[ Ketika Lonceng Berbunyi ]

Assassination Classroom (c) Matsui Yusei
Special fic for Asano Gakushuu's Birthday 2016

Sakakibara Ren x Asano Gakushuu

.

Warning:
OOCness (well... yang fanatik IC tolong jauh-jauh ya, ku tak menerima protes soal OOC), misstypos, messy POV, acak-acakan, kayak kumpulan drebel (?), gatal-gatal pershojoan, gakuchuu's qoqoro is fuwafuwa like a cotton candy. Btw walaupun rate T saya agak ragu (?) sebenernya sih mau dimasukin ke M tapi ga jadi lah #oi dan terakhir: GOMBAL!
Don't like please don't read!

.

Dengarlah, sayangku, awal dari segalanya, juga akhir dari segalanya.

.

.

.


Ketika lonceng tahun baru berdentang, daun telingaku dibuat merah olehnya.


.

Kalimat macam apa yang biasa kalian ucapkan untuk menyambut tahun baru? 'Selamat tahun baru'? 'Tahun ini pun mohon kerjasamanya'? Pada normalnya seperti itu, 'kan?

"Selamat ulang tahun, Asano-kun. Selama ini aku suka padamu."

Jika saja vibra panggilan masuk smartphonenya tak tertangkap gendang telinga, mungkin pipinya takkan sebegitu merah sekarang. Ketika ia temukan nama Sakakibara Ren pada layar, tak sedikitpun kecurigaan dipendam. Namun ketika sang penelepon mulai bercakap? Siapa pula yang terbesit bahwa Sakakibara akan menyatakan perasaan lewat telepon... Pada malam tahun baru, pula. Asano lemah dalam menghadapi kejutan semacam ini.

Bibirnya bergetar, tak satu hurufpun keluar. Raganya seakan bisu dan lumpuh. Smartphone dalam genggaman membeku, mengabaikan lawan bicaranya yang masih berkomat-kamit.

Tidak, Asano sama sekali tidak dapat mendengar apa yang diucapkan sang penelepon. Bahkan gemerisik televisi serta bising dentang lonceng tahun baru tidak dapat diterima baik oleh telinga. Pernyataan jujur Sakakibara yang di luar dugaan memberi impact yang terlalu kuat, bagai kejutan listrik yang menjalar dan menulikan indranya.

"Ha-halo? Asano-kun, kau mendengarku?"

"A-Ah. Ren? Hentikan, kau bercan—"

"Maukah engkau menjalin hubungan cinta denganku, Asano Gakushuu?"

Dia bukanlah Cinderella, dua belas kali dentang lonceng raksasa bukanlah finis dari cinta mereka, justru sebaliknya.

Inilah garis start dari hubungan mereka berdua.

.


Ketika lonceng kuil terdengar di antara hiruk pikuk, debar jantungku menolak tuk hentikan gemanya.


.

Aku melangkah dalam dini hari Januari yang renyai, mencari jingga tempatku akan membelai. Jingga manis tambatan hati, pemacu debar jantung, yang memenjarakanku dalam pesona ametis miliknya. Ingin sekali kubisikkan pada angin yang bangkit berdesir, agar ia bawa raga dan sukmaku menemui yang terkasih. Asano Gakushuu, sosok penyita atensiku sejak dulu.

Karena astaga, tak sabar ku menuai rindu, yang terus menumpuk selama kami tak dapat bertemu. Tiga minggu terasa seperti tiga tahun. Dalam resah aku membisu, karena terikat oleh janji—kami seharusnya bertemu di depan kuil, 10 menit lagi, namun apa boleh buat, hatiku tak dapat menunggu.

Kupandang aspal tempatku berpijak, menghitung mundur detik-detik penantianku.

7 menit.

5 menit.

3 menit.

Waktu yang semakin terkikis seakan merabunkan netra, bahkan jam tangan mahal yang melingkar pada lengan kananku kini tampak pudar, empat digit angkanya terlihat seperti tinta yang melebur di air. Badanku semakin bergetar, dibanjiri peluh bahkan dalam suhu rendah Januari.

Memalukan sekali, Ren! —bisikku menyemangati diri. Ayolah, seharusnya ini keadaan normal bagiku. Menemui yang terkasih, sudah kukuasai sejak dahulu, walau hanya sekedar cinta palsu. Namun mengapa dengannya? Mengapa aku segugup ini?

"Maaf lama menunggu, Ren."

Sampai sepotong kalimat itu mengetuk kesadaranku, kemudian segalanya terasa sunyi dalam hiruk pikuk para pendoa. Tidak, apa hanya berlaku untuk pikiranku?

Asano berdiri di hadapanku.

"...Ren? Me-mengapa kau diam saja..."

Nada yang kutangkap terasa berbeda dari sebelumnya. Lebih bergetar pula terdengar ragu. Kupandang wajah manis yang memanggilku, biji mata miliknya bergulir ke sudut, bibirnya gemetar memaksakan ego. Terlihat bersusah payah memasang topeng dinginnya yang biasa.

Dapat kulihat rona samar berkeliaran pada belah pipinya, bagai peri-peri mungil yang menari dalam hamparan salju putih. Entahlah, apa hanya fantasi? Karena sungguh, debaran ini mulai menampilkan bayangan aneh.

"Ren!" Akhirnya ia berseru tidak sabar, menyadarkanku dari angan-angan. Belah persiknya menggembung sempurna, manis sekali. Mengingatkanku pada setangkai poppy, bunga bundar yang mekar pada musim dingin. "Kalau kau hanya akan mengabaikanku seperti ini, lebih baik aku pulang saja!"

