Welcome to the Black Flower Cafe
Disclaimer : Riichiro Inagaki dan Yuusuke Murata, namun saya tegaskan sekali lagi kalau Kakei itu masih suami saya dan uke Mizumachi XD
Summary : Selamat datang di Kuroihana Cafe! Disini menyediakan berbagai macam cake, kopi, teh, parfait, dan pelayan-pelayan yang imut dan tampan. Tapi jika anda cukup berani untuk menemui sang owner, maka tentu saja ia akan menawarkan servis spesial untuk anda. AU, yaoi, multiple pairing. RnR please.
Chapter Satu – Love Can Do Anything, Murder Include. Part I
*
Sena berlari-lari kecil melewati trotoar yang cukup ramai lalu lalang orang siang itu. Keringat meleleh menuruni wajahnya dan jatuh dari dagunya. Tas sekolah yang dibawanya berayun-ayun ringan di lengannya kurusnya yang terbalut jas hijau tua khas SMA Deimon. Napasnya keluar masuk dari hidung dengan teratur dan cepat. Ia masih menyebrang, melewati dua tikungan, dan beberapa ruas jalan sebelum akhirnya ia membelok dan sampai di sebuah kompleks pertokoan yang ramai.
Sena menarik napas. Ia mulai berjalan dengan mantap, membelah keramaian yang seakan tidak peduli pada anak bertubuh sekecil Sena. Beberapa saat kemudian pemuda berambut coklat itu berhenti di depan sebuah bangunan yang agak menjorok ke dalam. Bangunan itu diapit oleh sebuah butik dan toko bunga, lengkap dengan area teras terbuka berbatu alam sebagai lantainya. Di depan bangunan itu beberapa meja bundar dan kursi bernuansa jaman Renaisans diletakkan. Sebuah kap penutup yang terbuat dari jalinan logam menanungi area tadi, dirambati oleh tanaman yang berbunga putih kecil dan berdaun melebar. Bangunan itu sendiri bermenara tinggi, bercat biru muda cenderung putih, dengan ornamen-ornamen ukiran dan patung yang juga khas Renaisans. Dua buah jendela lebar berframe ukir ala eropa menghiasi bagian depan bangunan itu, mengapit sebuah pintu lebar yang terbuat dari kayu berat yang dilengkapi dengan ketukan logam. Tema bangunan itu begitu menarik perhatian dan senada, hanya dirusak oleh plang nama logam perak besar di atas pintu itu dengan tulisan kanji Jepang, Kuroihana. Nama 'Black Flower Cafe' yang berukuran lebih kecil melengkapi plang itu agar orang-orang bisa mengenalinya sebagai sebuah cafe.
Sena melangkah melewati beberapa meja bundar di depan bangunan itu. Beberapa kelompok orang yang sedang menikmati makanan di cafe itu memanggil namanya dan tersenyum padanya. Sedangkan beberapa gadis ber 'kyaa' pelan begitu melihat cowok imut itu. Sena hanya balas tersenyum dan mengucapkan selamat siang. Ia sudah hampir terlambat bekerja.
Dibukanya pintu kayu besar itu, dan sebelum semua orang di dalam dapat melihatnya ia bergegas menuju ruang karyawan di samping kiri. Beberapa pot tanaman diletakkan di sana, jadi ia bisa menyembunyikan tubuh mungilnya dan masuk tanpa terlihat Shin yang menjaga di meja penerima tamu. Ia membuka pintu ruang karyawan perlahan-lahan sambil menoleh ke belakang, takut ada yang memergokinya masuk diam-diam. Namun begitu pintu terbuka, sebuah suara berat menyambutnya.
"Fuu, terlambat lagi Sena kun?", ujar sebuah suara bariton (1) milik seseorang yang sudah bisa dikenali dari kata pertamanya. Sena nyaris melompat saking terkejutnya.
"Yikes! A-Akaba san!", jeritnya kaget.
