Just a random writing i wrote last night, well, having a problem to sleep is not that bad sometimes. But i truly wish it won't last or i'll sleep in my every class.

Gelap.

Satu-satunya hal yang kau tangkap saat kau membuka mata hanyalah kurangnya sumber cahaya di kamarmu. Entah sudah berapa lama kamu terlelap di kamarmu—kamar yang kau tinggali semenjak kau hijrah ke London. Kau bangkit dari posisimu sebelumnya, seiring dengan bertambahnya kesadaranmu kau tersadar akan sesuatu hal yang lain. Betapa kau merindukannya—tidak mungkin.

Ah, kau tak dapat membendung air matamu lagi, maka kau menangis seketika itu juga.

Menangis, logikamu berkata itu sia-sia, tetapi kau tak bisa berhenti melakukannya begitu saja.
Tak akan pernah bisa.

Kakimu kau jejakkan dengan ragu. Sudah berapa lama? Kau bahkan tak bisa mengingatnya. Bagimu, waktu terasa berjalan lambat sekali semenjak saat itu. Kau menatap lamat-lamat rumah yang berdiri di depanmu, lalu rumah di sebelahnya—Kudo, nama yang terukir di papannya. Cahaya menembus korden-kordennya. Dia di rumah. Kau menutup matamu, menarik nafas cukup dalam dan kau menghembuskannya lagi. Kau pun berbalik pergi.

Seseorang menyadari kehadiranmu, tapi kau tak tahu.
Dalam bayang-bayang ia menunggu.

Kau menyadari betapa pengecutnya dirimu. Kau belum kembali lagi ke tempat itu sejak sepekan lalu. Untuk apa aku kembali? Kau bertanya-tanya dalam hati. Otakmu yang dikenal cerdas itu entah kenapa tidak bisa menemukan alasan, yang irasional sekalipun. Bahkan menurutmu kembali bukanlah kata yang tepat.

[Apakah kau masih memerlukan alasan?]

[Apakah alasan benar-benar dibutuhkan untuk hal semacam ini?]

[Untuk apa kau kemari?]

[Kau merindukannya, bukan?]

Di sudut-sudut otakmu pertanyaan muncul satu per satu.
Dari dunia kau kembali menyembunyikan wajahmu, dengan sebuah bantal berwarna kelabu.

Hari itu, Rabu, kau kembali ke tempat itu. Kau merapatkan jaketmu. Sudah dua minggu kau menetap di Beika. Minggu lalu, salju mulai turun di hari Selasa. Kau berjalan perlahan, ini jalan yang kau kenal meski sudah sekiranya dua tahun kau tak berjalan diatasnya—namun kau masih mengingat arahnya. Ya, kau masih mengingatnya.

Ada banyak cara menuju rumah itu, kau tahu?

Beberapa butir salju bersarang di rambut pirangmu yang kemerahan. Kau menatap rumah itu lagi, lampu-lampu sudah dinyalakan. Tentu saja, sekarang bahkan sudah malam. Kau berusaha mengatur napasmu, kau menundukkan kepalamu, menutup matamu, telingamu seakan tak berdaya mendengar suara, intuisimu bahkan tak bekerja hingga kau tak sadar ada seseorang yang berjalan ke arahmu.

Intuisimu sudah menumpul, eh? Buka matamu. Aku ada disini.

Kornea matamu kembali bersentuhan dengan udara. Bayanganmu berubah. Apakah kau sudah menjadi gila hanya karena hal ini? Tanyamu pada dirimu sendiri. Bahkan salju tak jatuh lagi di sekitar kakimu. Ilusi. Maka kau membalikkan badan untuk memastikan.

Kemana saja kau? Dua tahun aku menunggu dibalik jendela.
Kemana saja kau? Dua minggu aku menunggu di kelokan gang seperti orang gila.

"Kemana saja kau, Haibara?" Masih dengan senyum yang penuh kemenangan itu—Kudo, dengan payung di tangannya.

Sudah lama sekali.
Atau waktu yang berjalan lambat sekali?

Thanks for reading this piece of shit. Mind to give it a review? :3 #digaplok