"Ma-maaf." Refleks, aku menggaruk pipi lalu tertawa canggung. "Aneh, ya? Aku merasa... sedikit gugup, ahahaha. Kalau begitu, ayo pergi. Kita pasti tidak mau mengantri terlalu lama, 'kan?"

Kugenggam erat tangannya sebagai bentuk afeksi. Membiarkan jemari telanjang kami saling memeluk, walau pada awalnya begitu kikuk. Ketika aku mencuri pandang, kutemukan lengkung samar yang perlahan mengembang di antara pipinya, bersamaan dengan rasa hangat ketika ia membalas genggamanku.

...Wahai Dewa, apakah diriku terlalu tamak, jika berharap agar kebahagiaan ini kekal selamanya?

.


Ketika lonceng tahun ajaran baru memekakkan, hanya bisik manismu yang terpantul pada gendang telinga.


.

Semester kedua dalam tahun ini akhirnya dimulai. Ucapkan selamat tinggal pada hari-hari bersantai di ambang perapian sembari menyemil biskut jahe. Haturkan salam pada buku cetak semester dua yang sudah tak sabar untuk diisi.

Rasanya Asano ingin sekali memperpanjang waktu liburannya menggunakan koneksi sang ayah, namun ia sadar itu memalukan, curang pula. Ia benci ketika wajah sok hebat sang ayah memandangnya remeh.

Lagipula, walau waktu luang miliknya sedikit terkikis, ia tahu pasti Sakakibara akan selalu berada di sampingnya, setidaknya selama mentari menghantarkan cahaya beserta hangatnya. Ketika kantuk menjemput, biarlah keduanya bersua dalam mimpi indah. Tidak peduli apakah hanya sekedar bunga tidur, ametis dan emerald akan terus bertatap mesra. Dan tak satupun boleh menghentikan mereka.

Biarkan malam ini menjadi cinta, wahai bintang-bintang.

Aih! Asano Gakushuu sudah sepenuhnya dimabuk cinta.

Ia menggeleng cepat, mengusir pemikiran manis bak adegan-adegan komik serial cantik itu dari kepalanya. Sebentar, sebentar. Lagipula jangan dulu kau pikirkan malam apalagi mimpi, jika pagi hari belum tentu akan berjalan dengan lancar!

Bicara soal pagi hari, pagi ini kelas 3A terasa begitu sepi. Sebenarnya wajar, mungkin saja para penghuninya masih digelayuti oleh kemalasan sehingga ogah berangkat lebih cepat. Bayang-bayang liburan pasti masih menghalangi pandangan. Bukannya ia mempermasalahkan itu, tapi pasalnya upacara pembukaan awal semester juga akan dilaksanakan pagi-pagi sekali.

"Pagi, Asano-kun. Seperti biasa, pagi sekali, ya."

"Itu karena pak kepala itu memaksaku berangkat bersamanya, Ren. Dia selalu saja sok rajin." Asano menutup novel remaja yang setia menemaninya sejak baru datang tadi. "Kau sendiri? Tumben sudah sampai di sekolah jam segini. Biasanya saja kau masih sibuk mengurus poni lemparmu yang menyusahkan itu."

"Poni lempar nan indah inilah yang telah menjatuhkanmu dalam cinta, apa aku salah?" Sakakibara menjawab pertanyaan kekasihnya dengan asal-asalan. Jelas sekali, terdengar dari nadanya yang tidak serius. "Bercanda. Tentu saja aku berangkat sepagi ini supaya dapat berduaan saja denganmu."

"Hentikan, Ren. Tidak bisakah kau lihat kalau sekarang baru jam tujuh pagi?"

"Memangnya kenapa?"Sakakibara menyisir helai jingga yang menutupi telinga kiri kekasihnya, ingin memandang parasnya lebih jelas. "Wajar, 'kan? Mau diapakan lagi, habisnya Asano-kun terlanjur membuatku tergila-gila."

Sang ketua kelas membuang muka.

"...Curang."

"Ayolah, aku yakin sekali kau juga senang menemuiku sepagi ini, fufufu. Duh, ayo sini."

Seakan tengah berdansa, keduanya menautkan jemari dan melangkah ke depan kelas, menyembunyikan raga di balik meja tinggi wali kelas. Pemuda yang lebih tinggi merengkuh sang belahan hati, mengusap kepala strawberry-blondenya, sembari menghirup wangi citrus dari tiap helainya.

"Ah, wangi ini takkan pernah membuatku bosan berapakalipun ku menciumnya."

"...Bodoh."

"Padahal sebenarnya kau senang, 'kan? Sini, biarkan aku mengecup bibir manismu itu."

Ketika bersamanya, Asano dapat merasakan kepalanya kosong. Otak jeniusnya berubah menjadi ruang hampa yang hanya terisi Sakakibara Ren. Ia bahkan lupa kalau belum lama ini ia harus menelan kekalahan pahit berkat usaha keras kelas 3E. Ia bahkan lupa kalau seharusnya ia mengulang pelajaran semester lalu selama liburan musim dingin. Ia bahkan lupa kalau saat ini ia sedang berada di dalam kelas—yang merupakan tempat umum—dan lonceng pun telah berbunyi.

Sisanya tinggal berdoa agar tak seorangpun menyadari keberadaan mereka.

