.
.
Metaphorical Heart
.
17 © Pledis Entertainment
Kim Mingyu x Jeon Wonwoo. Yaoi. Bestfriend!au
via Writing-prompt-otp
plot is mine
.
1
Mereka sudah saling mengenal seumur hidup. Sejak ingatan Wonwoo bisa berjalan, Mingyu sudah selalu ada di sana. Di satu bagian otaknya yang tidak bisa diganggu. Berbagi popsicle dingin dan menonton Home Alone berdua.
Masih tergambar dengan jelas dalam kepala Wonwoo bagaimana ini semua berawal. Wonwoo ingat pada usia tujuh tahun, dia baru saja kembali dari sekolah saat melihat Mingyu duduk di depan pagar rumahnya sendirian. Bocah lelaki yang lebih muda darinya itu tengah memeluk tas sekolahnya dan memandang jalan yang berdebu dengan mata berkaca-kaca.
"Apa yang kau lakukan di situ?" begitu kalimat awal seorang Jeon Wonwoo dalam chapter pembuka kisah persahabatan panjang.
Mingyu segera mengangkat kepala dan mengalihkan matanya dari jalanan yang sedari tadi dipandangnya dan berganti memandang anak lelaki yang berdiri menjulang di hadapannya. Menghalangi cahaya matahari yang tadi menyengat kulit Mingyu.
Dengan wajah mengerut dan hidung meler oleh ingus akibat menangis, Mingyu menatap kepada Wonwoo, anak lelaki dari sebelah rumahnya. Dia tidak menjawab.
"Kenapa duduk di sini?" Wonwoo bertanya lagi. Dia beranjak dari depan Mingyu, membiarkan kulit Mingyu kembali terpapar cahaya matahari dan turut duduk di samping anak lelaki itu, ikut-ikutan memeluk lututnya sendiri.
"Eomma," ujar Mingyu pelan. Tidak menemukan semangat untuk menjawab pertanyaan anak lelaki di sebelahnya. "Tidak pulang."
Mendengar jawaban Mingyu membuat Wonwoo membulatkan bibirnya kemudian mengangguk mengerti. Dia tahu Bibi Kim biasanya pulang pagi dari toko rotinya untuk menjemput Mingyu dari sekolah ―karena Mingyu masih telalu kecil untuk bisa pulang sendiri― tapi sepertinya hari ini tidak. Dia sempat lihat toko roti mereka masih ramai pelanggan tadi saat dia sedang berjalan pulang.
"Kau pulang sendiri?"
Mingyu mengangguk.
"Apa kau tidak punya kunci rumah?" Wonwoo bertanya lagi.
Gelengan singkat yang sangat lemah kali ini diberikan Mingyu sebagai balasan. Sangat jelas terlukis di sorot matanya indikasi kesedihannya. Bibir anak lelaki itu mengerucut lucu dan dia nampak enggan berbicara. Bocah enam tahun yang baru pertama kali pulang tanpa dijemput dan malah bertemu dengan rumah yang tertutup. Pasti dia sangat sedih, pikir Wonwoo.
"Mau kuantar bertemu ibu?"
Kali ini Mingyu bereaksi dengan menggelengkan kepalanya cepat. Pipi digembungkan dan mata tertutup. Menunjukkan penolakan keras dalam gerakannya. Sesekali ia menarik ingusnya masuk kembali ke jalur pernafasannya. Membuat Wonwoo tertawa gemas. Seraya menggusak rambut anak lelaki itu dia bertanya lagi, "Kenapa?"
Tidak langsung menjawab. Mingyu memberengut terlebih dahulu, menarik ingusnya lagi baru membuka mulut untuk mengatakan, "Aku marah dengan eomma. Tidak mau bertemu."
"Kalau begitu mau main di rumah?" tawar Wonwoo. Mingyu dengan cepat mengangkat kepalanya lagi mendengar perkataan bocah lainnya. Memandang penuh harap kepada yang lebih tua. Karena meski dia cukup keras kepala untuk duduk di depan pagar rumahnya selama kurang lebih tiga puluh menit dan tidak mau menyusul ibunya ke toko roti mereka, sejujurnya kulitnya terasa sedikit sakit terkena sengatan matahari dan dia cukup lelah duduk di atas semen seperti ini. Wonwoo lagi-lagi tertawa melihat reaksinya. "Lagi pula di sini panas. Nanti kau jadi tambah hitam," katanya, mengungkapkan persis dengan apa yang dipikirkan Mingyu.
Wonwoo bangkit terlebih dahulu. Lalu mengulurkan tangan untuk membantu Mingyu berdiri. Meski terlihat ragu selama beberapa detik dengan tawaran Wonwoo, Mingyu akhirnya tetap meraih tangan bocah tujuh tahun itu dan berjalan bersama memasuki pekarangan rumah keluarga Jeon.
"Aku punya popsicle dingin di kulkas. Akan kubagi denganmu," kata Wonwoo. "Jadi berhentilah menangis."
Kerut di sekitar mata dan kening Mingyu langsung tersubtitusi oleh binar bahagia kala mendengar kata popsicle dan bahwa Wonwoo akan membaginya dengannya. Tipikal anak enam tahun. Dihapusnya jejak air mata di pipi berikut sisa ingusnya tadi. Seolah-olah itu bisa membantunya menghilangkan segala bukti bahwa dia baru menangis beberapa menit sebelumnya.
Siang itu Mingyu mendapati dirinya berakhir di kamar Jeon Wonwoo. Tetangganya yang lebih tua satu tahun. Mengenakan kaus dan celana pinjaman dari bocah lelaki itu. Mereka menghabiskan hari itu dengan bermain playstation dan berbagi popsicle. Keduanya banyak tertawa dan Mingyu sama sekali lupa akan kemarahan dengan ibu yang lupa menjemputnya.
Bagian paling menyenangkan adalah itu tidak menjadi satu-satunya hari yang mereka habiskan berdua. Sejak itu Mingyu dan Wonwoo menjadi akrab ―sebelum menjadi sahabat beberapa bulan kemudian. Pulang sekolah bersama (Nyonya Kim sama sekali tidak perlu lagi meninggalkan toko roti untuk menjemput Mingyu karena Wonwoo yang selalu menemaninya). Membeli popsicle dingin untuk dimakan berdua. Menghabiskan siang di kamar satu sama lain dan tertawa bersama.
.
.
Mereka itu seperti yin dan yang. Dua hal yang sangat bertolak belakang.
Wonwoo adalah Yin. Seorang anak lelaki dengan seribu kenakalan. Tidak sehari pun terlewatkan oleh Wonwoo tanpa membuat kesal ibunya. Dengan mengganggu anjing tetangga. Merusak tanaman. Menggambar di tembok. Bermain hingga seluruh pakaiannya terbalut lumpur. Hal pertama yang dilakukan Nyonya Jeon setiap kali dia kembali dari bermain di luar adalah mengelus dada dan menghela napas panjang sebelum berjalan ke arah Wonwoo dan menghadiahi telinganya satu jeweran panjang yang berakibat anak lelaki itu mengaduh kesakitan.
Di sisi lain Mingyu adalah Yang. Anak lelaki penurut kebanggaan keluarga Kim. Mengerjakan perintah ibunya dengan patuh. Segera kembali ke rumah begitu pulang sekolah. Membersihkan piringnya sendiri sehabis makan. Tidak membiarkan mainannya berserakan di lantai. Dan menjadi favorit dari seluruh orang tua di satu kompleks mereka.
