empat? Kau akan pergi bersama keluargamu?" tanya Ishida.

"Tentu saja. Masa aku pergi sendiri?" jawab Ichigo. Ia kembali menyadarkan kepalanya dan menghela nafasnya.

"Melihat kondisimu sekarang sepertinya kau sudah memberitahu Rukia-san dengan keinginanmu," tebak Ishida. Bagaimanapun teman satu profesinya ini bisa melihat bagaimana kacaunya Ichigo.

"Menurutmu?"

"Bagaimana tanggapan Rukia-san," tanya Ishida lagi.

"Pertanyaan itu tidak perlu kujawab karena kau pasti tahu jawabannya," jawab Ichigo dan memejamkan mata lelahnya.

"Ckckckckck aku bisa bayangkan reaksi Rukia-san. Kau sadar apa yang kau lakukan tidak benar Kurosaki Ichigo?" tanya Ishida lagi kali ini sedikit menyindir.

"Aku tahu. Tidak usah menceramahiku. Aku tahu seharusnya aku tidak melakukan ini terhadap Rukia dan anak-anakku"

"Dan kau melakukannya,"

"Jangan ingatkan aku betapa aku sangat kejam sebagai suami. Namun, setidaknya aku harus mengabulkan permintaannya yang terakhir," jawab Ichigo dan tampak memijit pelipisnya sendiri.

"Hanya karena ia mengancam bunuh diri dan tidak mau menjalani terapi jadi kau langsung mengabulkan permintaanya?" Ishida nampak bicara serius. Bagaimanapun ia tidak setuju Ichigo meninggalkan Rukia dan anak-anaknya.

"Aku tahu itu. Kelihatan seperti orang bodoh kan aku ini? Tapi nasi sudah jadi bubur. Aku sudah terlanjur mengabulkan permintaannya. Dan aku tidak bisa mundur walau sedetik pun untuk kembali ke masa lalu. Aku tidak punya kuasa untuk itu"

"Mudah-mudahan hal ini tidak akan meretakkan rumah tanggamu. Kalau sudah begini kau harus kuat, sobat," ujar Ishida dan menepuk bahu temannya tersebut lalu keluar.

"Kurosaki-sensei, pasien kamar 215 dalam keadaan kritis," kamar 215 merupakan kamar Orihime. Ia pun segera berlari ke kamar tersebut.

.

.

.

Rukia menghapus airmatanya. Sekarang ia sedang bersama Shiba Senna, dan baru saja selesai menceritakannya semuanya pada iparnya tersebut.

"Kalau sampai Kaien mendengar ini, ia pasti akan menghajar Ichigo," Senna geram sendiri dan merasa Ichigo sudah keterlaluan.

"Jangan Senna. Jangan memberitahukan suamimu. Kaien pasti akan marah pada Ichigo. Biarkan masalah ini aku dan Ichigo yang akan menyelesaikannya. Aku bercerita padamu karena aku tidak tahu harus bercerita pada siapa lagi," jawab Rukia.

"Tenang saja Rukia, kau bisa mengandalkanku. Tapi jika Kaien sampai tahu, ia tidak akan membiarkan sepupunya itu hidup," Senna masih membayangkan bagaimana kalau sampai Kaien tahu. "Inilah yang aku suka padamu, Rukia. Kau wanita tegar dan bisa menghadapi semua dengan tegar. Kalau aku mungkin tidak akan sekuat dirimu,"

"Aku harus tegar agar Hikari dan Rei juga tidak melihat perselisihanku. Aku tegar untuk anak-anakku, Senna," ujar Rukia. "Dan aku sudah tahu mengapa Ichigo melakukan ini semua. Aku menghargai kejujurannya. Jika ia tidak jujur, ia pasti dengan mudah menceraikanku. Dan buktinya sekarang ia yang tinggal diluar, bukan aku,"

"Aku mengerti Rukia. Aku tahu kau sangat mencintai Ichigo melebihi apapun, tapi ketegaranmu itu yang membuatmu terlihat berbeda dengan wanita lain. Aku tidak tahu seperti apa Orihime Inoue itu tapi aku yakin ia akan bisa menyadari keegoisannya dan mengembalikan Ichigo padamu," jawab Senna.

