A/N: Sebelumnya saya akan bilang: saya tidak terima spam. Jika anda ingin meng-flame, tolong kritik ceritanya dengan benar dan tolong cantumkan alasan yang masuk akal dan bisa saya mengerti. Terima kasih.

Sekedar info, saya membuat tebak-tebakan iseng berhadiah yang bisa anda lihat di A/N yang di bawah. XD

Listening to: Kalafina – Magia (entah kenapa saya rasa cocok sama suasana fic-nya)

Disclaimer : Inazuma Eleven © Level-5

Warning :Alternate Universe, Out Of Character, padat deskripsi, (perhaps) BL for later chapter, high voltage of gajeness(?).

.


.

[Prologue]

.

Teriakan melengking.

Pecahan berbunyi nyaring.

Tertutup suara lalu lintas yang bising.

Didengar pun, tiada orang yang berpaling.

.


.

Happy Time

.

© Akazora no Darktokyo

.


.

Kedua kaki lebamnya di gerakkan, instingnya berkata bahwa ia harus mencari perlindungan. Meski kaki lebamnya mengatakan tidak mau bergerak melalui perihnya, tapi, sesuatu memaksanya menghindar dari marabahaya.

Anak itu berlari-lari tergesa-gesa, sesekali menengok ke belakang melihat bahaya yang mengejarnya. Anak kecil itu menghindar dari kejaran seorang paruh baya, orang yang membawa pecahan kaca tajam yang ada di belakangnya.

Anak itu berlari dan terus berlari. Ketakutannya membuat kebutaan akan sebuah batu besar yang ada di hadapannya sedari tadi. Akibatnya, ia terjatuh kini. Sayangnya sebelum sempat berdiri, bahaya sudah siap merengkuhnya dan membawanya mati.

Satu jengkal lagi, ketika pecahan kaca mengoyak kulitnya ini, ketika pecahan kaca itu akan menembus jantungnya yang berdetak tanpa henti, ketika dia akan mati. Dia tahu, bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi. Karena—

—waktu berhenti.

Awan yang mengarak, diam tanpa bergerak. Burung yang terbang, diam seolah mengambang. Kaca sial yang siap membunuhnya, terpaku bersama tangan si paruh baya. Dan, ia tahu ada apa. Sebab waktu bisa berhenti meski ia tidak memintanya.

Tidak menyia-nyiakan waktu yang berhenti sementara, ia berlari dengan segera. Ke tempat yang tidak akan pernah dijangkau oleh bahayanya. Ia berlari sejauh mungkin, tidak mempedulikan khalayak yang terdiam seperti manekin. Kenapa hanya dia yang tidak terpengaruhi oleh arus waktu yang berhenti? Waktu masih belum bosan mempermainkannya hingga kini.

Ia sudah merasa cukup berlari, badannya yang lelah dan nafasnya yang terengah-engah meminta berhenti. Setidaknya bahayanya tidak tahu ia ada di sini. Di tengah khalayak yang seolah tidak peduli.

Dan, sang waktu berjalan kembali.

Orang-orang itu tampaknya tidak merasakan apa-apa. Mereka kembali berjalan seperti apa adanya. Sedangkan anak itu terkejut mendengar dering ponsel yang bertahta di kantung jaketnya. Ia melihat layar ponselnya yang terisi oleh sebuah nama. Sebuah nama penelponnya.

Tanpa nama. Private Number tulisannya.

Siapa? Anak itu bimbang untuk menjawab panggilannya, namun dering ponsel anak itu cukup mencuri perhatian orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Tatapan mereka seolah berkata, "Hentikan dering berisikmu, angkat saja panggilannya!"

Hahhh. Anak itu menghela nafas yang sudah bersirkulasi stabil di paru-parunya.

"Halo," anak itu menjawab.

Seberang sana menjawab balik, "mati."

Anak itu terdiam.

"Mati, mati!"

Anak itu tetap diam.

"MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATI, MATIII—"

Telepon di putus.

Anak itu tahu, betapa banyak yang benci akan eksistensinya.

Anak itu tahu, seharusnya dia tidak pernah ada.

Anak itu tahu, tidak akan pernah ada tempat untuknya.

Anak itu tahu, bahwa ia seharusnya tidak pernah ada—hanyalah pikirannya semata.

Betapa dia benci akan dirinya sendiri. Namun, semua orang tidak ada yang peduli. Orang-orang hanya memberinya penghinaan dan caci-maki. Dia pun tidak punya pilihan sebagai sosok yang dibenci. Ia merasa tugasnya di dunia ini pun hanya untuk dibenci, disakiti, lalu mati.