Kata orang-orang dua hal yang saling bertolak belakang selalu saling menarik. Seperti dua kutub magnet yang saling berlawanan. Begitu juga dengan yin milik Wonwoo yang menarik yang milik Mingyu.
Dua sahabat yang selalu bersama. Mereka adalah satu kombinasi penuh.
.
.
Mingyu adalah pengikut setia Wonwoo. Selalu membuntutinya dalam apa pun yang dilakukan oleh si bocah Jeon. Menjejakkan kaki di atas bekas tapak sepatu Wonwoo. Dan mengejar bayangannya kemana pun anak lelaki yang lebih tua berlari.
Satu kali di umur sembilan, Wonwoo mendapat hukuman dari ibunya untuk menanam kembali bunga-bunga tetangga mereka yang sudah dia rusak dengan sengaja. Itu adalah kenakalan yang dilakukan berandal Jeon sendiri tapi Mingyu merengek meminta untuk diberi hukuman yang sama meski dia sama sekali tidak terlibat dalam aksi pengrusakan itu. Dan Nyonya Jeon tentu saja tanpa keberatan membiarkan Mingyu melakukannya. Sehingga sore itu Wonwoo dan Mingyu kecil berakhir di halaman belakang rumah Bibi Yoon, berkutat dengan tanah dan bibit tanaman.
Dia ingat bagaimana Jeonghan ―anak bibi Yoon yang menyebalkan dan lebih tua setahun darinya― mengejek mereka berdua dan berkata, "Berterima kasihlah karena eomma membiarkan kalian pacaran di halaman belakang rumahku sambil mengurus bunga-bunga yang dirusak Wonu."
Itu bukan sesuatu yang bisa Wonwoo mengerti kala itu. Arti kata-kata Jeonghan. Dan dia sejujurnya tidak cukup memusingkannya karena anak lelaki itu memang selalu mengatakan hal-hal yang membingungkan jadi bukan hal baru lagi. Satu-satunya yang memancing kebingungan Wonwoo adalah Mingyu dan kenapa bocah itu membuat permintaan konyol.
Berlandaskan rasa bingung dan penasaran itulah, maka di usianya yang kesembilan dan naif, Wonwoo bertanya kepada Mingyu dengan wajah terganggu, "Apa kau itu idiot?"
Mingyu sama sekali tidak menunjukkan reaksi yang mengidikasikan rasa kesal meski sudah disebut idiot oleh Wonwoo. Malah membalas sambil tersenyum lebar dan menunjukkan lubang di gigi depannya ―tidak salah lagi, dia memang idiot― kemudian berbicara dengan semangat, "Kenapa hyung bilang begitu?"
Wonwoo menatap malas kepada senyum Mingyu lalu berkata, "Jelas-jelas kau tidak melakukan apa-apa. Kenapa mau ikut-ikutan dihukum?"
Di sisi lain Mingyu malah semakin melebarkan tarikan bibirnya sehingga semakin banyak jumlah gigi yang terlihat, lalu menjawab lagi, "Aku tidak mau hyung melakukan hukuman ini sendiri."
"Memangnya kenapa kalau aku sendiri?"
"Mengerjakan sendiri itu membosankan," jawab Mingyu malu-malu seraya mengambil sekop kecil di sampingnya dan menggunakannya untuk menggali lubang di pot.
Wonwoo memandang kepada tangan kecil Mingyu yang tengah bekerja dengan tanah selama beberapa saat dengan dahi tertekuk. Memasukkan bibit bunga ke lubang yang baru dibuat oleh Mingyu lalu berkata lagi, "Memangnya kenapa kalau aku bosan?"
Mingyu tidak segera menjawab pertanyaan Wonwoo. Dia mengangkat kepala untuk melihat anak lelaki yang masih menunduk dan sedang mengubur bibit yang baru dia masukkan tadi. Sambil memandangi peluh yang mengalir di sepanjang rambut hyungnya itu, Mingyu mencoba memikirkan jawaban untuk pertanyaan Wonwoo. Memangnya kenapa kalau yang lebih tua merasa bosan? Bagi Mingyu kecil, itu adalah salah satu pertanyaan paling berat yang pernah diberikan kepadanya. Jauh lebih sulit dari pertanyaan matematika dari gurunya di sekolah tadi siang.
Tapi Mingyu adalah Mingyu. Bocah kecil berumur delapan tahun dengan pola pikir sederhana. Ketika diberi pertanyaan sulit, dia menjawab sesuai dengan kemampuan otaknya. "Karena Wonwoo hyung sama sekali tidak boleh kebosanan."
Wonwoo tertawa mendengar jawaban simpel Mingyu ―hal yang tidak dia lakukan setiap hari. Lalu dia mengangkat kepalanya. Mempertemukan pandangan dengan Mingyu. Dia berbicara sambil menatap mata lawan bicaranya, "Kenapa tidak boleh?"
Mendengar pertanyaan selanjutnya dari Wonwoo membuat Mingyu menelengkan kepala. Bibirnyaa dikerucutkan, hidungnya mengerut dan bola mata digiring ke sebelah kiri atas, tampak berpikir. Wonwoo menatapnya dengan ekspresi terhibur. Karena raut wajah Mingyu membuatnya terlihat seolah benar-benar sedang memeras otak dengan keras hanya untuk satu pertanyaan sederhana.
Butuh dua menit dan beberapa detik sebelum Mingyu meluruskan lagi kepalanya dan kembali berbalas pandangan dengan Wonwoo. Dengan percaya diri dia berkata, "Karena Wonwoo hyung itu sangat cantik."
"Hah?"
Mingyu kembali tersenyum. Memamerkan lubang di giginya dan kembali berbicara dengan semangat, "Orang cantik tidak boleh kebosanan."
"Aku itu tampan, bodoh. Bukan cantik," protes Wonwoo seraya mengambil tanah ke tangannya. Melemparnya ke arah Mingyu tanpa rasa bersalah.
Yang mendapat serangan berupa lemparan tanah sama sekali tidak memberi aksi perlawananan. Pun rasa marah tak tergambar di pipinya. Meski tanah yang dilempar Wonwoo sudah bisa dipastikan akan meninggalkan bekas di kaos putihnya dan dia tahu ibunya akan memarahinya sampai besok karena itu. Dia hanya tertawa. Sementara Wonwoo menundukkan kepala, memakukan pandang ke tanah. Tersipu malu.
Lalu Mingyu berkata, "Lagi pula aku hanya ingin selalu bersama hyung."
Dan Wonwoo menanggapi dengan merotasikan bola matanya sebelum membalas, "Ya, aku tahu itu."
Mereka kembali bertekun dengan tanah dan bibit yang harus mereka selesaikan. Bekerja dalam diam selama beberapa menit sebelum akhirnya Wonwoo memecah hening itu lagi. Dia menyentuh lengan Mingyu untuk menarik perhatiannya. Ketika yang lebih muda mengangkat kepala dari tanah dan mereka bertemu pandang, Wonwoo berbicara sambil tersenyum lebar, "Mau beli popsicle habis ini? Kutraktir karena kau sudah membantuku."
"Tentu saja."
.
.
"Berikan jari kelingkingmu."
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk membuat sumpah."
Mingyu dengan ragu menjalankan jari kelingkingnya yang teracung menyongsong milik Wonwoo yang sudah menggantung di udara selama beberapa detik. Dalam waktu singkat kedua jemari kecil itu sudah tertaut. Dan saat Mingyu mengangkat kepalanya untuk menadah, dia berhadapan dengan wajah Wonwoo yang beberapa centi lebih tinggi darinya. Bocah lelaki itu sedang tersenyum dengan gigi depan yang timpang.
