Menjadi seorang model, bukanlah salah satu impiannya. Ini adalah Jepang. Sebuah negara yang melegalkan produksi majalah dewasa dan film dewasa. Tapi ingat, Sakura bukanlah seorang artis JAV. Naruto mengenal Sakura, ia tahu betul watak teman masa kecilnya itu. Ia juga ingat pernah jatuh cinta padanya. Baiklah, itu dulu. Bagaimana kalau dahulu dan sekarang itu berubah?
.
.
.
Naruto belongs to Masashi Kishimoto-sensei
Warning : AU, OOC, Typo (s), rate M untuk amannya.
Tidak suka ya gakapa-apa. Ini imajinasi aku. Setidaknya izinkan aku berimajinasi. Makasih.
Judulnya aku ambil dari lagu Ellie Goulding – Love me like you do. Yah, seperti biasa aku bingung mau ngasih judulnya hehehe, kebetulan kemarin dikasih denger oleh temen untuk dengerin nih lagu. Jadi, karena bagus aku pake deh.
Amai Sora
September, 2015
.
.
.
Bab 1 : Sebuah Batu Loncatan.
Pada bulan Oktober tahun ini, Naruto sudah menginjak umur lima tahun. Dia adalah anak satu-satunya di keluarga Uzumaki. Walau Naruto sangatlah manja, semua keinginannya pasti akan terpenuhi, tahun ini pula adalah ajaran baru untuk Naruto di taman kanak-kanak.
Naruto tidak mau bersekolah, dia memprotes dengan menangis sekencang-kencangnya pada hari pertama di sana. Kushina tidak habis pikir pada anak semata wayangnya itu. Naruto memang nakal, ia sangat suka berceloteh panjang, tapi mengapa dia tidak ingin masuk sekolah? Biasanya anak sebayanya akan sangat senang saat masuk kelas dengan penuh berbagai dekorasi ruang khas taman kanak-kanak.
Semua anak kecil sangat menyukai TK. Tapi tidak untuk anaknya. Tentunya Minato tidak ingin menuruti kemauan anaknya untuk yang satu itu. Bagaimanapun juga Naruto harus segera mendapatkan pendidikan formal. Semua itu bertujuan untuk masa depannya.
Di hari keduanya sikap Naruto sama saja. Dia hanya mengganggu teman sekelasnya lalu mencuri susu anak gadis lain—tentunya membuat sedikit kekacauan di saat jam makan kelas mereka.
"Ini untukmu."
Anak gadis kecil yang sempat diganggu oleh Naruto itu mendongak. Teman sekalasnya yang tentunya tidak dia kenal menyodorkan sekotak susu miliknya.
"Terima kasih." Seketika wajahnya sangat cerah karena dia mendapatkan pengganti susunya yang hilang tadi.
Naruto tidak suka melihat pemandangan itu. Ingin rasanya ia berlari ke arah temannya yang berambut merah muda itu, lalu menerjangnya dan membuatnya menangis pula. Tapi, sebelum dia bisa melakukan semua itu, Sakura sudah mendekat lalu mendorongnya sampai terduduk.
"Dasar anak nakal! Baru dua hari di kelas sudah membuat keributan."
Naruto mendongak, dia masih belum mengerti apa yang sudah terjadi. Tadi, anak itu mendorongnya? Bahkan untuk menangkis saja dia tidak sempat.
"Kau ini!" Naruto langsung berdiri, dia ingin membalas perbuatan anak gadis yang berambut aneh itu. Untung saja sebelum Naruto sempat mendorong anak pengganggu itu balik, ibu guru telah datang memegangi tangannya. Naruto meronta tidak terima.
Ibu guru hanya bisa membuat jarak antara kedua muridnya itu semakin menjauh, "tidak boleh bertengkar ya. Bertengkar itu tidak baik. Naruto mau jadi preman ya?" Bujuk ibu guru dengan penuh kelembutan. Walaupun sebagai guru beliau kadang kesal setiap kali mendapati kelasnya ada keributan. Ia harus sebisa mungkin menahan sabarnya kepada anak-anak kecil. Inilah salah satu kelemahan menjadi guru TK.
"Aku tidak mau, aku ingin mendorongnya!" Naruto terus saja ingin minta dilepaskan.