Ah, dan sepertinya ia sama sekali lupa kalau di pojok ruangan terdapat kamera pengawas yang terhubung langsung dengan ruangan ayahnya.

.


Ketika lonceng genta angin menari perlahan, hanya pundakmu sebagai sandaran.


.

Libur musim panas tidak dapat dijadikan alasan untuk membolos pekerjaan OSIS. Berkas-berkas urusan sekolah terus saja memanggil kawanannya agar makin membanjiri permukaan meja, seakan minta dimanjakan. Dengan pena dan stempel, tentu saja.

Hal menjenuhkan macam inilah penyebab utama lunturnya senyum sewarna mentari Asano. Rasa gerah menggelayuti, bagai diselimuti kotatsu milik penjaga neraka. Apalagi ia dibebani pekerjaan yang menggunung—dan wajib ia tuntaskan hari ini juga, berdua dengan Sakakibara. Sialan Seo, licik sekali ia memanfaatkan Kaho agar dapat kabur ke kafe full ac. Lihat saja, begitu batang hidung bangirnya itu terlihat, Asano takkan ragu lagi menjepretnya dengan karet gelang.

Asano sedikit kecewa tidak dapat menggunakan sang kekasih untuk ka—eeeeh, tidak! Tidak! Tidak! Ia takkan melarikan diri dari darmanya sebagai ketua OSIS. Ia telah berkomitmen, bukan? Hanya pecundang yang akan melancarkan aksi memalukan macam itu!

Tapi tetap saja...

"Aaaaaargh! Sial, tanganku lengket!" ia mengeluh, risih dengan lumuran keringat pada tangan kanannya. Padahal ia sudah menyiapkan sapu tangan untuk berjaga-jaga, mengapa tetap begini? Ia mulai geram.

"Suhu siang ini diperkirakan mencapai 38 derajat celcius... Sial, ternyata aku memang harus segera memeras kantong pak tua itu untuk memperbaiki fasilitas OSIS!"

"Apa gunanya mengeluh, Asano? Bukankah engkau yang mengingatkanku kemarin?" Sakakibara tertawa kecil, merasa aneh dan lucu mendapati sang ketua OSIS yang perfeksionis dan selalu bersikap sempurna di hadapan warga Kunugigaoka kini mengacak-acak strawberry blondenya yang mulai lepek.

"Jangan kasar begitu, tidakkah kau kasihan pada helai indahmu itu? Sini, biar kusisiri. Tunggu sebentar ya, aku akan membuka jendela dulu. AC takkan berfungsi dalam suhu sepanas ini." Sakakibara menarik tuas pengunci jendela, membiarkan angin hangat menyusup ke penjuru ruangan. Lengannya yang panjang iseng mendorong genta angin yang digantungkan pak kepala dewan kemarin siang. Menurutnya sih, sebagai kompensasi sementara.

"Oh iya, kalau tidak salah kemarin pak kepala bilang genta angin ini punya efek menyejukkan, ya. Seperti apa ya, kira-kira."

"Itu hanya psikologis, bukan sejuk dalam arti sebenarnya!" balas Asano sewot. "Orang itu, bukannya memperbaiki keadaan malah makin menambah hiasan yang merepotkan."

"Ayolah, jangan marah begitu. 'Kan hanya genta angin mungil, tidak menambah sesak. Ah ya, bagaimana kalau kupotongkan semangka dingin? Aku ingat Koyama pernah bercerita padaku tentang semangka bentuk hati hasil percobaannya." Sakakibara kemudian memutar knop pintu, lalu meninggalkannya terbuka guna meminimalisir aliran udara panas. "Tunggu sebentar, akan kuambilkan dari ruang persiapan."

.

"Manisnya. Kalau mereka terus menerus membuat terobosan luar biasa seperti ini, sepertinya boleh saja aku menaikkan anggaran klub Biologi." ujar Asano puas, sembari mengudap potongan-potongan semangka yang terhidang pada piring lebar. Ditambah lagi, kumpulan segitiga hijau-merah itu begitu dingin hingga menusuk gigi, dapat dikatakan penyejuk kerongkongan alami.

"Kau hanya berkata seperti itu karena sedang kepanasan, bukan." Sakakibara menanggapi, walau separuh dari pikirannya melayang-layang memikirkan bagaimana cara meminta maaf pada Koyama karena hasil percobaannya ia ambil seenak hati. "Yah... Tapi keuangan OSIS 'kan memang urusanmu dengan bendahara, jadi kurasa terserah saja..."

"Terima kasih, Ren. Ini benar-benar memuaskan dahaga."

Asano mengembangkan senyum, ametisnya kembali menyorotkan sinar seumpama mentari. Sakakibara meneguk ludah. Jika boleh menghiperbola, akan ia katakan bahwa semangka di antara giginya terasa hambar jika dihadapkan dengan mimik bahagia sang kekasih.

"Sa-sama-sama. Ucapkan itu pada Koyama, ahaha."

Keduanya berdiam dengan semangka di tangan. Melekatkan punggung bermandikan keringat ke permukaan dinding serta lantai yang sejuk. Menikmati sepoi-sepoi angin yang berhembus melewati kusen jendela. Ia rasa tuan matahari sudah mulai lelah mengeluarkan energi, dan kini para awan empuk datang menaungi.