"Kita akan bersama selamanya."
Mingyu ikut-ikutan tersenyum.
"Berjanjilah untuk tidak menghabiskan popsicle mu sendiri kalau Bibi membelikanmu. Dan aku juga akan membagi punyaku denganmu."
"Janji."
"Kalau begitu sekarang stempel," lalu mempertemukan ibu jari mereka. "Yang melanggar janji tidak akan bisa makan popsicle lagi seumur hidup."
Di usia sembilan tahun, popsicle adalah lambang persahabatan mereka.
.
.
"Cinta itu apa?" Mingyu bertanya suatu kali.
Mereka sedang berbaring berdua di kamar Mingyu. Baru saja selesai mengerjakan tugas aritmatika si pemilik kamar. Mereka selalu melakukan itu. Mengerjakan tugas sekolah bersama. Wonwoo sering kali ―selalu― membantu Mingyu menyelesaikan tugas yang tidak dia mengerti.
"Memangnya kenapa hm?" Wonwoo membalas dengan pertanyaan lain alih-alih menjawab Mingyu.
"Anak-anak perempuan di kelasku berisik sekali. Selalu mengejek Eunha cinta Mingyu."
Wonwoo ingat saat itu dia berumur sebelas tahun. Dan mendapati kalimatnya serasa terperangkap di tenggorokan pasca mendengar kata-kata Mingyu. Asam lambungnya terasa seolah naik sampai kerongkongan dan jantungnya bekerja terlalu cepat untuk memompa darah menuju paru-parunya. Sangat tidak nyaman rasanya. Dan dia sama sekali tidak bisa menerjemahkan rasa tidak nyaman itu.
"Eomma selalu bilang dia mencintaiku. Jadi kalau teman-teman bilang Eunha cinta aku, apa itu artinya dia ingin menjadi ibuku?"
Rasanya seperti ingin memukulkan keningnya ke tembok lalu salto hingga alun-alun kota. Wonwoo sama sekali tidak tahu. Apakah dia harus tertawa atau menangis mendengar penuturan temannya yang terlalu polos. Keduanya terpaut usia satuh tahun. Tapi pada momen itu Wonwoo merasa seakan lebih tua seratus tahun dibanding Mingyu. Karena dia paham bahwa cinta yang dikatakan oleh teman-teman Mingyu sama sekali berbeda dengan konsep cinta dalam kepala yang lebih muda.
Wonwoo mengekeh ringan sebelum memberi jawaban, "Bukan cinta seperti itu maksudnya Gyu."
"Lalu?"
Seraya berdehem ringan, Wonwoo kembali membuka mulutnya. "Ada banyak jenis cinta di dunia ini."
Saat itu Mingyu memutar tubuhnya sehingga dia berbaring menyamping dan leluasa memandang Wonwoo saat berbicara. Dia memperhatikan dengan seksama pergerakan bibir temannya itu saat menjelaskan tentang cinta untuknya.
"Ada cinta untuk keluarga dan cinta antara laki-laki dengan perempuan. Kurasa yang mereka maksud antara kau dengan Eunha itu bukan cinta untuk keluarga."
"Jadi?"
"Tentu saja cinta laki-laki dengan perempuan." Wonwoo menjawab tenang. Dengan sengaja mengabaikan rasa tidak enak di lambungnya saat mengatakan itu. Entah kenapa dia merasa dorongan untuk marah saat mengatakannya. Ada satu bagian dalam dirinya yang sama sekali tidak bisa menerima bahwa ada orang lain yang merasa cinta kepada sahabatnya. Dan itu adalah satu perasaan yang sama sekali tidak bisa dia jelaskan di usia sebelas.
"Bedanya apa?" Mingyu bertanya lagi.
Wonwoo menghela napas. Terlalu enggan untuk menjelaskan tapi juga merasa harus memberitahu Mingyu. "Kalau cinta keluarga itu ya begitu. Seperti kau dengan ibumu. Kalau cinta laki-laki dengan perempuan, seperti ibu dan ayah. Mereka akhirnya menikah."
Seraya mengangguk-anggukkan kepalanya Mingyu membulatkan mulut. Memberi isyarat bahwa dia berhasil memahami penjelasan singkat Wonwoo. Namun beberapa saat kemudian dia kembali melemparkan pertanyaan lain, "Tapi bagaimana kalau aku tidak ingin menikah dengan perempuan?"
Mengerutkan kening adalah hal pertama yang dilakukan Wonwoo ketika mendengar tanya Mingyu kali ini. Sama sekali tidak menyangka akan mendapat pertanyaan semacam itu. "Memangnya kau mau menikah dengan laki-laki?"
"Itu mungkin saja kan?"
Entah kenapa jawaban Mingyu hari itu membawa jantung Wonwoo untuk bergerak lebih brutal dari detik sebelumnya. Secara aneh merasa sangat excited. Dan rasanya seolah dirinya baru saja diberi suntikan dopamin mendadak hingga terasa ingin berjingkrak girang di tempatnya. Namun dia mempertahankan ekspresinya dan berpura-pura acuh dengan jawaban singkat, "Tidak tahu."
"Itu tetap cinta kan? Walaupun antara laki-laki dengan laki-laki?" desak Mingyu.
"Tidak tahu Gyu."
Pada akhirnya Mingyu berteriak menyerah. "Aaaaah memusingkan sekali," ujarnya. Segera setelahnya dia kembali berbaring lurus. Menggunakan lengannya sebagai bantal dan memandang langit-langit kamarnya.
Cinta adalah sesuatu yang membingungkan. Mingyu mengambil kesimpulan di usia yang kesepuluh.
.
.
Memasuki Sekolah Menengah Pertama sendirian terasa sangat janggal bagi Wonwoo. Tidak ada Mingyu yang bernyanyi bersamanya di sepanjang jalan menuju sekolah. Tidak perlu saling menunggu satu sama lain yang sedang piket kelas sepulang sekolah. Tidak mengunjungi kelas Mingyu di jam makan siang. Tidak bisa keluar dari kelasnya sendiri dan mendatangi Mingyu sekedar meminjam pensil atau penghapus kalau dia lupa mempaknya ke dalam tas di pagi hari. Dan dia tidak berhenti di toko kelontong di persimpangan jalan untuk membeli popsicle untuk dihabiskan sepanjang jalan. Karena: untuk apa? Toh Mingyu tidak ada di sana untuk menghabiskannya bersama.
Benar-benar aneh rasanya saat Wonwoo berjalan di belakang Jeonghan, menginjak bayangannya dan mengikuti langkah kaki yang lebih tua pada pagi pertama dia menjadi anak SMP. Dan dia tidak berhenti menghela nafas pada istirahat siang pertamanya di kelas baru seraya meletakkan kepala dengan lemas di atas meja triplek putih yang sangat berbeda dengan yang dia gunakan di sekolah dasar.
Sepanjang pelajaran Wonwoo kerap menghitung berapa banyak perbedaan yang dia temui antara sekolah barunya dengan yang dia hadiri semester sebelumnya. Seragam. Cek. Ruang kelas. Cek. Senior. Wonwoo harus beradaptasi lagi menjadi murid paling muda. Menyebalkan. Pelajarannya juga sedikit lebih sulit dan beragam. Dan papan tulisnya. Sewaktu SD, mereka menggunakan papan tulis hijau dan kapur sementara sekarang Wonwoo harus belajar terbiasa dengan papan tulis putih bersama spidol.