"Dengan anak gadis tidak boleh kasar ya?" Ibu guru tersenyum manis. "Ya, sudah. Kalau begitu kau bisa melanjutkan sarapanmu, Sakura-chan." kini ibu guru menoleh ke arah bocah yang mendorong Naruto tadi.
Sakura hanya mengangguk patuh. Kemudian dia berjalan ke mejanya lalu menyelesaikan sarapan. Terserah dengan Naruto yang terus berteriak ingin membalasnya atau bagaimana, yang jelas ia tidak peduli untuk saat itu.
.
.
.
"Cukup sampai sini pemotretannya, barikan Sakura selimut."
Shion mengangguk, kemudian ia langsung mendekat ke arah Sakura dan memberikannya sebuah selimut putih yang dipegangnya sedari tadi. Shion tersenyum kepada Sakura, tetapi Sakura tidak membalasnya. Wanita berumur dua puluh tujuh itu, hanya menyelubungkan badannya dengan selimut itu segera. Ah, rasanya dingin sekali dalam ruangan ini jika hanya mengenakan pakaian renang saja.
"Hari ini hasilnya benar-benar bagus." Sang photographer yang selalu ditemui Sakura semenjak beberapa minggu ke belakang tersenyum puas. "Kau mau melihat hasilnya, Sakura?"
"Panggil aku Haruno, tuan Hidan." sahut Sakura cepat. Walau mereka sudah hampir satu bulan bekerja bersama, itu bukan berarti dapat membuat hubungan mereka lebih dekat. "Aku rasa aku tidak perlu melihatnya."
Rekan kerja photographer mendekat ke arah Hidan. "Coba sini aku lihat," pemuda yang di mata Sakura benar-benar menjijikan itu mengecek gambar Sakura yang sudah diambil oleh Hidan.
Sakura dapat melihat wajah merona dan mata keranjang pemuda itu saat melihat hasil potonya. Ck, semua pria sama saja.
"Aku kedinginan di sini, aku ingin minum kopi." Sakura berdiri dan berjalan menuju pintu untuk keluar dari studio yang panas ini. Maksud dari panas bukan karena dapat mengeluarkan keringat lelah. Tapi panas karena dapat merangsang semua kaum pria.
Hidan tertawa kecil, padahal model seksi itu sangat cantik. Kedatangannya yang masih dibilang newbie itu sudah dapat menyedot ribuan kaum pria untuk mengaguminya. Ia berbakat untuk merebut rangsangan pria. Andai saja pria yang mengaguminya di luar sana tahu kalau Sakura sangat dingin, mungkin mereka akan mundur teratur.
"Baiklah, kalau begitu kurasa kau tidak akan keberatan jika meminum kopi bersama kami, iya kan Zetsu?" Hidan menepuk pundak temannya. Membuatnya berhenti melihat hasil poto Sakura.
"Eh, iya. Ada yang perlu kita bicarakan." Zetsu hampir saja akan mimisan jika Hidan tidak mengalihkan perhatiannya.
"Aku sedang lelah, mungkin aku akan istirahat. Lain kali saja kita minum bersama," Sakura berbalik sebentar untuk menjawab pertanyaan rekan kerjanya.
"Ayolah, selama ini kita tidak pernah ngobrol bersama, kau bisa mengajak asistenmu."
"Kurasa Shion saja sudah cukup untuk mendengarkan apa yang ingin kau bicarakan." Sakura berbalik lagi, tangannya menyentuh pintu kaca untuk menggesernya. "Ayo Shion, kita tidak punya banyak waktu."
Shion membungkuk kepada dua photographer itu sebagai ucapan pamit sebelum meninggalakan ruangan itu bersama Sakura.
.
.
.
Waktu istirahat sebenarnya sudah habis. Naruto sudah akan kembali ke ruangannya. Sebelumnya ia menyempatkan diri untuk makan siang di salah satu restoran yang tidak jauh dari kantornya. Sebenarnya Naruto lebih suka makan di dalam ruangan. Berhubung hari ini ia tidak mendapatkan bento spesial dari ibunya. Mau tak mau ia harus membeli makan di luar.
Saat Naruto menginjakkan kaki di lantai tujuh kantor itu, tidak ada satu karyawan perusahaannya yang sudah duduk di atas meja kerja. Apa mungkin mereka semua masih makan siang?
