Disclaimer : Detective Conan adalah milik Aoyama Gosho

Catatan : Ini karya pertamaku. Kesalahan adalah hal wajar bagi orang yang belajar.


Akhirnya... Masalah Baru

By Byzan

Malam itu bulan purnama. Belakangan ini, Conan selalu memandang langit pada saat-saat seperti ini. Kejadian itu terjadi saat bulan indah ini menampakkan keanggunannya. Perlahan dia tersenyum tipis dan mulai memandang bulan itu tanpa melihatnya.

Flashback

Tiga tahun. Itulah waktu yang dibutuhkan pemuda yang terperangkap dalam tubuh kecil itu untuk mengumpulkan bukti tentang keberadaan Organisasi Hitam. Dia tidak serta-merta mengabarkan keberadaan organisasi berbahaya ini pada polisi. Bisa jadi malah organisasi ini menghilang lagi jika terjadi kegemparan.

Meskipun dengan sifatnya yang angkuh itu, Conan yakin dirinya tidak mungkin menghadapi Organisasi Hitam sendirian. Dia menghubungi FBI, mengatakan bahwa dia ingin membicarakan tentang Organisasi itu dengan mereka.

Conan meminta Jodie dan James bertemu dengannya di Taman Beika malam hari. Tentu saja agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Nyawa orang yang mendengar akan terancam. Kedua orang dari FBI itu langsung menyanggupi mereka setelah mereka mengetahui maksud Conan untuk membicarakan Organisasi Hitam.

Taman Beika

Taman itu agak gelap. Hanya lampu sekedarnya yang digunakan di sana. Banyak pepohonan di sisi jalan taman tersebut. Selain itu, taman itu sepi jika sudah malam. Tempat yang cocok untuk pertemuan rahasia.

Disana terdapat Trio yang aneh. Seorang yang seperti sudah mulai termakan usia yang dapat dilihat dari rambut dan kumisnya yang berwarna putih, seorang wanita bule, dan seorang anak kecil berkacamata. Mereka terlihat sedang mendengarkan penuturan anak kecil tersebut.

"Kau benar-benar tahu dimana mereka berada?" Jodie benar-benar terperanjat dengan pernyataan Conan. Jodie tahu kalu Conan cerdas. Tapi, sampai hampir selalu mengungguli FBI begini, dia tak habis pikir.

"Persis seperti itu," Conan menjawab dengan kepastian-dan keangkuhan seolah dia telah memecahkan kasus lagi. Tentu dengan senyum sombongnya.

"Beritahu kami. Akan kami singkirkan mereka segera," James angkat bicara. Terdengar datar meski kilat matanya menunjukkan bahwa dia tidak sabar. Jodie mengangguk setuju.

"Tidak," ujar Conan singkat.

"APA?" Jodie sampai agak berteriak. Tentu saja terkejut dengan ucapan Conan. "Apa-apaan itu? Lalu untuk apa kau datang dan membicarakan hal itu dengan kami?" ucapnya tidak habis pikir dengan anak kecil di depannya itu.

"Meminta bantuan tentu saja," jawab Conan singkat dan santai.

"Apa syaratmu supaya kau mau buka mulut?" Subaru Okiya secara tiba-tiba datang dari balik pepohonan.

"Siapa-" ucapan Jodie terputus saat melihat Subaru melepas kacamatanya dan memperlihatkan sorot matanya yang sangat khas. Tatapan yang tidak akan pernah dilupakan oleh Jodie.

"Akai?" ucap James. Mata mereka terbelalak melihat pemuda yang mereka kira telah lama tewas itu.

"Shu…" hanya itu kata-kata yang dikeluarkan oleh Jodie yang sangat merindukannya, suaranya bergetar. Ada sedikit genangan air mata di matanya. Tapi sejurus kemudian, ada kilatan amarah yang ada di mata Jodie.

"Akhirnya kau membongkar jati dirimu juga," Conan tidak tampak terkejut, hanya tersenyum tipis. "Aku sudah mengharapkan bantuanmu juga."

Jodie menghampiri Akai. Bersamaan dengan sebuah tamparan, dia berteriak "Kemana saja kau? Bagaimana-"

"Bagaimana aku bisa selamat? Itu tidak penting," potong Akai tanpa memedulikan bekas tamparan yang sukses membuat pipinya merah itu. "Kita bisa bicarakan itu lain waktu. Ada yang lebih penting yang harus disampaikan bocah ini," lanjutnya.

