"Aku menyukaimu, Tetsuya"

Di sebuah taman, Kuroko mendapat pernyataan cinta dari makhluk yang bergender sama dengan dirinya. Ia menanggapinya dengan wajah datarnya karena sudah tahu dari gerak-gerik orang ini beberapa waktu terakhir. Kuroko tidak terkejut mendengarnya.

Telapak tangannya dibelai oleh telapak tangan yang lain. gestur yang menyatakan kesungguhan terhadap lawan bicaranya. Ia belai dengan lembut seolah tangan Kuroko adalah perhiasan kaca yang mudah retak jika digenggam terlalu erat. Kemudian diakhiri dengan sebuah sentuhan di punggung tangan Kuroko oleh bibir ranum si pengeksekusi cinta.

"Aku juga menyukaimu, Akashi-kun"

Terlukis segaris senyuman lembut di wajah Akashi. Perasaannya sukar untuk di deskripsikan, tapi ia bahagia. Hatinya bagai mengeluarkan sepasang sayap dan membawanya terbang tinggi ke setinggi-tingginya langit di bumi ini.

Kuroko membuka kedua belah bibirnya kembali. Entah kalimat apa yang selanjutnya ia keluarkan.

"Tapi kita tidak akan pernah menjadi sepasang kekasih. Tidak akan pernah. Kita hanya bisa seperti ini saja"

Angin di musim gugur berhembus. Mengiringi kalimat dingin dan sarkas yang diucapkan Kuroko tadi. Juga membantu Kuroko untuk menyampaikan apa yang dirasakan olehnya. Tujuan Kuroko sudah tercapai dan tidak ada alasan untuk menetap di tempat ini.

Meninggalkan Akashi di sana. Bersama dengan sejuta bimbang yang ditinggalkan Kuroko di tempat itu.

Cerulean and Heterochrome by Satsuki Tori

Kuroko no Basuke by Fujimaki Tadatoshi

.

Aku melihat manik cerulean, dan kamu melihat heterokrom. Apa yang kita lihat memang berbeda dan karena itulah aku menyukainya. Tidak percaya? Airmatamu adalah jaminannya.

.

AkaKuro

.

Slight pair and warning in the next chapter

Bokushi? Oreshi? Ini Akashi

Taman Fakultas Sastra Universitas Teiko

Seperti biasa. Kuroko berdiam diri di taman fakultas sastra. Duduk silang di atas rumpt sambil memangku laptop. Jarinya mengetik tuts keyboard dan otaknya berpikir memikirkan kata-kata. Hanya iseng daripada nunggu kelas sambil bengong atau tidur-tiduran di kostan.

Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh. Terlalu dini untuk makan siang. Masih ada waktu tiga puluh menit untuk kelasnya dimulai. Waktu kuliah tidak seindah waktu sekolah. Tunggu-tungguan dosen atau waktu sudah jadi hal biasa. Walau terkadang hasilnya adalah PHP dari dosen.

"Tetsuya"

Makhluk merah crimson ini lagi. Kuroko sudah terbiasa diganggu olehnya walau ia menolak terbiasa dengan orang ini. Tapi mau bagaimana lagi.

Suara tersebut dianggap angin yang berhembus dari timur ke barat oleh Kuroko. Ia menutup laptopnya dan pergi dari tempat tersebut. Diabaikan sudah jadi makanan utama yang diberi olehnya.

"Kenapa?"

"Laptopku lowbat"

Kuroko terus berjalan ke dalam gedung. Ia tidak peduli kalau harus menunggu setengah jam dengan bosan. Daripada di luar dengan makhluk ini.

Tidak ada orang yang tahan dengan diabaikan. Akashi mendorong Kuroko ke dinding dekat gedung fakultas sastra. Menatap tajam Kuroko dengan iris heterokromnya. Kuroko hanya membalasnya dengan wajah datarnya.

"Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Lepas! Aku ada kelas filsafat"

Di kampus manapun, biasanya fakultas sastra adalah fakultas yang paling sepi karena jarang peminat. Siapa juga yang mau menggadaikan waktu selama empat tahun hanya untuk mempelajari karya-karya orang lain dengan jaminan sulit mencari pekerjaan. Menghasilkan karya tidak harus mahasiswa sastra.

