Title : Vongola Café
Genre : Horror / Humor (maybe?)
Pairing : Undecided, slight Allx27
Warning : Sho-ai, OOC, AU
Colabfic with Ciocarlie-senpai
Katekyo Hitman Reborn © Amano Akira
Inspirated by Ghost Only Manga © Shin and Yui
…
Chapter 1, Welcome to Vongola Café
…
Sebuah tempat makan yang tampak sangat mewah dan juga megah terlihat di tengah hutan yang cukup lebat. Nuansa seram dan mencekam bisa dirasakan saat berada bahkan hanya di depan pintu masuk café itu. Suara decitan pintu kayu terdengar seolah membunuh keheningan yang ada di sana. Suasana gelap sangat tidak kontras dengan nama café untuk tempat ini.
Seorang pemuda berambut cokelat, dengan mata hazel itu tampak mencoba mengintip dari celah pintu dan mencoba membuka lebih lebar pintu yang ada di tempat itu.
"A—aku kembali…"
…
Suara angin tampak berhembus seolah mengatakan kalau tidak ada orang di dalam ruangan itu. Tetapi, bagi pemuda itu yang sudah cukup lama berada di tempat itu, tentu saja tidak ada kata sunyi untuk tempat seperti rumah makan yang hanya buka saat malam hari saja itu.
"Herbivore…" suara yang dalam dan juga datar itu membuatnya terdiam dan membeku. Menoleh perlahan menuju ke sampingnya, menampakkan sosok pemuda berambut hitam dengan mata abu-abu tajam menatapnya dengan tatapan dingin dan juga seram. Seseram apa? Bayangkan saja kalau ada efek petir yang menyambar dan juga beberapa bola arwah yang melayang di sekelilingnya, "apa yang membuatmu datang cukup lama…"
"H—HIEEEE! H—Hibari-san, maafkan aku!" mundur dengan cepat hingga menabrak sesuatu, menoleh untuk menemukan sosok pria berambut merah dengan sebuah perban yang menutupi wajah bagian kanannya. Dan yang harus diingat, tubuh pemuda itu tampak transparan dan tidak memiliki kaki—dengan kata lain, pemuda itu adalah hantu, "HIEEE! G-san!"
"Ah maafkan aku Tsunayoshi—" hantu bernama G itu tampak melepaskan kedua tangannya karena tahu kalau pemuda berambut cokelat itu sebenarnya sangat takut dengan hantu—dan seolah takdir mempermainkannya, pemuda bernama lengkap Sawada Tsunayoshi itu sejak kecil bisa melihat hal-hal yang tidak kasat mata itu. Sweatdrop saat melihat Tsuna yang menyingkir dengan segera dan memojok untuk menghindar dari semua yang ada di sana, "—kau menakutinya…"
"Hn—yang aku tahu ia terlambat untuk bekerja…" berbalik pemuda bernama Hibari itu meninggalkan kedua sosok itu—satu manusia dan satu hantu.
"Geez, anak itu—" menggaruk kepala belakangnya, G tampak menoleh kearah Tsuna yang sepertinya sudah tenang dan bisa mendekatinya, "—sudah tenang?"
"Ma—maafkan aku G-san…"
"Tidak apa-apa," menepuk kepala Tsuna dengan pelan—kenapa tangannya yang tampak tembus itu bisa menyentuh Tsuna, hanya tuhan dan author yang tahu, "semuanya sudah menunggu, semua bahan sudah kau beli bukan?"
"Begitulah—" menunjukkan sebuah kantung yang tampak penuh dengan barang-barang belanjaan, "—memang apa tema makanan kali ini G-san?"
"Inginnya masakan Italia, tetapi kau tahu tamu disini seenaknya sendiri kan?" menghela nafas—oke, entah apa yang ia keluarkan karena tidak mungkin hantu bisa bernafas bukan? G tampak membantu Tsuna untuk membawa belanjaan itu menuju ke bagian dalam dari restoran itu.
"Ahahaha—ingat saat ada yang meminta Risotto dikombinasikan dengan Ikan Sanma Panggang?"
"Itu masih mending bukan?"
Tsuna tampak tertawa—seolah awalnya ia tidak menunjukkan rasa takutnya pada hantu berambut merah di depannya saat ini.