Sayup-sayup terdengar bermacam-macam suara dari lapangan olahraga akademi Kunugigaoka. Maklum, walau pada liburan musim panas seperti ini, masih banyak klub—terutama klub olahraga—yang tetap menjalani aktifitasnya. Karena itulah, Kunugigaoka tak pernah terasa sepi saat musim panas. Kawanan unggas, kumbang serta cicada yang menempati gunung belakang sekolah juga terlihat bernyanyi dengan asyiknya, sebelum tergantikan oleh kemunculan para jangkrik ketika langit gulita.

Sakakibara mencuri pandang pada Asano yang berselonjor di sisinya. Anak itu masih saja menikmati sari semangka yang ia genggam, seakan tengah mengemut es loli kesukaannya. Ekspresinya nampak jauh lebih santai dibanding saat mengurus berkas tadi. Sungguh santai, sampai-sampai...

"Asano, semangkamu..."

Jemari kanan Sakakibara menyeka cairan kemerahan yang menyusuri dagu sang strawberry blonde (bahkan menetes sampai lehernya yang jenjang) kemudian menjilatnya dengan sensual.

"Manis sekali. Asano, air semangkanya mengalir sampai ke lehermu. Kadang kau bisa juga ceroboh, ya." Sakakibara terkekeh. Kembali menciduk cairan kemerahan yang menggenangi leher sang kekasih, membuatnya melenguh pelan.

"Jangan—lengket, tahu... Ngh."

"Justru kalau tidak segera dibersihkan, akan makin lengket. Lagipula kau merasa gerah, 'kan? Ayo lepas, kemejamu penuh keringat begini."

"Hei—tidak mungkin menetes sampai sana, 'kan?! Tunggu, Ren—!"

Musim panas tahun ini benar-benar terasa manis. Manisnya buah hasil petik, dan yah... Bermacam-macam manis yang lain.

.

"Kau ini bukannya menyejukkanku malah membuatku semakin gerah, dasar Ren bodoh." Asano mengerucutkan bibir, merasa sedikit sebal karena perlakuan mendadak Sakakibara terhadapnya. Memang niat orang itu untuk mengurangi rasa lengket, tapi faktanya? Seluruh penjuru torsonya semakin terasa lengket sekarang, dan bukan cuma karena tuan semangka.

Selain cairan merah dingin yang mengaliri dadanya, tubuhnya juga becek dengan saliva, dan juga cairan...

Yah-kalian-tahulah-itu-apa.

.


Ketika lonceng tahun baru kembali menggetar dada, belah pipiku seakan terbakar dalam nyala api.


.

Berapa tahun sudah berlalu? Segalanya masih persis seperti waktu itu. Rona nakal yang menghiasi paras manisnya, ametis yang mengerjap malu-malu, untai kata menggoda dari bibir Sakakibara—segalanya. Satu-satunya yang berbeda, mungkin hanya karena saat ini keduanya dapat duduk bersisian. Rerumputan yang menari bersama irama angin, atap gulita berhias kelap-kelip, selembar muffler rajut untuk berdua.

Hangat. Pipi serta bahu kiri yang berhimpit dengan sang kekasih seakan terbakar. Tiap diksi yang Sakakibara bisikkan bagai nyala api unggun di tengah gunung kelam, buatnya merasa seolah tengah dilanda demam. Sekumpulan awan jahil meniup nafas sejuk, hingga mau tak mau kedua pemuda dalam naungannya saling mendekap. Para bintang ikut tersenyum, berusaha kuat untuk menerangi, seakan berniat mempercantik suasana hati kedua insan.

Cokelat dan jingga saling menggosok. Asano dapat merasakan geli yang menusuk dahi, begitu pula dengan Sakakibara. Jingga kemerahan itu terus menyapu bawah dagunya, sebagai gantinya ia balas dengan pelukan sayang. Protes yang biasanya dilayangkan hari ini sama sekali tidak terdengar, sepertinya sang pemrotes tengah membaca suasana. Sakakibara cukup bahagia dapat bersama pemuda manis itu dalam keheningan, walau ia sedikit merindukan suara robinnya tercinta.

"Dua menit lagi." Begitulah, Sakakibara memeriksa arloji. "Dua menit lagi, dan tujuh tahun pas."

Muffler bernuansa hijau pastel itu ia dorong naik, melindungi batang hidungnya yang kini memanas. Kemudian Asano tersenyum tipis, memandang sang kekasih tepat pada emeraldnya yang berbinar.

Ren yang ia curahi segenap cinta, sampai detik-detik terakhir tahun ini pun tetap berada di sampingnya.

Sampai raga mereka bergetar bersama tanah, seakan terbebas dari gravitasi, ketika lonceng kuil berdentang dengan kerasnya. Sakakibara mengulas senyum lebar, akhirnya saat yang ia tunggu tiba juga.

"Genap tujuh tahun. Selamat ulang tahun hubungan kita, selamat ulang tahun untukmu juga, Asano. Err, selamat tahun baru harusnya kuucap pertama, ya?"

Puh. Yang mendengar langsung terkekeh.

"Terlalu banyak yang perlu diucapkan, ya. Tapi terima kasih, Ren. Aku senang kau memprioritaskan hubungan kita dengan menyebutnya paling awal."

"...Habis, itulah yang pertama terpikir." Ren membalas tawa, menggaruk sisi kepalanya walau tidak terasa gatal. "Dalam tujuh tahun ini, itulah segalanya yang memenuhi benakku. Dirimu, dan hubungan kita."

"Bisa saja kau cari alasan. Dan kau memang pintar merayu."