Ternyata di ruangan karyawan yang sebenarnya cukup luas namun penuh dijejali loker itu, seorang pemuda berambut, mata, dan kacamata merah telah menunggunya. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana panjang kain hitam yang merupakan seragam dasar para waiter di cafe itu, namun kancing kemejanya dibuka sampai ke dada, dan seuntai kalung berbandul ruby menggantung di lehernya. Selain kalung itu, ia hanya mengenakan aksesoris selembar apron merah polos. Pemuda itu berkacak pinggang, namun tetap saja tangan kirinya memegang gitar kesayangannya.
"Ma-maaf Akaba san! Tadi aku dihukum mengerjakan soal-soal oleh guruku karena ketiduran di kelas. Tolong, jangan pecat aku Akaba san...", pinta Sena, nyaris merintih menyesal. Akaba menghela napas panjang sambil mengurut-urut bodi gitar merahnya itu sebagai ganti mengurut-urut dahi.
"Ya?", tanya Sena lagi. Akaba menatap mata coklat inosen itu dan menghela napas sekali lagi.
"Fuu, baiklah. Aku tahu ritme kita berdua berbeda, tapi lain kali tolong jangan terlambat lagi, atau kau akan mengacaukan irama cafe yang sudah terbentuk dengan sempurna ini", tukas Akaba tegas. Meski tidak mengerti apa sebenarnya maksud kepala pelayan otaku gitar itu, Sena tetap saja bersorak pelan, mengucapkan terima kasih beberapa kali dan bergegas menuju lokernya. Akabapun meletakkan gitar kesayangannya pada 'tahta' dalam lokernya dan beranjak keluar, menuju ruang penyiapan makanan.
"Gantinya yang cepat ya. Para pelanggan sudah menunggu", ujarnya memperingatkan. Sena mengangguk cepat dan mulai berganti baju.
Setelah selesai mengganti bajunya dengan kemeja putih lengan panjang yang lengannya digulung hingga ke siku, celana panjang kain berwarna hitam, dan juga apron putih polos selutut tanpa renda, Sena buru-buru mengikuti Akaba ke ruang penyiapan makanan. Dan begitu keluar, ia melihat Riku dan Sakuraba terburu-buru setengah berlari ke arah yang berlawanan. Riku menuju cafe dengan senampan parfait crepes dan blueberry, sedangkan Sakuraba membawa setumpuk piring dan gelas kotor menuju ruang cuci. Sena mendesah, oh, betapa hari yang sama sibuknya dengan weekend.
Tiba-tiba Kakei lewat dengan baki berisi dua potong lemon cheese cake di depan Sena. Namun begitu melihat Sena ia berhenti dan menegur anak itu.
"Sena? Cepat kau ke belakang. Sedang ada pesanan teh massal untuk meja 10. Bantu saja Mizumachi", perintah cowok setinggi 2 meter lebih itu pada Sena. Sena mengiyakan dan langsung menuju bagian dapur tempat dimana Mizumachi bekerja, namun tepat di etalase cake, seorang gadis cantik berambut coklat dan bermata biru mencegatnya.
"Sena chan! Lihat itu kerahmu masih terangkat sedikit!", tegur gadis yang memakai baju maid bergaya gothic yang penuh dengan renda dan pita itu.
"E-eh, masa iya sih, Mamori neesan?", tukas Sena seraya meraba-raba kerah kemejanya dan berusaha merapikannya, namun tangan lembut Mamori sudah keburu meraihnya dan membtulkan bagian yang berdiri. Setelah itu ditepuk-tepuknya bahu Sena.
"Nah, beres. Seorang waiter harus selalu terlihat rapi, kau tahu?", ujar Mamori tegas. Sena tersenyum ceria.
"Iya, Mamo nee, terima kasih. Selalu saja aku merepotkan Mamo nee", jawab Sena. Mamori membalas senyumannya.
"Tidak apa. Itulah guna seorang saudara. Sudah sana. Kembali ke tugasmu!", perintah Mamori sambil menepuk lembut punggung Sena. Sena kembali berjalan menuju tempat Mizumachi sambil melambaikan tangan. Mamori memang bukan saudara kandung Sena, namun Sena sudah menganggapnya seperti kakak sendiri, seperti Mamori menganggap dirinya adik.
"Mizumachin?", sapa Sena begitu ia melihat cowok tinggi pirang itu sedang sibuk menuangkan cairan merah tua berbau harum khas teh ke cangkir-cangkir porselen. Mizumachi menoleh dan langsung menebarkan senyum senang.