Naruto melirik jam tangannya, bahkan seharusnya dirinyalah yang sudah memakai waktu istirahat yang banyak ketimbang bawahannya, mengingat ia cukup menikmati makan siangnya hari ini. Ya, siang tadi hanya makan makanan kesukaannya, apa lagi kalau bukan ramen?
Karena kantor ini adalah tempat perusahaannya, Naruto sudah hapal dengan semua tata letak, setiap ruang dan sudut, bahkan sebuah tempat yang ia desain di sudut ruangan ini. Semua itu untuk membuat pelarian bagi pegawainya ketika sedang mengantuk saat bekerja.
Dalam lantai ini Naruto membuat sebuah sudut kopi yang dimana diletakkannya meja bar dan juga beberapa kursi tinggi, lalu ada juga alat pembuat kopi di sana, yang membebaskan semua pegawainya untuk membuat kopi sendiri sesuai selera. Ada pula sebuah poster yang di tempelkan Naruto di dinding sudut itu, tulisannya berisi. 'Keep calm and make your refreshment'.
Sudah Naruto duga, tujuh puluh persen dari pegawainya yang berada di lantai ini sedang mojok di sana. Tiga puluh persennya lagi mungkin di wc (kemungkinan besar fap-fap) atau masih di bawah untuk menggoda karyawan perempuan lainnya.
"Ehem?" Naruto berdehem, mengalihkan perhatian mereka yang duduk di pentry sudut kopi. Mereka berkerumun di sana seperti sedang mendiskusikan sesuatu.
Salah satu dari mereka melemparkan perkataan akhirnya. Ada raut tidak enak terlukis di wajahnya. "Apa anda mau secangkir kopi juga, Naruto-san?"
"Aku hanya minum kopi saat pagi atau sore hari, Kiba." Naruto menjawab. "Tapi, jika kalian masih menyisakan satu cangkir untukku, aku rasa aku ingin ikut minum juga."
Pegawai yang disebut namanya tadi langsung memucat, tawarannya barusan hanyalah basa-basi saja karena terlanjur tertangkap basah. Kiba mencari sosok Lee yang menjaga pintu depan. Tidak ada tanda-tanda rekan kerjanya yang aneh itu. Pantas saja Naruto mendadak memergoki mereka semua. Jangan tanya Lee kemana. Dia pasti kesal hanya mendapati bagian menjaga pintu.
"Ada apa? Kenapa diam? Kembalilah bekerja kalau begitu." Naruto bersuara santai. Ia tidak mau sering marah-marah seperti kebanyakan bos darah tinggi di tempat kerja lainnya.
Beberapa dari kerumunan itu yang merasa bersalah keluar dari sana, lalu kembali ke meja kerja maisng-masing. Beberapa orang bagian itu tentunya sudah mengerti apa yang harus mereka lakukan. Sementara Kiba dan satu orang lagi yang punya ide gila ini harus bertanggung jawab.
Naruto mendekat. Melihat 'pekerjaan' kerumunan itu barusan. Ternyata benar tebakan Naruto, mereka berkumpul di sini untuk membaca sebuah majalah. Oh, ternyata ada anak SMA di dalam kantornya.
"Apa kalian berdua tidak ingin kembali ke meja kerja lagi?" Naruto menyipit. Perkataannya seperti ancaman memecat di telinga Kiba dan Pein.
"Aku akan segera ke sana, sebelum itu kami harus membereskan majalah ini." Pein berdiri, ia akan mengambil kardus dari bawah meja. Lalu tumpukan majalah itu ia taruh di sana. Baru saja mereka berdua akan mengangkut majalah itu, Naruto malah menghentikannya.
"Tunggu dulu, majalah apa ini?" akhirnya Naruto penasaran dengan isinya. Dari dalam cover sebenarnya sudah bisa menjelaskan jenis dari majalah itu. Ada seorang model wanita berdiri dengan mengenakan baju renang di cover. Seharusnya Naruto tidak perlu bertanya dan mencerna sendiri. Hanya saja majalah dengan edisi baru itu sangat banyak jumlahnya.
"Ahahahah," Kiba tertawa garing. Kemudian ia mengambil satu langkah untuk merangkul atasannya itu. "Kami baru saja memesan majalah ini via online. Baru saja sampai beberapa menit yang lalu. Kebetulan masih ada sisa, apa kau mau."