"Hanya padamu aku merayu, tentu saja." Sakakibara mengedipkan sebelah mata. Kedua tangan yang menganggur ia lingkarkan pada pinggang sang kekasih, menyusuri liku yang telah ia hapal di luar kepala. Memotong jarak hingga tersisa lima senti di antara hidung mereka. "Hei, Asano-kun, izinkan aku melakukannya?"

"Melakukan apa, hmm? Jangan beri aku wajah nakal seperti itu, bagaimana kalau aku sampai meleleh?"

"Ciuman pertama pada tahun baru, seperti kau tidak hapal saja." Ren menaikkan bahu. Bukan hanya dia, Asano juga mulai pandai merayu, kalimat yang ia ucap bagai cicit seekor robin nakal yang mengundang pemangsa. Begitu seduktif, merangsang nafsu Sakakibara untuk segera melahapnya. "Tenang saja, wajah ini akan kusimpan sampai acara utama, ketika langit kembali gulita. Dan saat itulah, aku akan melelehkanmu."

"Aku sama sekali tidak keberatan, tuan pujangga. Hanya saja... Sebut nama kecilku?"

"Yes, my dear Gakushuu."

Tanpa tergesa-gesa—ya, karena ia tahu, mangsanya itu takkan lari ke mana-mana—telapak besar Sakakibara menekan kepala strawberry-blonde semakin intim, memagut belah ceri menggoda milik sang kekasih dengan rakus. Mengisolasi oksigen yang ada, membiarkan keduanya berbagi nafas hangat yang tersisa. Seakan mengajarkan betapa sesak namun nikmatnya cinta. Asa—tidak, Gakushuu tidak ingin mengalah, lidah ia perintah untuk menekan, membalas jilatan Sakakibara pada tiap sudut rongga mulutnya, hingga saliva yang saling bertukar menetes membasahi muffler. Jaminan bahwa tahun ini pun mereka akan terus dalam kehidupan romansa yang aktif.

"Mmnh, Ren..." desah pelan terdengar dari pihak jingga. Lihat ametis kembar yang berkabut itu, terlihat menikmati sekali perlakuan Sakakibara padanya. Sakakibara sungguh puas jika dapat membuat Asano yang berego tinggi tenggelam dalam permainannya.

Bagai strawberry champagne yang memabukkan, rasa manis Asano membuat indra pengecapnya meminta lebih. Terus ia tekan kuat kepala sang kekasih, ingin mengecap rasa khasnya lebih banyak lagi. Benar-benar candu.

Tidak berhenti sampai di sana. Karena Asano pun cukup tamak dalam hal—dan sosok, yang ia sukai. Kedua lengan berbalut sweater creme ia jalin mengelilingi leher sang kekasih, membawa ciuman keduanya semakin dalam.

Namun paru-paru tak dapat mengkompromi minimnya oksigen. Terpaksa mereka lepaskan sejenak ciuman panas yang telah bermenit-menit dijalani. Segaris saliva yang tersambung pada ujung lidah masing-masing pihak masih di sana, sementara keduanya menstabilkan detak jantung yang sempat berpacu kencang.

"Wajahmu memerah, A—Gakushuu."

"Sa-salah siapa." Setelah sempat dalam mode merayu, kini giliran sisi asam Asano menampakkan diri. Bolehlah disebut sisi asam, namun bagi Sakakibara, sisi apapun yang ia hadapi tetaplah semanis permen kapas festival.

"Kau sudah terpuaskan dengan ciuman ringan seperti ini? Aku tidak percaya kau hanya kuat sampai di sini. Walau harus setengah mati, bertahanlah sampai kulancarkan aksi utamaku senja nanti, sayang."

Mendengar itu, Asano memajang seringai menantang, walau tetap saja tak dapat menyembunyikan merah pekat pada sudut pipinya.

"Wah, aku sungguh tidak sabar menunggu, Ren sayang."

Entah apa yang dipikirkan para saksi bisu di langit, ketika kedua makhluk penuh nafsu di bawahnya memulai ronde kedua ciuman panas mereka.

.


Ketika lonceng mungil kuil merespon harapan, ku tahu bahwa kami spesial.


.

"Tempat ini rahasia,"

...sayup-sayup ia berbisik, mengikis 5 cm yang terbentang antara bibirnya dan telingaku. Nafasnya tampak nyata, menyebar kehangatan dalam selimut putih Januari. Kemudian ia panggili namaku, ia usap helai jinggaku, mengundang rona untuk menghias. Sekulum senyum, sekerling mata darinya, menyita seluruh atensiku.

Untuk pertama kalinya, kami menjauhi hiruk pikuk pengunjung dalam lingkung kuil utama. Hingga gemerincing lonceng, seruan ceria anak-anak sampai desis kue dadar dalam panggangan tak tercerna lagi oleh indra. Hanya menuruti gandengan Ren untuk menyusuri jalan setapak bertabur salju sampai meraih puncak bukit. Sudah lama rasanya tidak berjalan seperti ini, sejak kegiatan tafakur alam tempo hari.

Di depan batang hidungku berdiri sebuah tempat pemujaan mungil, dengan merahnya yang telah memudar tertimpa salju. Seutas tali pengikat lonceng kutarik hati-hati, menimbulkan gemerincing pelan. Ren tersenyum padaku, melempar beberapa keping koin logam, kemudian menepuk-nepuk kedua tangan telanjangnya.

"Memohonlah tentang apa yang paling kau inginkan. Temanku yang tinggal di sekitar sini pernah menjelaskan kalau kuil ini akan mendengar permohonanmu, lalu mengabulkannya. Entah fakta atau bohong, namun tidak ada salahnya mencoba."

