Kiba baru saja akan menyeduh kopi yang semenit lalu disajikan pelayan kafe tempatnya menunggu Neji dan Naruto, sahabatnya, ketika telinganya mendengar sebuah suara yang sudah lama tidak dia dengar.

"Maaf, Kiba."

Dia menoleh, mendengus kesal ketika menyadari kehadiran seorang berambut coklat panjang bersama laki-laki bersurai pirang yang nyengir sambil duduk di sebelahnya.

"Aku tahu kau sibuk, Naruto," kata Kiba setelah meminum kopinya. "Kalau kau mau telat, kira-kira, dong! Bukannya setengah jam sudah lebih dari keterlaluan? Kau juga, Neji!"

"Aku bilang aku ada kerjaan, jadi jangan salahkan aku kalau aku telat," ujar Naruto enteng.

"HEEEHH? Lalu siapa—"

"Sudahlah, kalian berdua," potong Neji dingin sembari duduk di antara Kiba dan Naruto. "Sudah untung kita bisa saling meluangkan waktu buat bertemu."

Kiba menghela napas. Melihat teman satu SMA-nya dulu, yang kini duduk di depannya dengan wajah yang tidak jauh berbeda dari terakhir kali mereka bertemu—meskipun garis mukanya lebih tegas dan terlihat dewasa—membuatnya urung untuk melanjutkan pertengkaran tidak penting ini.

Setelah Naruto dan Neji memesan minum pada pelayan, Kiba kembali berkata, "Ngomong-ngomong, kenapa kita ketemuan di Nagi—?"

"Hei, Neji," sela Naruto tanpa sadar.

Kiba dan Neji menoleh ke arah Naruto yang sedang memandang sesuatu dengan ekspresi setengah takjub, setengah tidak percaya.

"Apa?" tanya Neji.

"Kau…"—Naruto mengangkat telunjuknya—"lihat gadis itu? Dia teman sekelas kita dulu, kan?"

Pandangan Neji dan Kiba mengikuti telunjuk Naruto. Detik berikutnya, mereka berdua sama-sama tercekat.

"Dia—"

"Yamanaka Ino," kata Neji pelan.

Kiba menelan ludah. Dia mengecek-ngucek matanya, menampar pipinya, dalam hati mencoba meyakinkan dirinya kalau sekarang dia tidak sedang berada di dalam ilusi. Dia berdiri, dengan kedua tangan terkepal kuat di samping badannya, dan tanpa sadar kakinya bergerak ke arah gadis yang sedang melayani seorang perempuan bercepol dua dengan senyum ramah dan akrab di depan sebuah toko bunga yang jauhnya cuma beberapa puluh meter dari kafe tempatnya berkumpul bersama Naruto dan Neji. Tidak menghiraukan seruan kedua temannya yang tampaknya menyusul dari belakang, dia mempercepat langkahnya.

Berjarak lima meter dari perempuan bernama Yamanaka Ino itu, Kiba berhenti berlari. Dia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Ketika dia membuka mulut, tidak ada suara yang keluar darinya. Pikirannya sekarang seperti lenyap tersapu angin musim semi yang berhembus beberapa detik lalu. Akhirnya dia menutup mulutnya lagi.

"Eh, Ino…" pelanggan itu berkata dengan telunjuk teracung kepadanya.

Ino berbalik, dan Kiba merasakan kegugupan aneh menjalar di sekitar tenggorokannya.

"Oh—?"

"Aku menemukanmu, Yamanaka Ino," kata Kiba, nyaris tanpa suara, ketika melihat perempuan bermata aqua itu menatapnya dengan mata membulat.

.


.

Inuzuka Kiba & Yamanaka Ino

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

AU, OOC, abal, gaje, typo(s), de-el-el

.

.

.

One-sided Love(r)

chapter 1

.

.

Sepuluh tahun lalu…

"Sudah kubilang berkali-kali, aku tidak akan mau membantumu!"

Kiba tetap santai mengikuti perempuan yang berjalan dengan marah di depannya itu. Helaian pirang yang terkuncir rapi berkibar di depan matanya merupakan hiburan kecil sore ini, pikirnya. Sesekali dia melihat sekitar—dan sama seperti sepuluh menit yang lalu, halaman sekolahnya sudah sepi.

