"Evening Sky"
[ —dan langit sore merekam setiap cerita di antara kami ]
Eyeshield 21 belongs to R. Inagaki and Y. Murata. I just own this story.
Warning
OoC detected
Alternate Universe
Kind of cliche drama
1st Point of View (Yamato's PoV)
Typo(s) may be found
Failed at genre(s)
And others
—shunshines
now playing: ailee – evening sky
Sejak kapan aku mulai menyukainya, cerita itu dimulai dari pertemuan ini. Kami dipertemukan pada sore itu. Sore hari yang cerah di Kyoto, tepatnya di Universitas Saikyoudai.
Saat itu, aku tengah melepas penat karena tugas kuliah yang diberikan dosenku. Seperti halnya badai salju di musim dingin, tugas tersebut berdatangan tanpa henti. Rasanya, tugas tersebut tidak pernah selesai kukerjakan, karena kuantitasnya selalu bertambah setiap hari. Semua orang di kelasku merasakan hal yang sama; kepala kami rasanya akan meledak.
Aku berjalan menuju taman yang tidak begitu jauh dari kampus. Taman ini didesain senyaman mungkin oleh pemerintah, sengaja dibuat untuk rekreasi atau sekedar beristirahat. Taman itu luas, dan di tengah taman, terdapat kolam air mancur. Biasanya, burung-burung gereja terbang rendah dan sengaja hinggap di sana untuk meminum air. Dengan background langit sore, pemandangan itu sangat tepat untuk mengistirahatkan otak.
Melihat pemandangan itu membuat batinku terasa teduh. Nyaman.
TEP
Saat kakiku baru akan mencapai taman bagian tengah, aku mendengar alunan melodi yang merdu. Alunan melodi yang dihasilkan oleh gesekan dawai biola. Rasa penasaran hinggap di otakku. Aku pun mempercepat langkahku dan akhirnya melihat sosok anak laki-laki berhelai indigo dan berseragam SMA sedang berdiri memainkan biola putih di sana.
Anak itu memainkan biolanya sambil memejamkan matanya, menjiwai lagu yang sedang dimainkannya itu. Kuakui saja, permainannya sangat bagus. Melodi yang terdengar melankolis itu begitu dalam, sehingga berhasil menyentuh hatiku.
Aku diam di tempat, memperhatikan anak laki-laki berhelai indigo itu memainkan alat musik gesek itu. Aku ikut menikmati lagunya, meresapi nada-nada melankolis itu. Well, aku tidak tahu-menahu tentang musik. Tapi, orang awam pun pasti menilai bahwa lagu ini sangat indah dan menyentuh.
Lagu pun selesai dimainkan. Sontak, aku bertepuk tangan sebagai apresiasi pertunjukan kecil-kecilannya tadi. Tentu saja, anak itu sedikit melonjak kaget mendengar tepuk tanganku. Sejak tadi, dia bahkan tidak menyadari keberadaanku.
"Permainan yang bagus," pujiku setelah selesai bertepuk tangan. Anak laki-laki beriris secerah langit itu sudah mengembalikan ekspresi kagetnya menjadi ekspresi datar. A stoic-faced boy, huh?
"Terima kasih," jawabnya singkat dan cenderung dingin, tapi aku yakin aku melihat rona merah samar di pipinya. Salahkan sinar matahari berwarna kemerahan yang malah membuat pipinya semakin merah.
Entah bagaimana caranya, kami berdua pun duduk di satu bangku yang sama. Dia memangku tas biola yang berwarna sama dengan biolanya—putih. Entah bagaimana caranya juga, mataku tidak bisa berhenti melekat kepada sosok anak itu. Tubuh tinggi yang beberapa senti lagi bisa menyamai tinggi badanku, helai rambut berwarna indigo, kulit putih hampir pucat, dan yang berhasil menarik atensiku adalah mata birunya. Iris biru secerah langit itu menjadi pusat perhatianku sejak tadi. Sepasang azure itu tampak teduh dan menghanyutkan.
"Oh, ya," ujarku memecah hening. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?"
Anak laki-laki yang masih berada di bangku SMA itu memindahkan pandangan matanya. Dia balas menatapku, membuatku bisa melihat betapa jernih matanya itu. "Shun Kakei desu. Namamu?"
Aku tersenyum, senang karena dia mau memberitahu namanya. "Takeru Yamato desu."
Anak laki-laki pemilik mata secerah langit itu pun mengangguk kecil. Dari sikapnya sejak tadi, aku sudah menarik kesimpulan kalau Shun adalah tipe orang yang tidak banyak omong, jadi aku memaklumi reaksinya yang cenderung datar itu.
