je t'aime'
A SasuSaku fic
by Emi Y.
.
.
.
Disclaimer : Kishimoto Masashi.
Genre : Romance/Tragedy/Angst
Rating : T
Instruments : Tosca, Hana's Eyes and Still Waters—Maksim Mrvica, The Prayer—Celine Dion, Andrea Bocelli, Only Hope—Mandy Moore, Kiss From The Rose—Seal, Iris—Goo Goo Dolls, To You I Belong—B'Witched. A New Day Has Come—Celine Dion.
.
.
.
Death is only the beginning of life.
Don't worry mortal. Because God has given you forty days after your death to see your beloved people. Later, His angel will take your soul to the place you should be.
The new fate will start again when the previous life had been broken.
Broken.
Broken by the bond.
A bond called "love"
.
.
.
I pray you'll be our eyes, and watch us where we go.
And help us to be wise in times when we don't know.
Let this be our prayer, when we lose our way.
Lead us to a place, guide us with your grace
To a place where we'll be safe.
Dahulu, aku benci suara itu—suara nyanyian para jemaat di kapel. Aku benci suara itu. kukatakan sekali lagi. Aku sangat membencinya. Melodi itu seakan ingin meraih jiwaku, mencabutnya dengan segera layaknya aku ini lebih pantas tuk berada di neraka saja. Saat nakhoda kapal yang menaungi ruh ini telah hancur oleh ribuan makhluk menjijikkan di bawah sana, kini kusadari bahwa aku tidaklah membenci suara-suara itu. Aku hanya iri. Iri dengan kesederhanaan para manusia itu. Mereka tetap menyanyikan kidung pujian itu demi Ia, padahal aku? Aku hanya terdiam di sudut terowongan hitam dan gelap—di mana para iblis senantiasa menarik-narikku dalam sekat panas api di habitatnya.
Aku…
Aku ini apa? Mengapa aku tidak tahu aku ini sebenarnya apa? Bukankah aku manusia? Tapi…
Aku berdiri di temaramnya malam sebuah kota yang tak pernah gelap. Sekalipun iya, pasti kemilau sinar-sinar dari bola-bola kaca Kristal akan meneranginya—seakan tak ada malam bagi kota ini. Aku merindukan sinar. Aku—aku ingin tetap berada di tengah-tengah lautan cahaya putih yang hangat ini. Tuhan, biarkan aku menyendiri dalam kekosongan jiwaku untuk kali ini, biarkan aku menerka-nerka akan ke mana para malaikatmu akan menarikku kelak dan biarkan aku menikmati setetes cahaya lagi saat kutahu kini, aku tak mungkin bisa menikmati sinar dan cahaya ini lagi tuk selamanya…
Sebab…
Tertanggal 23 Juli, seminggu yang lalu, tepat di hari ulang tahunku—
Aku, Uchiha Sasuke.
Seorang pemuda tanggung yang tak pernah paham dengan arti agama dan Tuhan, akhirnya memahami bahwa Ia ada. Saat ini. Ia selalu megawasiku, mencatat segala perbuatanku—baik dan buruk, menentukan takdir yang tak bisa kepatahkan, yakni kematian…
Seminggu yang lalu hingga sekarang.
Aku—
…hanyalah ruh.
Sebuah ruh yang masih melayang-layang di kota yang penuh cahaya ini. Di mana aku bisa dengan leluasa membawa tubuh kosong ini ke mana saja. Tak peduli saat kulalui jalan-jalan ramai yang penuh dengan benda baja nan keras itu. Aku sudah mati. Kini, aku bukan lagi milik tubuh fana yang ringkih. Sesaat kematianku, aku pernah berujar pada-Nya, meminta sebuah kesempatan tuk melihat wajah-wajah yang tak pernah kutemui dalam hidupku. Ibuku, ayahku, aniki, Naruto, sahabatku, dan juga… gadis itu…
Aku adalah penderita sickle cell anemia*. Sel darah merahku terus saja memecah karena tak bisa mengikat oksigen. Penyakitku adalah sebuah penyakit gen sehingga aku tak bisa menyalahkan orangtuaku. Aku pun tak bisa menyalahkan para dokter yang terus saja memantau kondisiku. Selang-selang nafas dan kantong-kantong darah menghiasi ruang tidurku. Aku bak penderita leukemia tapi tidak seperti itu. Aku pernah berujar sebuah lelucon pada Naruto—sahabat karibku—bahwa penyakitku mirip dengan kondisi seorang vampire. Vampire butuh darah karena sel darah merahnya tak bisa mengikat oksigen—sama seperti aku. Bedanya, vampire bisa hidup abadi meski mereka tidur selama ribuan tahun di dalam peti mereka. Namun, aku… Aku abadi dalam kematianku…
Upacara kematianku tersebar luas. Mengapa tidak? Aku adalah seorang pianis terkenal yang selalu menjadi icon di sekolahku. Sebuah sekolah khusus pria yang hanya diisi dengan anak-anak berbakat, tak terkecuali Naruto—sang violinist yang setia menjadi partnerku. Ia-lah yang paling paham akan diriku, setelah ibu dan aniki. Ia-lah juga yang memahami penderitaanku. Sempat aku mengatakan padanya, jika aku tak mati meski tubuh ini telah merasa begitu sakit dan lelah, berilah aku persetujuan tuk melakukan euthanasia*. Tanggapannya? Ia memarahiku. Katanya, bukan aku yang menentukan kematianku, tetapi Tuhan.