Naruto melepas rangkulan persahabatan Kiba. Dari semua pegawainya di dalam lantai ini. Hanya Kiba yang berani merangkulnya. "Oh, mengapa jumlahnya banyak sekali? Untuk apa kalian membeli sebanyak itu?"
"Itu karena edisi bulan ini sangat spesial." Kiba mengambil salah satu majalah itu. Sepertinya menarik untuk mengikut sertakan Naruto.
Naruto meraih majalah itu lalu membolak-baliknya. "Apanya yang menarik? Sama saja seperti majalah dewasa lainnya."
Selagi Kiba sedang promo dengan Naruto. Pein lebih tertarik mengangkat kardus lalu menyimpannya di bawah meja kerjanya. Setelah jadwal kantornya selesai, mungkin mereka akan langsung berdiskusi lagi.
"Aku rasa anda, maksudku tidak masalah kan aku panggil anda dengan kau saja? Agak ribet kalau terlalu formal?" Kiba berbisik, Naruto hanya mengagguk mengerti. Soal itu tidak masalah bagi Naruto. Ia adalah teman dekat dan kepercayaannya.
"Kami sengaja membeli majalah sebanyak itu, soalnya ada tiket gratis sebagai hadiah dalam majalah itu."
"Tiket gratis apanya?" Naruto belum bisa mengerti.
Kiba berdecak. "Minggu ini para artis porno Jepang akan melakukan amal memeras payudara mereka. Bisa kau bayangkan? Selama ini kita hanya menonton filmnya saja, sekarang kita bisa nyata merasakan—"
Naruto segera memotong perkataan Kiba yang benar-benar menjijikan itu. "Maksudmu dengan kita, aku tidak ada kan?"
"Ayolah, Naruto, tidak usah sungkan. Kami akan membagi majalah itu jika kau mau."
"Sepertinya aku tidak tertarik."
"Tentu saja Naruto-san tidak tertarik. Dia kan sedang dekat dengan wanita muda yang cantik." Pein mendadak muncul dan menjawab.
"Aku tidak punya teman wanita yang dekat. Jangan membuat gosip." Naruto meralat segera perkataan bawahannya.
"Kalau begitu apa salahnya kau datang?" Kiba merayu dengan penekanan intonasi yang sangat aneh.
"Jadi, minggu nanti kalian semua akan pergi dengan menggunakan tiket gratis yang ada di majalah ini."
"Bukan tiket gratis. Ini sebagai bentuk donasi dan sebagai sumbangan jika membeli majalah ini."
Naruto menyerahkan kembali majalahnya. "Setahuku bentuk amal berupa sumbangan uang atau sembako. Aku terlalu sibuk minggu ini. Ini majalahnya aku kembalikan."
"Ya ampun, Naruto. Para jomblo yang miskin kasih sayang butuh donasi. Walau kau tidak tertarik untuk datang, setidaknya ambil saja majalahnya." Kiba meraih majalah itu, lalu membuka halaman tengah, ada gambar seorang model seksi berambut merah muda memakai bikini. Model itu berpose sangat menarik, mampu untuk menyedot perhatian Naruto.
"Kalau kau tidak butuh tiket amal yang ada di dalam ini, kau bisa menyimpannya saja."
.
.
.
Sakura melempar majalah ke dalam kotak sampah. Bukan karena majalah itu sudah tidak terpakai lagi. Hanya saja ada sebuah paragrap yang membuat hatinya langsung memanas.
"Apa ada yang salah dengan isi majalah itu?" Shion datang dengan dua gelas jus strawberry. Diletakannya kedua minuman itu di depan meja Sakura.
"Apa aku pernah menyetujui untuk datang ke acara amal menyedihkan minggu besok?" Sakura meyakinkan dengan bertanya pada Shion. Seingatnya ia tidak pernah bilang akan ikut berpartisipasi. Mungkin ia juga cukup keliru, kadang ia lupa sudah melakukan sesuatu karena jadwal yang sangat padat dan membuatnya sangat lelah.
Shion memilih duduk dulu. "Aku juga tidak tahu, aku bahkan belum membaca majalahnya."
"Sudah kuduga! Manager pasti memutuskan ini tanpa seizinku!" ujar Sakura geram. Diambilnya gelas jus bagiannya, diteguknya hingga sampai setengah. Kalau saja saat ini managernya yang berada di atas meja, mungkin darahnya sudah diisap oleh Sakura.