—Tsuna's POV—
Namaku adalah Tsunayoshi Sawada, usiaku 14 tahun—tempat yang sekarang ini ada di hadapanku adalah Vongola Café. Rumah makan yang unik, bukan hanya karena buka pada malam hari, tetapi tempat ini adalah café yang khusus melayani para tamu yang merupakan hantu yang penasaran.
Benar—hanya aku yang merupakan manusia, pemuda berambut hitam yang tadi 'menyambutku' adalah Hibari Kyouya-san, pemilik dari tempat ini. Atau katanya sih ia dititipi seseorang untuk menjaga tempat ini. Entah oleh siapa—
Lalu, hantu berambut merah dengan perban yang menutupi sisi kanan wajahnya adalah G.-san. Dia adalah koki di tempat ini—dan ada yang bilang ia hidup sudah 4 abad lamanya, tetapi tidak ada yang tahu pasti apakah benar atau tidak yang disebutkan itu. Masakannya bisa dimakan kok, bahannyakan benar-benar nyata karena aku yang membelinya.
Sejak kecil aku sudah bisa melihat hal-hal seperti ini—walaupun tidak ada orang yang mengetahuinya bahkan kedua orang tuaku. Atau mungkin—mereka menolak untuk percaya pada kekuatannya. Walaupun aku bisa melihat hantu, sebenarnya—
"Ah, kau datang juga Tsu-kun~" sesosok hantu perempuan dengan darah yang mengalir dari luka menganga di perut dan juga matanya tampak menyapaku—salah satu pelanggan rumah makan ini. Dan satu hal yang akan kulakukan saat dikejutkan oleh para tamu ataupun staff.
"HIEEE!"
—tentu saja aku akan berlari dari mereka, menjauhi para makhluk yang berada diantara ada dan tiada itu. Walaupun aku bisa melihat mereka sejak kecil, tetap saja aku tidak bisa menghilangkan rasa takutku pada mereka!
—End of Tsuna's POV—
Tampak terengah-engah, mengambil nafas dalam-dalam karena berlari hingga bagian belakang dapur—mencoba untuk menunduk dan memegangi dadanya.
"Ah, mengejutkan saja…"
…
"T—Tsuna-san, selamat datang…" suara yang bahkan terdengar berbisik itu membuatnya menoleh dan menemukan sosok perempuan yang tampak memakai perban di lehernya dengan sebuah penutup mata yang menutup mata kanannya. Rambut birunya tampak tergerai dan memiliki panjang hingga sebahu.
"Ah, terima kasih Chrome—ayo kita berjuang untuk hari ini!" menepuk kepala gadis bernama Chrome itu, Tsuna tersenyum lembut membuat wajah gadis itu memerah.
"Ah—" saat Tsuna menepuk kepala Chrome, perban yang melilit leher itu tampak tidak kuat hingga terlepas. Dan yang terjadi setelah itu—kepala gadis itu menggelinding begitu saja jatuh dari tubuhnya. Berteriak dalam diam, Tsuna berjongkok di sudut ruangan dengan aura gelap yang mengelilingi tubuhnya, 'kenapa nasibku seperti ini…' hanya itu gumamannya yang terdengar saat Chrome mendekat.
"Oke, saatnya untuk bekerj—" G yang baru saja menyusul Tsuna melihat pemuda itu memojok tampak hanya bingung dan meliat Chrome yang mencoba mengambil kepalanya, "—ada apa dengannya?"
"Ah," memegang kepalanya dengan kedua tangannya—mencoba untuk memposisikannya di tempat yang benar, "—karena Tsuna-san menepuk kepalaku terlalu keras, sepertinya perban yang mengikat kepalaku terlepas dan membuat kepalaku jatuh…"
"Pantas saja…"
"Aku akan meminta Daemon jii-san untuk memasangkan lebih erat lagi—" berlari kecil sambil tetap memegang kepalanya agar tidak jatuh, Chrome meninggalkan G dan juga Tsuna yang tampak masih down karena hal itu.
"Aku tidak mengerti kenapa kau mau bekerja di tempat seperti ini padahal kau tahu kalau tempat ini khusus untuk hantu yang sangat kau takuti—"
"Aku tidak bisa membangkang Hibari-san dengan tatapannya yang mengerikan itu," menyenderkan kepalanya di dinding, air mata tampak mengalir deras dari matanya. G yang sebenarnya sudah tahu apa yang menjadi alasan dari Tsuna tampak mendengarnya sambil menyiapkan bahan-bahan makanan untuk malam itu, "lagipula—"
G menoleh saat suara Tsuna mengecil.