Tuhan…
Kenapa kau beri aku derita ini? ujarku di saat umurku masih sepuluh tahun. Apakah Kau membenciku? Ataukah…
I pray we'll find your light,
And hold it in our hearts
When stars go out each night,
Remind us where you are…
Lagi. Aku bergumam di tengah-tengah cahaya yang begitu hangat ini. Hanya di kota inilah aku bisa merasakan kehangatan meski aku tahu ruh ini adalah sebuah kekosongan. Kosong. Empty. Tak ada yang lain selain berkas kertas putih yang tak tercoret oleh segaris tinta apapun.
Dentingan genta raksasa menggema dan membuatku menatap nanar ke arah angkasa yang hitam itu. Sangat luas tapi tak ada bintang maupun bulan. Sungguh berbeda dengan keadaan di surga sana, mungkin. Aku tak mau memikirkan hal itu sekarang. Aku hanya bisa menutup kedua mata ini—mata yang beriris hitam dan kelam ini dan membiarkan denting bel raksasa milik kota ini tuk membunyikan melodi sedih, bak lengkingan tuts pianoku di saat-saat terakhir. Tepat di saat aku akhirnya bisa mempertemukan kedua mata ini di hadapan gadis itu…
Rain fell down. You were there
I cried for you when Ihurt my hand
Storm a-rushing in. Wind was howling
I called for you, you were there…
Hujan.
Aku sangat benci hujan. Karena hujan membuat manusia-manusia itu berlalu lalang ragu di sekitarku. Mereka berlari, berlari, dan berlari. Berlari dari para tetesan alami milik langit ini. Sungguhpun manusia memang adalah makhluk yang sempurna namun tak bisa mensyukuri karunia-Nya. Sebuah tetesan hujan dari awan hitam itu adalah pertanda akan akhir dari tujuh hari yang lalu saat ini. Kini, kalender kematianku bertambah satu lagi. Para malaikat yang masih mengawasiku dari atas sana terdengar telah mencoret satu angka lagi dari catatan mereka.
…sudah delapan hari, manusia. Tiga puluh dua hari lagi…
Aku tahu itu. Tapi, tetap saja aku masih tak bisa bertemu dengannya. Aku takut saat ia melihatku nanti. Bagaimana jika ia malah memarahiku? Tak suka bila tiba-tiba sosok hantu mendatanginya dan mengatakan sebuah kalimat klise 'je t'aime' padanya? Aku, di saat terakhirku, aku bahkan tak bisa mengatakan kedua kata itu padanya. Padahal, setahun sebelum kematianku, aku telah memperhatikannya dari kejauhan dan juga mengirimkan setangkai redrose padanya setiap minggu di lokernya. Meski sekolah kami berbeda, hal itu—meletakkan bunga mawar merah segar di lokernya—bukanlah hal yang sulit. Sebab—
Pemilik sekolahnya adalah ayahku.
Aku bisa meminta kunci loker siapapun dari sekolah khusus wanita itu. Seorang pria bahkan dilarang memasuki sekolah itu. Tapi bagiku, menyusup ke sekolahnya lagi-lagi hanya masalah trik dan kelicikan saja.