"Jangan terbawa emosi dulu." Shion membujuknya. Walaupun Shion belum lama bekerja sama dengan Sakura, tapi Shion sudah mengetahui watak Sakura yang dingin dan cepat meledak-ledak itu.
"Bagaimana aku tidak emosi? Aku bukan artis JAV. Aku hanya model seksi. Kenapa mereka menyebutkan namaku di dalam majalah karena tertarik untuk berpartisipasi? Aku benar-benar terkejut."
Shion hanya menghela napas. "Kalau kau tidak setuju, tidak usah datang saja. Kau baru akan naik daun, makanya mereka pikir kau akan menjadikan acara ini sebagai batu loncatan."
"Tidak datang? Bagus, itu akan membuat namaku tercoreng. Para pembaca majalah itu pasti berpikir aku hanya omong kosong ingin berpartisipasi." Sakura melipat tangan di depan dada. "Lalu soal batu loncatan, mereka itu tidak pernah membicarakan ini sebelumnya!"
Shion hanya terdiam dalam pikirannya. Sakura tidak bisa mengetahui apa yang dipikirkan wanita itu tentunya.
"Kita akan membicarakan ini pada manager langsung, aku akan mengatur waktu makan malam dengan beliau."
Sakura hanya mendengus, dalam hati ia benar-benar ingin menerjang sang manager karena membuatnya hampir gila. Dasar pria mesum level olimpiade itu, tidak tahu malu untuk mendorong artisnya ke jalan yang lebih sesat.
"Kenapa kau hanya diam saja, Sakura?"
.
.
.
Gara-gara pertengahan majalah yang dibuka Kiba barusan, itu membuat Naruto harus mengambil alih majalah menjijikan itu. Naruto merasa familiar dengan model seksi yang berada di salah satu halaman. Ia cantik, putih bersih, yang paling penting adalah seseorang yang sangat ia kenal. Tidak ada wanita lain yang memiliki rambut berwarna merah mudah kecuali Sakura. Tapi, Naruto baru tahu kalau sekarang profesinya adalah seorang model seksi.
Terakhir kali Naruto bertemu dua tahun yang lalu saat mereka mengadakan alumni di taman kanak-kanak. Saat itu untuk pertama kalinya ia mengingat Sakura ia mendadak jatuh cinta. Setelah pertemuannya yang cukup singkat itu, Naruto tidak sempat menanyakan dimana ia tinggal, nomor telepon sampai profesinya tidak pernah Naruto ketahui.
Dari situ rasa rindu Naruto untuk bertemu dengannya cukup besar. Ia sudah bertanya dengan teman alumni taman kanak-kanaknya kemarin tentang keberadaan Sakura. Tapi saat itu tidak ada satupun yang mengetahui keberadaannya.
"Apa yang kau lihat Naruto? Tumben sekali membaca yang seperti itu!" tangan kanan Naruto sekaligus seketarisnya—Bee mendadak masuk ke dalam ruangan.
Naruto gelagapan tertangkap basah memandangi poto Sakura. Kemudian ia langsung merubah ekspresi setenang mungkin agar seketarisnya itu tidak menganggapnya sedang terangsang. "Aku mengenal wanita yang berada di sini." Naruto menunjuk poto Sakura.
"Oh, itu salah satu model yang ikut meramaikan amal remas payudara untuk para jomblo?"
"Jadi, kalian semua sudah tahu tentang amal bodoh itu?" Naruto tidak percaya. Mungkin satu-satunya pria yang tidak mengetahui amal itu, hanya ia sendiri untuk saat ini.
"Amal bodoh apa? Kau memiliki majalah ini, itu berarti kau akan datang kesana?"
"Ini aku dapat dari Kiba." Naruto menjelaskan. Bee harusnya tau, ia bukan pria seperti itu.
"Oh, begitu." Bee memperhatikan foto Sakura dengan seksama. Terlihat semburat tipis merah di pipi Bee yang menyebalkan untuk dilihat Naruto.
Naruto segera menutup majalah itu lalu menyimpannya. "Kau bilang dia ada di sana nanti?"
"Maksudku dia ikut serta beramal juga, bergabung bersama artis porno lain untuk menyelenggarakan itu. Benar-benar acara yang menarik!"
