DISCLAIMER

Hatsune Miku, Kaito, Kagamine Len & Rin © Crypton Future Media, Inc.

GUMI © Internet Co., Ltd.

Storyline Shigeru Blackrose

Art © Haruma on Pixiv


CHAPTER I

Prelude


Minggu siang yang sangat terik sampai-sampai rasanya Len bisa mati terbakar saking panasnya.

Ia memandangi deretan stan penjual es krim di seberang jalan dengan wajah memelas, tetapi kakinya terlalu malas untuk melangkah. Wajahnya merona dan basah oleh keringat, padahal ia dan saudarinya telah berteduh di bawah pohon taman yang cukup rindang. Tiga kaleng soda yang sempat dibelinya tadi sama sekali tidak membuat kerongkongannya terasa segar sedikitpun. Jika tadi ia tidak dibangunkan dengan paksa oleh kembarannya, ia pasti masih berkelana di alam mimpi yang indah. Dan sudah tentu ia tidak akan menghabiskan waktu luangnya di tengah-tengah cuaca sepanas ini.

Ia sedikit mengingat-ingat ramalan konyol yang dibacanya di internet kemarin tentang dirinya: Minggu ini bukan minggu keberuntungan bagi Anda. Anda akan terjebak dalam suatu masalah yang rumit dan lebih banyak masalah akan menanti. Hati-hati dengan keuangan Anda. Tetapi jangan galau dan jangan risau karena ada berita bagus bagi Anda: jodoh akan datang tanpa Anda sadari.

Demi apapun, ramalan itu hampir sepenuhnya tepat. Hari ini memang bukan hari keberuntungan Len. Entah masalah rumit apa yang dimaksud dalam ramalan itu, tetapi ia sudah menganggap bahwa hari ini sudah penuh dengan masalah. Satu hal yang mengganggu pikiran Len adalah bagian terakhir dari ramalan itu: bahwa jodohnya akan datang tanpa ia sadari. Itu malah membuatnya semakin diliputi kegalauan.

"Mou, Len! Kau nggak mau menghubungi Miku-nee? Sudah satu jam lebih kita menunggu, dia belum juga datang."

Dengan satu alis terangkat, Len melirik saudari kembarnya dari sudut matanya yang kian sibuk mengunyah permen karet rasa jeruk. Gadis itu telah mengatakan hal yang sama sebanyak tiga belas kali setiap selang waktu lima menit, dan itu cukup membuat Len kesal bukan main. Ia selalu benci terjebak dalam sebuah situasi dimana ia harus mendengar rengekan kembarannya itu, apalagi di tengah-tengah cuaca panas seperti ini. Terus mengeluh tidak akan membawa hasil apapun, itu sudah menjadi hukum alam. Tidakkah ia bisa bersabar sebentar saja?

"Astaga Rin, bisakah kau berhenti mengeluh?" protes Len selagi memindahkan motornya ke bawah bayang-bayang pohon. "Bersabarlah sebentar lagi, Miku-nee pasti datang. Lagipula, kau 'kan bisa menelponnya sendiri."

Rin manyun. "Habisnya, Miku-nee berkata padaku bahwa ia pasti akan datang tepat waktu. Kalau begini, lebih baik aku di apartemen saja daripada disuruh menunggu lama dan berpanas-panasan begini. Kenapa tempat janjiannya harus di sini, coba?"

"Harusnya aku yang berkata begitu," bisik Len kepada dirinya sendiri. Ia rasanya ingin menempelkan kepalanya pada batang pohon setelah mendengar perkataan kembarannya tadi. Sejujurnya ia ingin sekali menikmati segelas banana smoothie sambil menjelajahi internet di kamarnya yang ber-AC, dan entah kenapa ia merasa benar-benar bodoh telah menuruti ajakan Rin.

Satu jam sepuluh menit sudah dua bersaudara itu menunggu sepupu mereka, Hatsune Miku, yang berjanji untuk mengajak mereka ke studio musik barunya. Sedikit ralat, Miku sebenarnya hanya mengajak Rin yang notabene sedang sangat senggang, ditambah lagi karena ia tahu bahwa Len tak begitu menyukai aroma daun bawang yang biasa digunakannya sebagai pengharum ruangan. Tetapi Rin yang tidak ingin meninggalkan kembarannya sendirian di apartemen mereka begitu saja—walau sebenarnya Len tak begitu mempedulikan hal itu—mendesaknya agar ikut bersamanya. Setelah sekian lama berdebat, pemuda itu pun akhirnya menyerah. Lebih baik ia mengalah daripada harus mendengar rengekan kembarannya yang tak mengenal akhir.

Berusaha untuk mengalahkan kejenuhan, Rin mencoba mengindahkan saran kembarannya dengan berusaha menghubungi kakak sepupunya itu.

Hening.

"Nee, Len. Aku tahu kamu cowok yang baik," celetuk Rin yang sibuk menekan-nekan tombol ponselnya, diikuti dengan ekspresi heran Len.

" . . . Terus?"

"Tolong telpon Miku-nee untukku, dong. Baterai handphone-ku habis."

.

.

.

"Sungguh, hari ini panas sekali ya?" ujar seorang laki-laki tampan sambil mengintip keadaan luar melalui daun jendela, sesekali mengibaskan tangannya ke wajahnya. Rambutnya yang berwarna biru tersisir rapi dengan sentuhan gel rambut dan mata birunya seolah-olah mampu menerawang isi hati lawan bicaranya. Ia mengenakan setelan jas rangkap tiga berwarna hitam dengan bunga mawar tersemat di dadanya, tetapi tak setetespun keringat menetes dari dahinya. Sambil tersenyum kecil, laki-laki itu pun berpaling dari arah jendela dan menghampiri sesosok gadis berambut hijau yang terikat tak berdaya di sisi ruangan. "Kau tak merasa demikian, ojou-sama?"