Tidak ada alasan untuk orang jatuh cinta kepada siapa pun. Tapi apa kalimat yang diucapkan Kuroko memang kenyataan. Fakta akan merubah segalanya.

.

.

.

Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Teiko

Mudah menemukan hawa tipis keberadaan Kuroko bagi Akashi. Kapanpun dan dimanapun, ia selalu berhasil menemukan Kuroko.

Akashi sadar betul tempat. Ini adalah perpustakaan. Tempat dimana mahasiswa malas mendadak jadi rajin ketika semester akhir. Hanya Kuroko, anak semester lima yang dari semester satu menghabiskan waktu di sini. Selebihnya adalah anak semester akhir yang mencari refrensi untuk scriptshit (skripsi) mereka.

Ia tidak berniat mengganggu. Hanya memerhatikan Kuroko saja, tidak ada yang salah. Tapi tetap saja Kuroko terganggu jika ada Akashi di dalamnya.

"Sajak kuno kah? Memangnya kamu bisa membacanya dan paham akan artinya?"

Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku, Kuroko membalas ketidakmampuan Akashi.

"Untuk apa aku belajar sastra kalau membaca kanshibun saja tidak bisa dan tidak paham"

Di fakultas ini, hanya ada lima belas orang mahasiswa sastra Jepang di angkatan Kuroko. Angka itu masih banyak dibandingkan angkatan di atas Kuroko yang kurang daripada itu. Jika di komulatifkan dengan jumlah seluruh perguruan tinggi yang ada di Jepang, kurang dari seribu orang yang bisa membaca kanshibun di Jepang. Orang-orang lebih tertarik dengan sastra asing dibandingkan sastra di negaranya sendiri dan itu berlaku di seluruh dunia.

"Tolong bacakan untukku"

Akashi hanyalah orang yang mengganggu ketenangan kuliahnya dua bulan belakangan ini hingga sekarang bagi Kuroko. Oleh karena itu, ia rela melakukan apapun agar ketenangan kuliahnya dapat terjaga dengan baik. Termasuk membacakan karya zaman jodai ini.

Tanpa pikiran, bunga memikat kupu-kupu;

Tanpa pikiran, kupu-kupu mengunjungi bunga;

Ketika bunga yang mekar, kupu-kupu datang;

Ketika kupu-kupu datang, bunga-bunga mekar;

Meskipun aku adalah orang asing bagi orang - orang di sekitarku, dan mereka adalah orang asing bagiku,

Tapi, kita semua diam-diam terikat.

"Bagimu sastra pastilah membosankan"

Kuroko berhenti membacakannya dan kalimat terakhirnya merupakan alasan menghentikan kegiatannya.

"Memang. Aku hanya ingin mendengar suara lembutmu saja"

Akashi terlalu jujur. Itu tidak salah, namun mendengarnya membuat Kuroko muak.

"Kembalilah ke fakultasmu. Memangnya kamu tidak ada kuliah?"

"Kamu perhatian sekali. Ini baru jam 11. Kelasku mulai jam satu"

Kuroko berniat meninggalkan tempat tersebut. Ia berdiri dari tempat duduknya namun Akashi menariknya agar ia tetap berada di tempatnya.

Entah sudah berapa kali Akashi menghadiahi Kuroko dengan tatapan tajam manik heterokromnya. Bukan karena ia benci, justru agar iris cerulean Kuroko memerhatikan iris heterokrom Akashi.

"Aku menyukaimu, Tetsuya"

Tatapan itu lagi. Kuroko benci itu. Tapi ia menyukai manik yang menatapnya itu. Kedua tangannya mengelus pipi tirus Akashi dan membalas tatapan Akashi dengan tatapan sendu.

"Kau sudah bilang ratusan kali, Akashi-kun"

"Bukankah kamu juga menyukaiku?"

Akashi menatap Kuroko semakin dalam. Ia benci kalau Kuroko menganggap perasaannya dianggap main-main. Perlukah alasan untuk seseorang jatuh cinta? Akashi adalah penganut cinta pada pandangan pertama. Ia yakin akan hal itu.