Mata Naruto menyipit. Pria tua bangka sepertinya saja akan datang. "Kurasa kau tidak boleh datang, acara ini kan hanya untuk orang jomblo?"
Bee tersentak, perkataan Naruto seperti melarangnya. "Apa bedanya jomblo dengan duda?"\
"Terserah kau sajalah."
.
.
.
Walaupun Shion sudah memesan ruangan VIP pada ruangan restoran ini, Sakura tetap tidak akan membuka topi rajut dan juga kaca mata hitam yang berframe besar itu. Sakura belum bisa meledak setelah makan malam ini selesai. Di depannya ada managernya selalu tersenyum sepanjang makan malam mereka. Sakura ingin sekali memutar mukanya hingga mata dan hidungnya berubah tempat.
Sakura mengelap mulutnya dengan serbet. Ia sudah menyelesaikan makan malam duluan.
"Bagaimana, apa kau menikmati makan malamnya?" sang manager mengetahui Sakura telah selesai, ia hanya bertanya untuk memastikan. Rasanya jarang sekali ia bisa mengakrabkan diri dengan Sakura, karena gadis itu begitu dingin dan selalu menolak ajakan makan malam dari rekan kerjanya.
"Kebetulan sekali, aku sangat menyukai restoran ini. Tentu saja aku menikmatinya, Kabuto-san."
Kabuto ikut mengelap mulutnya. Ia juga sudah selesai makan malam. "Aku sudah dengar dari Shion, kau tidak suka kalau aku mengikut sertakanmu pada acara besok."
Tidak menyangka, ternyata Kabuto duluan yang membuka obrolan ini. "Benar sekali, harusnya anda mengkonfimasikan ini kepada saya. Lalu setelah ini saya harus apa?"
"Sebenarnya ini adalah bagian dari pekerjaanmu, ini adalah perintah. Semua ini demi kesuksesanmu juga."
"Aku baru tahu kalau konfirmasi tentang apapun tidak dibutuhkan di dunia ini." Sakura menoleh kepada Shion yang masih belum menyelesaikan makan malamnya. Bahkan asistennya itu tidak mengatakan apapun. "Aku tidak terima!"
"Jadi kau akan menuntutku, begitu?" Kabuto tetap bernada tenang walau Sakura hampir meledak-ledak. Kabuto tidak habis pikir, baru kali ini ada model pendatang baru yang susah sekali diatur.
"Aku memang bekerja padamu, tapi sekarang aku merasa tidak dihargai."
"Ini bukan soal harga diri, Haruno-san. Anda bekerja pada perusahaan kami, berarti anda akan menerima setiap pekerjaan yang kami tentukan. Lagipula kau akan tetap menjadi model, bukan artis porno. Aku tahu kau tidak akan pernah mau menginjakkan kaki ke sana." Merasa tenggorokkannya kering, Kabuto membasahinya kembali dengan seteguk anggur.
Sakura menahan semua tonjolan urat yang berlomba-lomba ingin keluar. Managernya itu benar, di sini ia hanya sebagai model yang bekerja pada sebuah perusahaan. Apapun yang diperintahkan dari atasan, ia akan melaksanakannya.
"Soal konfirmasi, aku minta maaf. Lain kali aku akan berhati-hati. Lagipula awalnya aku pikir kau akan berterimakasih padaku, karena aku sudah memberimu batu loncatan."
Batu loncatan lagi, apa bedanya semua ini kalau akan menjerumuskannya ke dalam dunia film biru?
"Bagaimana kalau aku tidak bisa hadir nanti?" tantang Sakura.
Kabuto mengedikkan kedua bahunya dengan santai. "Mungkin sebagian fans beratmu akan kecewa. Tentunya aku juga kecewa."
Sakura menahan semua caci makiannya di ujung lidah. Ia harus berpikir jernih dari semua ini. Ok, mungkin di mata Sakura, Kabuto berusaha menaikannya lagi hingga ke atas. Tapi, kenapa di hatinya begitu ragu, ia benar-benar merasa telah didorong ke dalam dunia perfilman biru.
Karena Sakura tidak bisa memuntahkan omongan kasarnya saat ini—karena masih ingin menghargai Kabuto—Sakura lebih memilih berdiri, sebelum ia keluar dari ruangan pribadi itu ia sempat membungkuk. Kalau saja masa kontraknya berakhir besok, mungkin menendang managernya dari lantai dua ini, bukanlah pilihan yang buruk.