"Baru kali ini ada yang mengatakan kalau aku dibutuhkan—" menyatukan kedua telunjuknya sambil mengerucutkan bibirnya, mencoba untuk mengecilkan suaranya hingga terdengar berbisik, "—pokoknya, aku akan berusaha sekuat tenaga agar aku tidak takut lagi pada hantu!"
"Kalau kau sudah bisa membantu Chrome untuk memasangkan kepalanya tanpa berteriak, aku akan mengakui kalau kau sudah tidak takut lagi," Tsuna membatu mendengar perkataan G. Yah, ia tidak pernah sekalipun tidak berteriak dan menjauh saat gadis berusia sama dengannya itu mengalami hal seperti itu—kepalanya jatuh. Lagipula, mana ada manusia normal yang tidak takut melihat sosok dengan kepala yang menggelindungi di depannya?
"Nfufufu~ sepertinya aku mendengar suara Tsunayoshi berteriak lagi—apa lagi yang membuatnya ketakutan?" kali ini pria berambut biru langit yang tampak memiliki model seperti semangka tampak muncul. Di dahinya tampak sebuah bekas tembakan pistol yang sedikit mengeluarkan darah. Beruntung karena poninya menutupi satu-satunya tanda bahwa ia adalah sesosok hantu yang tewas karena tembakan di kepalanya.
"Cicitmu membuatnya ketakutan lagi dengan menunjukkan kepalanya yang jatuh dari tubuhnya," G tampak tidak menghiraukan kedatangan hantu itu dan memasak beberapa bahan dasar dari makanan yang akan ia buat nanti.
"Oya, Chrome-chan tidak bermaksud menakutimu Tsunayoshi~"
"A—aku tahu Daemon-san, tetapi tetap saja—" cemberut mengembungkan pipinya dan membuat semua orang disana tampak berfikir hal yang sama.
'Lucunya…'
"Apa yang kalian lakukan disini—" suara itu membuat Tsuna menoleh dan menemukan Hibari yang menyinari dirinya dari bawah dengan lilin membuatnya tampak 'cukup' mengerikan, "—cepat bekerja, para tamu sudah mulai berdatangan…"
"HIEEE!"
…
"Selamat datang di Café Vongola—apa yang ingin anda pesan," dengan wajah masih pucat, Tsuna tampak mendatangi salah satu meja yang dihuni oleh dua sosok hantu dengan wajah yang pucat dan juga darah yang mengalir di matanya untuk sosok hantu perempuan itu.
"Tsu-kun selalu berusaha keras walaupun sebenarnya takut pada kami ya—" salah satu pelanggan tampak tertawa dan yang lainnya tampak menanggapi dengan tawa ringan juga. Terkadang, kalau mereka tidak mengagetkan Tsuna dengan datang tiba-tiba, Tsuna tidak pernah merasa takut karena mereka semua tampak ramah dan juga baik padanya.
"Be—begitulah…"
Sedikit berbincang-bincang dengan para pelanggan sebelum pada akhirnya kembali ke dapur untuk memberitahukan pesanan pada G saat itu.
"G-san, satu porsi sup miso dingin dengan nasi afrika!"
"Baiklah—kenapa kombinasinya aneh begitu sih?" tampak kesal dengan apa yang dipesan oleh para pelanggan, mencoba untuk memasaknya sambil menggerutu pelan. Tsuna tersenyum dan melihat sang boss yang sedang melayani beberapa pelanggan wanita yang sepertinya adalah penggemarnya.
'Me—memang sih, Hibari-san itu keren—' menatap Hibari dengan sedikit semburat merah di wajahnya, sadar dengan apa yang ia fikirkan dan menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan fikiran itu, 'Apa yang kufikirkan! Kami sama-sama laki-laki dan dunia kami sudah berbeda!'
"Tsuna…" menoleh saat mendengar suara lainnya, tampak sosok pria berambut hijau yang menguap dan mengucek matanya—tampak baru saja bangun dari tidurnya. Satu-satunya hantu yang tidak tampak seperti hantu—bukan hanya karena tidak ada bekas luka ataupun tanda-tanda kalau ia hantu, tetapi sikapnya dan juga auranya yang tidak menunjukkan kalau ia adalah hantu.