Dia. Gadis itu adalah seorang gadis pendiam dan pemalu, menurutku. Melalui teropong dari ruangan astronomi sekolahku, aku bisa memantau kesehariannya dari sekolahnya itu, sebab sekolah kami hanya berjarak beberapa blok saja, bahkan kalau boleh dibilang hanya berbeda satu lorong sempit saja. Keisenganku itu muncul sesaat setelah ia membuatku begitu kagum dengan dirinya. Yang kutahu dari Naruto, ia adalah seorang tuna wicara. Kelainannya itulah yang membuatku kagum. Ia berbeda dari semua gadis di sekolahnya.
Ia tak banyak bicara karena kondisi tubuhnya. Tapi, senyumnya bisa memberikan seribu kata bagi dunia.
Ia juga hanyalah seorang anak tunggal dengan latar belakang yang serba kekurangan. Ia bisa bersekolah ke sekolah milik ayahku itu karena kemampuan melukisnya. Ia sangat pandai menorehkan berbagai warna di atas kanvas putih yang begitu kosong—layaknya wujud tubuhku saat ini, kosong dan putih. Ia memang bukanlah Monalisa dan sosok wanita lainnya yang terlukisan oleh para maestro dunia lainnya. Tetapi sungguh, ia-lah mahakarya Tuhan yang begitu sempurna. Di balik ketidaksempurnaannya itu, aku tahu ia terlalu sempurna untuk sosok gadis sepertinya.
Kami tak pernah bertemu mata sebelumnya dan tak pernah saling berbicara. Karena aku tahu, ia adalah sosok gadis yang tak boleh tersentuh. Ia bagai porselen yang sangat mudah pecah, harus selalu dijaga kemurniaannya. Dengan begitu, kecantikannya bisa terlihat dengan anggun kelak. Itulah ia. Gadis tunawicara yang begitu memikat hatiku hanya dengan pandangan pertama saja. Hanya ia. Ya. Hanya ia.
Haruno Sakura…
Karena ia-lah, aku meminta empat puluh hari terakhirku pada Tuhan. Karena ia-lah, aku berharap Tuhan tidak segera mengambil tubuh kosongku ke neraka ataupun surga. Aku tidak tahu. Dan juga, karena ia-lah, aku rela menukarkan waktuku di surga—bila ada—demi tubuh yang hanya bisa terlihat oleh kedua mata safirnya. Hanya demi dia dan dua kata itu—
'je t'aime'
—i love you, Haruno Sakura.
.
.
.
And I'd give up forever to touch you
Cause I know that you feel me somehow
You're the closest to heaven that I'll ever be
And I don't want to go home right now…
Aku membiarkan tetes hujan ini membasahi tubuhku yang tak lagi merasakan apa-apa. Rasa sakit, dingin, beku, luka, dan semua rasa yang hanya bisa dirasakan oleh artificial body milik Tuhan itu tak lagi terasa. Aku bagai kehilangan seluruh serabut saraf dalam tubuhku. Namun, dengan kondisiku yang sekarang, aku harus bersyukur sebab rasa sakit akibat penyakit itu takkan lagi menggerogoti tiap serabut sarafku.
Kubiarkan air itu turun dari atas langit hingga di tempat aku berpijak kini. Jas hitam panjangku pun kubiarkan menjadi basah. Rambutku tak lagi berdiri tegak ke belakang—yang selalu saja menjadi bahan cemoohan bagiku oleh Naruto di sekolahku. Kemeja putihku turut basah, hingga tiap lekukan tubuhku terlihat. Kulitku kian memutih bak hantu. Aku memang hantu. Hantu yang masih penasaran, tentunya. Begitu kata orang awam bilang.
Kemeja putihku melekat erat di sekujur tubuhku yang pucat. Air dari atas langit tak mau berhenti terjatuh. Aku pun melentangkan kedua tanganku tepat saat satu sinar dari langit seperti menjadi nokhtah di sana. Aku menengadahkan kepalaku, mencoba meresapi anugerah Tuhan di malam yang kian menuju pagi ini. Para malaikat tampak berterbangan di atas sana—seperti berlarian menuju ke suatu tempat. Kuyakin, mereka akan memulai ritual mereka. Sebuah ritual di mana mereka akan bertemu dengan Tuhan. Mengucapkan doa di pagi hari sudah menjadi kebiasaan para malaikat yang siapapun tahu adalah makhluk yang tak pernah melanggar perintah -Nya.