"Jangan mengikutiku!"

Kiba tertawa. "Kau tahu keuntungan yang akan kau dapatkan kalau kau membantuku, Yamanaka Ino," katanya keras. "Kau dan aku akan saling diuntungkan!"

"Aku tidak mau ikut rencana jahatmu itu!"

Mendengar kata "jahat" membuat pelipis Kiba berkedut. Dia meraih tangan pemilik nama Yamanaka Ino itu sampai si gadis berbalik.

"Tidak ada orang jahat yang bilang orang lain jahat, Yamanaka Ino," katanya dingin.

"Apa maksudmu?!" tanya Ino marah.

Dengan tangannya yang bebas, Kiba mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kertas putih berhiaskan tulisan bertinta warna biru dia tunjukkan pada Ino.

"Aku pikir kita berada pada situasi yang sama sekarang," kata Kiba. "Aku melihatmu memasukkan ini ke loker Uchiha Sasuke si anak kelas sebelah seminggu yang lalu. Dan dengan mata kepalaku sendiri, aku melihatnya membuang kertas ini."

Ino terbelalak. Dia menepis tangan Kiba dan merebut kertas yang ditunjukkan lelaki Inuzuka itu. "Kenapa kau memungutnya?!"

"Bagaimana kau bisa mengirim surat cinta pada laki-laki yang statusnya adalah pacar sahabatmu sendiri, Yamanaka?"

Kiba tersenyum kecil. Sekuat tenaga dia berusaha tidak tertawa ketika Ino kian memucat.

"Kau pintar, baik, dan sangat sabar," katanya sambil mengambil kembali surat Ino. Karena tidak ada perlawanan, dia kembali berkata, "Aku cerdik, baik, dan sangat pengertian."

"Aku tidak menuliskan namaku di situ," kata Ino sambil menghujam Kiba dengan pandangan mematikan.

"Kupikir tulisan yang berada di buku di dalam tasmu sekarang sangat mirip dengan tulisan di atas kertas ini, iya, kan?" Kiba masih tersenyum. "Tapi seperti kataku tadi: aku adalah orang yang pengertian."

"Apa—?"

"Bantu aku."

Ino mengernyit.

"Kau tahu maksudku, kan?"

Tidak perlu menunggu waktu lama bagi Ino untuk berkata, "Aku tidak mau. Kalau kau mau memajang surat itu di mading, beserta dengan tulisan dari bukuku sebagai bukti—lakukan saja. Aku bisa jelaskan ke Sakura dan Sasuke-kun, dan mereka pasti akan mengerti. Mereka manusia, tidak sepertimu."

Ino berbalik, namun detik berikutnya Kiba kembali membuat Ino menghadap ke arahnya.

"Aku menyukainya bahkan sebelum masuk ke SMA ini," kata Kiba dengan ekspresi memelas. "Aku menyukainya bahkan sebelum dia mengenal Sasuke. Kau mengerti perasaanku, Yamanaka. Kau juga mengalaminya."

Kiba sama sekali tidak mengedipkan matanya, seakan meyakinkan kalau semua yang diucapkannya benar-benar serius. Tidak ada senyum merendahkan seperti beberapa menit lalu. Tidak ada ekspresi meremehkan, mengancam—sekarang dia cuma menatap Ino lekat-lekat. Tidak lebih.

Ino masih menunjukkan ekspresi dengan kadar kejengkelan yang sama. Meski begitu, dia tetap berkata, "Akan kupikirkan. Tapi jangan berharap aku akan benar-benar peduli."

Kiba melepaskan tangan gadis itu, berkata, "Aku menunggu jawabanmu besok pagi," sebelum akhirnya dia melewati Ino dan berlalu pergi.

Senyumnya terkembang ketika dia mendengar Ino berteriak murka, "INUZUKA KIBAAAA!"

—"—

Bukannya dia tidak ingat dengan apa yang dia katakan kemarin, tapi Kiba sadar kalau sejak pagi tadi Ino terus terusan menghindar darinya. Gadis yang biasanya duduk di samping jendela itu—ketika dia duduk di belakangnya, malah langsung pindah tempat. Saat kebetulan ada jam kosong, dia langsung pergi entah kemana dengan teman-temannya.