"Kau pemain biola?" tanyaku, menyambung pembicaraan untuk mematahkan rasa canggung. "Tadi kau bermain dengan sangat bagus."
Shun mengangguk. "Aku bermain di orkestra sekolahku," katanya. "Dan terima kasih, Yamato-san."
"Sama-sama," balasku, tersenyum. Meskipun terdengar dingin, Shun berbicara dengan sopan. Entah hanya perasaanku atau apa, dia terlihat polos untuk anak SMA. Foxy eyes-nya itu menipu. "Setiap hari apa kau berlatih di sini? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya di taman ini."
"Ini kali pertamaku." Lagi, hanya jawaban singkat. Hei, entah kenapa, jawaban singkat itu membuatku semakin penasaran. Anak ini benar-benar menarik.
"Souka." Aku menepuk bahunya. "Kalau kau ingin latihan di luar, latihan saja di sini."
Shun mengangkat alisnya—oh sungguh, dia terlihat sangat imut dengan ekspresi bingung seperti itu. "Untuk apa?"
Aku tertawa kecil, gemas melihat reaksinya yang cute itu. "Tentu saja agar aku bisa melihatmu. Kautahu? Penatku hilang begitu aku mendengarkan permainan biolamu itu."
Penatku juga hilang karena keteduhan dari biru matamu itu.
Shun membuang muka, menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Jangan memujiku seperti itu."
"Aku selalu mengatakan yang sebenarnya," ujarku di sela kekehanku. Aku tidak bisa menahan tanganku untuk tidak mengacak helai indigonya. "Dan itu absolut, Kakei-kun!"
Dan di bawah langit sore Kyoto, kutemukan keteduhan dalam hidup yang selama ini kucari.
Sejak hari itu, aku tidak pernah absen pergi ke taman itu. Sebelum bertemu Shun pun aku selalu mengunjungi taman kota tersebut. Namun, kehadiran Shun membuatku semakin sering berkunjung ke taman.
Shun selalu datang ke taman untuk berlatih—aku menganggap latihannya adalah showcase kecil-kecilan karena aku tidak merasa bahwa dia sedang berlatih. Kalau dia absen ke taman, berarti dia ada les biola. Aku tidak keberatan, toh, dia hanya absen dua hari seminggu.
Bahkan saat hari libur pun, kami selalu bertemu di taman. Entah Shun yang benar-benar menuruti ucapanku, atau dia menemukan kesenangan sendiri untuk berlatih di taman itu, yang jelas itu membuat hatiku senang. Depresiku karena tugas yang tidak kunjung berhenti pun sangat terobati dengan kehadiran personifikasi langit itu.
Aku memandang langit. Langit sore kemerahan di penghujung musim semi terasa hangat. Juga terlihat sangat indah.
Hari ini hari Kamis, yang artinya Shun tidak akan datang ke taman. Aku harus menelan kekecewaanku karena tidak bisa bertemu dengannya, padahal hampir setiap hari kita bertemu, lho! Aku hampir lupa caranya tidak bergantung kepada Shun Kakei itu—dalam makna konotasi. Aku tidak bisa tidak melihat sosoknya meskipun hanya sehari. Bersyukurlah kepada langit, karena saat menatap langit, aku seperti menatap anak laki-laki itu.
"Yamato-san!" seseorang memanggilku, membuatku menoleh. Sudah kutebak, suara itu suara milik Shun. Anak itu berjalan ke arahku, tanpa membawa tas biola putihnya.
"Bukannya hari ini kau ada les, Kakei-kun?" tanyaku begitu anak laki-laki yang usianya tiga tahun lebih muda dariku itu berdiri di hadapanku. "Dan mana biolamu itu?"
"Hari ini lesnya libur, dan aku lupa membawa biolaku," jawabnya. Dengan innocent, Shun membuka mulutnya lagi dan bertanya, "Nggak apa-apa, kan, aku absen main hari ini?"
Aku tertawa mendengar pertanyaannya, gemas karena Shun terlalu polos. "Tentu saja, Kakei-kun." Aku bisa melihat wajah Shun yang memerah malu dan kesal karena kutertawakan, sehingga aku pun mengganti tawaku dengan senyum. "Kau datang ke sini saja sudah cukup bagiku. Aku senang."
Ekspresi Shun tidak banyak berubah. Dia sangat pandai menyembunyikan perasaannya, hanya dengan memasang muka stoic. Sayang sekali, aku bisa membaca hampir semua perasaannya. Tapi, aku jelas tahu, mukanya memerah karena malu.