Terlalu banyak perbedaan. Wonwoo rasa dia tidak akan bisa bertahan.
Meski sesungguhnya mungkin bukan itu alasan dia untuk tidak betah di sekolah barunya. Wonwoo setiap pagi meyakinkan dirinya sendiri dan Mingyu bahwa dia akan baik-baik saja di SMP tanpa kehadiran yang lebih muda.
Mingyu akan menyanggah setiap kali, "Hyung apa kau benar baik-baik saja tanpa aku di SMP? Kau terlihat seperti akan menangis setiap pagi mau berangkat sekolah."
Dan dijawab oleh Wonwoo dengan sinis, "Tentu saja aku baik-baik saja. Yang seharusnya dikhawatirkan itu dirimu. Entah bagaimana nasibmu di sekolah tanpa aku."
"Jangan khawatirkan aku," Mingyu akan membalas lagi sambil tersenyum. Memamerkan dua taringnya yang sangat mencolok. "Aku baik-baik saja. Lagi pula hanya beberapa bulan lagi kok sebelum aku masuk ke sekolahmu juga."
Wonwoo tidak berhenti berdoa agar hari itu cepat datang.
.
.
Absennya Mingyu dari kehidupan sekolah berarti absennya teman makan siang. Absen teman mengobrol. Absen teman secara general. Ini adalah masalahnya dengan Jeon Wonwoo. Dia sama sekali tidak pintar merangkai kata. Ah salah. Kalau soal merangkai kata, Wonwoo masih percaya diri. Tapi dia sama sekali tidak bisa mengeluarkan keberanian untuk mengajak orang lain berbicara terlebih dahulu. Kata-kata yang harus diucapkan sudah ada di ujung kerongkongan tapi kerap berakhir tidak terucap sebab nyalinya tidak cukup besar untuk inisiasi mengajak siswa lain berbicara. Dia terlalu pemalu untuk melakukan hal seperti itu. Masalah lainnya adalah sifat pendiamnya dan karakternya yang sama sekali tidak seru ―menurut Jeonghan hyung dan teman-teman SD nya dulu. Dia tidak cukup seru untuk dihampiri oleh teman lain dan tidak seorang pun yang berinisiatif untuk membuka konversasi bersamanya terlebih dahuku.
Itulah sebabnya. Tiga minggu setelah tahun pertamanya di Sekolah Menengah Pertama, Wonwoo masih duduk sendiri di barisan paling belakang kelas. Mengerjakan tugas sendiri tanpa bisa meminta bantuan teman lain ―lagi pula bukannya dia butuh bantuan mereka. Makan siang sendiri. Atau membaca buku sendiri. Sangat sepi rasanya. Dan pada saat-saat seperti inilah Wonwoo paling merindukan sosok Mingyu. Dia berharap dia punya teman.
Siang itu Wonwoo baru saja membuka bekal makan siangnya yang berisi telur gulung dan nasi putih. Mengucapkan doa dan makan seorang diri sementara dia melihat teman-teman satu per satu keluar dari kelas untuk membeli roti di kantin atau pergi ke kamar kecil dan sekelompok anak perempuan menggabungkan meja mereka untuk makan bersama. Wonwoo memandang kepada kerumunan temannya seraya tersenyum miris. Sambil memasukkan sepotong telur gulung buatan Ibunya, dia meyakinkan diri bahwa dia tidak butuh teman. Dia akan menunggu hingga sebelas bulan lagi sebelum bisa berkeliling di seluruh sekolah ini dengan sahabat satu-satunya yang setia mengikutinya ke mana saja.
Pada saat itulah dia bertemu dengan Kwon Soonyoung. Dia tidak betul-betul mengenalnya. Tapi Wonwoo menyadari wajahnya sebagai salah seorang teman sekelasnya saat anak lelaki itu menarik kursi dari barisan di sebelah Wonwoo dan meletakkannya di samping mejanya. Kemudian anak lelaki itu meletakkan kotak bekal makan siangnya sendiri di atas meja Wonwoo. Sedikit menggeser buku-buku Wonwoo saat melakukannya.
Dengan dahi ditekuk dan raut penasaran Wonwoo memandang anak lelaki bermata sipit itu. Menontonnya membuka penutup bekalnya untuk menunjukkan nasi putih berlapis kuah kare yang kelihatannya seperti berasal dari mesin penjual otomatis di dekat stasiun.
Kemudian Soonyoung meraih sumpitnya, menggunakannya untuk mengambil nasi dan mulai makan dengan lahap. Sama sekali tidak membagi perhatian kepada Wonwoo yang menatapnya lekat seakan matanya sudah ditempel secara permanen di wajah Soonyoung. Butuh waktu beberapa menit dengan beberapa suap nasi ditambah 'aku minta telur gulungmu ya' lalu mencuri telur gulung dari bekal Wonwoo sebelum anak lelaki itu sempat bereaksi, sampai akhirnya Soonyoung berhenti memberi fokusnya kepada makan siang dan balik memandang Wonwoo dengan kening sengaja dikerutkan.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Soonyoung. Nada bicaraya mengindikasikan seolah-olah Wonwoo lah yang bersikap tidak biasa di sini. Bukan dirinya. Meski kenyataannya mereka berdualah yang sudah bersikap tidak biasa.
Wonwoo tidak segera menjawab. Dia menaikkan salah satu alisnya, mengobservasi wajah Soonyoung sebelum akhirnya mampu membalas, "Apa kau yakin tidak salah tempat?"
"Hah? Salah tempat seperti apa maksudnya?"
"Emm kau makan siang di mejaku?"
"Lalu? Memangnya salah makan siang di meja temanmu? Lihat mereka," Soonyoung berbalik dan menunjuk kepada sekumpulan anak yang menyatukan mejanya dan sedang makan sambil berkelakar. "Mereka bahkan menyatukan meja begitu. Masak memindahkan kursi dan makan di satu meja saja tidak boleh?"
"Em, bukan itu maksudku," balas Wonwoo lagi. Dia menggaruk punggung lehernya yang sama sekali tidak gatal untuk menyembunyikan rasa gugup. "Kita kan tidak kenal."
"Tidak kenal apanya. Aku sudah tahu kau selama tiga minggu, Jeon Wonwoo."
"Iya, tapi kan tidak dekat."
Soonyoung mendecakkan lidahnya. Melotot kepada Wonwoo dan mencibirkan bibirnya. "Kita baru tiga minggu di sini. Tentu saja belum ada yang saling kenal dekat. Kecuali kalau sudah kenal dari SD. Lain lagi ceritanya. Karena itu kan makanya sekarang aku sedang mencoba mendekatkan diri denganmu."
"Tapi aku orangnya tidak seru."
"Apa kau sedang bercanda?" ujar Soonyoung dengan kening mengerut. "Kau seru atau tidak itu aku yang tentukan. Sekarang berhenti bicara omong kosong dan habiskan makan siangmu."
Kemudian Soonyoung lagi-lagi menggerakkan sumpitnya ke arah bekal makan siang Wonwoo. Mencuri telur dan memakannya tanpa izin.
"Ngomong-ngomong panggil aku Hoshi."
"Wonwoo."
"Aku sudah tahu itu, bodoh."