Jodie menghela napas. Mengalah. Tidak ada gunanya mendebat Akai. "Akan kutagih perkataanmu," gumamnya pelan, masih dengan kilatan marah.

"Jadi apa syaratmu, Conan?" James menanyai Conan setelah tertegun melihat amukan Jodie dan kesabaran Akai.

"Langsung saja. Aku akan ikut kalian dalam penyerbuan ini. Dan aku minta kalian memberitahu kepolisian Jepang tentang keikutsertaan kalian," jawab Conan mantap.

Semua diam, tampak terkejut. Jodie dan James terlalu tertegun. Beda dengan Akai yang menampilkan wajah datar seperti biasa.

"Bocah sepertimu hanya akan menyusahkan kami, FBI. Sedangkan untuk memberitahu kepolisian Jepang, itu sudah pasti. Karena akan ada keributan besar di tempat itu. Tidak mungkin kami menutupi diri terus," ucap Akai.

"Benar. Kau tidak boleh ikut Conan. Terlalu berbahaya," Jodie berusaha membujuk Conan. Ucapannya lembut seolah bicara pada anak kecil yang manis dan mudah menurut.

"Serahkan saja pada kami. Kami tidak akan membiarkan kau dalam bahaya," tambah James menyetujui kedua anak buahnya.

"Kalau begitu, kalian tidak akan mendapat informasi dariku," Ucap Conan tegas dan mulai meninggalkan orang-orang yang terperangah mendapat jawaban seperti itu. "Anggap saja kita tidak pernah bicara hari ini," lanjutnya.

"Jangan sombong, Bocah. Aku tahu kau juga menginginkan kejatuhan organisasi itu. Bagaimana kau bisa menggulingkan organisasi itu tanpa bantuan?" ujar Akai tetap tenang walaupun matanya menunjukkan kemarahan yang sangat.

"Aku akan memberitahu polisi Jepang dan meminta bantuan mereka. Mereka lebih mudah kuatur. Dengan bukti yang kumiliki, mereka akan percaya." Conan mengucapkannya dengan langkah yang membuat jarak mereka makin jauh.

"Tidak mungkin polisi percaya kasus sebesar itu dari mulut bocah sepertimu," sindir Akai.

"Aku punya caraku sendiri. Jadi… mungkin kalian akan mendengar ceritaku nanti," ucap Conan sambil menengok kebelakang dengan senyum sombong.

"Huh. Semoga berhasil, Conan… bukan. Shinichi Kudo," ucapan Akai yang menyeringai itu sukses membuat langkah Conan terhenti.

Conan berbalik dengan diam. Lalu berujar, "Apa maksudmu?" dengan wajah polosnya. Hampir membuat Jodie dan James yang tadinya sangat terkejut atas pernyataan Akai, menjadi setengah yakin mereka salah dengar.

"Tidak perlu mengelak. Pikirmu aku berada di Rumahmu hanya untuk melindungi adik Akemi?" ucap Akai. Ada nada menantang yang dikeluarkan orang itu. Juga sedikit nada rindu, karena dia teringat akan Akemi.

Conan diam. Tidak mungkin dia membantah kemungkinan tersebut. Lalu dia berucap terburu-buru untuk menambahkan. "Anda sama sekali tidak mengatakan alasan bisa berpendapat demikian, Pak Akai," ucap Conan tersenyum. Dia masih memikirkan kemungkinan cara orang yang diajaknya bicara mengetahui rahasianya. Berharap bisa mematahkan analisis dari Akai nantinya.

"Mudah. Aku mendengar percakapanmu dengan adik Akemi melalui alat penyadap yang kutempelkan," jawabnya langsung.

Conan menunggu dengan tatapan tidak puas. Sementara Jodie dan James hanya bisa menatap kedua orang yang tidak henti-hentinya membuat mereka terpukau-dan tentu saja terkejut.

"Anak perempuan itu sangat waspada terhadapku. Meskipun belakangan ini dia mulai melunak, Tidak mungkin aku menempelkannya di tubuhnya atau seisi rumah Profesor itu. Tapi kau yang memercayakan keselamatan anak itu padaku tidak akan curiga padaku. Jadi Aku menempelkan alat penyadap padamu," tambah Akai. "Jujur. Aku tertarik dengan kenyataan itu."

"Aku sama sekali tidak melihat-" ucapan Conan terpotong oleh jawaban Akai.

