Hai hai..! saya datang lagi~~ ohohohohohohoho XDD

Semoga peruntungan saya didunia per-fanfic-an(?)pada tahun kelinci emas ini menjadi lebih baik. Amin! ^^

Disclaimer: Toboso Yana-sensei desu. ^^


Semburat mentari pagi itu tak lantas membuat seorang pemuda yang tengah tertidur itu terjaga dari lelap mimpinya. Sesekali ia menggeliat dan saat sinar mentari mulai terkena wajahnya, ia membuka matanya perlahan meski dengan cepat ia katupkan lagi karena sinar matahari yang menyilaukan. Ia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi matahari dan terduduk. Butuh beberapa menit untuknya agar benar-benar tersadar dari kantuk yang menggelayut di matanya dan kemudian ia menggosok mata kanannya perlahan sambil memperhatikan sekitar. Lalu tangannya menggapai meja di dekat ranjangnya untuk mengambil kacamatanya lalu ia kenakan. Kamarnya telah cukup terang akan sinar mentari dan ia lalu menunduk dengan sedikit menguap, lalu ia seperti tersadar akan sesutatu. Piyama tidurnya. Piyama merah jambu pemberian rekannya saat natal ia pakai meski dengan enggan, karena ia tahu bahwa itu adalah hadiah lelucon dari teman-temannya. Karena ia kehabisan piyama, maka mau tak mau ia memakainya. Bisa mati karena malu dia jika salah seorang temannya melihatnya dengan penampilan seperti itu. Terlebih satu rekannya itu. Yang ia heran dari dirinya ialah mengapa ia mau memakai piyama dan juga topi kerucut pasangan dari piyama itu. Sungguh ia ingin tahu. Tapi apa daya, dirinya dengan reflek mengenakannya sesaat sebelum ia tidur. Setelah ia cukup memiliki kesadaran, ia turun dari ranjangnya dan mengenakan slipper yang berada di bawah ranjangnya lalu berjalan untuk membuka korden jendela kamarnya.

Pagi yang indah.

Kemudian ia dikejutkan oleh ketukan dari pintu kamarnya. Ia lalu berjalan menuju pintu kamarnya dan menyahut.

"Ya..?" lalu terdengar sahutan balik dari si pengetuk pintu.

"Alan, ini aku!" setelah mendengar suara rekannya itu, pemuda yang bernama Alan Humphries itu sempat membelalakkan matanya dan dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dari balik pintu itu, terlihat seorang pemuda yang terlihat lebih tua dari Alan. Dengan rambut pirang dengan cornrow kecil di sisi kepalanya, pria bernama Eric Slingby yang menjadi rekannya dalam kurun waktu belakangan ini. Entah apa yang menyebabkan pria satu itu memilih Alan sebagai rekan kerjanya. Mereka terbilang dekat semenjak Alan menjadi shinigami hingga ia menjadi shinigami handal dan menjadi favorit dari supervisor mereka, William T. Spears. Sifat Eric yang dewasa dapat mengimbangi sifat Alan yang tergolong tenang namun juga cepat tersulut amarah. Dengan kata lain, tegas. Sangat imbang dengan sifat Eric yang santai dan tak terlalu terikat oleh sesuatu yang baku. Terlebih dari sifat Eric yang perhatian karena seperti yang diketahui bahwa rekannya yang berambut coklat itu memiliki sebuah penyakit yang menggerogoti jiwanya. Thorns of Death, begitulah nama penyakitnya. Sebuah penyakit yang bersarang di jantungnya yang setiap saat bisa mengancam hidupnya tanpa tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Tentu ini juga yang menjadi salah satu alasan keberadaan Eric di dekat Alan. Ia adalah salah seorang rekannya yang sangat memperhatikan kondisi pemuda berbadan kecil yang sangat rapuh itu, dan itu yang membuat persahabatan terjalin diantara keduanya.

Setelah melihat rekannya yang datang, Alan mempersilahkan temannya itu masuk. Eric sempat terdiam beberapa saat dan tak bergerak masuk hingga Alan menoleh kembali pada Eric.

"Ada apa? Masuklah." ujarnya sambil membuka pintu kamarnya sedikit lebih lebar. Dengan canggung Eric masuk dan kemudian langsung menduduki sofa yang ada di kamar itu dengan kepala yang menunduk, seakan menghindari bertatapan dengan Alan. Melihat rekannya yang hanya diam saja, Alan tak tahan untuk bertanya dengan nada heran.