Soonyoung atau Hoshi adalah teman pertama Wonwoo di Sekolah Menengah Pertama. Dan menjadi sahabatnya bahkan hingga tahun-tahun berikutnya. Satu-satunya kandidat yang Wonwoo pikir akan mengisi kekosongan Mingyu di tahun pertama Sekolah Menengah Pertama.
.
.
Ada yang salah dengannya.
Wonwoo tidak bisa berhenti berpikir seperti itu pada malam-malam tertentu. Karena ternyata meski dia memiliki Hoshi di sampingnya, dia tidak bisa berhenti merindukan Mingyu. Dia tidak bisa berhenti menghitung sisa hari yang harus dia jalani hingga dia bisa menghabiskan istirahat makan siang bersama Mingyu lagi. Dan dia tahu kesalahannya sama sekali bukan pada Hoshi.
Ada yang salah dengannya.
.
.
Masa remaja adalah masanya untuk cinta pertama berkembang. Tapi Wonwoo sama sekali tidak mengenal apa itu cinta. Atau itu yang dituduhkan Hoshi kepadanya.
Saat menerima surat cintanya yang pertama ―sebuah amplop berwarna merah jambu, diikat dengan pita merah dan dialamatkan dengan jelas 'Untuk Wonwoo' yang diikuti oleh gambar hati berwarna merah, Wonwoo tidak tahu apa yang harus dilakukan. Insting pertama adalah teringat dengan Mingyu.
Dia ingat dirinya yang berumur sebelas tahun sedang sok memberitahu Mingyu tentang jenis cinta antara laki-laki dengan perempuan. Wonwoo teringat dirinya yang menertawai kurangnya pemahaman Mingyu tentang cinta dalam hati. Sekarang dia dihadapkan dengan pengakuan tulus seorang anak perempuan dan dialah yang merasa tidak berdaya. Sama sekali tidak ada ide tentang apa yang harus dilakukan.
"Kalau kau suka, terima saja. Kalau tidak, ya buang." Dengan entengnya Hoshi memberi saran. Karena katanya cinta itu adalah sesuatu yang sederhana. Sesederhana menulis surat cinta untuk objek perasaanmu. Sesederhana mengabaikan cinta yang datang kepadamu jika kau tidak tertarik dengan si pemberi cinta.
Tapi cinta tidak sederhana seperti itu.
Untuk membuat pengakuan yang tulus, butuh usaha dan keberanian yang besar. Menulis surat pengakuan bukan hal yang sederhana, seperti diklaim oleh Hoshi. Begitu juga untuk menolak mereka meski kau sama sekali tidak tertarik. Ketika memikirkan setiap usaha yang sudah dicurahkan untuk membuat surat pengakuan itu untuknya, Wonwoo tidak tega untuk membuang surat-surat itu. Karena itu dia menyimpan surat yang diberikan gadis-gadis itu padanya di dalam laci meja belajar, meski tidak pernah membukanya. Tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mereka kecuali menyimpannya.
Itulah yang dilakukan Wonwoo pada usia ke tiga belas. Dia menerima hati banyak gadis. Menyimpan mereka di dalam laci yang pengap. Tidak menyentuhnya. Juga tidak melakukan apa-apa dengan mereka. Hanya membiarkannya diam di sana. Menunggu hingga Wonwoo memberinya perhatian.
"Jangan melakukan hal seperti itu, setidaknya tolaklah perasaan mereka dengan baik," kata Hoshi kepadanya.
"Tapi aku tidak mau mereka kecewa," jawab Wonwoo.
Hoshi menghela napas dan meletakkan kedua tangannya di atas bahu Wonwoo. Sorot matanya terlihat lelah. Akibat terlalu banyak memberi nasihat yang tidak didengar kepada sahabatnya. "Percayalah, mereka akan lebih kecewa karena kau sama sekali tidak membalas tapi juga tidak menolak. Digantungkan itu sakit tau."
Wonwoo sama sekali tidak mengerti.
.
.
Dari antara semua gadis-gadis itu, hanya ada satu gadis yang berbeda bagi Wonwoo. Dia datang bersama kibasan rambut panjang dan sorot mata yang sangat berani.
"Jeon Wonwoo, ayo kita pacaran," ujarnya terang-terangan di kelas Wonwoo saat mereka sedang istirahat makan siang.
Tidak ada surat. Tidak ada aksi mengintip malu-malu. Dia secara gamblang mendatangi Wonwoo dan Hoshi, meletakkan tangan di atas meja, memajukan wajah hingga hanya berjarak beberapa inci dari milik Wonwoo. Dia bahkan sama sekali tidak terlihat terpengaruh dengan siulan menggoda dari Hoshi saat melakukannya. Hanya fokus memperadukan obisidian miliknya dan Wonwoo.
Kim Sejeong namanya. Anak perempuan dari kelas sebelah. Sangat supel dan ceria. Bertolak belakang dengan Wonwoo. Banyak bicara dan tersenyum. Wajahnya mungil, saat dia tersenyum tarikan bibirnya memenuhi seperempat bagian dari wajahnya. Seluruh pesona teradiasi dari dirinya ketika berjalan dan dia adalah anak perempuan paling cantik yang pernah dilihat oleh Wonwoo. Tapi fisik bukan pesona utamanya. Kelihaiannya dalam merangkai kata dan cara dia berlari ceria di bawah mentari pada pelajaran olahraga menjadi alasan Wonwoo tidak bisa menepis begitu saja permintaannya untuk merangkai hubungan seperti yang dia lakukan kepada anak perempuan lainnya. Jeon Wonwoo tidak bisa mengabaikan Sejeong dan pengakuan cintanya yang berapi-api.
Musim dingin di usia tiga belas tahun, Wonwoo remaja mendapat pacar pertamanya.
.
.
"Wah anak SMP memang beda ya."
Itu kata Mingyu sewaktu Wonwoo memberitahu mengenai hubungan barunya kepada yang lebih muda dua minggu kemudian. Mingyu tersenyum ceria, mata menyipit, kedua sudut bibir tertarik ke atas, dan taringnya yang khas mengintip di belakang senyumannya.
Di usia tiga belas tahun, Wonwoo merasa mengerti banyak hal ―seperti anak baru gede lainnya. Tapi saat melihat senyum Mingyu hari itu, dia gagal memahami perangai jantungnya yang memaksa bekerja lebih keras dari yang normal dilakukannya. Atau kenapa ada perasaan sengit seperti cubitan kasar di dada sebelah kirinya menyaksikan reaksi Mingyu yang terlalu santai. Entah apa yang sudah diharapkannya.
Wonwoo menghabiskan waktu kurang lebih dua minggu mendebat dan menyanggah suara-suara dalam kepalanya mengenai haruskah Mingyu diberitahu atau tidak kalau dia sudah punya pacar. Dia berulang kali menulis dan menghapus ulang puluhan skenario cara menyampaikan berita ini. Yang dikomentari Hoshi dengan 'kau terlalu berlebihan, sahabatmu tidak akan marah kalau kau punya pacar'. Wonwoo kira ―dia berharap― Mingyu sedikitnya akan merajuk. Tapi yang lebih muda membuktikannya salah. Dia menanggapinya dengan baik. Begitu ceria. Begitu santai. Seolah-olah baginya bukan masalah besar jika Wonwoo diambil oleh orang lain.
Seketika Wonwoo teringat akan dirinya setahun sebelumnya. Dan bagaimana reaksi penolakan yang diberi seluruh sistem organnya hanya mendengar kata 'Eunha cinta Mingyu'.