Gadis itu hanya mampu membalas perkataannya dengan lirikan tajam. Tentunya mustahil baginya untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu jika mulutnya tertutup lakban. Ia telah berusaha melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangan dan kakinya, namun usahanya itu sama sekali tidak membuahkan hasil yang berarti.

Laki-laki itu membungkuk, kemudian melepaskan lakban hitam yang menutup mulut sang gadis perlahan-lahan sambil kembali tersenyum. "Aku ingin sekali mendengar suara indahmu, ojou-sama," ujarnya lembut. "Bagaimana kalau kau perdengarkan suara malaikat itu kepadaku?"

"Namaku Miku. Dan berhenti memanggilku ojou-sama!" bentak Miku kesal, lagi-lagi berusaha melepaskan dirinya dari tali yang mengikatnya. "Lepaskan aku, dasar maniak!"

Lelaki itu menempelkan jari telunjuknya ke bibir Miku, sebuah isyarat baginya untuk diam. "Tolong jangan panggil aku maniak. Hal itu sedikit membuatku . . ." Ia pun terdiam sejenak untuk mencari kata yang tepat. " . . . tersinggung, kau tahu?"

"Yah, mungkin sedikit tidak sopan bagiku jika aku belum memperkenalkan diri," lanjutnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Miku dan mengelus pipinya lembut. "Shion Kaito. Pengagum rahasiamu."

"Singkirkan tanganmu dari wajahku!" seru Miku, menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Itu menjijikkan! Pergi! Menjauh dariku!"

"Aduh, aduh. Kau galak seperti yang dirumorkan ya," laki-laki bernama Kaito itu pun menghela nafas panjang. "Tolong tenang sedikit. Aku tidak berniat menyakitimu. Itu melanggar estetikaku sebagai seorang gentleman. Yah, aku tahu, ikatan itu memang sedikit terlalu kuat ya?"

Miku melemparkan pandangan tajam ke arah Kaito. "Kalau begitu, pikirkanlah estetika untuk menolong seorang perempuan yang sedang dalam kesulitan."

"Ah, kalau kau, oujo-sama, berada dalam konteks yang sedikit berbeda," Kaito mengangkat bahunya. "Aku hanya tak ingin kau menjadi milik orang lain. Sebegitu besar rasa sukaku padamu, kau tahu? Dengan begini, aku akan selalu berada di sisimu tanpa ada seorangpun yang mengganggu. Kita akan—"

"Hentikan!" jerit Miku. Ia rasanya ingin melempar laki-laki itu dengan sepatu bersol tebal, tetapi diurungkan karena ia sama sekali tidak berdaya dengan kondisinya sekarang. Ia pun terdiam, membiarkan dirinya menghirup udara untuk menenangkan diri sekaligus membuat suasana menjadi hening kembali.

"Hentikan," ulangnya dengan suara yang lebih pelan. "Aku sudah muak dengan omong kosong itu."

Kaito menyunggingkan bibirnya. "Sudah kuduga kau pasti akan berkata begitu," bisiknya, lalu mengangkat dagu gadis di depannya perlahan. "Bagaimana, ojou-sama? Apa aku harus membuatmu percaya bahwa aku benar-benar tulus mencintaimu, hm?"

"T-Tunggu dulu! Berhenti! Kalau kau dekatkan wajahmu seperti tadi sekali lagi, aku akan teriak!"

Sebuah ketukan pintu berhasil menyelamatkan gadis berambut hijau itu sebelum Kaito mengusiknya lebih jauh.

"Miku? Kaukah itu?" tanya sebuah suara dari luar ruangan, namun sialnya ia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan. "Aneh. Rasanya tadi aku mendengar suaranya dari dalam. Mungkinkah hanya perasaanku saja?"

Miku ingin sekali berteriak minta tolong, tetapi Kaito berhasil membekapnya dengan saputangan yang telah dilumuri oleh obat bius. Gadis itu pun mulai kehilangan kesadaran secara perlahan-lahan dan tergeletak tak sadarkan diri di pangkuan Kaito.

"Warui na, ojou-sama, tetapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja," bisik Kaito pada Miku yang terlelap, kemudian memandangi pintu ruangan dengan wajah serius. "Nah, waktunya untuk bersih-bersih."

.

.

.

TO BE CONTINUED


AUTHOR'S NOTE

Pertama-tama, Shigeru mau ngucapin terimakasih buat kalian semua yang udah mau repot-repot baca fanfic Shigeru yang geje nian ini ;u;

To be honest, ini memang fanfic pertama yang Shigeru tulis. Setelah Shigeru lihat-lihat lagi, ternyata kebanyakan cerita yang dulu Shigeru tulis adalah dalam bentuk naskah drama—yang dengan bodohnya Shigeru anggap sebagai fanfic. Jadiii, setelah bertapa sehari semalem di pojokan kamar (?) Shigeru akhirnya mutusin untuk mengkonversi salah satu naskah yang Shigeru suka ke dalam bentuk karangan. Dan karena naskah itu sendiri juga belom selese, jadi . . . yah kita lihat sajalah nanti #plak

Special thanks buat aikayuuki yang udah ngingetin Shigeru buat ngasih disclaimer (*≧▽≦)

Sekali lagi, makasih bagi kalian yang udah mau baca curcol Shigeru ini ( ´ ▽ ` )ノ. Shigeru Blackrose, signing out!