"Itu alat yang sama seperti yang digunakan organisasi itu untuk melacak Rena Mizunashi," potong Akai. "Alat itu akan menghilang dengan sendirinya tanpa kau sadari, Meitantei-san," Akai tersenyum penuh kemenangan dan ejekan.

Conan terdiam. Mustahil mengalahkannya jika penjabarannya seperti itu. Jika dia meminta ditunjukkan alat tersebut, dan Akai memberikannya, itu hanya akan membuang waktu. Sementara itu, mungkin saja organisasi sudah bergerak lagi.

"Ck. Baiklah. Aku memang Shinichi Kudo," ucap Conan mengalah. "Lalu apa maumu Pak Akai?" tambahnya geram.

Akai tersenyum. Senyum kemenangan dan kepuasan.

"Kita bisa bertukar. Beritahu dimana tempat itu, biarkan kami dan polisi yang menyelesaikannya. Dan rahasiamu tetap aman pada kami," ujar Akai penuh kemenangan.

"Huh. Keuntungan yang kurang bagiku," komentar Conan.

"Jadi kau lebih memilih agar rahasiamu terbongkar?" balas Akai mencibir.

"Bukan begitu maksudku… baiklah. Kuserahkan pada kalian tetapi dengan syarat tambahan, bagaimana?" Conan tidak memiliki pilihan. Jika rahasianya terbongkar, nyawa orang-orang disekitarnya menjadi taruhan selama organisasi belum hancur. Dia tidak se-egois itu.

"Akan kami pertimbangkan. Sebutkan syaratmu, Shinichi," ujar Jodie dengan seulas senyum setelah berdiam diri sedari tadi. Wajahnya mengatakan seolah dia sedang menahan tawa. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan pemuda berumur 19 tahun harus berpura-pura menjadi anak kecil.

"Ssshhh! Jangan sebut namaku seperti itu dalam wujudku yang seperti ini. Kalau ada yang dengar, semua bisa kacau," ujar Conan kesal.

"Sebutkan segera kalau begitu, karena kita belum mencapai kesepakatan, bukan?" tambah Jodie. Sepertinya dia masih ingin menggodanya.

"Baiklah. Aku minta seluruh data penelitian yang dilakukan oleh organisasi itu," ujar Conan tak sabar.

"Untuk apa kami memercayakan data itu kepadamu?" kata Akai sinis.

"Aku perlu itu untuk kembali ke wujud kami yang sebenarnya," Conan makin tak sabar. "Terima syarat-syarat ini, dan aku tidak akan mengganggu kalian nantinya," tambahnya.

"Baiklah. Tapi kau harus segera memusnahkan semua data itu setelah kau selesai dengannya," ucap Akai. Sepertinya Dia tidak punya pilihan. Bagaimana pun juga, kedua remaja yang menyusut itu pasti menginginkan wujud mereka yang semula.

"Apa aku… maksudku Haibara tidak bisa menggunakan data itu untuk hal lain? " ucap Conan. "Mungkin dengan data-data itu, dia bisa menyelamatkan orang-orang. Aku tahu kalau Haibara setuju denganku," tambah Conan.

Sebenarnya Conan melakukannya hanya untuk menyenangkan orang yang berbagi takdir itu. Dia tidak begitu peduli dengan data itu. Karena dia sendiri tidak terlalu mengerti hal-hal tersebut. Tapi, entah kenapa, selama dua tahun terakhir, dia selalu ingin bisa menyenangkan gadis itu. Dia pikir, gadis itu pasti akan senang dengan hadiahnya yang berupa data-data dari organisasi itu yang-beberapa diantaranya-juga merupakan warisan dari kedua orang tuanya.

Setelah hening sesaat. Conan berniat mengatakan beberapa ucapan yang akan membuat mereka memercayainya, ketika maksudnya terpotong.

"Tapi sesuai dengan izin kami. Bagaimana?" James akhirnya mengucapkan persyaratan lain.

"Hei! Bagaimana kita bisa memercayainya begitu? Kita-" Jodie terkejut dan mencoba mengetahui alasan atasannya tersebut ketika ucapannya dipotong.

"Tidak apa. Meskipun mereka masih bocah, mereka akan jarang melakukan kesalahan," Akai berujar. "Lagi pula, kita bisa memantau pekerjaan mereka dengan data-data itu. Bahkan gadis dari organisasi itu mungkin bisa bekerja sama dengan kita dalam mengembangkan data itu," tambahnya.