"Wah Wonwoo hyung sudah punya pacar, aku juga mau punya kalau sudah SMP nanti," kata Mingyu lagi. Senyumnya masih sama ceria dengan sebelumnya. Dan itu membuat Wonwoo sedih untuk alasan yang sama sekali tidak bisa dijelaskannya.
.
.
Menjadikan Sejeong sebagai pacar mungkin termasuk salah satu keputusan paling baik dalam kehidupan SMP Wonwoo. Dengan adanya anak perempuan itu, Wonwoo akhirnya mencoba berhenti merindukan Mingyu saat istirahat makan siang. Tidak mencarinya untuk meminjam kamus bahasa inggris. Tidak meminta anak pensil ke kelas Mingyu saat dia kehabisan. Dia sama sekali tidak melihat di antara kerumunan siswa dan siswi berseragam untuk nenemui sosok punggung sahabatnya saat sudah jam pulang sekolah. Dan sebagai ganti Mingyu, dia berjalan di samping Sejeong sepulang sekolah. Mengantarnya sampai persimpangan yang memisahkan arah mereka. Sejeong seolah bisa mengisi spot yang kosong di hati Wonwoo sementara tidak bisa menemui sahabatnya sebanyak dulu. Dan Wonwoo mensugesti dirinya sendiri bahwa ini adalah hal yang baik. Lagipula Mingyu tidak akan keberatan kan? Kan?
Namun jika ada satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh Sejeong untuk menggantikan Mingyu, maka itu adalah saat mereka berhenti di toko kelontong sepulang sekolah. Wonwoo berhenti sangat lama di depan mesin penjual es krim. Mengamati satu demi satu jenis es yang dijual. Seraya mengingat Mingyu yang selalu berbagi popsicle dengannya.
Karena Wonwoo sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, Sejeong menghampirinya terlebih dahulu. Menepuk pundaknya dan berkata, "Ah bukankah itu popsicle yang selalu kau beli dengan temanmu itu? Mingyu?"
Tipikal Wonwoo. Selalu menceritakan tentang betapa akrab dia dan sahabatnya kepada siapapun yang bisa diceritakan tentang hal itu. Semua orang yang berasosiasi dengan Wonwoo, pasti mengenal siapa itu Mingyu.
Wonwoo segera berbalik untuk melihat Sejeong yang menatapnya dengan raut penasaran. Mengangguk pelan sebagai balasan.
"Haruskah kita membeli satu untuk kita?" tanya Sejeong. "Kita bisa memakannya di jalan."
Wonwoo tidak menjawab. Bermonolog dalam kepala untuk mempertimbangkan usul pacarnya. Wonwoo ingin makan popsicle. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali ia membelinya dengan Mingyu. Dia menginginkannya. Tapi "Tidak usah," adalah jawaban yang diberikannya kepada Sejeong.
Alis Sejeong berjengit, dia memandang Wonwoo heran. "Kenapa?"
"Tidak ingin saja," balas Wonwoo dengan bahu dikedikkan. Dia memasukkan tangan ke saku celananya dan berjalan mendahului Sejeong. "Ayo pergi," katanya.
Jika tidak dengan Mingyu, Wonwoo sama sekali tidak menginginkan popsicle.
.
.
Hubungan Wonwoo dengan Sejeong baik. Sangat baik. Mereka sering bertemu di sekolah. Bersembunyi di belakang pilar penyanggah atap berdua. Saling menyapa di koridor. Bertemu di lorong kelas dan berbisik-bisik halus mengenai rencana kencan sepulang sekolah. Belajar bersama di perpustakaan. Membaca buku berdua. Berjalan beriringan sepulang sekolah.
Mereka melangkah serempak di sepanjang jalan menuju rumah saat salju pertama turun di Seoul. Sejeong memberi Wonwoo sebuah beanie merah rajutan sebagai hadiah natal dan si anak laki-laki membelikan bando dengan telinga Rudolf si Rusa untuk Sejeong. Mengambil foto berdua di malam natal sebagai kenang-kenangan. Saat tahun baru mereka berdua saling mengirim kartu ucapan yang ditulis sendiri. "Selamat tahun baru, Aku mencintaimu." Diberi banyak lambang hati. Demikian isi kartu ucapan Sejeong. Meski milik Wonwoo hanya diisi dengan "Selamat Tahun baru" yang kaku. Tapi mereka berdua sama-sama menyukainya. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Teman-teman bilang mereka pasangan paling imut seangkatan. Komentar semacam itu selalu berhasil membuat Sejeong tersenyum. Wonwoo senang melihat senyum anak perempuan itu. Keduanya menikmati dengan baik ketika anak-anak kelas Wonwoo atau kelas sebelah menggoda mereka berdua setiap kali mereka saling mencari di kelas satu sama lain.
Hoshi selalu menggodanya dengan, "Pulang sekolah nanti mau kencan dengan Sejeong?" karena itulah yang dilakukan oleh Wonwoo dengan pacarnya setiap pulang sekolah.
Anak-anak lain mengatakan, "Kalian berdua sangat cocok. Aku iri." dan "Menikahlah kalau sudah lulus SMA nanti."
Wonwoo akan tersenyum bangga.
Wonwoo sama sekali tidak pernah memikirkan tentang pernikahan ―tentu saja― tapi dia dengan senang hati menyetujui perkataan teman-temannya saat mereka mengusulkan itu. Masih jelas teringat dalam kepala Wonwoo gambaran senyum malu-malu Sejeong pada momen yang sama.
Mereka bahagia. Menurut persepsi Wonwoo.
Oleh karena itu dia gagal mengerti. Saat Sejeong mendatangi kelasnya pada pagi sehari sebelum valentine. Kepala tertunduk dan hanya berdiri di depan pintu kelas. Memanggil Wonwoo dengan suara lemah.
Hoshi yang memberitahu Wonwoo perihal keberadaan gadisnya di kelas mereka pagi itu. Menepuk punggung Wonwoo dan berbisik di telinganya, "Pacarmu datang tuh."
Kemudian Wonwoo segera menyongsong gadis itu. Mengabaikan godaan dari teman-teman yang dibumbui dengan siulan penuh makna.
"Ada apa pagi-pagi?" tanyanya santai. Sama sekali tidak memusingkan kerutan di kening kekasihnya.
"Aku mau bicara," jawab Sejeong dengan rahang dikeraskan.
"Tapi kelas akan dimulai sepuluh menit lagi."
"Tidak akan lama kok."
Setelah itulah baru Wonwoo menyadari bahwa kekasihnya sama sekali tidak tersenyum seperti yang selalu dilakukannya di depan Wonwoo. Dan raut lelah yang sangat jarang digunakannya sekarang menjadi warna utama wajahnya. Akhirnya meski sedikit enggan, Wonwoo mengikutinya keluar kelas. Berteriak kepada Hoshi untuk mengatakan kalau dia sedang ada di kamar kecil kalau guru mereka datang sebelum dia kembali.
"Aku sudah banyak memikirkan ini," begitu Sejeong memulainya setelah mereka berdiri berdua di bangunan belakang sekolah yang sepi. "Aku mau kita putus."
Semudah itu. Sejeong melemparkan maaf dengan bisikan lemah dan kepala ditundukkan. Tidak berani memandang wajah Wonwoo dalam prosesnya. Wonwoo sudah menerka apa yang akan dia katakan sebelum kalimat itu sendiri keluar dari mulutnya.
"Kurasa aku mau bertahan sampai setidaknya kita merayakan valentine berdua, tapi entah kenapa rasanya sangat janggal. Seperti ada yang salah. Aku sama sekali tidak bisa melakukannya."