Sampai akhirnya jam pelajaran hari ini selesai, Kiba dengan melangkah ringan menuju ke arah Ino yang masih duduk sambil membereskan buku-bukunya. Dengan sekali gerakan, tangannya menggebrak meja.

"Oh, ternyata kau," kata Ino sambil berdiri. Dia menyampirkan tasnya di bahunya, kemudian berjalan melewati Kiba.

"Aku sudah memberimu waktu lebih untuk berpikir," kata Kiba, mengikuti Ino dari belakang. "Bagaimana?"

"Kalau aku bilang aku tidak mau membantumu, kau pasti akan memasang surat itu di mading, atau tetap memintaku untuk membantumu. Keduanya tidak ada untungnya buatku."

"Kau benar."

"Kalau aku bilang aku akan membantumu, aku akan menjadi tokoh antagonis di kehidupan seseorang—seorang temanku sendiri. Itu menyakitkan."

"Aku tidak pernah berpikir seperti itu."

Ino berbalik.

Kiba yang masih mengikuti di belakang Ino ikut berhenti. Tanpa tersenyum, dia menatap Ino lekat-lekat. "Kalau kau sebegitu khawatirnya terhadap apa yang akan orang-orang bicarakan tentangmu, kau tidak akan pernah bisa bergerak dari tempatmu, Yamanaka Ino."

"Apa ka—"

"Aku hanya merasa kita punya nasib yang sama—bahkan aku pikir kau lebih parah karena Sakura adalah temanmu sendiri. Kalau kau begitu peduli pada temanmu, apa temanmu itu juga melakukan hal yang sama denganmu? Apa dia tahu kalau kau menyukai Sasuke, berusaha menolongmu untuk mendapatkan Sasuke, dan bahagia ketika kalian bersama?"

Ino tidak lagi menatapnya tajam. Matanya yang tadinya berkilat seperti serigala yang tengah mengancam mangsanya mulai meredup.

"Aku akan menolongmu, kau akan menolongku. Kita akan saling tolong menolong, saling membantu, dan kita akan bahagia bersama-sama. Aku dan—"

"Hei, Kiba!" teriak sebuah suara dari ujung koridor tempat mereka bicara.

Kiba menengok ke belakang, melambaikan tangannya sekali pada Neji dan Naruto yang berdiri menyandar pada tembok salah satu kelas, menunggu dirinya.

Dia kembali melihat Ino. "Seperti kemarin, aku akan tetap menunggu jawabanmu. Sampai jumpa. Ah… dan kali ini, tidak perlu buru-buru."

Sebelum dia benar-benar berbalik, sebuah tangan menghentikan gerakannya. Dia menoleh, kemudian mengernyit ketika menyadari Ino memegang ujung lengan jaketnya.

"Apa kau benar-benar yakin kau akan bahagia kalau bersama Sakura?" tanya Ino.

"Sama sepertimu," kata Kiba tanpa pikir panjang, "yang pastinya akan bahagia kalau dengan Sasuke, kan?"

Ino menarik napas panjang. "Bahkan tidak memerdulikan perasaannya pada Sasuke-kun?"

Kiba melepaskan pegangan Ino pada jaketnya, lalu tersenyum kecil. "Kalau kau tipikal orang yang suka lihat drama, kau pasti tidak akan suka posisimu sekarang—karena orang-orang berpikir kau adalah pemeran pembantu yang berusaha merusak hubungan sepasang kekasih pemeran utama. Tapi kau bukan di dalam drama sekarang, jadi tidak ada hubungannya dengan pemeran antagonis dan sebagainya. Kau adalah pemeran utama dalam hidupmu sendiri, jadi kau melihat dari sudut pandangmu, bukan sudut pandang orang lain.

"Yamanaka Ino, aku yakin—"

"KIBAAA!" teriak Naruto. "Keburu pertandingan sepak bolanya main, nih! Dipercepat dong, ngobrolnya!"

Kiba memutar bola matanya, kemudian dia kembali berkata dengan tampang serius, "Kalau dari sudut pandangku, kita berdua—kau dan aku—adalah pemeran utama di sini. Jadi jangan khawatir, kita berdua akan punya akhir yang baik."