Kedua lengan Akashi melingkar di pinggang Kuroko. Menikmati jarak dekat yang sebelumnya tidak pernah rasakan sebelumnya dengan Kuroko. Kali pertama mereka sedekat ini adalah sekarang.

"Iya tapi bukan itu masalahnya. Kamu tidak mengerti, dan kamu tidak tahu apa-apa tentangku"

Jarak yang semakin dihilangkan oleh Akashi harus pupus karena penolakan Kuroko. Sebelah lengan Kuroko mendorong pelan dada Akashi. Walau hanya menyentuhnya sebentar, Kuroko dapat merasakan detak jantung Akashi. Degupan yang membuat Kuroko menaikan degup jantungnya tanpa ia sadari.

"Karena itu, kamu harus memberitahunya padaku"

Iris cerulean itu menatap tajam iris heterochrome. Seolah menantang lawannya dalam bermain asmara dengannya. Untuk pertama kali, ia menampilkan wajah selain wajah datar dan sarkas.

"Memangnya apa yang kau tahu tentangku? Sebut saja semuanya"

Senyuman yang ditampilkan Akashi adalah seringaian. Seolah ia dapat menjawab dengan mudah tantangan dari orang yang membuatnya terjerat dalam perangkap yang bernama cinta.

"Kuroko Tetsuya. Laki-laki. Umurmu 20 tahun. Jurusan sastra Jepang Universitas Teiko. Minuman favoritmu vanilla milkshake. Kamu tergila-gila dengan sastra dan kamu cukup pendiam. Tapi wajar saja karena kamu itu kudere. Lalu, malaikat yang mencuri hatiku"

"Jadi aku seperti itu di matamu? Kau salah"

Kuroko memutus pandangan cerulean dan heterocrome. Ia menatap ke lain arah. Dari sudut matanya, Akashi dapat menangkap pandangan Kuroko yang berubah menjadi sendu.

"Beritahu aku apa yang salah"

Akashi memaksa untuk menghubungkan kembali iris cerulean dan heterochrome. Pandangannya tajam. Kedua lengannya yang maskulin juga bergerak untuk memaksa agar wajahnya berhadapan dengan wajah Akashi.

"Aku bukanlah seorang laki-laki. Maaf mengecewakanmu tapi aku menghargai orientasi seksualmu yang dianggap tabu"

Keinginan Kuroko untuk lepas dari cengkraman Akashi tidak terwujud dengan mudah. Kuroko tidak menyerah, ia punya cukup tenaga untuk melawan Akashi. Namun itu tidak akan pernah terwujud karena Akashi yang memaksa untuk semakin mendekatkan jarak mereka.

Hingga akhirnya tiada jarak yang memisahkan mereka. Akashi mengeliminasi jarak seluruhnya dari mulai bawah hingga atas. Sepasang kaki yang mengurung sepasang kaki yang lebih kecil dan pendek dari Akashi. Sebelah lengan yang membelenggu sepasang lengan Kuroko. Jantung mereka yang hanya terpisah oleh dua lapisan kulit dari dua sejoli ini. Serta wajah yang terbingkai oleh sebelah lengan Akashi di dagu Kuroko dan diikat oleh dua bibir yang bersatu.

Permintaan maaf Kuroko hanya dibalas dengan itu oleh Akashi. Tidak ada kata, biarlah gestur yang menjelaskan semua. Walau gestur dan hati mereka melawan apa yang diperintahkan oleh otak mereka.

TBC

AN: Helloooo~ author ababil bikin cerita baru lagi xD

Padahal epilog di FF sebelah belum beres, malah ngebet posting ini FF. Terus katanya mau hiatus, eh malah bikin FF multi-chapter kayak begini xD

Eh kok rate M sih? Biar aman karena rata-rata author itu suka khilaf di tengah-tengah. Tau-tau malah bikin lemon. Author mah gitu orangnya :v

Trus kalo yang masih bingung sama ini jalan ceritanya gimana, semuanya bakal terjawab di chapter depan. Makanya follow atau favoritenya dong biar next chapter ada notifnya xD

Review, follow, atau favoritenya minna-san :3