"Ah," Wonwoo mendengus. Sama sekali tidak memahami alasan Sejeong. Tidak tahu apa yang salah menurut anak perempuan itu. Wonwoo ingin bertanya kenapa. Tapi harga diri menahan dirinya dari melakukan hal itu. Sejak awal Sejeonglah yang menginginkan ini. Dia yang membuat pernyataan. Dia yang mengajak Wonwoo berpacaran. Dan sekarang, mungkin setelah empat bulan bersama, akhirnya gadis itu merasa lelah.
Wonwoo menyadari kekurangannya. Seperti yang selalu dia akui kepada Hoshi sejak perbincangan pertama mereka. Dia sama sekali bukan anak yang seru. Dia tidak bisa mengimbangi keceriaan Sejeong. Dan mungkin anak perempuan itu sudah menyadarinya setelah empat bulan menghabiskan banyak waktu bersama. Pesona wajahnya mungkin saja akhirnya luntur di mata gadis itu karena sama sekali tidak didukung dengan sifat menyenangkan. Meski sudah memberikan usaha maksimalnya untuk menjadi yang terbaik, Wonwoo tentu saja tidak bisa mengubah dirinya seutuhnya. Beginilah dia adanya. Wonwoo tidak akan bertanya kenapa. Sejeong yang memulai semuanya. Dan jika dia sudah memutuskan untuk mengakhirnya, Wonwoo akan menerimanya. Tanpa tanya dan tanpa argumen.
"Baiklah, aku tidak keberatan. Ayo kita putus."
Sejeong mengangkat kepala dengan cepat setelah mendengar jawaban Wonwoo. Rasa lelah dan kesedihan yang tadi menghiasi sorot matanya kini digantikan oleh keterkejutan. "Serius?" tanyanya. Alisnya menukik sebelah. Bola mata dibesarkan dari ukuran aslinya. Menatap tidak percaya kepada anak lelaki di hadapannya. "Kau tidak marah sama sekali?"
"Kenapa harus marah?"
"Kita sudah pacaran selama empat bulan dan aku tiba-tiba saja memutuskanmu. Kau seharusnya setidaknya bertanya kenapa. Kau seharusnya marah."
Benar. Wonwoo seharusnya bertanya kenapa. Tapi memangnya apa yang akan berubah meski dia bertanya? Dan sekarang dia menjadi bingung dengan Sejeong. Tidak mengerti dengan rona merah di pipinya atau kristal bening di matanya yang mengancam akan jatuh dalam beberapa detik lagi.
"Ini adalah keputusanmu. Kita berpacaran karena kau memintaku. Dan sekarang kau mau mengakhirinya. Aku menghargai keputusanmu itu."
Sejeong membuka mulutnya hendak memberi argumen lain tapi memutuskan untuk membatalkan niat itu, segera menutup mulutnya lagi. Air mata dari sebelah mata kiri sudah benar-benar jatuh melewati pipinya. Dia terlihat marah dan sedih di saat yang sama. Dijalankannya tangannya untuk menyisir rambut panjangnya ke belakang. Masih memberi pandangan tidak percaya yang sama kepada Wonwoo. "Dasar tidak berperasaan," teriaknya dengan keras. Dia memberi pandangan marah kepada Wonwoo untuk terakhir kali sebelum berjalan menjauh dengan kaki dihentakkan. Air matanya sudah benar-benar jatuh dari dua sisi matanya sebelum dia berbalik.
Wonwoo memandang punggung dan rambutnya yang berkibar sementara gadis itu menjauh darinya. Betul-betul hilang dalam pikirannya. Kata-kata gadis itu memantul-mantul dalam kepalanya. 'Dasar tidak berperasaan' katanya. Tapi Wonwoo masih tidak paham dimana letak kesalahannya.
.
.
"Apa kau bodoh?" ejek Hoshi saat Wonwoo membeberkan akhir kisah cintanya dengan Sejeong sebelum pergantian jam pelajaran ketiga mereka.
Alis Wonwoo dinaikkan sebelah dengan offensive. "Kenapa kau jadi mengataiku?"
"Ya Tuhan, kau benar-benar idiot ya." Hoshi mengerang dari tempatnya. Mengabaikan Wonwoo yang mendengus tersinggung. Kemudian anak lelaki bermata sipit itu melanjutkan, "Dia itu tidak benar-benar memutuskanmu, bodoh. Dia sedang mengujimu."
"Menguji?"
"Dia mau kau menahannya. Menolak putus. Melakukan sesuatu yang gila atau apalah supaya dia tidak jadi memutuskanmu."
"Mana mungkin seperti itu. Dia memutuskanku dan aku menghargainya."
"Bro," ujar Hoshi dengan gaya sok bijak andalannya. Satu tangan diletakkan di bahu Wonwoo, berpura-pura memberi petuah paling berfaedah abad ini. "Kalau kau betul-betul mencintainya, kau pasti akan menahannya."
Tawa Wonwoo meledak seketika mendengar perkataan temannya. Karena bukan seperti itu cinta yang Wonwoo tahu. Merujuk pada referensi buku dan novel romansa yang dibacanya, "Bukankah seharusnya sebaliknya? Kalau kau mencintai sesuatu, maka kau melepaskannya saat dia ingin pergi."
Hoshi mendecakkan lidah. Melempar tatap gemas kepada temannya. "Itu hanya terjadi di buku ceritamu, Won. Cinta tidak sesederhana itu."
Lucu bagaimana jika mengingat beberapa bulan ke belakang, Hoshi sendirilah yang memberitahunya bahwa cinta itu adalah sesuatu yang sederhana.
Hoshi kembali berbicara tanpa mempedulikan sekitarnya, "Cinta tidak seajaib dalam buku cerita. Tidak seromantis itu. Cinta adalah perjuangan tiada akhir untuk mendapat kebahagiaan."
Wonwoo menadah selama beberapa detik. Gambaran senyum Sejeong terpampang di langit-langit kelas. Dia menyukai senyum gadis itu dan bahagia jika dialah yang menjadi alasan pelangi terbalik di wajahnya yang kecil. Apakah rasa itu belum cukup besar untuk diterjemahkan sebagai cinta?
Jika cinta adalah metafora yang sulit seperti yang terucap dari bibir Hoshi, maka Wonwoo memilih untuk selamanya tidak usah jatuh cinta.
.
.
Sebenarnya cinta itu apa?
Pertanyaan Wonwoo di usia tiga belas.
.
.
"Hm jadi dia memutuskanmu?"
Suara Mingyu sama sekali tidak terdengar bersimpati. Sorot kasihan atau apapun yang sejenis dengan itu sama sekali tidak berbekas dalam tatapannya. Dia sibuk menjilati popsicle dingin yang sudah tinggal setengah.
Hari itu valentine day. Berselang sekitar tiga puluh jam ―kurang lebih― setelah Wonwoo diputuskan oleh Sejeong. Mereka sedang duduk berdua di depan toko kelontong dekat rumah. Masih menggunakan seragam sekolah lengkap dengan ransel dan sepatu. Sama sekali belum menginjakkan kaki ke rumah masing-masing. Wonwoo sudah berpesan kepada yang lebih muda tadi pagi sebelum keduanya berangkat sekolah untuk bertemu di sini.