Tetapi tentu saja pemuda itu adalah hantu—Lampo, pemuda berusia 18 tahun yang tewas karena sakit. Mungkin menjadi satu-satunya hantu disini yang tidak pernah membuatnya takut. Sifatnya yang kekanak-kanakan membuat Tsuna menganggapnya sebagai adiknya walaupun usianya lebih tua daripada Tsuna.
"Lampo-san, sudah bangun?"
"Boss membangunkanku—jadi aku tidak bisa menolaknya deh," Tsuna menoleh kearah Hibari dengan tatapan bingung.
'Sepertinya sedaritadi Hibari-san tidak naik ke atas…'
"Apa yang bisa kubantu Tsuna…" Lampo dengan keadaan setengah mengantuk tampak menghampiri Tsuna dan melihat beberapa piring yang sudah siap untuk diantarkan.
"A—ah, ini untuk meja 10, lalu ini 5 dan ini—12," menunjukkan piring-piring yang tampak siap untuk diantarkan kepada pelanggan mereka. Dengan gesture malas, Lampo membawa ketiga piring itu menuju ke meja yang dimaksud oleh Tsuna.
"Tsu-chan, apakah sushiku sudah selesai?" salah seorang pelanggan tampak mengangkat tangannya dan Tsuna tampak mengangguk dan mengambil sushi yang ada di atas meja counter.
"Se—selamat menikmati!" membungkuk dengan segera dan berbalik untuk kembali ke dapur—ketika tidak sengaja Tsuna menabrak Hibari yang sedang membawa minuman untuk para pelanggan.
"Herbivore—"
"HIEE!"
"—jangan melamun, malam ini pelanggannya cukup banyak…" berjalan begitu saja tidak menghiraukan Tsuna yang sudah ketakutan setengah mati melihat sang boss dengan aura yang menyeramkan tampak akan memarahinya, "—lagipula ini adalah jam makan siang—untuk para hantu…"
"Ba—baiklah Hibari-san," tampak membungkuk dan berjalan untuk meminta pesanan dari para hantu, saat pintu depan terbuka dengan cukup keras, "selamat datang—" Tsuna melihat beberapa orang preman yang tampak garang masuk.
"Jadi ini yang rumornya adalah café untuk para hantu?" tampak kasar dan mencoba untuk memberantakkan ruangan itu. Saat itu, yang bisa dilihat oleh orang-orang itu hanyalah Tsuna dan juga Hibari, "apanya yang café para hantu? Kalian hanya membuat rumah makan ini menjadi terlihat seram saja bukan?"
"Hei—jangan membuat gaduh di tempat ini," dengan nada dingin dan juga monoton, Hibari menatap beberapa orang yang ada di sana, "kalian mengganggu para pelanggan kami…"
"Apanya yang para pelanggan—" menarik keran Hibari dan mendorongnya, salah satu dari mereka tampak mencoba untuk memukul Hibari, "—jangan sok berkuasa ya! Aku tidak takut dengan perkataanmu yang tidak memiliki bukti!"
…
"Kalau kau berbicara seperti itu," senyuman dingin dan juga samar tercipta di wajah Hibari saat itu. Bayangan dari semua tamu yang ada di sana, tampak terlihat sedikit demi sedikit—dan pada akhirnya memunculkan visualisasi yang samar dengan aura seram di sekeliling mereka, "jangan harap kalian bisa diterima di café ini saat kalian sudah mati…"
Tampak orang-orang itu wajahnya mendadak pucat begitu juga dengan Tsuna yang segera bersembunyi dibalik gorden yang ada di dekatnya. Seberapa lamanya ia berada di tempat ini, selalu tidak bisa ia menyembunyikan atau menghilangkan ketakutannya akan semua tamu dan juga staff disini.
"Kau akan biasa melihat hal seperti itu—" Hibari mengatakan hal seperti itu sebelum berbalik dan meninggalkan Tsuna yang terduduk karena kakinya yang lemas, "—mulailah bekerja lagi…"
"Aku sudah tidak kuaaat!"