Sosoknya sekarang ini seperti seonggok peribahasa; hidup segan, mati tak bisa.

Ia ingin mati. Namun, ketika ada kesempatan untuk mati, instingnya berkata untuk hindari. Dan, waktu pun mendukung dengan berhenti. Membuat ia masih hidup hingga kini. Takdir merasa belum cukup untuk mengombang-ambing hatinya. Sepotong adegan kilas balik membuat anak itu menjelajahi ingatannya.

Ingatan pahit yang sekarang membuat keadaannya.

.


.

Ia hanyalah seorang anak umur 13 tahun yang tidak mebutuhkan apa-apa selain keluarga. Ia merasa cukup bahagia dengan apa yang ada. Meski terkadang ia bingung kenapa keluarganya tidak mempunyai relasi saudara. Namun, itu bukan masalahnya.

Intinya; dengan Ayah, Ibu dan adiknya, ia telah merasa begitu sempurna.

Sampai suatu peristiwa menghancurkan segalanya.

Kebakaran membumihanguskan rumah tersayangnya. Api telah melalap semua yang ia punya. Harta, keluarga, dan bahagia. Sedangkan, ia menjadi seorang yang selamat satu-satunya. Menjadi seorang yang sendirian sebatang kara—hanya karena pergi keluar rumah disuruh untuk membeli garam oleh ibunya.

Setelah itu, ia hidup dengan luntang-lantung. Ia merasa penderitaannya tidak berujung. Hidupnya yang awal mulanya bahagia, sekarang membuat dia menjadi peminta-minta untuk beberapa minggu lamanya. Namun, seseorang mengulurkan tangannya, menjanjikan apa yang dinamakan kebahagiaan untuknya.

"Namamu siapa?" tanya orang itu.

Anak itu menyebutkan namanya.

"Kenapa kau bersedih, nak?" tanya orang itu lagi sambil membetulkan posisi kacamata berkaca lingkaran hitam yang bertengger di hidungnya.

"Aku kehilangan Ayah, Ibu, dan adikku. Mereka semua meninggal dalam kebakaran di rumahku," jawab anak itu.

"Apa kau mau ikut denganku, nak?" tanya orang itu. "Aku bisa menghidupkan kembali keluargamu."

Secercah harapan muncul di benak polosnya, matanya berbinar-binar menatap orang yang disangka malaikat di depannya, "benarkah?"

Ia mengetahui bahwa rasionalitasnya tidak bisa menerima begitu saja bahwa ada kekuatan yang bisa menghidupkan kembali orang mati. Namun, kebahagiaannya adalah jika ia bisa bertemu keluarganya kembali. Dan, dia tidak ingin melepaskan kesempatan ini. Kesempatan untuk bertemu keluarganya yang ia sayangi.

"Ya. Berapa umurmu?"

"13 tahun."

"Bagus, kalau begitu. Ayo ikut denganku," ujar orang itu sambil menyunggingkan senyum.

Anak itu mengangguk ceria, mengekori sosok yang dianggap malaikat di depannya. Mungkinkah rumah malaikat itu adalah…surga?—pikir anak itu tanpa curiga.

Setelah lama berjalan beriringan, melewati jalan yang penuh belokan. Mereka sampai ke rumah orang itu. Rumah yang dipenuhi dengan debu, lantainya terbuat dari batu, langit-langit nya menjulang tinggi, menampakkan laba-laba yang sedang menari.

Satu lagi, rumah itu terlampau jauh dari kata surga yang ada di otak anak ini.

"Rumah paman menyeramkan," ujar anak itu tanpa bermaksud menyinggung.

"Kamu takut?" tanya orang itu ramah.

"Tidak, sih," bohong anak itu. Dia pasti takut, jika tidak dengan orang yang ada di sampingnya.

"Kamu takut dengan hal-hal yang berbau sihir?" tanya orang itu.

"Tidak juga. Karena ibu pernah berkata sihir itu tidak selamanya buruk," jawab anak itu.

"Baik, paman akan memberi tahu satu hal. Apakah kamu mau berjanji untuk tidak takut setelah ini?"

Anak itu mengangguk.

"Paman adalah seorang penyihir."

"Waaaah, hebat! Aku ingin melihat sihir paman!" serunya ceria. Respon yang diharapkan oleh sang penyihir di depannya.

