Gemerincing lonceng emas mengiringi langkah-langkah kaki telanjang. Menginjaki dedaunan kering, meninggalkan jejak kaki di atas tanah berlumpur.
"Dia yang terkutuk ... dia yang terhina ..."
Langit biru yang berubah menjadi kelabu sama sekali tak menunjukkan belas kasihan dengan meneteskan air matanya.
"Dialah iblis yang terlahir dari rahim seorang manusia ... seorang anak terkutuk yang seharusnya dimusnahkan di hari kelahirannya ..."
Hutan yang menaungi sama sekali tak sudi memberi pasokan oksigen yang cukup. Dedaunan dan semak bekerja sama mencegah udara segar beserta cahaya matahari untuk masuk—sengaja memberi siksaan bagi seorang anak yang kehadirannya akan segera dihilangkan.
"Merenggut kebahagiaan, kemakmuran, beserta kesejahteraan ... Dia adalah seorang iblis yang paling terkutuk ..."
Langkah kaki itu terasa berat, melangkah dengan terseok dengan luka cambukan di betis. Kedua tangan terbebat kain tebal yang sudah kotor. Sesekali ia menginjak duri dari semak belukar, membuatnya sedikit meringis melalui bibir yang pecah dan membiru.
"Kelahirannya membawa ketidakberuntungan, malapelataka, tangis, dan penyakit. Dia adalah pembawa kutukan ..."
Wajah yang sudah lusuh penuh lebam dan noda tanah, perlahan mendongak ke atas. Matanya yang dibebat kain yang sama lusuhnya hanya mampu bertanya-tanya; seperti apa hamparan langit di atas sana? Warna apakah yang sekarang tengah ditunjukkannya demi memayungi bumi dengan kehangatan?
"Bersama tumpahan darah, tangis, dan nyawa yang telah ia hilangkan, ia akan menerima murka dari Dewa ..."
Tanah berlumpur kini telah berubah menjadi dataran keras dan dingin. Tidak rata, tajam, dan licin.
Sekujur tubuhnya mati rasa. Hatinya telah kebas. Lantunan mantra dari orang-orang yang mengiringinya kini samar-samar terdengar.
"Dewa akan menghukumnya ... Sang Anak Iblis Yang Terkutuk ..."
Telinganya seketika tuli.
Langkah-langkah kaki telanjang berhenti. Obor yang dibawa di masing-masing tangan menerangi tempat terlarang itu dengan cahaya jingga.
Sebuah tempat yang bertemperatur dingin. Tak memiliki satu pun kehidupan yang bergantung hidup di sana. Tempat yang menggemakan suara bisikan menjadi sebuah bahana yang mengusik ketenangan.
Ia dipaksa berdiri di sana. Anak itu, dengan rambut hitam yang lusuh, berdiri dengan tegap di bibir jurang. Tanpa beban dan tanpa protes.
Karena aku sudah terlanjur menyerah untuk percaya ... bahwa keadilan di dunia yang fana ini ada.
"Majulah ke depan dan jangan pernah berhenti."
Ia hanya mengukir senyum. Di balik kain kotor yang membebat mata cokelatnya, ia hanya mampu mengingat hari-hari yang ia lewati bersama orang-orang tercinta.
Waktu yang terus berjalan adalah hal yang paling mengerikan. Karena, kau tidak akan pernah tahu kapan kematian akan datang menjemputmu. Apakah kau telah mengumpulkan banyak kenangan indah agar bisa kau ingat di alam sana?
Sudahkah kau memberikan kebahagiaan bagi orang-orang yang kusayang? Cukup bermanfaatkah kau selama ini bagi masyarakat? Apakah akan ada yang menangisimu jikalau kau telah benar-benar menghilang dari dunia ini?
Bahkan kelahirannya di dunia ini pun dianggap malapetaka, lalu kebahagiaan macam apa yang mampu ia berikan?
Kaki telanjangnya yang penuh luka—yang belum sepenuhnya mengering—mulai melangkah perlahan tanpa ragu. Menjejaki daratan dengan butiran pasir paling halus, namun begitu perih ketika memasuki luka yang menganga.
Ternyata ia masih belum sepenuhnya mati rasa.
Memikirkan itu, cukup membuat bibir yang kering menyunggingkan senyum kecil.
Selangkah demi selangkah ia susuri tanpa adanya ujung.
Sudah berapa langkah ia berjalan? Sampai kapan ia harus melangkah?
Sekalipun ia tahu, titik di mana ia berhenti melangkah adalah saat di mana ia harus merelakan diri untuk menghilang dari dunia ini, namun ia telah memutuskan untuk menerima takdirnya.
Karena ia sendiri sadar, bahwa kelahirannya di dunia ini tidak akan membawa kebahagiaan bagi siapapun. Tidak ada yang mengharapkannya untuk lahir. Tidak ada yang mengharapkannya untuk hidup. Tidak ada yang menginginkannya menghirup udara yang sama.
Kelahirannya adalah sebuah malapetaka.
Ia adalah wujud asli dari ketidakberuntungan.
Ia adalah seorang iblis yang terkutuk.
Dan kemusnahan adalah takdirnya yang telah mutlak.
Namun tetap saja, sekalipun ia telah menerima takdirnya, air mata tetap saja keluar. Lolos begitu saja menuruni pipi, membasahi kain kotor yang membebat mata.
Dengan suara yang serak dan nyaris tak dapat didengar, ia membisikkan sebuah nama dari seseorang yang ia cintai. Seseorang yang telah mengisi kesendiriannya selama ini dengan canda tawa yang begitu berarti.
Pijakannya menghilang. Daratan seolah berlari menjauh dari telapak kakinya. Ia meluncur jatuh ke bawah. Menembus angin, memasuki kegelapan yang tak berujung. Rambut hitamnya yang lusuh berkelebat bersama angin kencang yang seolah menariknya untuk jatuh lebih dalam. Matanya memejam. Tangan kanan terulur ke atas, seolah ingin menggapai. Namun kembali ditarik. Sebuah senyuman bermakna penyesalan terukir perlahan di bibirnya.
"Maaf."
Kegelapan itu menelannya. Mengubur jasad yang dikutuk. Mengubur hati yang remuk.
Ia telah menerima takdirnya—menerima takdir sebagai makhluk yang masih memiliki rasa kasih.
Tenggelam dalam kesedihan dan kesendirian yang membekukan hati. Kemudian memudar di dalam gelap tak berujung.
.
.
.
.
.
Dunia ini terlalu kejam.
Kebahagiaan hanyalah sebuah ilusi.
Kemakmuran adalah sesuatu yang mustahil.
Kehidupan yang fana ini begitu merah dan kotor.
Penuh dosa. Tanpa perasaan. Tanpa belas kasihan.
Demi tujuh elemen alam yang telah mati oleh kebiadaban,
Aku mengutuk dunia ini.
.
.
.
.
.
Boboiboy (c) Animonsta Studio
FADED
by Emiko
Hurt/Comfort/Tragedy/Fantasy/Romance/Angst
WARNING!: Don't like, don't read. 7 elemental Boboiboy. BBB/Yaya. Fanfic bbb pertama.
Hope you enjoyed it, guys!
Prolog [END]
.
.
See you next chapter!