"Akan kukatakan kepada Haibara. Setidaknya Kami bisa kembali ke wujud sejati kami. Sementara itu, kuserahkan mereka pada kalian. Semoga kita bisa bertemu lagi," kata Conan yang membuat sebuah kesepakatan tercipta.

"Bagaimana dengan tempat serta bukti-bukti yang kami perlukan?" tanya Akai heran.

"Ambil ini," Conan melemparkan sesuatu. Sebuah Flashdisk. Yang dengan sigap ditangkap oleh Akai. "Kalian bisa melihatnya sendiri malam ini. Menurut perkiraanku, mereka tidak akan pergi sebelum 3 hari mulai besok. Hati-hatilah, jika kalian membuat gerakan mencurigakan tiba-tiba, mereka bisa menghilang dari tempat itu," saran Conan sambil berlalu.

"Pasti," jawab dua orang yang berada disana. Sedangkan Akai hanya tersenyum tipis sambil memejamkan mata. Sepertinya Dia senang membayangkan bahwa Dia akhirnya bisa membalas kawanan yang bertanggung jawab atas kematian kekasihnya.

"Pastikan 'obrolan' ini tidak keluar, Meitantei-kun!" ucap Jodie dengan suara agak keras.

Conan hanya membalas dengan lambaian tangannya.

—X—

Dua hari kemudian

DRRT DRRT DRRT

Conan yang baru bangun melihat handphone miliknya bergetar. Ketika melihatnya, Prof. Agasa lah yang mengirimkan pesan singkat. Dibukanya pesan tersebut. Dia tersenyum setelah membacanya. Kebetulan ini adalah hari Minggu. Dia tidak perlu sekolah. Segera dia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bergegas menuju rumah tetangganya itu.

"Ran-neechan, aku pergi ke Rumah Profesor dulu ya?" ucap Conan pada Ran yang tengah menyiapkan sarapan.

"Eh? Sepagi ini? Tapi kamu kan belum makan," jawab Ran.

"Aku akan makan di sana. Daah Ran-neechan!" jawab Conan bersemangat. Dan langsung saja keluar dari Rumah Ran.

"Jeez… kenapa anak itu semangat sekali sih? Terlalu semangat sampai tidak memikirkan makanan. Seperti seseorang…" batin Ran senang sekaligus sedih. Lagi-lagi teringat Shinichi.

"Maaf, Ran. Hari ini terlalu indah untuk sarapan. Karena aku tidak sabar untuk bertemu denganmu… dengan menggunakan nama Shinichi," batin Conan tersenyum sedih.

Conan berjalan santai. Tidak terburu-buru menikmati hari yang indah ini. Dia teringat akan pesan yang diberika oleh Prof. Agasa.

"Shinichi, tadi pagi-pagi sekali, Subaru Okiya mengantarkan sebuah paket yang dia bilang ditujukan kepadamu. Dia bilang tidak ada alamat pengirim di paket tersebut. Dia sudah harus pergi ke Amerika untuk melanjutkan studinya. Dia titip salam padamu dan Shinichi-yang telah meminjamkan rumahnya yang juga kamu. Datanglah jika kau ingin melihat paketmu. Aku akan di Rumah seharian ini."

Conan menghela napas. Sedikit menyesal karena belum mengucapkan salam pada FBI yang pasti sudah menarik diri dari Jepang. Dia pasti merindukan orang-orang hebat itu.

"Semoga suatu saat nanti kami bisa bertemu kembali," harap Conan membatin sambil memandang ke langit.

—X—

Rumah Profesor Agasa

"Ohayo!"

Sebuah suara yang mengusik itu membuat seorang gadis melirik sebal ke arah pemilik suara.

"Bukankah seharusnya kau membunyikan bel terlebih dahulu sebelum masuk rumah orang, Kudo-kun?" sindir gadis yang sedang duduk sambil membaca majalah di ruang TV itu.

"Cerewet kau, Haibara. Aku sedang senang sekarang. Aku tidak peduli dengan ucapanmu," jawab Conan tak mau mengalah dengan ucapan Ai.

"Oh, begitu? Kalau kau tidak peduli, kenapa kau menanggapi ucapanku, Kudo-kun?" sindir Ai lagi. Sudah jadi kebiasaan memang. Tidak berubah semenjak mereka bertemu sampai sekarang. Tiga tahun, dan kebisaan itu tidak pernah berubah. Selalu saling sindir.