"Ah! Sena chan! Sini sini! Tolong bawakan ini ke meja 10 ya? Cookiesnya kamu ambil saja di tempatnya Marco", pinta Mizumachi. Menyerahkan nampan berisi enam cangkir teh beraroma rempah itu pada Sena. Setelah itu Mizumachi langsung melihat pesanan berikutnya dan mengeluarkan tiga buah gelas tinggi dari lemari untuk parfait. Namun Sena belum beranjak pergi, sehingga mau tak mau Mizumachi juga menghentikan pekerjaannya sejenak dan bertanya.
"Ada apa Sena chan? Berat?", tanya Mizumachi.
"Ah, ng, bukan. Hari ini... belum ada yang datang menemui Hiruma san ya?", Sena bertanya balik. Mizumachi memejamkan mata dan menggeleng.
"Belum kok, Sena chan. Belum. Tenang saja. Kerjakan saja dulu pekerjaanmu itu", ujar Mizumachi. Sena menghela napas lega, ia lalu mengambil Cookies di meja sang Patissier, dan mengantarkan pesanan itu ke meja 10.
*
Seperti itulah gambaran kesibukan sore hari di sebuah cafe yang terletak di kawasan perbelanjaan ramai tengah kota. Cafe yang memiliki nama Kuroihana atau Black Flower itu mengutamakan rasa hidangan mereka, pelayanan spesial untuk tiap orang, dan tentu saja senjata utama mereka, pegawai-pegawai yang memiliki skill, good-looking dan menarik perhatian. Pegawai-pegawai ini dipilih dan direkrut oleh sang pemilik, Youichi Hiruma atas standar kriteria tertentu.
Di garis depan, alias waiter dan waitress, kita sebut saja nama Sena Kobayakawa dan Riku Kaitani di divisi imut. Lalu ada Suzuna Taki dan Mamori Anezaki di divisi cantik. Dan sisanya, Haruto Sakuraba dan Shun Kakei di divisi tampan. Hayato Akaba sendiri menjabat sebagai kepala para waiter dan waitress ini, jadi dia tidak dimasukkan ke dalam divisi manapun. Oh, juga ada Seijuurou Shin yang ditugaskan menjadi penerima tamu, karena melihat kekuatan tubuhnya yang tidak main-main itu ia memang tidak bisa disentuhkan dengan perkakas dapur dan alat-alat makan.
Kita beralih menilik dapur. Di sini ada lima orang yang bertugas. Yang pertama Yamato Takeru sebagai kepala chef. Ia yang bertugas memimpin dapur dan bertanggung jawab atas semua perbuatan dan rasa masakan anak buahnya. Yang kedua adalah patissier andalan cafe ini, Reiji Marco, karena cake-cake kreasinya yang melejitkan nama Kuroihana Cafe ke seantero kota, bahkan seluruh Jepang. Lalu ada Kengou Mizumachi sebagai asisten Marco yang bertugas mengurusi dessert dan minuman-minuman yang akan disajikan. Dan orang terakhir di divisi koki, Kazuki Juumonji yang bertugas memasak makanan utama yang cukup berat, seperti nasi kari, meskipun spesialisasinya ada pada masakan barat, seperti Chicken Cordon Bleu atau Spaggheti Bolognaise. Orang terakhir yang memiliki area kerja di dapur, meski tidak terlalu penting tapi tetap harus disebut, Sasaki Koutarou, si tukang cuci maniak sisir yang hobi teriak 'nggak smart!' kalau cuciannya sudah menumpuk.
Pegawai terakhir di cafe ini adalah Ichiro Takami, seorang pria jenius yang bekerja di balik meja sebagai akuntan dan juga pengurus segala administrasi dan tetek bengek urusan cafe.
Namun mengingat pemilik cafe ini adalah Youichi Hiruma, apakah cafe ini akan menjadi cafe yang biasa saja? Hmm, sepertinya tidak.