Kemudian orang itu menjetikkan jari dengan lihainya, mengangkat sebuah vas di sampingnya tanpa menyentuhnya. Sedangkan anak itu bertepuk tangan gembira. Lalu, sang penyihir menaruh—masih tanpa menyentuhnya— vas itu kembali di atas meja.

"Bagaimana?"

"Hebat, paman! Keren!"

"Nah, sekarang, paman akan mengantarmu ke kamarmu. Kau harus istirahat. Karena besok kita akan menghidupkan keluargamu."

Anak itu menuruti perkataan sosok yang dianggap malaikatnya, anak itu tidak bicara apa-apa ketika ia digiring menuju kamar barunya. Sampai di kamar baru, pemandangannya terisi dengan tebalnya debu. Namun, sedikit jentikan jari dari penolongnya, debu itu tidak hinggap lagi di kamarnya. Menghilang begitu saja.

Kemudian, anak itu melompat ke kasurnya. Membayangkan ketika hari esok tiba, membuatnya ia tidak sabar dan bahagia. Akhirnya, ia bisa berkumpul dengan keluarganya. Keluarga yang dicintainya. Ada Ayah, Ibu dan adiknya.

Pandangan mengawang-awang itu menulikan pendengarannya, ia tidak mendengar ketika si penolongnya bergumam sesuatu, sebelum menutup pintu yang ada di balik badan anak itu.

"Selamat tidur, kelinci percobaanku."

.

.

.

Keesokan harinya, hari yang ditunggunya tiba. Paman itu menjemputnya dari kamarnya dan membawanya menuju ruangan yang teratas dari rumah tingginya.

Ketika sampai disana; terlihat seperangkat buku tebal yang menumpuk di rak-rak buku, sebuah piano berwarna pelitur kayu, sebuah bola kristal yang menimpa bagian tengah pentagram di atas meja bundar dari batu, lemari yang berisi botol-botol kaca—dengan sebagian dari banyaknya botol kaca berisi cairan yang tidak ia tahu.

Penyihir itu menjentikkan jari. Memunculkan dua buah kursi. Kursi yang berhadapan satu sama lain meski meja bundar itu membatasi. Mereka berdua duduk di kedua kursi itu, posisi mereka seperti ayah dan anak di meja makan. Dengan posisi saling berhadapan.

"Ulurkan tanganmu, nak," ujar orang itu memberi instruksi.

Anak itu mengulurkan tangannya. Tangannya bersambut dengan tangan orang yang dianggap sosok penolongnya. Keduanya saling memegang tangan satu sama lainnya, tangan anak itu diatas dan tangan orang itu di bawah.

Tangan kiri penyihir itu yang bebas memegang sebuah lembaran halaman buku yang ia pangku. Penyihir itu menyeringai, mengeluarkan sisi gelap yang selama ini disembunyikan tanpa anak itu perlu tahu. Perangai aslinya seketika memberi firasat buruk bagi anak berusia 13 tahun itu.

Anak itu ingin melepaskan tangannya, tapi orang itu menahannya.

"Kau ingin bertemu orang tuamu 'kan, nak?" tanya orang itu.

Anak itu mengangguk ragu, "tapi, tidak akan terjadi apa-apa 'kan?"

"Tidak, tidak akan terjadi apa-apa," bohong orang itu. Senyum ramah lagi ia tampakkan, sebagai penipu sebuah kenyataan.

"Duduklah tenang di sana. Aku akan memberi pertanyaan, dan kau hanya tinggal menjawab 'iya'," orang itu menginstruksikan. Anak itu mengangguk.

Orang itu menyebut mantra yang diucapkannya entah pakai bahasa apa—yang jelas mantra itu tidak diakhiri dengan abra kadabra. Tidak seperti yang diucapkan pesulap biasa. Pentagram di atas meja bundar itu bersinar, lalu dilanjutkan dengan bola kistal itu berpendar.

Semuanya teruntai oleh cahaya putih hangat. Tapi, anak itu tak sadar akan terciptanya bayang hitam pekat.

"Benarkah kau ingin menghidupkan kembali orang yang sudah mati?" tanya orang itu. Anak itu tahu tugasnya, ia hanya perlu menjawab 'iya'.

"Iya,"

"Kau sudah tahu syaratnya, bukan?"

Meski ragu, anak itu tetap menjawab, "iya."

"Kau sudah terima akan konsekuensinya?"

"Iya."

Tunggu! Bukannya tidak akan terjadi apa-apa? Aku hanya tinggal akan bertemu keluargaku setelah ini. Apa maksudnya konsekuensi?—pikir anak itu, namun untuk menanyakan hal itu lidahnya kelu. Dia seakan bisu.