"B-baguslah kalau begitu," balasnya agak gelagapan.
Aku terkekeh sedikit. "Lantas, apa yang membuatmu datang ke sini? Menemuiku?"
"A-apa-apaan!" tukas Shun, masih gelagapan. Mukanya semakin memerah. "Asal kautahu, ya, aku ke sini karena aku menyukai taman ini!"
Aku tergelak, lalu mengacak helai indigo halus itu lagi. Kusebut 'lagi' karena aku memiliki kebiasaan baru, yaitu mengacak rambut Shun. Dia sendiri tidak keberatan. Buktinya, dia diam saja saat aku mengacak-acak rambutnya.
Tidak ada pembicaraan lagi. Aku dan Shun duduk di bangku yang sama dalam diam, memilih untuk menyibukkan pandangan masing-masing dengan mencari objek untuk dilihat. Ternyata, objek yang ingin kami lihat adalah objek yang sama, yaitu langit.
"Kautahu, Kakei-kun." Seperti biasa, akulah yang pertama kali memecah hening. "Aku selalu teringat tentangmu kalau melihat langit seperti ini."
Shun menoleh, menatapku sambil mengangkat alis. Ekspresi menggemaskan itu lagi. Dari tatapan matanya, dia menyuruhku untuk melanjutkan kalimatku.
"Jadi, saat tidak ada kamu di sini, aku lebih sering menatap langit. Saat menatap langit, aku seperti menatapmu," lanjutku, kali ini sambil memindahkan pandanganku. Aku menilik sepasang mata biru jernih Shun, kemudian berhasil menemukan keteduhan yang selama ini kucari.
Keteduhan yang menyurutkan kepanasan. Anggaplah dunia ini adalah padang pasir tak berujung. Panas dan juga menyusahkan. Air yang kaucari-cari hanyalah fatamorgana, adalah cerminan harapanmu yang terasa sulit dicapai. Debu-debu, badai pasir, dan sinar matahari yang menyengat adalah masalah dan rintangan dalam hidupmu. Sementara, rasa sesak dan panas adalah efek dari semua rintangan tersebut.
Jika kau dalam keadaan seperti itu—tersesat di padang pasir dan merasa kepanasan, hal yang kaucari adalah tempat berteduh. Di benakmu, kau berharap bahwa akan ada hutan dan air kolam yang bisa kauminum. Sepertinya hutan terlalu muluk, karena beberapa pohon rindang saja sudah cukup bagimu untuk berteduh. Atau contoh kecilnya, saat kau berada di lapangan sekolahmu tepat pukul duabelas siang, kau pasti akan mencari tempat berteduh, kan?
Aku ada dalam keadaan tadi. Selama ini, mencari-cari keteduhan itu seperti mencari setetes air hujan di tengah samudera luas. Aku tidak kunjung menemukannya, sampai aku bertemu dengan anak itu.
Shun Kakei, hanya dengan menatap sepasang iris secerah langitnya, aku berhasil menemukan keteduhan itu.
Angin musim panas berhembus pelan, setidaknya mengantarkan kesejukan. Kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Shun memilih diam daripada berkomentar apa-apa setelah mendengar perkataanku tadi. Aku sudah terlalu terbiasa didiamkan seperti ini, toh, itu juga karena sifat bawaannya.
Perlahan, aku mengubah posisi dudukku menjadi menghadap Shun dan menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Shun sempat menunjukkan reaksi kagetnya, tapi dia tidak memberontak.
Aku tidak memedulikan hal lain, pengecualian untuk rasa hangat dan nyaman yang serta-merta merasuki dadaku saat sang personifikasi langititu berada di dalam rengkuhanku. Aku memejamkan mataku, menikmati rasa nyaman yang selama ini kunantikan. Rasa nyaman setelah menemukan tempat berteduh yang kucari selama ini.
"Yamato-san...," panggil Shun pelan. Dia mungkin terkejut karena pelukan tiba-tiba ini. Walaupun begitu, dia tetap diam, tidak sama sekali berniat untuk melepasku.
"Biarkan aku memelukmu, sebentar saja," pintaku singkat. Tidak ada jawaban, tapi juga tidak ada penolakan.
Shun menenggelamkan wajahnya di dadaku. Kedua tangannya membalas pelukanku pelan-pelan, dan aku bisa merasakan semua itu.
Aku menarik kesimpulan, pelukan balik darinya adalah 'iya' sebagai jawaban dari permintaanku.
Pelukan hari itu ternyata memberi dampak yang besar bagi hubungan kami. Berkat pelukan itu, hubungan kami menjadi lebih intens. Bukan lagi seperti sahabat atau kakak-adik, tapi lebih dari hubungan itu.