"Aku pun berharap seperti itu. Ia juga seorang wanita dan pernah menikah. Aku yakin ia bisa sadar dengan semuanya,"

.

.

.

"Sudah lebih baik?" Ichigo mendapati Orihime yang sudah membuka matanya. Masa kritisnya sudah lewat dan ia baru saja siuman setelah tiga jam tertidur.

"Hm….arigatou Kurosaki-kun," jawab Orihime dan tersenyum.

"Kau akan di jaga oleh perawat nanti malam. Aku akan pulang dan membereskan semua barang-barangku," Ichigo kembali menyelimuti Orihime.

GREP

Ichigo terdiam merasakan lengan yang melingkar di pinggangnya dari belakangnya. Ya, Orihime memeluknya.

"Kau akan datang kembali kesini kan, Kurosaki-kun?" tanya Orihime.

"Tentu saja aku akan kembali"

.

.

.

"Hikari, ayo makan," Rukia masih berusaha membujuk Hikari agar mau makan. Sedari tadi ia masih saja tidak mau makan walaupun Rei sudah membujuknya.

"Aku mau ayah, Ibu," Hikari terus menangis dan masih menolak untuk makan padahal Rukia sengaja membuat makanan kesukaannya untuk makan.

"Hikari-chan, ayo makan. Setelah ini Rei-nii akan meminjamkanmu buku mewarnai yang baru. Sekalian sama krayonnya," bujuk Rei.

"Benarkah, Rei-nii? Baiklah Hikari akan makan. Ibu, aaaaa….." Hikari membuka mulutnya dan Rukia menyuapkan nasi serta sayur dan ebi kesukaan Hikari.

"Rei, terima kasih ya," Rukia mengacak rambut orange anaknya. Ia jadi ingat Ichigo jika melihat Rei. Sedang apa suaminya? Apa sudah makan atau belum.

"Ibu akan membelikanmu coklat besok karena sudah membujuk Hikari-chan buat makan," Rukia tersenyum pada anak laki-lakinya.

"Benarkah?" seru Rei riang. Biasanya ibunya ini sangat pelit dengan coklat padahal itu makanan kesukaannya. Alasannya karena coklat membuat gigi sakit. Tapi kali ini ibunya berjanji akan membelikannya coklat.

"Aku juga mau coklat, Ibu," Hikari merengek.

"Baiklah, ibu akan membelikan coklat buat Hikari asalkan Hikari janji akan makan terus," jawab Rukia dan mencium pipi tembem milik Hikari.

Tanpa sadar matanya tertuju pada kursi makan yang ada di ujung. Kursi milik Ichigo saat makan. Kini tempat itu sudah kosong. Tidak ada pemiliknya. Tidak ada serbet, piring, sumpit maupun mangkuk disitu. Untuk apa Rukia menyediakannya disana kalau pemiliknya tidak akan ad disana lagi? Lagi-lagi ia harus menahan airmatanya. Bagaimana ia bisa jauh dari suaminya selama tiga bulan sedangkan baru beberapa jam saja ia sudah merindukannya setengah mati.

.

.

Dering ponsel milik Rukia mengalihkannya dari kegiatannya menyuapi Hikari. Ichigo's calling. Segera saja diberikannya piring pada Rei dan menyuruh putranya untuk menyuapi adiknya. Ia segera menjauh sedikit karena jika tahu Ichigo yang menelpon maka Hikari dan Rei akan berebut ingin bicara.

"Moshi-moshi,"

"Kau sudah makan? Anak-anak sudah makan?" terdengar suara Ichigo dari seberang sana. Suara lelah.

"Sudah. Tadi Hikari sempat ngambek, tapi untung Rei bisa mengatasinya. Apa kau sudah makan, Ichigo?" tanya Rukia lagi.

"Aku sudah tahu Rei pasti bisa diandalkan. Aku sudah makan ramen instan tadi. Untung alat dapurmu tidak dipindahkan semua kerumah," ujar Ichigo. Terdengar suara ia sedang minum.

"Belilah makanan yang sehat jangan memakan masakan instan begitu, Ichigo," Ichigo tersenyum di seberang sana. Ia senang Rukia begitu memperhatikannya.