"…" Conan hanya bisa terdiam. Entah ini sudah berapa kali seorang detektif hebat seperti dia tidak berkutik di depan Ai. Padahal dia hampir selalu berhasil membungkam penjahat. Hampir memang. Mungkin hanya satu penjahat yang belum berhasil dia bungkam. Pesulap Rembulan itu. "Berisik! Mana paketku?" kata Conan berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tidak sopan. Sudah sering kubilang, mintalah dengan cara baik-baik. Terutama pada perempuan," ucap Ai kesal. Dia tidak habis pikir, kenapa cowok di depannya ini tidak kunjung berubah meski telah dua tahun Ai mulai berencana merubah sikap itu. Dia ingin orang di depannya lebih peka.

"Ehehehe… maaf, Ai-chan," kata Conan nyengir. Ai langsung bergidik. Meski dia sedikit merasa senang tiap cowok yang ada di depannya memanggilnya seperti itu.

"Setidaknya dia sudah mau minta maaf tanpa kuminta," batin Ai.

"Huh. Tunggulah di sini. Akan kuambilkan paketmu," ucap Ai sambil turun dari sofa dan mulai beranjak pergi.

"Mana Profesor?" tanya Conan.

"Ada di Lab. Seperti biasa, membuat penemuan untukmu," ucap Ai datar.

"Aku ke Lab dulu kalau begitu. Bawa saja paketnya ke sini. Tunggu aku. Kita akan membukanya bersama nanti," ucap Conan.

"Membosankan. Memangnya kau tidak bisa membukanya sendiri, Meitantei-kun?" sindir Ai.

"Cerewet! Tunggu saja. Kau akan berterima kasih padaku nanti," jawab Conan sambil berjalan menuju Lab. Ucapan itu sudah cukup sukses membuat Ai penasaran.

Singkatnya, mereka akhirnya berkumpul. Yang sebenarnya tidak begitu disukai Ai yang ingin bersantai di hari Minggu. Dan Agasa yang sebenarnya tidak suka jika sedang membuat penemuan diganggu, apalagi untuk hal remeh, misalnya membuka paket seperti ini.

"Nah, ini akan menyenangkan, dan mungkin mengejutkan bagi kalian," ucap Conan membuka pertemuan mereka yang kesejuta kalinya mungkin.

"Cepat selesaikan ini dan kita bisa kembali kepada kegiatan masing-masing," ucap Ai, tidak peduli pada acara tidak penting ini.

"Profesor mungkin bisa. Tapi kau tidak, Haibara," ucap Conan dengan senyum misterius.

"Jelaskan, Tantei-kun?" balas Ai mulai menyindir lagi.

"Baiklah. Pertama, kita buka paket ini," kata Conan tidak memedulikan sindiran tersebut.

Conan membuka paketnya yang tidak terlalu besar. Mungkin sebesar kotak sepatu. Dan ketika bungkusnya dibuka…

"WOW! Pertunjukan bagus, Holmes tahun Heisei. Kau memanggil kami dan menghabiskan waktu hanya ingin memperlihatkan sepatu pada kami. Luar biasa," cerocos Ai dengan sindiran-sindiran dan tatapannya yang membuat Conan merinding.

"Sabar, Ai-chan…" kata Conan yang berusaha menenangkan Ai yang mulai kesal. Belum lama ini, Conan tahu jika dia memanggil Ai dengan sebutan itu, kemarahan Ai bisa cukup di-netralisir. Dan Conan selalu merasa senang menyebutkan kata-kata itu. Begitu pula Ai. Mereka merasa senang. Karena sama-sama berpikir mereka menjadi lebih dekat.

"Lihat isi kotak sepatu ini. Dan kau akan berterima kasih padaku," lanjut Conan nyengir lagi karena kesuksesannya menenangkan Ai.

"Sepertinya dia sedang bahagia sekali saat ini," batin Ai. "Apa paket itu yang membuatnya seperti itu?" lanjutnya masih dalam hati.

Conan mengeluarkan 3 Hard disk. Beserta satu surat. Conan mulai membuka dan membaca surat tersebut.