Begitu ucapnya.

"Seperti yang kujelaskan tadi, tempat ini tidak banyak diketahui. Hanya beberapa orang, termasuk kau dan aku." Telunjuk kanan miliknya ia sentuhkan pada ujung bibirku, terasa dingin serta membakar. "Karena itu, ini rahasia. Antara kita berdua."

Saat itulah aku dapat merasakan tatapan teduh Dewa yang bertengger di sana, mengawasi gerak-gerik kami dengan senyuman.

.


Ketika lonceng restoran berpadu dengan denting garpu, sejenak ku kembali lapar akan kasihmu.


.

Salah satu hal yang paling aku sukai dari Ren, yaitu romantismenya yang seakan tanpa limit. Walaupun kadang aku tidak mengerti lagi kebodohan apa yang ia lakukan, segala perlakuannya padaku sungguh memabukkan, seakan tengah mencerna madu dan wine secara serentak. Kehangatan yang menggelitik perutku serta memanaskan pipiku.

Ketika ia membisikkan kalimat seduktif tepat di telingaku, demi memberiku kehangatan di tengah badai.

Ketika mobilnya mendadak mogok saat berniat pergi kemping, lalu ia mencumbuku dalam naungan atapnya.

Ketika ia sengaja menelepon smartphonenya dengan telepon rumah, lalu saat nada dering mulai terdengar, ia memeluk pinggangku dan membawaku berdansa.

Ketika aku tengah muram, lalu ia menyelipkan kalimat cinta ke dalam fortune cookie yang ia panggang.

Ketika ia menyelipkan kisah kami dalam tugas mengarang syairnya.

Segalanya sungguh berarti. Segala hal yang Ren lakukan untukku. Tak terkecuali hari ini, hari ini pun ia tetap memanjakanku seolah diriku adalah seluruh dunianya. Menghitung detik pergantian tahun bersama-sama, pergi ke kuil 'rahasia', mengajakku berkeliling, dan kini kami sampai di destinasi selanjutnya.

Angin malam yang sepoi-sepoi meniup helai jingga yang telah susah payah kusisir hingga rapi. Rasanya agak kesal, ketika poni panjangku kembali acak-acakan. Namun tidak, Ren menyetop niatku untuk merogoh kantong, mencari sisir lipat.

"Tidak perlu kau rapikan lagi, karena Asano, kau mempesona apa adanya."

Siapa yang takkan tersipu bila dipuji seperti itu? Bahkan diriku yang seperti ini akan memerah malu mendengarnya. Terutama jika ia mengucapkannya sembari bertopang dagu, emeraldnya memandang ametisku lekat; sementara bibirnya masih setia melengkung indah.

"Hentikan. Aku bukan gadis yang lapar akan pujian."

"Yakin?" Ren menekan sebelah alisnya kemudian menyeringai. Gestur yang selalu ia keluarkan setiapkali tak yakin dengan ucapanku. Dan sialnya, gestur nakal itu tak pernah gagal membuatku bersikap jujur.

"Baiklah, jika kau tidak lapar akan pujian." Sebelum aku kembali sadar, Ren lebih dulu mengulurkan tangan untuk menyisipkan helaiku ke belakang telinga. "Tapi, perutmu pasti lapar, 'kan? Jika tidak, sia-sia saja aku memesan tempat indah ini untuk kita berdua, ya 'kan?"

Candle light dinner. Situasi impian tiap pasangan. Dan Ren berhasil mewujudkannya tahun ini, dengan memesan satu meja VIP restoran tepi pantai ini, mengajakku duduk di kursi paling spesial. Diterangi temaram lilin serta lampion-lampion mungil yang tergantung di sekitar pohon.

Awalnya sama sekali tak kusangka. Hal terakhir yang teringat dalam benakku adalah aku tertidur setelah lelah berkeliling Minato Mirai, kemudian Ren menyetir mobilnya entah ke arah mana, membawaku bersamanya. Ketika tersadar, pandanganku gelap gulita—hanya debur ombak serta wangi garam yang buatku menyadari suasana pantai. Sensasi ketika sol sepatuku meninggalkan bekas di pasir putih, sangat kurindukan.

"Surprise."

.

Kusantap nikmat homard bleu yang terhidang. Musik mengalun, mengisi kesunyian antara diriku dan dirinya. Dalam hening, kucuri-curi kesempatan untuk sedikit saja memandang wajahnya. Bayang lilin yang menari kembali menyadarkanku, bahwa di balik kejahilannya padaku, fitur wajah Ren memang sesuatu yang lain. Kembali aku teringat bahwa kekasihku tersayang ini memang berparas tampan hingga mampu menggaet puluhan wanita sekali jalan, bahkan dalam remang, pesonanya tak sedikitpun terkikis.

Rasanya, aku sedikit... Bersyu—

"Hm? Ada apa lihat-lihat, Asano-kun?"

Aku tersentak.

"Bukan apa-apa."

"Benar begitu, hmm? Ah ya, kau mau kutuangkan wine? Sedikit saja, tidak apa-apa."

"Bukan begitu. Kalau alkoholik, aku—"

"Dengarkan kalimatku sampai selesai, Asano-kun."

Ametis kembar milikku menutup refleks, ketika mendadak saja bibirnya meniup nafas hangat ke telingaku.

"Jangan khawatir, sayang, ini red wine. Aku tahu kau hanya mau meminum ini."

