You

Jimin. Yoongi. Namjoon.

Romance dan sedikit dari Hurt/Comfort

Rated M

.

.

.

.

.

.

Yoongi adalah seorang yang perfeksionis. Selalu mengutamakan kesempurnaan dalam setiap hal. Ia tidak pernah menerima kata cacat dan tidak bagus. Dan untuk meraih kesempurnaan itu adalah hal yang tidak sulit bagi Yoongi. Ia mempunyai segalanya yang pemuda lain inginkan. Wajah rupawan, gaya berkelas, orang tua kaya raya dan usaha yang berkembang disegala aspek. Hanya dengan menjentikan jari maka yang diinginkan pemuda manis itu akan terwujud, dan dengan sempurna pastinya.

Orang tua Yoongi selalu mengajarkan padanya untuk selalu menjadi yang mendominasi, menjadi yang paling kuat. Akibatnya Yoongi jadi tidak pernah kalah, ia selalu menang dengan cara apapun. Bahkan Yoongi menjadi tidak terkalahkan ketika ia mulai masuk perguruan tinggi.

Nilainya selalu sempurna, semua dosen bangga padanya. Dan ia disukai oleh semua orang. Para pemuda yang lain mencoba keberuntungan mereka dengan menjadi lebih dekat dengan Yoongi. Ketika Yoongi tahu bahwa ia lebih tertarik pada lelaki, satu kesempurnaan telah hilang pada dirinya.

Tapi dia adalah seorang Min Yoongi, yang segala dengan kesempurnaanya mampu membuat yang tidak sempurna itu tidak terlihat. Dan mereka tidak memperasalahkan itu asal mereka masih bisa berteman dengan Yoongi.

Beberapa kencan buta Yoongi jalani, dan hingga saat ini masih belum ada lelaki yang memikatnya. Hingga suatu hari Yoongi bertemu dengan seorang pemuda miskin. Namanya Park Jimin. Dia pemuda yang biasa saja, tidak kaya, pakaiannya tidak mahal dan seorang penyendiri.

Melihat orang seperti Jimin membuat sifat angkuh dan mendominasinya memberontak. Yoongi tidak suka melihat orang lemah dan miskin dihadapannya. Ia mencoba menyingkirkan Jimin—yang sialnya kini mulai diperhatikan karena prestasinya itu, dengan cara apapun. Yoongi tidak pernah suka dikalahkan.

"Tolong bawa Park Jimin ke hadapanku sekarang juga. Dia harus mendapatkan pelajaran yang pantas karena perbuatannya."

Tidak perlu menunggu waktu yang lama bagi Yoongi untuk mendapatkan Jimin. Pemuda itu kini sudah ada didepannya, meringkuk kesakitan dengan memar disekitar wajahnya. Yoongi mendecih malas melihatnya.

"Inilah alasan kenapa aku tidak menyukai orang sepertimu. Lemah dan sangat mengganggu."

Jimin terbatuk keras dan darah dari mulutnya sedikit keluar membuat Yoongi berjengit jijik dan menyuruh beberapa pengawal miliknya untuk membawa pemuda kesakitan itu ke salah satu ruangan dirumahnya.

"Apa yang harus kulakukan untuk pemuda itu?" tanya ketua pengawal Yoongi. "Biarkan dia bermalam disini. Aku yang akan mengurusnya."

.

.

.

.

Jimin terbangun ketika bias matahari mengenai wajahnya. Ia meringis merasakan denyut sakit pada sudut bibirnya. Darahnya sudah mengering, Jimin mengusap memar itu. Otak Jimin langsung memutar kejadian beberapa jam lalu ketika ia melihat ruangan yang besar didominasi warna krem. Kemarin sore saat Jimin akan pulang kuliah ia dihadang oleh tiga mobil dan orang-orang berbadan besar memerangkapnya. Jimin sempat melawan mereka tapi jumlah mereka yang lebih banyak membuatnya tumbang. Jimin mulai dipukuli dan punggungnya dihantam sebuah balok keras, membuat ia pingsan.

Ketika sadar dari pingsan Jimin masih didalam mobil yang membawanya. Tangannya diikat tali, meski tidak begitu kencang tapi keadaan Jimin yang masih lemah membuatnya tidak bisa melepas ikatan itu. Lalu ia dibawa ke sebuah rumah yang terlalu besar untuknya. Diseret kedalam dan ketika sampai disuatu ruangan, Jimin menyerngit melihat pemuda yang duduk angkuh diatas sofa tunggal yang mahal.

Min Yoongi.

Jimin sangat kenal pemuda Alpha itu, yang selalu menang dan sombong. Ia tidak tahu apa kesalahannya hingga dibawa dengan cara hina seperti ini. Jimin masih memiliki harga diri meski ia tidak memiliki apa-apa didunia ini.

Pintu ruangan yang ia tempati terbuka dari luar. Dua orang berseragam persis saat mereka menangkap Jimin masuk. Kemudian disusul oleh pemuda Alpha, Min Yoongi. Jimin memfokuskan tatapannya pada Yoongi yang kini berdiri disebrang ruangan dengan tangan bersedakap dan tatapan angkuh.