"Ini seperti yang kami janjikan. Ingat, tidak ada 'obrolan' kita yang boleh keluar, Shinichi-kun. Kecuali teman-temanmu yang memang telah mengetahui keberadaan mereka. 3 Hard disk yang kuberikan, memiliki isi yang berbeda. Yang pertama, berisi data-data yang kau minta. Yang kedua, software yang mungkin kau butuhkan untuk membuka data-data tersebut. Yang ketiga, merupakan kumpulan password yang kau butuhkan untuk membuka tiap data yang ingin kau buka."

"N.B. : data-data itu tidak memiliki nama yang jelas. Kami mencoba memecahkan arti nama dari tiap data, tapi sepertinya itu bukan kumpulan kode nama. Tapi hanya nama yang sengaja ingin mereka sembunyikan dengan nama tidak jelas. Jadi pasti akan sulit menemukan data yang kau cari. Selamat berjuang, Shinichi Kudo…"

"Tambahan dari Shu: Bahagiakan orang yang berharga bagi orang yang berharga bagiku, Kudo."

-Jodie Starling

Conan nyengir kepada kedua orang yang ada di hadapannya. Sementara kedua orang yang ada di hadapannya hanya diam. Menunggu penjelasan lebih lanjut dari Conan.

"Dua hari yang lalu, aku bertemu FBI. Mengatakan kalau aku telah mengetahui tempat persembunyian Organisasi Hitam. Aku minta bantuan mereka untuk menyelesaikan ini…" lalu Conan mulai melanjutkan kronologis permintaannya. Termasuk perjanjian yang telah mereka sepakati. Yang didengarkan dengan baik oleh mereka.

"Bagaimana, Haibara? Aku telah berhasil meruntuhkan organisasi itu. Aku mendapat data penelitian-seluruh penelitaian-dari organisasi itu. Kupikir kau mungkin akan senang mewarisi sesuatu dari orang tuamu. Meski dengan perjanjian-perjanjian tersebut, bagaimana menurutmu?" kata Conan nyengir dengan wajah kebahagiaan yang jelas.

Di luar dugaan, sangat di luar dugaan otak yang sangat cerdas milik Conan. Jawaban yang diterima Conan dari Ai sangat di luar dugaannya. Ai melompat memeluk Conan yang dalam posisi duduk itu dengan erat. "Arigatou, Shinichi. Arigatou!" kata Ai dengan suara bergetar. Baru kali ini Conan melihat luapan emosi Ai yang seperti ini. Dia terkejut. Sangat terkejut. Bahkan tidak sanggup membalas pelukan tersebut. Di sisi lain, dia senang. Sangat senang. Mendapat pelukan tersebut. Pelukan dari orang yang mulai menyamai posisi orang yang berharga baginya. Wajah keduanya memerah.

Agasa yang melihat emosi Ai-yang sudah dia anggap sebagai putrinya, mulai meninggalkan mereka berdua. Berharap mereka lebih bebas meluapkan emosinya. Agasa tahu, bahwa ada perasaan yang lebih dari sekedar teman diantara mereka. Jadi dia menyingkir.

"Bagaimana aku membalas kebaikanmu, Shinichi?" ucap Ai masih memeluk Conan dengan erat. "Apa bisa kubalas dengan penawar permanen itu?" lanjutnya.

Conan yang masih terkejut itu hanya diam. "Ai memanggilku Shinichi? Aku sudah cukup senang," batin Conan. Dia mulai membalas pelukan tersebut. Berbagi kesenangan dengan Ai.

Setelah beberapa menit, Ai mulai mengendurkan pelukan mereka. Dan Conan bereaksi dengan dengan mengendurkan pelukannya juga. Akhirnya mereka mulai melepaskan pelukan mereka. Saling menatap.

"Jangan pergi dari kehidupanku, Ai. Itu saja. Itu cukup untuk terima kasihmu," ucap Conan akhirnya.

"Eh?" kata Ai. Speechless. Conan tersenyum melihatnya.

Conan mulai bangkit. "Aku tidak keberatan meskipun obat itu butuh waktu. Aku mengerti. Cobalah lakukan hal yang bagus dengan hadiah yang kuberikan itu," ucap Conan mendekati pintu keluar rumah itu. "Jaa nee… Ai," ucap Conan tersenyum tulus.

—X—

Malam harinya di Kantor Kogoro

Dia sedang menonton berita dimana kepolisian Jepang berterima kasih pada FBI-yang telah pergi itu-atas informasi serta bantuan dalam mengungkap dan menangkap organisasi berbahaya yang beroperasi di Jepang tersebut. Dia menatapnya hingga…

DRRT DRRT DRRT

Handphone Conan bergetar, menandakan ada sebuah pesan masuk.