"Baiklah, nyonya Kurosaki," betapa Rukia merindukan panggilan itu dari mulut suaminya sehingga tanpa sadar ia tersenyum.

"Kau lelah? Suaramu begitu berat, Ichi," tanya Rukia mencemaskan Ichigo. Suaranya lebih berat dari biasa,

"Aku baru saja memberekan semua pakaianku. Dan tadi dirumah sakit ada beberapa operasi besar," jawab Ichigo.

"Istirahatlah dan mandi dengan air panas,"

"Berikan handphonenya pada Hikari dan Rei, aku ingin bicara pada mereka," Ichigo duduk dan menghempaskan diri pada sofa yang ada disana.

Rukia mengaktifkan speaker handphonenya dan menaruhnya diatas meja. Begitu Rukia menyebutkan 'ayah' baik Rei maupun Hikari kembali duduk setelah sebelumnya mereka kejar-kejaran.

"Ayah….Hikari kangen ayah,"

"Apa ayah sudah dirumah ibu?"

"Ayah sudah makan?"

"Hari ini ayah mengoperasi pasien penyakit apa lagi?"

Pertanyaan dari anak-anaknya begitu banyak, namun entah mengapa ia justru malah tersenyum dan tertawa mendengar suara anak-anaknya.

"Satu-satu dulu bagaimana ayah bisa menjawabnya kalau kalian teriak-teriak begitu," terdengar suara Rukia. Ah…betapa ia merindukan suara istrinya itu.

"Rei, Hikari, ayah baik-baik saja. Ayah baru saja beres-beres rumah ibu. Rumah ibu kotor sekali. Ayah juga kangen Hikari dan Rei. Ayah sudah makan tadi tapi sayangnya bukan masakan ibu. Dan soal operasi tadi ayah memimpin tiga operasi besar dan menyelamatkan satu nyawa yang kritis. Bukankah ayah hebat?" tawa Ichigo menggema.

"Tentu saja ayah yang paling hebat," jawab Rei dan disetujui oleh Hikari.

"Ayah dengar Hikari tidak mau makan tadi? Hikari tidak boleh begitu. Kasihan ibu. Janji Hikari harus terus makan yah. Kalau Hikari tidak mau makan, ayah tidak akan mau bicara sama Hikari lagi," ancam Ichigo.

"Jangan ayah. Hikari janji akan makan. Tapi ayah harus menelpon setiap hari," ujar Hikari.

"Dan ibu sudah berjanji akan membelikan kami coklat besok," pamer Rei sambil terkekeh.

"Tumben ibu kalian mau membelikan coklat," tanya Ichigo sambil terkekeh.

"Itu karena mereka penurut," timpal Rukia yang ada di belakang anak-anaknya.

"Hoaammm..sudah malam. Ayah mengantuk. Kalian juga tidurlah. Tapi jangan lupa cuci kaki dan gosok gigi. Mengerti?"

"Mengerti ayah. Oyasumi, ayah," Hikari dan Rei berseru bersama.

"Oyasumi," Ichigo mematikan sambungan teleponnya.

Ia masih duduk di sofa dan memandangi ruangan yang ada disekitarnya. Masih sama seperti delapan tahun lalu saat ia dan Rukia masih pacaran. Ruangan apartement besar dengan cat putih susu. Perabotnya pun masih sama. Ada counter di dapur yang biasa ia pakai untuk duduk dan menggoda Rukia saat istrinya tersebut sedang menyiapkan makan siang saat Ichigo datang dan beristirahat sejenak karena kuliah mereka yang padat.

Di sudut ruangan terdapat sebuah kamar tempat ia dan Rukia menghabiskan waktu. Dengan membaca buku, menikmati musik dan juga tidur. Biasanya Ichigo juga memakai ruangan ini untuk beristirahat. Masih dengan cat ungu muda yang sama. Ia masih ingat kamar Rukia ini ia dan Rukia yang mengecatnya. Disudut ruangan terdapat meja rias yang sudah kosong. Disana dulu terdapat fotonya dan Rukia lalu beberapa boneka chappy yang ia belikan untuk Rukia. Ia mengeluarkan foto pernikahannya yang ada di kopernya dan menaruhnya diatas meja tersebut.