Pandangan skeptis kutujukan. Namun Ren tidak berhenti sampai di sana.

"Meski ini hanya red wine, ini red wine dari tahun 1956. Hanya yang terbaik untukmu, Asano sayang."

"Kau bilang ini wine terbaik, mengapa cuma dari tahun 1956? Apa tidak ada wine dari tahun 1400, atau zaman-zaman itu?"

"... Tunggu nanti kalau kita berkunjung ke Perancis atau Italia. Mengerti, cinta?"

Aku menggembungkan pipi.

.

Puding stroberi yang kusantap sebagai dessert sudah mencapai suapan terakhirnya. Dan sepertinya, Ren pun begitu. Ia tengah membersihkan bibirnya dengan sapu tangan, tanda bahwa ia sudah selesai. Tak lama, ia balas pandanganku, kemudian ia ulas senyum tipis.

"Sudah?"

"I-Iya, sudah cukup..."

"Kalau begitu, kita pulang sekarang? Karena sejujurnya, Asano-kun..."

"Hm?" Aku memandangnya bingung. Karena mendadak saja ia menarik tangan kananku kemudian mengecupnya lembut.

"Saat makan tadi, perutku sudah merasa penuh, tapi sekarang... Aku merasa lapar lagi, ketika melihatmu."

Butuh waktuku untuk mencerna kalimat darinya. Ketika otakku berhasil menafsirkan, sontak kedua belah pipiku merona hebat.

"Rasanya sudah tidak sabar lagi 'tuk melahapmu, mengecap rasa khas tubuhmu, wahai hidangan ternikmat pada malam ini. Katakan, engkau sama sekali tidak keberatan bukan, Gakushuu?"

.

.

.

.

.

.

.


Ketika lonceng rumah Araki kami bunyikan, degup asing mendadak memenuhi dada.


.

"Selamat tahun baru." tutur Asano dengan senyum. Hampir saja ia lupa, terima kasih pada fitur pengingat dari smartphone kekasihnya karena telah berdering begitu keras. Undangan Araki untuk merayakan tahun baru di rumahnya sempat terlupakan berkat bisik manis yang dilayangkan Sakakibara sejak detik pertama tahun. Memabukkan.

"Kalian terlambat. Koyama sudah menghabiskan banyak round." Botol sake setengah kosong diangkat sebagai bukti. "Yah, tidak apa lah. Kapan lagi kita bisa berkumpul seperti ini. Pekerjaanku, penelitian Koyama, lalu kalian... Yah."

Araki menekan sebelah alis, menunjuk pada tangan sepasang kekasih yang masih bertaut mesra. Keduanya tersipu, namun tidak segera melepas gandeng begitu saja. Koyama tergelak, menuding Sakakibara dengan sebuah botol sake yang berada dalam jangkauannya.

"Kishishishi, maaf saja ya, aku tidak cemburu pada kalian dan kemesraanku dengan para kekasihku lebih kuat. Bicara soal cemburu, harusnya Araki lah, kishishishi."

"Berisik, Koyama. Kau mabuk. Kekasih... Maksudmu botol-botol cairan mencurigakan itu? Dan yah, Sakakibara, kau sukses membuatku menyerah sewaktu SMA, jadi aku tidak cemburu."

"Tidak cemburu lagi 'kan? Kishishi." tambah Koyama, melengkapi kalimat kawan besarnya. Mata Araki yang kecil disipitkan, semakin terlihat menghilang dari wajahnya. Segalanya seakan terserap oleh pipi tembamnya. Gumpalan daging itu benar-benar mempersempit area wajah.

Sakakibara menahan tawa. Kedua kawannya sama sekali tidak berubah. Sementara Asano? Ia tampak gelisah—ametisnya mengerjap cepat, sudut pipinya merona dan ia menggigit bibir bawahnya.

"Jangan dibahas lagi, kenapa. Mau tak mau aku jadi merasa bersalah, tahu."

"Iya, iya." Koyama masih terkikik geli, memamerkan giginya yang tak beraturan. "Tapi rasanya ajaib, ya. Pasalnya virtuoso kecuali aku semuanya tergila-gila padamu, Asano. Sakakibara, Seo, Araki, ketiganya sukses dimabuk asmara. The power of charisma, ya."

"Koyama Natsuhiko, kubilang diam."

"Tapi yang boleh memilikimu hanya seorang, lho. Jangan rakus, wahai tuan pencuri hati."

"Koyama! Duuuuh!" Mulai diliputi sebal dan malu, Asano mati-matian mengejar pria berdagu belah itu dengan wajah merah padam, berusaha memberinya pelajaran dengan sebuah bogeman... Err, ringan? Sementara kedua pihak yang terabaikan menunduk, menyembunyikan tampang. Entah mengapa pernyataan terang-terangan Koyama memiliki efek dua kali lipat.

"Lagian, kalian juga... Memangnya apa yang menjadi daya tarikku, sih?"

"Bagaimana kalau tanyakan ke Ren-mu tersayang? Nah, silakan jawab, tuan pujangga kesayangan."

"KOYAMA!"

Kedua sosok berkacamata di hadapannya tergelak. Kangen sekali rasanya sensasi menggoda Asano seperti ini. Karena sang ketua virtuoso hanya rela mencopot topeng jaimnya di depan mereka. Dan Demi Tuhan, romannya ketika terusik sungguh suatu pemandangan.