Baik aku maupun Shun sama-sama menyadarinya. Menyadari adanya perubahan yang terjadi kepada kami. Juga menyadari ada reaksi-reaksi aneh pada tubuh kami saat kami duduk berdua dengan jarak yang dekat dan saat kami saling bertukar pandang. Seperti ada kupu-kupu di dalam perut, atau jantung yang berdegup lebih kencang, dan darah yang berdesir pelan. Walaupun Shun tidak pernah mengatakannya, entah kenapa, aku bisa merasakan hal yang sama pun terjadi kepada anak itu.
Kami menyadari bahwa kami menyimpan perasaan yang sama. Kami benar-benar menyadarinya, tapi kami tidak pernah mengungkapkannya.
Suatu hari, aku tidak menemukan sosok Shun Kakei itu di taman. Padahal, hari ini bukan jadwalnya untuk menghadiri les. Aku menarik kesimpulan kalau anak itu mungkin ada acara yang harus dihadirinya, dan aku bisa mengerti, meskipun aku harus kecewa dibuatnya.
Tapi, kekecewaanku berganti menjadi kecemasan karena Shun tidak juga datang ke taman esok harinya. Keesokan harinya juga. Absensinya terus terulang sampai tujuh hari.
Bermacam-macam enigma merasuki otakku, terus menanyakan apa yang terjadi kepada Shun sampai dia berhenti datang ke taman sampai selama itu. Apa dia sibuk? Atau dia sengaja menghindariku?
Tidak—kucoret gagasan kedua dari otakku. Dia tidak mungkin menghindariku tanpa alasan.
Di hari kedelapan, aku berniat untuk mencari tahu apa yang membuat Shun tidak datang selama seminggu. Enigma-enigma random itu kian membuatku sakit kepala. Tidak ada gunanya juga menerka. Maka dari itu, aku akan pergi ke sekolahnya untuk mencari informasi.
Setelah kelasku bubar, destinasiku tidak lagi taman, tapi ke sekolah tempat di mana Shun belajar. Jaraknya tidak jauh dari taman—begitu katanya saat aku bertanya di mana dia bersekolah.
Tepat saat aku baru melewati taman kota, aku melihat sosok familiar yang menghilang selama seminggu itu berjalan ke arah yang berlawanan denganku. Membawa tas biola putih, lengkap dengan seragam sekolahnya.
"Yamato-san?" Shun-lah yang pertama kali menyadari pertemuan tidak disengaja ini.
Aku segera meraih tangannya, merasakan perasaan tidak menentu di dadaku. Aku menarik tangan Shun agar dia mengikutiku ke taman.
Setelah menyeretnya kemari, aku segera bertanya dengan kekesalan, kekhawatiran, bercampur kelegaan yang kentara, "Kemana saja kau seminggu ini?"
"Aku..." Shun menggantung kalimatnya, tampak ragu untuk menjawab. "Aku ada acara keluarga di luar kota. Maaf tidak memberitahumu."
Aku mengangkat alisku, tidak semudah itu percaya. "Benarkah?"
Shun hanya mengangguk.
Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku, lalu menghela napas. Berusaha melepas rasa kesal dan khawatir karena tidak mendapat kabar dari bocah SMA ini selama seminggu. Aku merasa kelegaan yang teramat sangat menghampiriku, karena pada kenyataannya, dia baik-baik saja. Padahal hanya seminggu ditinggal tanpa kabar, aku sudah kepayahan seperti ini. Aku tidak bisa membayangkan kalau Shun meninggalkanku lebih lama dari itu.
"Lain kali, beritahu aku kalau mau pergi selama itu. Jangan buat aku cemas. Kukira kau berniat menghindariku," ujarku dengan volume suara yang kecil.
Shun menjawab sama pelannya, namun masih bisa kudengar. "Maafkan aku. Lagipula, untuk apa aku menghindarimu, Yamato-san...?"
Aku tersenyum. "Baguslah."
Setelah beberapa detik di posisi yang sama, aku pun melepas pelukanku. Aku merasa ada yang aneh saat memeluk anak laki-laki berhelai indigo tadi. Seingatku, saat aku memeluknya beberapa minggu yang lalu, tubuhnya tidak sekurus ini.
Aku menatap Shun, dan menemukan keanehan lagi. Ada kantung hitam samar di bawah matanya. Sorot matanya berubah, dan aku bisa melihat kelelahan yang terpancar dengan jelas di sana.
"Daijoubu ka?" tanyaku sambil menyentuh pipinya dengan lembut. "Kau sakit?"