Tempat tidurnya ini masih sama empuknya. Rukia dan ia biasanya tidur disini sebelum ia pindah ke rumah mereka setelah menikah. Dengan seprei berwarna putih bersih dan selimut chappynya. Setidaknya selimut inilah yang akan menghangatkan Ichigo nanti malam.

.

.

.

Waktu menunjukkan pukul sebelas. Ichigo masih belum bisa tidur. Ia masih gelisah diatas kasur milik Rukia. Sedari tadi ia menimbang nimbang ponselnya apakah ia akan menelpon Rukia atau tidak. Ia takut Rukia sudah tidur. Keputusannya pun akhirnya ia menelpon Rukia.

Setelah bunyi dering beberapa kali akhirnya suara berat terdengar di seberang sana.

"Kau sudah tidur?"

"Aku belum tidur. Baru saja menyelimuti Hikari dan Rei," jawab suara Rukia di seberang sana.

"Mereka tidur dikamar kita?" tanya Ichigo sambil memperbaiki posisinya dan duduk menyadar pada kepala ranjang.

"Begitulah. Mereka merengek tidur denganku," jawab Rukia.

"Hahahaha…mereka menggunakan kesempatan saat ayah mereka tidak ada rupanya," jawab Ichigo dan terkekeh.

"Begitulah, jika ada kau pasti kau tidak akan mengijinkan mereka untuk tidur disini," terdengar suara tawa pelan Rukia. "Kenapa belum tidur?"

"Entahlah. Padahal rasanya lelah sekali hari ini, tapi mataku malah masih terjaga," jawab Ichigo dan memijat pelipisnya.

"Bagaimana kesehatan Orihime?" tanya Rukia mendadak membuat Ichigo menegang.

"Ia baik-baik saja. Tadi ia sempat kritis namun sekarang sudah stabil," jawab Ichigo. Jujur saja ia agak kesal Rukia membawa nama orang lain dalam pembicaraan mereka.

"Mungkin aku akan datang menengoknya," ujar Rukia. 'Jika aku sudah siap'

"Datanglah kapan saja,"

"Tidurlah Ichigo hari sudah malam," ujar Rukia dari seberang sana.

"Rukia,"

"Ada apa?"

"Maukah kau melakukan satu hal. Mungkin aku tidak pantas mengatakannya, tapi ini permohonanku. Bisakah jika kau merindukanku kau langsung memberitahuku?" tanya Ichigo.

Di seberang Rukia sedang mengerutkan keningnya "Untuk apa aku memberitahumu?"

"Agar aku bisa langsung berlari dan menemui langsung," jawab Ichigo dan membuat jantung Rukia berdebar.

"Baiklah aku akan memberitahukanmu jika aku merindukanmu, mikan," Rukia terkekeh. "Asalkan kau menepati janjimu dan langsung muncul di hadapanku,"

"Tentu saja aku berjanji midget," jawab Ichigo.

Hening. Keduanya terdiam. Baik Ichigo dan Rukia bisa mendengarkan hembusan nafas lawan bicara mereka.

"Rukia,"

"Hm…ada apa lagi?"

"Jika aku merindukanmu suatu hari nanyi bolehkah aku mengatakannya?" tanya Ichigo.

"Tentu saja. Kau kan suamiku. Jangan sungkan,"

"Aku rindu padamu," dan Rukia pun membeku.

"Oyasumi, Rukia,"

Rukia baru sadar setelah Ichigo memutuskan sambungan teleponnya. Ichigo rindu padanya? Rukia tersenyum namun ia juga merasa sakit. Ichigo merindukannya namun ia tidak bisa menggapai Ichigo.

"Aku pun merindukanmu, Ichigo,"

.

.

.

TBC

.

.

Huwaaaa sudah jam 1 rupanya. Dan saya masih terjaga dan siap publis fic. Entah mengapa fic ini terlintas dipikiran saya dan judulnya saya sengaja ambil dari judul backsoundnya bleach. Gak tahu juga kenapa ambil judul ini

Akhir kata mohon reviewnya semua.