.
.
.
"Sialan laki-laki mesum itu. Aku tidak habis pikir akan begini jadinya." Sakura terus saja mengomal setelah benar-benar keluar dari dalam restoran. Tidak ada satu orangpun yang mengenalinya saat berdiri sendirian di parkiran. Tentu saja, rambut merah mudanya ditutupi oleh topi rajut.
Sakura baru sadar saat sudah berada di samping mobilnya. Bukan ia yang membawa kunci mobil ini. Tapi, Shion si asistennya. Sakura menoleh ke belakang. Shion tidak ada di mana-mana, pasti ia masih berada di ruangan tadi bersama Kabuto. Mungkin saja Shion sedang mendiskusikan ini mencari jalan keluar.
Sakura menghela napas, harusnya ia bawa sendiri saja kunci mobil. Atau, seharusnya ia tarik saja Shion keluar bersamanya. Mustahil sekali baginya kalau harus kembali ke ruangan tadi, lalu bilang ke Kabuto: 'Aku kembali bukan karena berubah pikiran, tapi aku sekarang butuh kunci mobil'.
Ia benar-benar wanita yang bodoh. Mendadak kaki Sakura mendingin, nilai plus untuk kebodohan lainnya yaitu memakai rok pendek di luar ruangan seperti ini. Oh, tentu saja terkunci dari luar oleh mobilnya bukan bagian dalam rencana.
.
.
.
Malam ini Hanabi Hyuga mengajak pria yang sudah cukup dekat dengannya untuk sekedar makan malam. Sebenarnya pria itu sangat malas untuk datang. Ia benar-benar lelah untuk hari ini. Belum lagi menghadapi karyawan di perusahaannya yang tidak berbeda dari anak SMA.
Malam itu Hanabi sudah menunggu di sudut restoran ini. Ia sengaja datang lebih awal dari jadwal perjanjian. Hanabi selalu memiliki kebiasaan mengkhayalkan kencannya di tempat janjian mereka sebelum kencan itu benar-benar terwujud. Terkadang ia malah membayangkan kencannya gagal dulu. Tapi, setelah teman kencannya datang, semua itu berjalan tidak seperti apa yang ada di imajinasinya.
Hanabi melirik jam tangan di pergelangan tangannya yang mungil. Masih ada lima menit lagi sebelum teman kencannya itu datang.
.
.
.
Teman kencan yang dimaksud Hanabi itu sudah memarkirkan mobilnya. Sekarang sudah jam delapan, seharusnya pria itu membiarkan Hanabi makan duluan saja tidak perlu menunggunya.
Ia pasti kelaparan karena menungguku. Gumam pria itu dalam hati.
"Naruto, aku rasa kau tidak perlu mengajaku kemari."
Naruto mengurungkan niatnya keluar dari dalam mobil. "Pekerjaan di kantor kita belum selesai. Kita akan melanjutkannya sambil makan malam. Itu tidak buruk, kan?"
"Seharusnya aku lembur di kantor saja."
"Tadinya memang begitu. Tapi, aku punya janji dengan temanku."
"Janji kencan yang membuatku akan menjadi obat nyamuk."
Naruto tertawa. Mana mungkin ia membiarkan rekan kerjanya itu menjadi obat nyamuk. "Ini bukan kencan, Sai. Hanya janji makan malam dengan adik sahabatku. Ayo keluar."
Naruto baru sadar jika ada seseorang yang berada di samping mobilnya saat ia membuka pintu. Naruto tidak melihat wanita bertopi rajut itu sebelumnya. Wanita itu terduduk di depan pintu mobil di samping mobilnya. Sangat mencurigakan sekali.
Sampai Naruto menutup pintu mobilnya dan berjalan ke depan wanita itu masih tetap bergeming di sana. Timbul rasa curiga Naruto padanya. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Sai juga merasa wanita itu pantas dicurigai. Mungkin saja ia mau maling atau membocorkan ban mobil orang. Ini akan buruk, bisa-bisa ban mobilnya juga akan menjadi sasaran.
"Aku akan mengurus wanita aneh ini sebentar. Tolong temui Hanabi sekarang. Bilang padanya aku tidak akan lama." Naruto berbisik tepat di telinga Sai. Pemuda berkulit putih itu mengangguk mengerti. "Kalau dia belum memesan makanan juga, suruh pesan sekarang. Jadi, saat aku sdah kembali aku langsung bisa makan."