Dan aku? Aku masih berpose layaknya Isa ketika ia disalib sambil masih mendongakkan kepalaku tepat ke atas langit yang lama-kelamaan mulai mengeluarkan sinarnya. Benda-benda baja itu menembus tubuhku begitu saja dan aku tak peduli. Yang kupedulikan hanya hangatnya mentari-Nya di pagi ini. Sangat hangat. Tak pernah kurasakan kehangatan macam ini di saat aku masih hidup. Tak pernah…
Seketika, angin pagi menerpaku. Sinar-sinar itu menembus langit dan meniupkan berbagai lantunan melodi santun bagai sebuah doa. Langit hitam berubah menguning oleh sinar sang mentari pagi. Aku tersenyum.
Kali ini, aku akan bertemu dengannya. Kali ini, aku bersumpah, di hari ke-delapan kematianku, aku akan menemuinya, meski hanya saling menatap tanpa berbicara…
.
I don't want the world to see me
Cause I don't think that they'd understand
When everything's made to be broken
I just wantyou to know who I am…
.
"Kau berangkat sekarang, dear?"
'ya'
"Kau tidak lupa dengan kuas-kuasmu kan? Terakhir, saat mau kompetisi, tiba-tiba saja Mom melihat kuas ukuran kecilmu tergeletak di atas meja belajarmu. Kali ini, yakin tak ada yang kelupaan?"
'aku yakin, Mom'
"Kalau payung, sudah kau bawa juga?"
'ngg… belum. Aku lupa'
"Ah ya, ini. Dipakai ya kalau nanti hujan. Soalnya, akhir-akhir ini hujan jadi sering datang padahal di ramalan cuaca dikatakan bahwa musim hujan telah usai. Huuftt…"
'baiklah Mom. Sudah kumasukkan baik-baik dalam tasku'
"Syukurlah kalau begitu. Nah, sekarang kau pergilah. Dad sudah memanaskan motornya di luar."
'ok'
"Hati-hati ya, Saku-chan! Kalau ada orang asing yang ajak bicara, jangan dijawab! Lalu, katakan terima kasih untuk Mr. Hatake karena sudah mengantarmu pulang kemarin malam karena hujan! Ok?"
'iya Mom! Aku pasti akan bilang. Bye, Mom!'
Gadis berambut merah muda sebahu dengan bando kuning melengang penuh senyum dari sebuah rumah kecil di sudut kota yang penuh dengan cahaya itu. Motor vespa butut milik ayahnya pun terlihat telah siap di luar pagar kayu yang memberikan jarak perlindungan bagi rumahnya dan juga jalanan. Gadis itu siap dengan harinya, bersama dengan sebuah tas lukis yang dipenuhi dengan peralatan melukisnya. Meski hanya dengan bahasa isyarat, sang ayah bisa paham dengan maksud putri tunggalnya yang bisu itu.
"Ayo, silakan naik, tuan putri. Nanti kau bisa telat ke pesta dan pangeran tidak bisa melihatmu dalam balutan gaun indah itu." ujar sang ayah—membuat sang tuan putri tersenyum malu.
'ayah… aku jadi malu. Ayo, kita berangkat sekarang… Yosh!'
"Haha, iya, iya, tuan putriku yang cantik." kata sang ayah yang berusia cukup renta itu. "Kereta labu siap untuk berangkat!"
'hahahaha…' tawanya ceria sambil duduk menyamping di motor vespa butut ayahnya.
Maka, motor vespa berusia cukup tua itu telah melesat pergi menjauh dari pelataran jalan sepi Orchid Avenue itu. Rumah-rumah minimalis bergaya Eropa tampak menghiasi seluruh tepi-tepi jalan utamanya. Suasana nyaman dan sejuk menjadikan kompleks perumahan ini terlihat bak kompleks istana milik para penguasa. Tapi, gadis berambut merah muda ini benar yakin bahwa selamanya ia takkan pernah mengecap rasa manis bak tuan putri dalam dongeng-dongen itu. Sebab, dengan ketdiaksempurnaannya, ia tahu dunia akan berpaling darinya segera. Logikanya, tak ada sosok pangeran yang akan mengajak seorang tuan putri bisu tuk berdansa…
Kelopak cherry blossom terlihat berjatuhan. Musim gugur yang datang terlalu cepat membuat suasana kota yang penuh dengan cahaya ini menjadi sedikit melankolis. Namun, di antara semua pohon cherry blossom yang ada, hanya ada satu pohon saja yang tetap tak ingin menggugurkan kelopak merah mudanya meski cuaca ingin segera menggersangkannya. Hanya satu—tepat di samping luar sebauh mansion tua yang terlihat kosong semenjak putra bungsu sang pemilik meninggal.