*
Pukul enam sore. Gelap sudah hampir merengkuh seluruh langit, kecuali langit barat yang masih meninggalkan goresan-goresan jingga romantis bagi orang-orang yang menyadari dan menikmatinya. Namun tidak bagi para staf cafe Kuroihana, saat itulah pekerjaan mereka yang sesungguhnya dimulai.
Sakuraba merenggangkan tubuhnya, mengabaikan lirikan dan bisikan memuja para pelanggan yang terdengar, dan kembali membersihkan meja bundar yang ada di luar bangunan cafe dengan lap kain dan spray air. Sebenarnya ia sudah cukup capek dengan profesi sebelumnya, seorang model, tapi karena Hiruma lah ia menyanggupkan dan menguatkan diri untuk bekerja di cafe ini.
Ya, semua hal di cafe ini terjadi karena Hiruma. Tidak ada sebab lain.
Dalam letihnya, cowok berambut coklat itu menyempatkan diri untuk mengerling ke jendela kaca sebelah kanan. Di balik jendela kaca itulah Shin berdiri, menunduk, melihat buku catatan ketersediaan tempat di mejanya. Gordyn sutra putih dengan ornamen sulur-sulur tanaman biru tua yang tersingkap dan juga jendela indah itu membingkai profil Shin yang tegap dan kekar, dalam balutan seragam cafe, hanya apron digantikan jas hitam dan dasi biru tua. Sinar lampu putih yang menyorot Shin dari belakang menambah kesan pemandangan 'surga' bagi mata Sakuraba.
Tiba-tiba Shin menyadari tatapan Sakuraba dari luar jendela dan Shin balas menatapnya dan melambaikan tangan. Tidak ada senyuman. Bibir Shin tidak pernah terlihat tersenyum. Namun Sakuraba bisa membaca senyuman Shin dari matanya. Sakuraba balas melambaikan kain lapnya.
Saat Sakuraba hendak kembali mengerjakan tugasnya. Sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depan cafe itu dengan suara rem yang keras. Sakuraba memaki tanpa sadar, kenapa mobil mewah seperti itu minyak remnya kurang sih?!
Namun begitu pintu mobil itu terbuka dan penumpangnya turun, Sakuraba tertegun. Firasatnya mengatakan malam ini ia akan bekerja lembur.
Sesosok gadis ramping, tinggi semampai berjalan dengan tergesa-gesa melewati teras terbuka yang indah itu. Rambutnya yang pirang halus sepunggung dikepang dan tubuh putihnya hanya dibalut gaun merah tanpa lengan berbelahan dada rendah. Semua orang yang melihatnya pasti akan mengatakan satu kata : cantik. Namun kecuali itu, ada satu hal yang membuat perhatian semua orang tertuju padanya. Ia menangis dengan suara tersedu-sedan yang cukup keras, dengan sapu tangan rose yang ia gunakan untuk menutupi wajah yang mungkin luntur make upnya.
Sepatu hak tingginya beradu dengan lantai pualam ketika wanita itu membuka pintu cafe dan langsung berteriak.
"Pertemukan aku dengan Owner dari neraka!", serunya mantap, dengan air mata yang masih mengalir deras di wajah cantik tanpa nodanya. Ternyata make up nya waterproof.
Wajah wanita itu memancarkan kemarahan, kebencian, sekaligus kesedihan dan tekad kuat. Pelanggan-pelanggan yang ada memalingkan wajah penuh tanda tanya mereka ke arah wanita itu, namun Shin keburu menggamit dan menariknya ke ruangan kosong di sebelah meja penerimaan tamu.
"Maaf nona. Tolong jangan bicarakan hal itu di depan tamu kami yang lain", tegur Shin dengan sopan. Yah, aib cafe hampir terbongkar karenanya. Wanita itu mengangguk, namun air matanya tumpah semakin deras. Shin mengambil sapu tangan putih dari saku jasnya dan menyerahkannya pada wanita itu yang mengambilnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Saya akan membawa nona menemui orang yang nona cari. Nona yakin sanggup membayar biaya yang akan dibebankan pada nona oleh owner? Nona sudah tahu kan reputasi owner cafe kami dalam dunia hitam?", tanya Shin, berusaha meyakinkan wanita itu jika ia tidak siap, lebih baik ia segera balik badan dan pulang. Namun wanita itu hanya mengangguk-angguk lagi, penuh keputus asaan. Shin menyerah.