Wonwoo tidak menjawab. Juga tidak melakukan apa-apa. Matanya dipakukan kepada jalanan basah di depannya. Sisa hujan beberapa jam lalu. Popsicle di tangannya sama sekali belum disentuh, belum dikeluarkan dari bungkusnya. Pikirannya terlalu penuh dengan hal lain saat itu.
"Hyung, apa kau mendengarku?"
Tidak ada jawaban.
"Hyung? Apa kau di sana?"
Nihil.
Merasa bahwa Wonwoo tidak akan menjawabnya, akhirnya Mingyu menggeser posisi tubuhnya. Merangsek mendekat kepada anak lelaki yang lebih tua. Menggerakkan tangannya dengan motion melambai di depan wajah Wonwoo. Saat Wonwoo masih tidak bergerak dari kondisi melamunnya yang konsisten, akhirnya Mingyu meletakkan kedua tangannya di masing-masing telinga Wonwoo. Kemudian menarik wajahnya sehingga menghadap kepadanya.
"Yaak Jeon Wonwoo apa kau sesedih itu diputuskan?"
Barulah Wonwoo terlihat kembali memperoleh kesadarannya. Dia mengerjap singkat, tergagu lalu menjawab dengan terbata, "Hah apa yang kau bicarakan?"
"Kubilang, apa sesedih itu diputuskan pacarmu? Sampai bengong begitu."
Wonwoo lagi-lagi tidak menjawab. Dia kembali mengalihkan pandangannya dari sang sahabat. Memberi perhatian kepada popsicle dingin di tangannya sebagai gantinya. Dengan cepat dirobeknya pembungkus popsicle itu. Mengeluarkan isinya yang sudah meleleh sebagian dan mengistirahatkannya di goa mulutnya selama beberapa detik. Mengingat kembali sensasi jajanan kecil itu di lidahnya. Betapa Wonwoo merindukan rasa ini.
Untuk mengatakan bahwa dia sedih pasca berpisah dengan Sejeong rasanya terlalu berlebihan. Karena sedih rasanya bukan frasa yang tepat digunakan untuk mewakili rasa kosong di dadanya saat ini. Rasanya seperti kehilangan sesuatu. Tapi sedih, tidak. Faktanya dia malah merasa sedikit desakan rasa lega membanjiri dirinya dan itu adalah sesuatu yang aneh, kata Hoshi.
"Aku tidak sedih," Wonwoo akhirnya menggetarkan pita suaranya setelah membisu beberapa saat. Tidak memandang Mingyu. Kemudian melanjutkan dengan pelan, "Malah rasanya seperti baru saja terbebas dari beban berat."
"Kenapa begitu?"
"Entahlah." Wonwoo menggigit popsiclenya. Memandang kelopak bunga yang jatuh di atas tanah. Lalu segera mendapat ide, "Kau tahu? Aku pernah membaca ini di buku, aku lupa yang mana…" Dia berhenti di sana. Dengan sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Apa?"
Wonwoo sekali lagi menghisap popsiclenya sebelum berbicara, "Terkadang kita jatuh cinta kepada seseorang. Dan dia membuatmu merasa seperti ada bunga yang bermekaran di paru-parumu." Dia berhenti lagi. Menghisap posiclenya lagi. "Meski mereka sangat indah, tapi kelopaknya menghambat trakea. Aku tidak bisa bernapas."
"Eey cheesy." Mingyu memukul lengan Wonwoo dengan candaan ringan. Menertawai sebaris puisi yang baru saja dikutip hyungnya itu. "Jadi apa dia membuatmu susah bernapas? Sehingga kau merasa lega setelah melepasnya?"
"Tidak juga," sahut Wonwoo. Mengundang tanya dalam pandangan Mingyu. "Berpisah dengan Sejeong tidak memberiku kelegaan seperti itu. Saat bersama Sejeong, bukan kelopak bunga yang mengganggu respirasiku. Tapi batu yang sangat besar. Bukan hanya membuatku sesak, tapi juga membuat memar. Dan aku bahkan tidak menyadari kalau aku terluka sampai batu itu diangkat."
Mingyu tertawa seolah tutur kata yang baru saja menyelinap lincah dari lidah hyungnya adalah hal paling menggelikan yang dia dengar sepanjang tahun. Kemudian dia berucap, "Aku baru tahu kalau hyung orangnya puitis."
"Aku tidak sedang mencoba puitis."
"Ya, ya. Terserah katamu," Mingyu menggusak rambut Wonwoo. Mengabaikan fakta bahwa dialah yang lebih muda lalu terkekeh, "Tapi untukku, kurasa pengertian cinta yang seperti itu terlalu berat."
Wonwoo tersenyum miring. "Kenapa? Apa kau akhirnya menemukan arti cinta?"
"Untuk anak SD sepertiku," kata Mingyu pelan sebagai permulaan. Dan meski Wonwoo berpura-pura acuh, dia menemui dirinya yag mengantisipasi kata selanjutnya yang akan keluar dari mulut sahabatnya. Adrenalinnya berpacu dengan tidak sabar menanti Mingyu melanjutkan. "Karena kau mengatakan ada banyak jenis cinta, dan aku masih terlalu naif untuk memahaminya satu per satu jadi aku mencoba menggeneralisasinya."
"Hm?" Wonwoo memasang telinganya dengan baik.
"Bagiku cinta itu adalah perasaan hangat saat bersama seseorang. Seperti saat eomma memasakkanku sup waktu sakit, seperti waktu melihat eomma dan appa duduk berbaikan setelah bertengkar, seperti saat makan bersama di malam hari, perasaan ada di rumah bersama orang-orang yang membuatmu bahagia dan juga bahagia saat bersamamu. Itu adalah cinta."
"Itu konsep yang bagus." Wonwoo memutar kepala untuk memandang ekspresi Mingyu. Mengacungkan jempolnya ke arah wajah temannya yang tersipu malu.
Lalu Mingyu berkata "Ini juga adalah cinta." seraya menunjuk kepada dirinya dan Wonwoo secara bergantian berkali-kali. Dan pada detik itu Wonwoo mendapati seluruh semesta katanya berlari meninggalkannya. Ketika melihat bibir Mingyu bergerak mengucapkan empat kata itu dan bagaimana dia melakukannya seraya mereferensikan mereka berdua. Jantungnya terasa berhenti bekerja untuk sesaat. "Duduk berdua dengan hyung seperti ini, berbagi popsicle, mengobrol, atau saat kita menonton Home Alone berdua, makan popcorn buatan eomma atau bibi, itu adalah cinta. Karena menghabiskan waktu berdua dengan hyung membuatku merasa hangat."
Membeku dalam motion singkat selama beberapa saat. Wonwoo mencoba mencerna perkataan sahabatnya. Dan menganggukkan kepalanya secara imajiner. Membenarkan kata-katanya. Menghabiskan waktu berdua dengan Mingyu membuat sesuatu yang hangat seolah membanjiri dadanya. Hal yang tidak pernah dia dapat bersama Sejeong. Dia bahkan tidak menyadarinya sampai Mingyu mendiktekannya untuk dirinya beberapa detik lalu.
Tapi Wonwoo sore itu meninju lengan atas Mingyu dengan pelan sebelum berkata, "Eey kau lebih cheesy dariku."
Dan mereka tertawa. Menghabiskan kembali popsicle mereka. Saling bertukar popsicle untuk mencoba rasa milik satu sama lain.
Di usia dua belas dan tiga belas, ini adalah cinta bagi mereka. Berbagi popsicle dan tertawa berdua. Sesederhana itu.
-kkeut-
Semoga suka :)