Motor butut itu melewati pohon cherry blossom aneh yang disebut-sebut begitu keramat oleh orang-orang sekitar. Rantingnya yang besar dan ukuran tangkainya yang sama besarnya semakin menjadikan pohon ini terlihat angker. Namun, bagi sang tuan putri, ia malahterlihat begitu kagum dengan kelopaknya yang tak pernah mati—bak selalu hidup abadi layaknya vampire. Tapi, melihat tepat di depan pohon itu adalah sebuah mansion tua yang kosong sejak seminggu yang lalu, gadis ini entah kenapa malah mengerutkan dahinya dan menatap sedih. Sedih? Entahlah, tapi firasatnya mengatakan bahwa salah satu pemilik mansion ini adalah orang baik-baik yang berakhir dengan cara yang menyedihkan.
Mata safirnya tak pernah lepas dari pohon cherry blossom indah itu. Ia menengadahkan kepalanya—mencoba memperhatikan dengan seksama pohon itu. Namun, entah itu halusinasinya sendiri atau memang nyata, kedua mata emerald-nya menangkap sebuah pemandangan aneh dari atas cabang besar pohon cherry blossom keramat itu.
Ia melihat seorang pemuda berjas hitam dan berambut biru kehitaman tengah tersenyum ke arahnya dari atas cabang pohon besar nan indah itu. Pemuda—atau hantu—itu tersenyum ramah dan terlihat tengah berdiri sambil menahan berat tubuhnya di atas cabang pohon cherry blossom itu dengan tangannya yang menopang ke main stem pohon.
Gadis itu membulatkan matanya perlahan dan mengedipkannya sekali. Setelah sang emerald terbuka, ia yakin, ia tak lagi menemukan sosok hantu atau manusia itu dari atas pohon besar nan keramat itu. Semuanya jadi aneh baginya hari ini. Jantungnya mulai berdegup kencang tak karuan dan refleks, jemarinya semakin menggenggam erat tas lukisnya.
'I-itu tadi apa? Ke-kenapa sepertinya aku melihat ada seorang lelaki berdiri di atas pohon itu? A-aku…'
"Hm? Kau kenapa, Sakura? Kenapa tiba-tiba jadi menggigil begitu? Udaranya terlalu dingin ya?" tanya sang ayah—berusaha mempertanyakan gerak-gerak aneh yang dibuat oleh putri semata wayangnya itu.
Gadis itu menggeleng perlahan dan kembali tersenyum manis. 'tidak kok, Dad. Iya, mungkin udaranya yang terlalu dingin…'
"Kalau memang karena udaranya yang terlalu dingin, nanti kau minta Mom-mu itu untuk membuatkanmu sweater yang lebih tebal lagi ya." saran sang ayah yang dijawab dengan anggukan tipis oleh sang anak.
Masih saja terpikirkan dalam benak gadis ini akan pengelihatannya beberapa menit yang lalu tepat di depan sebuah mansion tua yang tak lagi terdengar gaung percikan air mancurnya yang begitu indah. Dahulu, gadis ini sangat senang memperhatikan suasana menyejukkan dari arah luar pagar besar nan tinggi mansion termewah di area Orchid Boulevard itu. Meski hanya menadapati suara perci air mancurnya, hal itu bisa memberikan sedikit melodi kelegaan di hatinya—bak nyanyian Aphrodite dengan harpa kesayangannya. Namun, sekarang tak ada lagi suara nyanyian harpa ataupun lainnya. Setelah kejadian seminggu lalu, yang entah gadis ini tak tahu apa, mansion ini tak lagi dihuni. Kosong. Bak rumah hantu. Tapi, sehari setelah mansion ini tak lagi dihuni oleh para Uchiha—begitulah info kecil yang bisa diketahui gadis ini dari orang-orang sekitar—ada sebuah keanehan yang terjadi. Salah satunya adalah pohon cherry blossom tepat di samping kiri pagarnya dan juga…
Denting piano tepat di jam 12 malam—
Anggap saja bahwa semua itu hanyalah omong kosong belaka. Tapi, bagi gadis ini, ia tetap merindukan percikan air mancur indah yang tak lagi mengalir dan juga suara lembut melodi Fantasie Impromptu milik piano hitam yang terlihat dari sebuah kamar yang jendelanya selalu terbuka, meski ada tirai putih yang menghalanginya.