"Ngomong-ngomong soal semuanya... Seo mana?" Tak menemukan mantan saingan cinta-nya di manapun, Sakakibara mencoba bertanya. Araki menaikturunkan bahu, entah tidak tahu—atau malah tidak peduli.

"Amerika. Tidak sempat mampir ke sini dulu. Persiapan, begitulah."

"H-hoo... Orang itu mendadak saja jadi sigap sekali, ya. Sewaktu masih SMA aku tidak dapat membayangkannya seperti itu. Syukurlah ia sedikit demi sedikit menjadi dewasa. Aku tidak perlu khawatir lagi sekarang."

"Yah... Saat ini hal yang harus diurusnya melimpah, 'kan. Kalau tidak sigap, pasti kewalahan."

Asano menggigit bibir.

.

.

"Yaaaah, sudah tahun baru saja, ya! Makin tua, makin tua."

"Araki, jangan berlagak seperti kakek-kakek. Bisa-bisa umurmu dipercepat." ujar Asano, kemudian meneguk segelas sake dalam genggaman. Sakakibara tertawa kecil, sempat saja pemuda manis itu bergurau. Gurauan yang sedikit menegakkan bulu kuduk. Terdengar serius juga mengancam.

"Apa sih, Asano. Kalau perbandingan yang lebih tua tuh ya, justru kau, 'kan! Tidak lama lagi juga ganti nama keluarga. Setelah itu punya momongan, jadi kakek peot, end." Sewot, Araki membalas dengan ketus. Sontak lawannya memanas bak panci dalam tungku.

"Hidupku bukan urusanmu."

"Sudah sudah, kalian berdua. Bukan saatnya membahas itu, ya 'kan, Asano?" Sakakibara berinisiatif menengahi. Kedip dilempar, sebagai isyarat agar kekasihnya tak berbuat lebih jauh. Gawat kalau rumah Araki mendadak beralihfungsi menjadi ring tinju, dengan Araki sebagai tuan rumah dan Asano sebagai away.

"Ck."

"Tapi nih ya, Sakakibara." Koyama—yang ketiganya kira sudah tumbang lebih dahulu karena pengaruh kuat sake, menyusup dalam pembicaraan. "Kau bilang sih bukan saatnya membahas topik itu, tapi kita harus memberi selamat pada Asano, bukan? Kishishishi."

Kemarahan melebur menjadi getaran hebat.

"Benar juga. Lagipula kemarin ulang tahunnya." timpal Araki. Ia dan Koyama saling bertukar pandang, lalu mengangguk. Keduanya melipat tangan di permukaan meja, kemudian mengulas senyum lebar.

"Selamat ulang tahun, Asano."

Masih dalam mode gugup, yang diberi selamat mengerjap cepat kemudian mengangguk pelan. "Te-terima kasih, kalian berdua."

"Yang kedua, kudengar kau sudah memutuskan untuk melanjutkan di Harvard, 'kan? Kami kagum, lho. Kau memang sesuatu." ujar Koyama sembari menepuk-nepuk punggung sang strawberry blonde. "Kau pasti akan sukses juga di sana, aku yakin. Kishishi."

Asano mendengus, membalas senyum Koyama sepenuh hati. "Kalau kau yang mendoakan, kurasa akan terkabul, Koyama. Awalnya karena harus menuruti ayahku yang memaksa, tapi... Aku akan berjuang."

"Itu baru pemimpin kami yang hebat."

"Kau tahu, Asano? Kau mengeluarkan terlalu banyak pengumuman dalam waktu singkat. Terlalu bertubi-tubi, kaget kami jadi tidak reda-reda." Araki menghela napas, kembali mengisi gelas dengan sake. "Apalagi yang terakhir. Sama sekali tidak terduga."

Asano tersentak. Mendadak tubuhnya kembali bergetar hebat. Bibir tipisnya gemetar, sorotnya gelisah. Telapak kanannya menggenggam tangan kekasihnya begitu erat, seakan tidak rela melepaskannya sampai kapanpun.

Tidak, dia memang tidak rela melepaskan tangan Ren lagi.

.

.

.

"...Selamat atas pertunanganmu dengan Seo."

.

.

.

Ya Tuhan,

Mengapa... Jadi begini?


.

.

.

.

.

END?

Or... Will we continue?


a/n

selamat pagi buta! selamat tahun baru 2016, semuanya! selamat ulang tahun, gakushuu! *tebarconfetti* akhirnya hadiah ultah (1/2) dipublish juga, yaaay! maso sampe detik-detik terakhir, dan voila!

Umm... Ini intinya tentang kenangan mereka aja sih. Maaf kalau jadi terasa acak atau kecepetan juga www. ngetiknya juga lumayan ngebut sih, karena pergi keluar pas liburan itu... menyakitkan (?) DAN HAHAHA ENDINGNYA MASIH PANJANG LHO SEBENERNYA. TAPI TERSERAH YANG BACA MAU KELARIN SAMPE SINI ATAU NGGAK. TERGANTUNG MASO ATAU TIDAKNYA DIRIMU (?) jadi dua chap juga karena jari ini tak kuat maso dan hampir almarhum huhu. Mau bobok ini mau bobooook :'''(((

INTINYA SELAMAT ULANG TAHUN BUAT DEDEK TERSAYANG ASANO GAKUSHUU, SEMOGA DIRIMU MAKIN SUKSES, DISAYANG SEMUA ORANG UMUMUMUMU :* /jyjyq/ cintaku selalu bersamamu~

Lastly, review sangatlah diterima! ^^)

kiyoha, yang masih maso