"Ada apa? Kenapa begitu masuk kau diam saja, Eric? Apa ada tugas untuk kita?" tanyanya polos tanpa ada pikiran aneh di benaknya. Eric sedikit mendongak dan sempat melirik Alan namun tatapannya kembali ia alihkan, dan ini yang membuat Alan makin penasaran.

"K-kau..?"

"hn?" sahut Alan penasaran.

"Me-mengapa… kau berpenampilan begitu?" tanya Eric dengan masih menatap lantai. Sedikit rona merah terbentuk di pipinya. Alan yang sebelumnya tak mengerti hanya terbengong dan ketika ia menyadari bahwa ia masih memakai piyama konyol itu, ia langsung memegang topi di kepalanya dan dilepaskan. Kemudian dengan wajah yang merona merah padam, ia berlari menuju kamar mandi untuk berganti pakaian.

"AAAHHH..! SHIMATAAA..!" jerit Alan heboh sambil berlari terbirit-birit menuju kamar mandi. Eric yang tak bisa menahan tawa langsung tertawa terbahak-bahak melihat tingkah rekannya itu yang biasanya selalu dingin dan sigap, menjadi sangat konyol seperti itu. Dari arah kamar mandi, Eric masih bisa mendengar gerutuan Alan yang makin menjadi-jadi. Ia menyalahkan dirinya yang bodoh karena tak awas akan penampilannya yang memalukan itu di depan rekannya.

"Mou~~~.. kenapa aku bisa lupa kalau aku masih pakai piyama ini,sih? Bodoh..bodooohh..!" gerutunya sambil berganti pakaian. Didengarnya Eric menyahutnya dari luar.

"Kau kelihatan sungguh imut, Alan!" goda Eric yang membuat darah langsung naik ke kepala Alan dan membuat pemuda berambut coklat itu gelagapan.

"Jangan mengejekku, Eric! Aku memakai ini karena tak ada pilihan lain. Piyamaku semua sedang di cuci. Aku belum sempat mengurusnya. Terpaksa aku pakai yang ini….!" keluh Alan sambil berteriak dari dalam kamar mandi. Tawa ringan masih terdengar dari luar, membuat Alan yang baru saja berganti pakaian langsung menerobos keluar.

"Sudah! Berhenti tertawa,Eric! Atau aku akan mengusirmu keluar!" ancam Alan galak karena menahan malu. Ia sudah berganti pakaian dan saat ini kemeja putih dan celana panjang hitam melekat di tubuhnya. Eric menuruti meski dengan susah payah karena sesekali ia masih terkikik geli. Alan hanya mendengus sebal sambil meletakkan piyamanya pada keranjang pakaian kotor yang nantinya akan ia cuci.

"Maaf..maaf! aku tak tahan melihat penampilanmu tadi. Benar-benar menggemaskan." puji Eric sambil tersenyum lebar. Alan membelalakan matanya pada Eric yang membuat pria itu langsung terdiam dan mengalihkan pandangannya. Alan yang masih sedikit menggerutu memilih untuk tidak meneruskan topik itu lalu ia menghela nafas.

"Kembali ke topik awal, apa sebab kedatanganmu pagi-pagi begini?" tanya Alan sedikit ketus yang membuat pria berambut pirang di hadapannya mengernyitkan alisnya.

"Jangan ketus begitu, kan aku sudah minta maaf." jawab Eric sambil memasang tampang memelas. Alan yang menyadari bahwa nada bicaranya yang ketus lalu buru-buru memperbaikinya.

"Aku tidak ketus,kok! Kau saja yang merasa begitu." ujarnya membela diri. Tangannya dilipat di depan dadanya sambil bersandar pada tembok kamarnya. Eric menyisir beberapa helai rambutnya yang menutupi matanya kemudian mendengus.

"Kau sendiri yang bersikap begitu. Kalau kau tidak suka kedatanganku ya lebih baik aku pergi saja." Sahut Eric sambil beranjak dari sofa yang ia duduki. Lantas Alan langsung menghentikannya.

"Baiklah! Wakatta..! aku tidak akan bersikap begini." cegah Alan sambil berjalan menuju sofa dimana Eric duduk tadi. Eric memandangi pemuda berambut coklat yang berjalan ke sisinya dan mereka berdua duduk kembali di sofa itu. Tak lama senyum tersungging di bibir Eric.