Ino terlihat ragu, tapi akhirnya dia mengangguk. Untuk pertama kalinya sejak Kiba mengenalnya, dia tersenyum. "Oke."

Kiba terhenyak, lalu detik berikutnya dia menarik kedua ujung bibirnya.

—"—

Sejak saat itu, setiap hari, dari pagi hingga bel sekolah tanda pelajaran sudah berakhir berbunyi, entah itu ada di kelas, di kantin, taman sekolah, bahkan sampai masuk perpustakaan, berusaha buat menjauhkan Sakura dan Sasuke.

Yah… meskipun baru terlaksana dalam tiga hari.

"Ino, hari ini aku mau bertemu dengan Sasuke-kun," kata Sakura padanya sebelum pulang sekolah. "Jadi, aku harap kau bisa pulang sendiri, ya…"

Kiba melihat Ino melirik ke arahnya sedetik sebelum gadis itu berkata, "Ehm… perutku sakit sekali. Aku rasanya tidak kuat kalau harus pulang sendirian. Kau mau menemaniku pulang, kan?"

Sakura menggosok kedua tangannya tak nyaman. "T-tapi, ini acara yang aku susun dengan Sasuke-kun lebih dari seminggu lalu."

Ino masih memohon-mohon pada Sakura. Sementara Kiba, seolah tanpa beban, duduk di samping jendela sambil memandangi langit dengan pose sekeren mungkin—tidak tahu tujuannya apa. Tapi kemudian dia menoleh ketika mendengar Sakura memanggilnya.

"Ada apa, Sakura?" tanya Kiba sambil berjalan cepat ke arah Sakura yang masih berdiri di depan Ino.

"Kupikir kau sedang tidak ada ekstrakulikuler, kan, Kiba-kun…" kata Sakura ragu-ragu. "Bisakah kau antar Ino ke rumahnya?"

Ino langsung duduk tegak, sementara Kiba melongo.

"Sakura—"

"Aku benar-benar minta maaf, Ino," kata Sakura sambil menepuk pundak sahabatnya itu. Dia tersenyum pada Kiba sebelum berlari ke luar kelas, "Terima kasih banyak, Kiba-kun."

Mereka berdua menatap kepergian Sakura dengan pandangan kosong.

Di hari lain, ketika Sakura bermaksud untuk mengajak Sasuke menemaninya belanja buku, Ino yang tahu akan hal itu langsung menawarkan diri—atas perintah Kiba, tentu saja. Akan tetapi, sewaktu hari-H, sesuai rencana, gadis berambut pirang itu meminta maaf berkali-kali karena tidak bisa menemani Sakura dengan alasan ternyata harus membantu ayahnya berjualan di toko bunga.

"Biar aku yang menemanimu, Sakura," kata Kiba dengan senyum terbaiknya. Dia mengerling ke arah Ino yang menunjukkan wajah bosan. "Aku tahu toko buku yang murah."

Sakura terdiam sebentar, dan ketika dia mau membuka mulut, terdengar suara ponselnya berbunyi. Ketika melihat layar ponselnya, mata Sakura berbinar.

"Tidak perlu, Kiba-kun. Ternyata Sasuke-kun bisa menemaniku," ujar Sakura senang. Dia melambaikan tangan pada Ino dan Kiba ketika berlalu pergi.

"Kau tahu?" tanya Ino memecah keheningan.

Kiba mengerjapkan matanya, lalu melirik Ino. "Apa?"

"Aku rasa rencana kita tidak akan pernah berhasil," kata Ino. "Bukan sepenuhnya salahmu dan ide konyolmu selama ini, atau ketidaktegaanku yang masih belum hilang. Aku cuma berpikir, sepertinya kita lebih baik menyerah saja."

Kiba duduk di depan Ino yang menggelosor malas di atas mejanya.

"Aku heran, deh. Apa sih yang kau lihat dari seorang Haruno Sakura?" tanya Ino tanpa menatapnya. "Maksudku, selain rambut pink-nya yang langka, atau kekuatannya yang seperti atlet profesional itu, apa ada yang lain? Bukan apa-apa, tapi sebagai sahabat, ada baiknya aku perlu tahu motifmu mendekatinya. "

"Kupikir itu yang jadi alasannya," kata Kiba spontan.