Shun menggelengkan kepalanya cepat. "Daijoubu, Yamato-san. Aku mungkin hanya sedikit kelelahan..."
"Pulanglah. Kau tidak usah berlatih hari ini," perintahku dengan halus. Shun menggelengkan kepalanya, menolak mentah-mentah perintahku.
"Tidak, aku akan tetap berlatih. Aku sungguh tidak apa-apa, Yamato-san."
Aku menghela napas, lalu mengedikkan bahu, menyerah karena sifatnya yang stubborn itu.
Shun mengeluarkan biolanya dan menyimpan tasnya di bangku taman. Seperti sebelumnya, aku pun duduk di salah satu bangku di mana aku bisa melihat dengan jelas dirinya dan tentu saja permainan biolanya. Setelah memegang biola dan standing ovation-nya sudah benar, Shun pun mulai menggesek dawai biolanya, memainkan satu lagu. Lagi-lagi, nadanya terdengar melankolis. Aku bahkan belum pernah mendengarnya memainkan lagu yang sedikit lebih ceria.
Namun tetap saja, mau bagaimanapun lagunya, kalau yang memainkannya adalah Shun Kakei, lagu tersebut akan selalu terdengar enak di telingaku.
Sepertinya, aku mengalami gangguan pemusatan perhatian saat melihat Shun bermain biola. Tidak ada lagi yang bisa menjadi fokusku selain sosok Shun sendiri. Berdiri memainkan biola putihnya sambil menutup mata, menjiwai setiap lagu yang dibawakannya. Sudah kubilang berkali-kali, kan, bahwa anak itu adalah keteduhan yang selama ini kucari-cari?
Shun mendadak berhenti bermain. Jantungku dua kali berdetak lebih cepat begitu melihatnya meringis kesakitan. Dia menjatuhkan penggesek biolanya dan tangan kanannya itu menyentuh dada kirinya.
Aku segera berlari menghampiri Shun dengan rasa cemas yang menjadi-jadi. "Kau kenapa?" tanyaku dengan nada suara yang lebih tinggi, kehilangan setengah dari ketenanganku. Aku menahan bahunya, takut kalau tubuh itu tiba-tiba terjatuh.
Shun menghela napas, berusaha menetralkan napasnya yang tersengal. Dia memejamkan matanya, tampak berusaha meredam sakit di dada kirinya. "A-aku tidak apa-apa..."
"Sudah kubilang, kau lebih baik istirahat saja," ujarku frustasi. Setelah mengambil penggesek biola yang tadi lolos dari genggaman Shun, aku pun memapahnya ke salah bangku, kemudian mendudukkannya. Aku meraih tasku yang berada di bangku yang sama, lalu mengambil sebotol berisi air mineral. Aku pun membuka segel dan tutup botolnya, lalu menyodorkan botol itu kepada Shun. "Minum ini dan istirahatlah sejenak. Aku akan mengantarmu pulang setelah kau merasa baikan."
Shun mengiyakan dengan lemah, lalu meneguk air mineral yang kuberikan. Wajahnya sudah tidak begitu pucat lagi. Sesuai perintahku, setelah meneguk air agar sesak di dadanya berkurang, dia duduk bersandar di bangku. Untuk masalah lainnya, akulah yang membereskan—seperti biolanya, akulah yang membereskannya.
Perasaanku tidak bisa tenang saat aku membereskan biolanya. Hatiku mencelos saat melihat Shun yang kesakitan seperti tadi. Dia menyentuh dada kirinya, yang berarti ...
Jantung?
"Terima kasih ... dan maaf sudah merepotkanmu, Yamato-san." Aku tersenyum getir atas ucapan maaf dan terima kasih dari Shun. Lagi, dadaku sesak saat dia berkata dengan suara selemah itu.
"Bukan apa-apa. Sekarang, istirahatlah," ujarku mencoba tenang, dengan menampilkan senyumanku. Aku pun duduk di sebelah Shun, lalu mengusak helaian rambut indigo itu. Setelah itu, tanpa ragu, aku pun mengecup dahinya dengan lembut.
Hanya satu enigma yang berputar di otakku sekarang. Yang begitu mengusik batinku, melebihi saat aku memikirkan tugas kuliahku yang belum selesai.
Apa yang terjadi kepada langitku?
—to be continued—
a/n:
ngga tau kenapa malah bikin ginian. awalnya fic ini buat FID, tapi karena ga sempet ya fic bebas aja lah ya.
bacotan yunna dilanjut di chapter berikutnya aja, ya. yunna-nya kebawa galau sama flashback jadi nggak ngomong banyak. :|