…
"Baiklah—aku benar-benar tidak kuat lagi," kepalanya tergeletak begitu saja di atas meja, tampak sangat lelah dan juga lemas. Setelah ini Tsuna masih harus membuang sampah dan juga membersihkan café. Biasanya ia menyelesaikan itu semua hingga pukul 3 pagi dan hanya sempat tidur paling lama 5 jam, "dan perutku lapar…"
"Ini makanlah—" Tsuna menatap piring yang ada di depannya—berisi pasta dengan salmon dan juga zaitun di atasnya. Matanya berbinar dan menatap kearah sang pemberi makanan—sang koki G, "—bagaimanapun kau manusia, bisa-bisa kau mati kelaparan…"
"Ah, pasta buatan G-san, selalu ingin kucoba," tampak mengeluarkan setetes air liur dan mengambil garpu di samping piringnya. Menggulung pasta dengan garpu itu dan menyantapnya, "uwaaa! Enak sekali!"
"Syukurlah kalau kau senang—" tersenyum lebar sambil membungkuk sedikit mensejajarkan wajahnya dengan Tsuna, "—kalau kau ingin tambah aku bisa membuatkannya lagi…"
"Tidak—bisa-bisa aku tidak bisa tidur…"
"Tidak mau membolos saja?" Lampo yang membawa piring kosong—disuruh oleh G yang sedikit memaksanya dengan beberapa kali pukulan di kepalanya.
"Ti—tidak…"
"Herbivore—" Tsuna berbalik perlahan dan menatap Hibari yang membawa dua buah kantung sampah di kedua tangannya, "—buang sampah ini di tempatnya…"
"Baiklah Hibari-san," berjalan lunglai, mencoba untuk membawa kedua kantung itu sebelum dihentikan oleh seseorang—Spade yang tampak tersenyum penuh arti kearah Tsuna, "Da—Daemon-san?"
"Nfufufu, sayang kalau tanganmu ini membawa sesuatu yang menjijikkan ini Tsunayoshi," memegang kedua tangannya dengan kedua tangan Daemon, tampak sparkling-sparkling yang memenuhi sekeliling Daemon. Tsuna tampak sweatdrop dan yang lainnyapun juga begitu, "kenapa tidak Kyouya-kun saja yang membuangnya?"
"Ti—tidak apa-apa Daemon-san, lagipula hanya ini yang bisa kulakukan tanpa melakukan kesalahan," tersenyum dengan aura uke yang menyebar hingga 200 % membuat semua orang yang ada di sana tampak tertancap panah imajiner tepat di dada mereka—ya, termasuk Hibari.
"Bagaimana kalau kau saja yang membuangnya G?" seenaknya saja Spade menunjuk sampah di atas lantai itu dan menatap kearah G.
"Hell no!"
Tsuna yang tampak sweatdrop melihat kedua hantu itu hanya bisa menghela nafas dan menatap kearah sampah itu sebelum akhirnya membawanya dengan susah payah.
"Biar aku saja yang bawa—" suara itu tampak mengagetkan Tsuna dan membuatnya menoleh untuk menemukan seorang pemuda berambut perak panjang dengan perban yang melilit di hampir seluruh bagian kepalanya.
"Ah, Squallo-san—tadi kau kemana saja?"
"Ada sedikit urusan," menarik paksa dengan satu tangannya yang tampak masih utuh—untuk catatan, tangan kirinya tampak sudah hancur dan hanya tinggal tulangnya saja. Superbi Squallo, salah satu staff yang tadi tidak masuk—atau memang ia jarang menjaga toko ini seperti yang lainnya. Dan yang tidak ia duga adalah Squallo membawa sampah satu lagi dengan tangannya yang sudah hancur itu.
"Apakah tidak hancur karena beban Squallo-san?"
"Kau fikir aku tengkorak model—yang tulangnya rapuh atau hantu banci itu?" Squallo tampak marah dengan empat perempatan di atas kepalanya saat itu.
"Ara—Squ-chan, memang selalu Tsundere ya~" suara lainnya tampak terdengar dan membuat mereka menoleh untuk menemukan sosok tengkorak utuh yang berjalan. Yep—tengkoran utuh, yang tidak memiliki darah, daging ataupun kulit.
"L—Lussuria-san, kenapa kau tidak memunculkan tubuh aslimu saja?" Tsuna tampak mencoba untuk tidak takut dengan sosok yang ada di depannya saat ini. Lussuria, satu lagi staff yang aneh—biasanya selalu ada di café tetapi tadi tidak ada hingga café tutup.
