"Aku mau tahu."

Pria bercodet pada wajah itu, melangkah meninggalkan anggota grupnya. Dia berjalan ke tepi jalan setapak di mana hanya ditumbuhi satu pohon sejauh mata mereka memandang. Di sekitarnya hanya terbentang dataran rumput yang sepi, dengan jalan sejalur membentang jauh bermil-mil ke depan sana. Pria itu berjongkok, dan memperhatikan satu tangkai bunga di tepian jalan. "...Aku sangat penasaran sekali." lanjut ujarnya, berbisik.

"...Uh, kali ini apa lagi?" keluh kucing terbang dari atas kepala seorang gadis berambut hitam sepunggung. "Aku tidak habis pikir pada pria itu. Sedikit sedikit penasaran. Sedikit sedikit jadi tambah penasaran. Kepalaku malah jadi sakit sendiri Wendy. Kalau begini kapan selesainya misi membosankan ini?"

"Charle, jangan begitu." jawab si gadis manis, mengarahkan kedua bola mata ebony-nya ke atas. "Aku juga penasaran, apa yang ditemukan Mest-san di sana..."

Si gadis berjalan ke arah pria berambut cepak pendek di pinggir jalan, tidak mendengarkan comelan si kucing betina.

"Apa itu, Mest-san?" imbau tanya si gadis kecil, membungkukkan sedikit tubuhnya; melirik ke balik tubuh si pria yang sedang berjongkok tersebut. "...Waah, bukankah itu Breezing Camelia?" ujar si gadis penuh rasa takjub. Matanya berbinar-binar begitu bersinar, seperti baru saja menemukan peninggalan bersejarah jutaan tahun yang sangat bernilai tinggi.

Si pria membalikkan wajahnya kepada gadis kecil di sampingnya. "...Dewi langit... tahu bunga ini?"

Wendy mengangguk riang—riang sekali. Dengan semangat anak kecilnya saat ketika menemukan sesuatu yang baru, gadis 'peri' nan mungil itu melangkah; ikut berjongkok di sebelah si pria. "Sudah sedari dulu aku ingin melihat Breezing Camelia—bunga yang sangat, sangat, sangaaaat langka." seru Wendy, tertawa riang—begitu girang.

"Waah, aku tidak mengira bunga itu ada di sini, Wendy...?" sahut si kucing betina.

"Ehehehe, iya. Untung saja Mest-san begitu ingin tahu tadi, ya? Kalau tidak, pasti sudah luput dari pandangan kita." Wendy mungil mengalihkan pandangannya pada pria dewasa di sebelahnya. "Arigatou, Mest-san!"

Mest, dibanding merespon rasa gembira Wendy, dia malah terdiam—tanpa ekspresi menatap senyum riang yang tiada tara tersebut. Pria itu lalu kembali memandang bunga langka di hadapan mereka bertiga itu. "...Aku ingat-ingat kembali, berdasarkan kamus besar tumbuhan-tumbuhan dunia sihir, Breezing Camelia adalah bunga yang tidak akan mati selama masih ada hembusan angin yang meniupnya..."

"Mest-san tahu banyak, ya?" sahut Wendy, masih belum melepas cengiran polos berkilaunya. Mest menggeleng pelan, dan mencabut bunga tersebut.

"Ah, oi! Kenapa kau cabut bunga langka itu?" tanya Charle, sedikit emosi.

"...Dewi langit..." gumam Mest. Dia kemudian menyibakkan rambut samping Wendy, dan menyelipkan bunga berwarna biru angkasa tersebut pada telinga kanan si gadis kecil. "...Cocok sekali. Begitu cantik."

Wendy terdiam. Wajahnya menghangat dan merona. "...I-ini untukku, Mest-san?"

"Bunga itu tidak akan pernah mati—ia akan menjadi abadi, jika bersamamu." Kali ini pria itu tersenyum—sebuah senyuman yang murni. "...Tak ada yang lebih baik selain 'langit biru' nan cerah terpasang pada setiap bagian tubuhmu, Dewi langit."

Wendy memicingkan kedua matanya, tersenyum begitu bahagia dengan kedua pipi yang merona membalas tatapan lembut si pria.

|FIN|

Fairy TaiL, Wendy, Mest, and Charle © Hiro Mashima

Author & Writer: Shimacrow Holmes.

Omake:

"U-uwoo, aku penasaran!" teriak si pria, berlari ke setumpukan batu di pinggir sungai.

"Sudah cukup, itu cuma batu kali biasa, bodoh!" seru Charle, semakin gerah dengan kelakuan si pria bercodet yang aneh itu. Wendy hanya bisa tertawa geli, melihat kelakuan yang menurutnya lucu pria dewasa tersebut.


Halo, aku baru di sini. Makasih udah mau baca entry pertamaku di fandom ini. Aku sangat berharap akan review2 dari kalian semua.

See u again ;D