Semuanya jadi tampak berbeda hari ini bagi gadis yang tak mau mengeluarkan suaranya ini.
.
.
.
"SAKURA! Ohayou!"
'ohayou, Ino-chan…'
"Sudah siapkah dengan kompetisi hari ini?" tanya seorang gadis pirang panjang yang selalu menjadi ahli bicara bagi Sakura—soerang siswi tuna wicara yang sangat pandai melukis.
"Ngg, kau terlihat kurang bersemangat hari ini. Apa ada sesuatu yang membuatmu jadi begitu, hm?" tanyanya lagi sembari meminta siswi lain yang semakin memenuhi koridor pameran sekolah mereka tuk memberikan sang pelukis jalan.
'aku baik-baik saja kok, Ino-chan. Sungguh…'
"Kau yakin?"
'iya…'
"Baiklah kalau begitu." balasnya, "oh iya! Aku lupa memberitahukanmu sesuatu, Sakura!"
'ngg, apa itu?'
"Hm, kau tahu kan kalau pameran seni sekolah kita tahun ini adalah pameran terbesar yang pernah ada? Selain melihatmu berkompetisi, tetapi kau tahu tidak kalau kita juga akan mengundang para kaum adam dari sekolah itu ke sini? Hihi, awalnya sih Tsunade-sensei marah sekali saat aku mengajukan proposal itu tapi untung ada Hatake-sensei waktu itu. Jadinya, beliau mau juga tuh menandatangani proposalnya. Haha…"
Gadis beranama Sakura itu tersenyum. Belum pernah ia melihat kabar yang begitu mencenangkan begini sebelumnya. Baginya, dan bagi kebanyakan siswi di sekolahnya, memasukkan seorang pria atau anak laki-laki lain ke dalam sekolahnya adalah perbuatan yang begitu tabu. Namun, sahabatnya malah bertindak lain. Mungkin, ia sudah bosan melihat para gadis saja di sekitarnya. Menurut sahabatnya, Ino, takkan ada seorang gadis bila tak ada sosok lelaki.
"Nahh, siapa tahu saja ada anak lelaki yang mau kuajak jalan. Hihi."
'Ino-chan! Jangan begitu…'
"Haha, iya, iya, tuan putri. Fuuh, soalnya kan, tidak asyik kalau dalam tiga tahun di sekolah ini, kita tak pernah berinteraksi dengan anak lelaki. Dasar kepala sekolah yang menyebalkan. Ups. Haha…" cerocosnya dengan nada yang naik-turun.
'Dasar Ino-chan…'
Langkah kecil dua gadis ini pun berhenti tepat di sebuah pintu kayu geser. Papan berkaca bertuliskan 'Painting Room' terlihat jelas di hadapan mereka. Satu dari mereka pun memisahkan diri setelah menepuk pelan pundak gadis lainnya.
"Nahh, ganbatte nee, Sakura! Pokoknya, tahun ini kau harus menang lagi ya! GANBAA!"
'yosh, arigatou ne, Ino-chan. Aku akan berusaha semaksimal mungkin…'
Pintu kayu itu tergeser dan menampilkan sebuah ruangan luas dengan berbagai kanvas kosong dan telah terisi oleh warna-warna. Sungguh hening ruangan lukis itu—layaknya ruang pribadi milik gadis ini saja. Saat ini, ia memang butuh ketenangan demi mendapatkan secercah ide tambahan demi lukisan yang akan dibuatnya tengah hari nanti tepat di hadapan para juri dan orang-orang.
Ia terdiam sebentar sebelum memutuskan kursi apa yang akan didudukinya. Ia pun memilih kursi yang terletak di dekat jendela tinggi tak bertirai, di mana sinar mentari cerah seakan bisa memberikannya sebuah ilham. Gadis itu menghela nafas sekali, kemudian meletakkan kanvas kosongnya di tempatnya. Tak lupa, ia juga mengambil meja lukis dan meletakkan alat-alat lukisnya. Sebelum benar-benar melukis di depan orang banyak, ia perlu melakukan sedikit latihan agar apa yang ingin dilukisnya bisa teringat jelas dalam memorinya—bersama warna dan tiap goresannya.
Ia mengambil kuas terbesar setelah menekan pantat botol kecil cat minyaknya di kayu. Diambilnya sedikit warna biru muda dan ia mulai menggores-goreskan kuasnya itu di atas kanvas.