"Aku telah melihat data yang kau berikan. Sepertinya memang akan butuh waktu lama. Untuk menentukan data tentang APTX saja sudah akan membutuhkan waktu. Kuharap kau bisa bersabar seperti yang kau katakan, Conan-kun."

Conan tersenyum. Mendapati sms dari Ai. Dua kesenangan. Pertama, setidaknya Conan merasa ada kepastian baru bahwa dia akan kembali ke wujudnya yang semula. Kedua, panggilan yang digunakan Ai untuknya mulai membuat wajahnya memanas. Dia senang akhirnya bisa akrab dengan Ai.

"Lakukan dengan baik. Tidak perlu buru-uru. Aku akan selalu menunggu. Terima kasih, Ai."

Conan lalu mengirim pesan tersebut.

Senang. Dia sangat senang. Tapi sekaligus bingung. Dia sangat familiar dengan perasaan ini. Perasaan yang dulunya hanya untuk Ran. Sekarang dia memiliki perasaan itu untuk dua orang. Dia bingung bagaimana menentukannya. Tapi untuk saat ini, dia tidak perlu memikirkannya terlalu dalam. Masih banyak hari untuk itu.

End of Flashback

—X—

Sekarang, 3 tahun setelah kejadian tersebut. Conan terus memikirkan bagaimana Conan mulai makin dekat dengan Ai setiap harinya. Mereka masih saling sindir, tentu saja. Tapi cara mereka memanggil satu sama lain, ada nada yang membuat yang dipanggil merasa senang.

Ai makin ceria. Dia sudah biasa berbicara dengan cara yang menyenangkan orang lain. Memanggil anak-anak yang seusianya sendiri dengan nama depan mereka untuk perempuan. Dia sudah membuka hatinya untuk akrab dengan perempuan lain. Sedangkan untuk para cowok, bagi Ai, mereka harus berusaha melakukan sesuatu yang membuat mereka bisa akrab. Sesuatu yang besar. Seperti yang sudah Conan lakukan misalnya. Terdengar mustahil untuk anak-anak berumur 13 tahun-an. Hanya beberapa anak cowok yang dipanggil dengan nama depan, seperti Mitsuhiko dan Genta.

Conan juga merasa dirinya berubah. Dia menjadi orang lebih mengerti perasaan orang lain. Lebih peka. Mungkin ini efek karena memiliki teman-yang di kehidupannya yang sebelumnya tidak ada. Bergaul dengan anak-anak lain, membuatnya lebih mengerti perasaan orang-orang disekitarnya. Kemampuannya dalam bersepak bola, jangan tanya lagi. Dia punya pengalaman sebagaimana orang yang sepuluh tahun lebih tua darinya. Bahkan sepuluh tahun lalu, dia hampir menyamai atlit nasional.

Conan juga memikirkan bagaimana dia mulai bisa dipercaya memecahkan kasus sendiri oleh kepolisian. Mungkin karena dia sudah mulai telihat dewasa di depan orang-orang. Dan lagi kecerdasannya. Wajahnya yang mirip dengan Shinichi-yang memang dirinya-membuat dirinya dibicarakan sebagai Shinichi kedua. Meski dia yakin, bahwa dia lebih hebat dari Shinichi yang dulu.

Lagi-lagi dia tersenyum sambil memandang langit. Sampai sebuah suara memanggilnya.

"Conan-kuuun! Sudah malam. Pergilah tidur. Besok hari pertamamu di SMP kan?" sebuah suara dari orang itu begitu lembut, rasanya jadi seperti menuntut bagi Conan. Membuatnya makin menyayanginya. Dan makin membuatnya bingung. Ran atau Ai. Pilihan yang sulit.

"Hai, Ran-neechan," balas Conan.

Dia memasuki kamarnya. Dan merebahkan diri di atas kasurnya dan mulai memejamkan mata. "Kuharap jawabannya akan segera muncul," batinnya sambil memejamkan mata.


Bagaimana?

Aku berencana membuat lanjutannya. Tapi sepertinya akan lama karena aku sibuk bekerja dan belajar. Tapi akan kuusahakan.

Bantulah Author dengan berkomentar dan memberi kritik. Baik itu segi cerita maupun kesalahan dalam penulisan.

Akhir kata, Review, Please!