"Squ-chan tidak memperbolehkanku, katanya lebih baik seperti itu—untuk menakuti manusia-manusia," Tsuna hanya bisa tertawa gugup dan menatap Squallo yang memalingkan wajahnya. Ia tahu sebenarnya itu karena Squallo tidak suka dengan tubuh asli dari Lussuria.
'Tsunayoshi…'
"Eh?" mendengar suaranya dipanggil, Tsuna tampak menoleh hanya untuk menemukan hutan gelap yang tidak ada siapapun disana.
"Ada apa Tsu-chan?"
"Tidak apa-apa, mungkin hanya perasaanku saja—" Tsuna tampak tersenyum dan berbalik untuk membuang sampah-sampah itu. Saat sosok mereka bertiga menghilang, tampak sosok pria yang tampak menatap mereka berdua.
…
"Akhirnya pekerjaanku selesai juga—" menghela nafas dan sudah berada di kamarnya yang berada di lantai 2 dari bangunan Vongola Café itu, Tsuna 'memutuskan' atau dipaksa oleh sang pemilik café—Hibari Kyouya untuk tinggal bersama dengan mereka di Vongoal Café itu.
Inginnya menolak, tetapi tatapan Hibari yang mengatakan 'menolak-kukutuk-kau' membuatnya otomatis menurut dan berakhir di tempat ini—sarang dari para hantu. Sebenarnya tidak apa-apa sih, ia juga tinggal sendirian dimana kedua orang tuanya berada di Italia.
Tetapi phobianya sudah cukup untuk menyiksa dirinya—walaupun yah, G dan juga yang lainnya sangat baik padanya dan berusaha untuk tidak membuatnya takut.
"Aku hanya berharap kalau phobiaku hilang—" menutup matanya dan perlahan kesadarannya menipis dan akhirnya tertidur begitu saja, bahkan tidak mengganti pakaiannya. Saat keadaan hening dan dipastikan Tsuna sudah tertidur, tampak muncul sosok hantu yang duduk di dekat Tsuna dan mencoba menyentuhnya.
Pria berambut kuning yang mirip dengan Tsuna itu hanya bisa tersenyum dan menatap Tsuna sebelum mengecup pelipisnya.
"Oyasumi—Tsunayoshi…" dengan segera bangkit dan keluar dari kamar itu, berjalan menuju ke ruangan yang ada tepat di samping Tsuna dan akan membukanya sebelum seseorang datang dan berhenti saat melihat pria itu.
"Lagi-lagi kau tidak bertemu langsung dengan Tsuna," G—tampak menyenderkan tubuhnya sambil menyilangkan tangannya, menatap sosok itu yang hanya tersenyum dan berbalik mendekati G, "apa yang sebenarnya kau inginkan?"
"Waktunya belum tepat G—" menghela nafas dan menatap G, tampaknya mengenal dekat sang hantu berambut merah itu, "—Tsunayoshi tidak boleh sampai tahu kalau aku berada disini…"
"Yang benar saja—kau bahkan meminta anak ingusan itu untuk menggantikan posisimu sebagai pemilik bangunan ini semenjak Tsunayoshi memutuskan untuk bekerja disini—" mengacak rambut merahnya frustasi, "—apa yang sebenarnya kau rencanakan padanya, Giotto?"
…To Be Continue…
Another colabfic w/ Cio-senpai XD
Cio : Ada beberapa orang yang minta Insieme untuk dilanjutkan, dan kau malah membuat cerita seperti ini…
So—soalnya, Future of Us punya sensei itu lebih bagus ceritanya—jadi minder…
Cio : bukan alasan yang bagus =="
Sudahlah, jadi—ini mengambil ide cerita dari Ghost Only dengan perubahan dimana-mana dan untuk sekarang list para hantu adalah :
G. (dengan perban yang melilit di sisi kanan wajahnya)—Koki~
Chrome (kepala putus XD)—staff~
Lampo (normal karena dia mati karena sakit)—staff~
Daemon Spade (lubang peluru di dahinya)—staff~
Squallo (bayangkan wajahnya itu kaya di battle Ring habis dia kalah XD trus tangan kanannya itu Cuma tengkorak dari bahu sampe bawah)—staff~
Lussuria (tengkorak full, beneran deh—tapi dia bisa munculin wujud aslinya)—staff~
Giotto (Normal, tidak diketahui mati karena apa)—Pemilik Vongola Café sebenarnya.