"Baiklah, tolong ikuti saya", ujar Shin. Ia lalu beranjak dan membuka sebuah pintu dan masuk ke dalamnya. Pintu itu tidak kembali menuju ruangan cafe, namun menyusuri sebuah koridor temaram yang penuh digantungi lukisan-lukisan terkenal dari abad pertengahan dari berbagai aliran. Karpet panjang berwarna merah berbordir emas mengalasi koridor itu dan membuatnya tampak mewah. Di ujung koridor itu terdapat sebuah pintu lagi. Wanita itu mengikuti Shin masuk. Ternyata koridor itu berakhir di ruang penyimpanan makanan. Rak-rak stainless steel berdiri memenuhi ruangan itu. Berbagai macam bahan makanan dan peralatan masak disimpan di ruangan itu. Dan di ujung lain ruangan penyimpanan makanan itu terdapat sebuah pintu lain, dari logam, yang diliputi hawa dingin.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang menyapa dari balik rak-rak itu.
"Shin san? Loh? Ada klien lagi?", tanya Juumonji. Sebelah tangannya memegang panci dan tangan lainnya lagi menggenggam seonggok daging beku. Shin mengangguk perlahan, hanya dibalas dengan kedikan bahu dari Juumonji yang sudah menghilang lagi pada detik berikutnya.
"Mau kemana kita?", tanya wanita itu. (2)
Shin diam saja. Namun beberapa saat kemudian Shin menghampiri sebuah rak yang penuh berisi buah tropis dan mengangkat nanas yang terletak di ujung. Dan mendadak dari dalam tiang rak itu muncullah sebuah lengan robot penggerak dengan panel datar yang dibawanya. Shin menekan-nekan sesuatu di panel itu, lalu muncullah sebuah sinar biru yang memindai retina matanya. Setelah selesai, tiba-tiba terdengarlah suara 'klik' lembut dari arah dinding keramik. Ternyata sebuah tombol berwarna merah muncul di dinding yang tadinya kosong. Shin menekan tombol itu dan voila! Sebuah pegangan pintu menyembul dari sebuah petak keramik yang menggeser masuk. Shin mendorong pegangan tangan itu ke belakang dan menggesernya ke samping.
Sebuah ruangan gelap tanpa cahaya sama sekali tampak di balik pintu itu.
"Silakan masuk", ujar Shin dengan gesture mempersilakan wanita itu masuk. Sejenak wanita itu ragu, namun beberapa saat kemudian ia melangkahkan kakinya dengan mantap memasuki ruangan itu.
"Tunggu sebentar, owner akan menemui anda", ujar Shin. Lalu ia menutup pintu itu dari luar. Wanita itu memekik terkejut karena begitu saja ditinggalkan di dalam ruangan yang gelap gulita itu. Refleks ia berbalik dan menggedor pintu yang tadi ditutup oleh Shin. Namun sebelum ia sempat berteriak memanggil bantuan, ruangan itu sudah dipenuhi dengan sinar putih sangat terang yang menyilaukan mata. Wanita itu berbalik seraya mengusap-usap matanya, dan di sanalah ia.
Owner from the hell.
Note
Saya bener-bener buta musik, jadi kalo ada yang tau suaranya Akaba termasuk tenor, bariton, bas, fals, atau sumbang (ga mungkin sopran ya?), kasih tau ya. Siapa tau saya salah DX
Sumpah, pertanyaan 'mau kemana kita?' itu membuatku jadi serasa Dora banget deh -_-a pingin rasanya jawab 'mau ke mall!! XDDD~'
(a/n note : Hmm... bisa dibilang idenya juga agak colongan dari Weiss Kreus XD tapi ide dasarnya sih dari duo teroris yang ngebom JW Mariott, Ibrohim sama Nana *Nana chan jangan geer ya XD*, nah ada liputan di TV yang bilang kalo mereka itu dulunya juga kerja jadi florist. Langsung dapet ide bikin cerita ini, dan setelah itu baru keingetan Weiss. Hehehe. Semoga kalian enjoy ya ^^)