"Nah begitu, dong! Jadi aku tidak perlu melihat wajah cemberutmu pagi-pagi begini." seringai Eric pada rekannya yang terlihat masih cemberut. Alan diam saja sambil menunggu penjelasan selanjutnya dari Eric. Kemudian Eric berdeham dan berhasil membuat perhatian Alan tertuju padanya.

"Maksud kedatanganku kemari adalah aku ingin menemuimu." jawabnya ceplos yang membuat Alan terperangah dan menatap Eric dengan bengong. Eric yang hanya melirikkan matanya seakan tidak melihat reaksi itu. Ia malah mengeluarkan kain pembersih kacamata dari saku jasnya dan melepas kacamata bentuk oval itu dari wajahnya untuk dibersihkan. Kemudian ia menoleh karena Alan yang tak kunjung memberikan reaksi.

"Hahahahahahahahahahaha..! aku hanya bercanda. Kita punya tugas malam ini." sahutnya sambil tertawa dengan menepuk pundak pemuda disampingnya. Alan masih tak berkata apa-apa hanya wajahnya yang terkejut perlahan memudar.

"Jangan mengeluarkan kata-kata ambigu seperti itu, Eric!" serunya sedikit keras yang menyebabkan Eric berhenti tertawa. Eric memandangi Alan dengan bingung dan menyadari rona merah menyelimuti pipinya meski terlihat samar. Ia lalu mengangkat tangannya tanda ia akan berhenti untuk tidak menjahili Alan lagi. Sesaat Alan menolehkan wajahnya lagi pada Eric dan dia mengangguk.

"Baiklah. Kali ini ada kasus apa?" wajahnya berubah serius ketika berhadapan dengan tugasnya. Eric menarik nafas.

"Seperti biasa, ada sekelompok iblis yang berulah di kota Canterbury. Dan William ingin kita mengatasinya. Bagaimana?" lanjut Eric sambil memakai kembali kacamatanya. Alan menaikan satu alisnya.

"Bagaimana apanya?" tanyanya bingung.

"Apa kau baik-baik saja?" Eric meyakinkan lagi. Alan kemudian tersadar apa yang Eric maksudkan. Tentang Thorns of Death yang bersarang ditubuhnya. Sesaat raut wajahnya berubah menjadi masam.

"Tak apa!" katanya gusar. Ia memang paling tidak suka jika penyakitnya itu mulai diungkit-ungkit kembali. "Tak ada yang perlu kau khawatirkan." tambahnya tanpa mengubah nada ketusnya. Eric hanya mengangguk tanda mengerti sambil beranjak dari sofa.

"Baiklah. Aku akan pergi menemui William terlebih dahulu. Aku tunggu kau disana. Kau punya 20 menit untuk bersiap. Mengerti?" jelas Eric sebelum ia berjalan menuju pintu kamar Alan. Alan hanya mengangguk dan sesaat sebelum Eric mencapai pintu, ia menoleh dan ikut berjalan kearah pintu kamarnya.

"Aku tahu." suaranya sudah berubah menjadi pelan dan tidak seketus tadi. Eric yang mendengarnya lantas tersenyum sambil menepuk kepala pemuda di sampingnya pelan kemudian ia keluar dari ruangan itu dan meninggalkan Alan dalam keheningan kamarnya.

Harusnya ia tak perlu sekesal tadi saat Eric menanyakan tentang keadaannya. Toh, ia hanya memastikan bahwa dirinya dalam kondisi baik dan siap bertugas. Tapi, apa yang ia lakukan? Malah menjawabnya dengan nada ketus dan sikap yang dingin, meski Eric sudah terbiasa menghadapi dirinya yang sensitif jika disinggung tentang Thorns of Death. Alan menggeleng kepalanya dengan keras dan kemudian mengusap-usap kepalanya agar segala pikiran tidak enak di benaknya dapat menghilang. Kemudian ia melirik jam kecil di atas meja kecilnya dan kemudian memutuskan untuk bersiap-siap untuk pergi menghadap atasannya.

To Be Continued...


A/N: sebenarnya ga ada maksud membuat multichap, tapi apa boleh buat! saya kepentok ide dan ga tau mau nulis apa jika buat one-shot. Benar-benar author payah. *pukul2 bantal ke muka* XD

Well, segini dulu deh pembukaannya. Mau cari ide lagi buat lanjutannya. Hehehe

Nb: ratingnya bagusnya apa,ya? T atau M? XDD