Ditatapnya langit biru tepat di hadapannya melalui kaca jendela jernih itu. Pikirannya terasa melayang. Memorinya pun kembali mengulang kejadian sekitar tiga jam lalu, ketika ia benar-benar merasa seperti melihat sosok manusia di atas pohon cherry blossom indah itu.
Tangannya tiba-tiba bergerak sendiri. Selama ia mengingat sosok lelaki itu, semakin cepat pula tangannya menggoreksan sang kuas ke san ke mari. Ia menari di atas kanvas putih itu dengan warnanya yang indah. Matanya seakan tak fokus sebab ia memikirkan hal lain. Jauh dari titik fokusnya—lebih jauh seakan bayangan pengelihatannya tengah menatap sendu sosok seorang lelaki berjas hitam panjang dengan kemeja putih dan juga rambut biru kehitamannya dari jarak dekat. Begitu dekat sampai-sampai hembusan nafasnya seakan begitu terasa. Begitu terasa dan hangat, bagai sinar mentari pagi.
Dikecupnya bibir kecil itu. Lama dan perlahan—tak ingin melukai bibirnya yang begitu tipis.
Meski dengan keadaan tak sadar, hal seperti ini tak mungkin ia lewatkan begitu saja. Ia yakin, gadis yang begitu disukainya ini tengah mengingat rupanya dalam pikirannya yang terbang ke mana.
'Akhirnya, satu pekerjaan selesai.'
Kanvas putih itu tergantikan oleh sosok seorang lelaki aneh yang entah kenapa begitu dirindukannya…
'A-AH!'
Ia tersadar dari lamunannya. Mata hijaunya mengerjap-ngerjap kebingungan. Dilihatnya sang kanvas yang kini tak lagi kosong dan putih. Entah kenapa rekaman pengelihatannya pagi itu kini telah terpatri jelas di atas kanvasnya. Sosok samar-samar seorang pemuda yang tengah berdiri di atas cabang paling besar pohon cherry blossom yang tengah mekar…
'Ke-kenapa? A-aku melukis i-ini? Ta-tapi…'
Jemarinya tertuntun menuju ke arah bibirnya yang tipis. Ia merasa sesuatu hangat di sekitar bibirnya. Entah apa itu.
'A-a-aku…'
Genta besar itu berbunyi lagi—tepat di pukul dua belas. Tengah hari. Tak ada waktu lagi untuk gadis ini berpikir akan apa yang akan dilukisnya kelak. Meski pikirannya masih melayang entah ke mana, ia yakin seperti ada sesuatu atau mungkin seseorang yang memberikannya sebuah imajinasi terindah yang pernah ada.
Ia membuat langkah seribu dan segera melaju ke arah ruang kompetisi. Ia berlari dengan tergopoh-gopoh, sampai-sampai ia menabrak orang sehingga tasnya pun jatuh dan isinya menebar ke mana-mana. Dikumpulkannya sembarangan dan ia kembali berlari, meski ia lupa ia telah meninggalkan sebuah nasihat sang ibu dalam tasnya. Langit pun entah kenapa tiba-tiba saja berubah sebegitu drastisnya. Hujan akan turun lagi di langit biru itu.
Sesampainya ia di ruangan kompetisi, dilihatnya berbagai pelukis muda yang berbakat tengah merapikan peralatan lukisnya. Gadis ini sedikit kebingungan dengan situasi di sekitarnya namun segalanya tampak terkendali saat ia bisa melihat seorang yang amat dikenalinya tengah mempersiapkan meja, kursi, dan penopang kanvas di ujung ruangan.
'Ino-chan…'
"Hm, Sakura? Kau akhirnya datang juga. Hampir saja kau telat, aku kan sudah bilang tiga puluh menit sebelum kompetisi."
'I-iya, maaf…'
"Sudahlah. Ngg, ah! Bel kompetisi sudah terdengar tuh. Nah, sekarang tak ada waktu lagi untuk berpikir akan ide lukisanmu, Haruno Sakura. Now, it's time to scretch and scretch!" seru Yamanaka Ino. Namun, entah bagaimana, pikiran Sakura masih saja terganggu oleh sesuatu.
Tak ada pilihan lain, pikirnya. Ia pun hanya bisa melukiskan apa yang telah terlukis dalam memorinya saat ini juga—
.
.
.
À suivre