"Soal rambutnya atau kekuatannya?" tanya Ino lagi. "Yang mana?"

Tiba-tiba Kiba tampak tak yakin sendiri. "Er… dua-duanya?"

"Begitu, ya? Berarti kau sama saja dengan beberapa laki-laki lain yang pernah mendatangiku."

"Hm?"

Ino menegakkan badannya, kemudian menyangga kepalanya dengan kedua kepalan tangannya. "Aku sudah bersahabat dengan Sakura sejak kami masih SMP. Aku selalu satu kelas dengannya, dan kita selalu dekat. Semua orang yang mengenalku, pasti akan mengenal Sakura. Dan semua orang yang berusaha lebih dekat dengan Sakura, pasti akan mencoba dekat denganku. Salah satunya kau."

Kiba mengernyit. "Jangan tersinggung, ya, tapi aku tidak mencoba dekat denganmu. Kebetulan saja kita punya tujuan yang sama."

Giliran Ino yang mengerutkan keningnya.

"Tidak ingat, ya? Soal kau dan Sasuke—"

"Terserah," sahut Ino malas. "Dan tidak ada laki-laki yang dekat denganku yang tidak punya tujuan supaya bisa lebih dekat dengan Sakura. Semuanya sama saja—dan untung saja kau bertemu denganku sewaktu SMA. Kalau dulu, aku pasti akan marah-marah dan tidak mau menolongmu.

"Sakura memang populer—aku beruntung bisa jadi temannya. Tapi di sisi lain, rasanya aku cuma dikenal orang dengan embel-embel "temannya Sakura".

"Aku sebenarnya sudah bosan, begini-begini terus. Aku, kan, bukan kantor pos yang terima-kirim surat dari para cowok ke Sakura tiap hari," kata Ino sambil menerawang langit-langit kelas. "Sebenarnya aku bersyukur waktu Sakura punya pacar—meskipun sedih karena tahu kalau orangnya ternyata Sasuke-kun. Tapi, tugasku jadi berkurang."

Sejak mengenal Sakura, Kiba memang otomatis melihat ke arah Ino. Tapi bukan berada di samping gadis berambut pink itu, Ino justru berjalan di belakangnya. Meskipun dengan sifat yang sama-sama riang—dan kini dia tahu kalau sebenarnya Ino itu agak melankolis—aktif, dan punya rambut yang sama-sama nge-jreng, ada sesuatu yang membuat Ino seakan berada sangat jauh dari Sakura.

Tapi… apa itu?

"Jadi, bagaimana?"

Kiba mengerjap-ngerjapkan matanya. "Apanya?"

"Kau… masih tetap pada tujuanmu semula? Masih mengharapkan Sakura? Masih mau berjuang buat mendapatkannya?"

"Eh—" Kiba mengangguk ragu. "Tapi bukannya kau bilang kau mau menyerah?"

Ino mengangguk mengiyakan sembari mengulum senyum manis. "Memang. Tapi kalau sekedar menyemangati dan membantu sesekali, tidak apa-apa, kan?"

Beberapa hari yang lalu, yang ada di pikiran Kiba adalah Sakura, supaya dekat dengan Sakura, dan supaya Sakura jadi pacarnya. Sekarang, dua dari pikiran itu lenyap, dan digantikan dengan rasa keingintahuannya tentang Ino, dan keinginan supaya dia dan Ino bisa bahagia.

"Tentu," katanya dengan senyum lebar.

.

—to be continued—

.

.


.

Author's note: oke(?). Ini pendek, dan rasanya Ino dan Kiba melankolis banget. Beribu maaf karena ke-ooc-an mereka yang begitu kentara—tapi semoga mereka bisa melewati masa-masa "menyakitkan" ini—#plak—dan di chap berikutnya mereka kembali ke karakter masing-masing (_ _) Terima kasih bagi yang sudah menyempatkan diri untuk membaca—kritik-saran akan diterima dengan senang hati… arigato gozaimashu \^o^/

Ps: Nagi itu adalah pulau di Naruto episode 104 yang "Run, Idate, Run! Nagi Island Awaits!"—kalau nggak salah ^-^

.