"Tugasku hanyalah mengabulkan permintaanmu, tidak lebih dari itu," ujarnya dingin dan kalem.

Orang itu menyeringai kembali. Anak itu melihatnya dan benar-benar merasa hal buruk akan benar-benar terjadi. Anak itu membelalakkan matanya ketakutan, namun orang itu hanya tersenyum bak setan. Anak itu mencoba melepaskan tangannya, namun tidak bisa.

Cahaya yang berpendar dari bola kristal dan pentagram bersinar terang dan cahaya itu mengikat kedua tangan mereka. Seketika cahaya itu berubah warna, bukan putih yang tak ternoda, melainkan cahaya hitam penuh dosa.

"Akan kubacakan syaratnya," ujar orang itu. Seringainya makin melebar seakan bermaksud untuk merobek belahan mulutnya. Dan, ia menundukkan kepala, membaca buku yang ada di pangkuannya.

"Kau yang menambah waktu orang lain yang telah habis harus dibayar dengan menghentikan waktumu.

Kau yang menghidupkan orang lain dengan alasan sayang harus dibayar dengan dibenci orang lain tanpa alasan.

Kau yang ingin bertemu dengan orang yang kau hidupkan harus di bayar dengan tidak bisa bertemu dengan orang yang kau hidupkan.

Kau yang telah seenaknya mengubah alur waktu orang lain akan dipermainkan oleh alur waktu dirimu.

Kau yang nantinya akan merindukan kematian, tidak akan mati sebelum bertemu orang yang bisa menyayangimu."

"TIDAK!" teriak anak itu. Telah dilawannya lidahnya yang kelu. "AKU TIDAK MAU!"

"Terlambat," ujar orang itu senang.

"KAU BERBOHONG PADAKU!" teriak anak itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Mulai dari sedih sampai takut.

"Aku bilang akan menghidupkan keluargamu, bukan mempertemukanmu dengan keluargamu." balas orang itu kalem, lalu ia tertawa lalim.

Anak itu tidak berkata apa-apa. Tidak bisa lagi berkata apa-apa. Ia hanyalah anak polos yang merindukan keluarga bahagianya. Rindu untuk berkumpul dan berbagi kehangatan dengan mereka semua. Apakah itu salah ketika dia tergoda untuk menghidupkan keluarganya ketika dia tidak tahu apa-apa? Yang jelas, mulai sekarang semuanya tidak akan pernah sama.

Anak itu menatap apa yang ada di belakang sosok yang pernah dianggap malaikatnya. Disana muncul cahaya putih yang membentuk sosok keluarganya. Dan, itu nyata. Sebelum ia melihat sosok keluarganya hidup kembali, dia sudah tidak ada di rumah jahanam itu lagi.

Dan seberkas cahaya menjemputnya ke dunia yang tidak ia ketahui.

Jejak awal dari semua penderitaannya kini.

.


.

Anak itu terdiam. Mengingat syarat-syarat yang diberikannya dahulu.

/Kau yang menambah waktu orang lain yang telah habis harus dibayar dengan menghentikan waktumu./

Ya, ia sudah membayarnya. Waktunya berhenti begitu saja. Sempat ia kira; waktu yang berhenti = mati. Namun, yang dimaksudkan mati adalah waktu yang habis tiada sisa. Sedangkan, waktu yang berhenti adalah seperti dirinya. Fisiknya tidak bertambah tua, masih seperti anak berumur 13 tahun yang dulu kehilangan keluarga. Namun, psikisnya sudah seperti orang dewasa.

Waktu yang berhenti telah dapat membuatnya hidup abadi. Selama beberapa puluh tahun hidup pahit yang ia jalani, ia belum mati.

/Kau yang menghidupkan orang lain dengan alasan sayang harus dibayar dengan dibenci orang lain tanpa alasan./

Ya, ia telah membayarnya dan merasakan betapa pahitnya syarat yang kedua. Tidak ada orang yang menyayanginya. Yang ada, orang-orang merasa benci dan terganggu melihat dirinya. Syarat yang kedua membuatnya sarat akan rasa sayang. Ya, ia masih bisa merasakan rasa sayang. Hanya ketika ia mengingat keluarga bahagianya.

Ponsel yang bertahta di kantung jaketnya, hanyalah hasil dari pemanfaatan dirinya. Meski, orang yang memanfaatkan dirinya benci setengah mati kepadanya dan memanfaatkan dirinya karena ia berguna.