Sai menyipitkan matanya mendengar kata terakhir atasannya. Ia kira pria itu benar-benar khawatir pada Hanabi, menyuruhnya memesan adalah untuk mempercepat atasannya itu makan malam. "Baiklah." Sai berbalik menuju restoran duluan.
Sementara Naruto mendekati wanita yang mencurigakan itu. Naruto tidak habis pikir dengan wanita itu. Bagaimana mungkin ia tidak sadar ada orang yang sedang berdiri di dekatnya.
"Sebaiknya anda segera pergi dari sini sebelum saya melaporkan anda ke pihak yang berwajib." Naruto membuka suara. Sementara gadis itu masih bergeming. Kemungkinan ia pura-pura tuli atau apa?
"Saya bukannya menuduh anda, tapi anda terlihat mencurigakan." Naruto belum juga mendapati jawaban. Tidak ada pilihan lain selain melaporkan pada satpam di sini. Ia tidak mungkin membuang waktu makan malamnya hanya karena hal bodoh ini. "Baiklah saya tidak main-main."
Saat Naruto akan berbalik, ia merasakan pergelangan kakinya di tahan sebuah tangan. Naruto menunduk, ternyata wanita itu yang memeganginya. Detik berikutnya wanita itu berdiri. Naruto bernapas lega, ternyata benar-benar manusia. Hampir saja ia memikirkan kalau bukan wanita duduk di sini. Bisa saja wanita bertopi itu adalah hantu.
"Lain kali jangan mencampuri urusan orang." Wanita itu membuka suara, tangannya terlipat di depan dada, serta alisnya membentuk garis tajam sedang marah. "Apa salahnya aku duduk di samping mobilku sendiri?"
Naruto tidak mengerti, dahinya terlihat mengkerut hingga membuat alisnya hampir bertaut. "Kalau ini mobilmu kenapa tidak langsung masuk saja."
Orang ini benar-benar menyebalkan, si kaca mata hitam itu membatin. "Aku meninggalkan kunciku di dalam sana." Wanita itu menunjuk ke arah restoran yang berada di belakang Naruto. Wanita itu hampir mengacak rambutnya frustasi karena percuma, pasti pria sok peduli di depannya itu masih belum mengerti.
"Eh, tunggu." Setelah di perhatikannya pria itu dengan seksama, ia baru teringat sesuatu. Tiga garis yang berada di pipi pria itu tidak pernah ditemuinya di paras pria lain. Itu adalah ciri khas dari orang yang pernah menjadi temannya. "Bukankah kau Naruto?"
.
.
.
TBC
.
.
.
Author POV:
Hallo, sepertinya untuk sekarang aku akan mulai bermunculan *?* di arsip NaruSaku. Ini adalah salah satu fanfik yang udah lama aku ketik. Udah jalan ampe chapter tiga. Tapi, agak ragu sih nerusinnya, soalnya mau tanya dulu ke readers bagus apa gak dilanjutin? Hehe.
Inspirasi dari salah satu vidio di youtube, tentang amal yang diselenggarakan oleh beberapa artis JAV (Japaness Adult Vidio). Aneh ya amalnya? Kalau mau lihat vidionya silahkan ke youtube aja *kabur sebelum dimarahi ortu readers* kemarin lagi buming banget tuh vidio, makanya aku penasaran dan nonton deh *ngek*
Rate M di sini rencananya hanya karena tema. Belum kepikiran sih kalau bakal ada hard lemon atau paling banter ada jeruk yang asem-asem dikit XD pokoknya masih mode aman kok!
Readers : Aman dengkul lo!
Hehehe. Ok, aku akan segera updet chapter duanya jika reviewsnya menyemangati untuk segera direading proof ya wakakak. Kalau bisa reviewnya log in ya, jadi aku bisa kirim PM.
Oh ya, makasih buat yang udah review di fik Wedding Days kemarin. Seneng rasanya masih ada yang mau baca XD ada salah satu readers yang mau request fik bertema kerajaan fantasy, hahaha nanti aku pikirkan ya soal requestan-requestan itu *smile*
.
.
.
Seperti biasa, Amai pacarnya Levi undur diri XD