/Kau yang ingin bertemu dengan orang yang kau hidupkan harus di bayar dengan tidak bisa bertemu dengan orang yang kau hidupkan./

Ya, ia sudah membayarnya. Ia tidak bertemu dengan keluarganya entah berapa lama. Atau ia tidak akan bertemu untuk selama-lamanya. Semuanya sia-sia. Dari awalnya, semuanya sia-sia. Dia berusaha menghidupkan keluarganya untuk bertemu dengan mereka. Namun, ia tetap tidak bisa bertemu dengan mereka.

/Kau yang telah seenaknya mengubah alur waktu orang lain akan dipermainkan oleh alur waktu dirimu./

Waktu sudah memainkan dirinya sangat lama sekali. Waktu selalu membawanya berpindah-pindah dimensi. Agar dirinya bisa menemukan orang yang menyayanginya sepenuh hati. Agar ia bisa mati.

Sudah terlihat betapa susahnya ia untuk mati. Ketika ia nyaris mati, waktu memberhentikan jarak kematian yang nyaris ia miliki. Kenapa harus mati? Dia tidak bisa mencicipi rasa sayang atau bahagia lagi. Apa gunanya hidup di dunia ini?

/Kau yang nantinya akan merindukan kematian, tidak akan mati sebelum bertemu orang yang bisa menyayangimu./

Ia begitu merindukan kematian, karena hidupnya hanya dijejali kepahitan. Syarat yang kelima hanya bisa membuatnya menunggu keajaiban. Syarat yang kelima hanya membuat usaha waktu berpindah dimensi menjadi sia-sia. Kenapa? Lihat syarat yang kedua. Kalau ia hanya bisa dibenci, bagaimana ia bisa menemukan orang yang bisa menyayanginya?

Betapa syarat-syarat itu adalah sebuah kutukan.

Dan, sekarang, ia hanya bisa berharap akan ada seseorang pembawa perubahan.

.


.

To be Continued

.


.

A/N: Bentar deh, saya juga bingung kenapa saya bikin beginian. Under World aja kayaknya seret apdetan. Tapi, tangan saya gak tau kenapa gak bisa ngehentiin ketikan. Dan, kayaknya ini multichapter penambah utang #jdaakkkk.

Satu lagi karya AU dari saya, karena bikin Canon itu males nyari referensinya #ayotaboksaya. #bunuhsajasaya. Dan, apa-apaan adegan penghidupan kembali yang sudah seperti hijab qabul antara pedofil dan anak kecil? #iyaAyobunuhsaya. Anda sekalian tahu 'kan siapa penyihir itu? Saya yakin anda tahu.

Dan, saya membuat tebak-tebakan (nista) berhadiah…

Inilah soal(nista)nya: Siapakah kira-kira 'anak itu'?

Hints-nya: Kalau anda baca baik-baik fic-nya, anda bisa menemukan beberapa hint yang tidak spesifik. Namun, pasti anda bisa mengira-ngira.

Pemenangnya bakal dikasih tahu di chapter depan. Serius, tanpa kebohongan *meski saya tau muka saya seperti seorang kriminal; mencurigakan*. Jawaban dapat dijawab melalui PM ato ripiu. Pemenangnya adalah orang yang menjawab jawaban benar yang tercepat sebelum chapter selanjutnya keluar. Satu orang hanya boleh mengajukan satu nama.

Hadiahnya… satu fanfic oneshot yang sesuai dengan request anda. Hanya berlaku di fandom InaIre (dalam artian: jangan minta oneshot dengan karakter fandom lain) dan jika anda menang. Terserah mau pair-nya kayak gimana aja (Straight, Yaoi, Yuri), atau mungkin non-pair. Lalu, terserah mau jalan ceritanya kayak apa (contoh: AU, Humor, Gore, Lemon (eksplisit ato implisit), atau Canon sekalipun).

P.S: Jangan minta yang gak mungkin. Misalkan: anda minta crack pair dengan Canon Universe. Jelas itu nggak mungkin 'kan? Pair-nya aja nge-crack, hint-nya mau dicari di mana? *kok ngocol gitu, ya?* #taboksaya *kayak gak niat ambil request-an deh* #plakjdakduer

Anda hanya berhak meminta ketika anda sudah diumumkan sebagai pemenangnya. Kalo gak ada yang berhasil menjawab dengan benar, hadiah yang saya janjikan adalah batal. Dan, anda bisa menolak hadiahnya jika anda menginginkannya. XD

Okeh, mind to review?