"Selamat pagi, Park Jimin." Jimin berdecih pelan dan Yoongi masih bisa mendengarnya. Pemuda kaya itu menghampiri Jimin dan duduk ditepi ranjang. "Apa tidurmu nyenyak semalam?"

"Apa yang kaulakukan padaku Min Yoongi?"

Yoongi mendengus, "Aku bertanya padamu, seharusnya kau menjawab. Bukan balik bertanya." Jimin masih menatap Yoongi, tatapannya datar hingga Yoongi tidak tahu apa pemuda didepannya ini sedang menahan marah.

"Tidurku nyenyak sekali. Terima kasih sudah membuatku tertidur pulas malam ini." Jimin menjawab setelah beberapa detik terdiam. Yoongi tertawa kecil, ia meambaikan tangan pada dua pengawalnya. Lalu pengawal itu datang menghampiri Yoongi dengan kotak obat ditangannya.

"Obati sendiri dirimu," Yoongi melempar kotak obat itu pada Jimin lalu segera meninggalkan Jimin sendiri. Pintu kamar dikunci, Jimin menghela napasnya. Apakah ini artinya ia akan disekap oleh Yoongi.

.

.

.

Seminggu sudah Jimin terkurung didalam kamar besar itu. Untuk makan selalu ada pelayan yang datang untuk membawakan Jimin menu. Yoongi juga datang sesekali hanya untuk menghinanya dan ia akan berakhir dengan memar diwajah atau tubuhnya. Tapi Jimin tidak pernah melawan, ia hanya terlalu sakit untuk membalas semua perbuatan Yoongi.

Hingga suatu malam Yoongi mendobrak pintu kamarnya. Jimin saat itu sedang menatap keluar jendela. Pemuda itu menghampiri Jimin dan menarik kerah bajunya. Jimin sudah biasa dilakukan seperti ini sejak seminggu lalu sehingga ia tidak akan melawan lagi. Napas Yoongi berbau alkohol, matanya juga sayu. Menandakan kalau dia sedang mabuk.

"Park Jimin brengsek!" katanya dengan suara parau. "Kenapa kau tidak pernah melawanku, hah?!"

Jimin menangkap tangan Yoongi yang mengguncang tubuhnya, "Kau itu orang miskin yang sangat aku benci! Aku membencimu Park Jimin! Hik!"

Tubuh Yoongi oleng dan Jimin dengan sigap menangkapnya. Ia masih saja meracau tidak jelas. Meski sedang mabuk tapi Jimin tidak merasa berat ketika Yoongi menyandarkan seluruh tubuhnya pada Jimin.

"Ah Jimin, aku benci sekali padamu, hahaha."

"Yoongi kau terlalu mabuk,"

"Tidak. Tidak,"

Yoongi menahan Jimin yang ingin membawanya ke ranjang. "Dengarkan aku dulu—hik, Jimin." Jimin melakukan apa yang Yoongi katakan, ia biarkan saja Yoongi bergelayut pada tubuhnya. "Disini aku yang berkuasa, kau tahu itu."

"Orang tuaku bercerai," Mata Jimin melebar, apa maksud dari pembicaraan Yoongi. Tapi Jimin lebih memilih mendengarkan lebih lanjut. "Ayahku berselingkuh, cih. Pak tua itu benar-benar tidak tahu malu. Ibuku sudah sepenuh hati mencintai dia, dasar hidung belang. Hahaha,"

Jimin merasa kasihan pada Yoongi. Lihat betapa frustasinya Yoongi saat ini, ditambah keadaannya yang mabuk membuatnya semakin memprihatinkan. "Ayahku tergoda dengan kecantikan wanita miskin sepertimu. Kau tahu kan, orang-orang sepertimu memang sangat mengganggu. Enyah saja kalian!"

Tangan Yoongi sudah hampir menampar pipi Jimin namun ia lebih cepat untuk menahannya. Kilatan emosi terpancar dari kedua mata sipit milik Jimin, Yoongi menyadari itu meski ia sudah mabuk. "Jaga bicaramu Min Yoongi," Jimin berdesis geram. Yoongi berdecih lagi lalu tertawa sangat keras.

"Lihat! Lihat! Kau sangat marah saat ini, hahaha. Harga dirimu terluka, huh?"

Jimin masih diam namun ia segera menghela napanya lagi. Ucapan kedua orang tuanya sebelum meninggal masih membekas dibenaknya. Jangan pernah menunjukan rasa marahmu ketika seseorang melukai harga dirimu. Jika kau marah, kau hanya membuat orang yang sudah menyakitimu merasa puas. Jadi, Jimin hanya diam saja sekarang.

"Kau tidak berhak untuk berkata seperti itu. Walaupun kami miskin, tapi kami tidak pernah menyakiti."

Yoongi langsung merasa geram ketika Jimin berkata seperti itu. Tangannya melayang dan mengenai pipi kanan Jimin, membuat suara tamparan yang sangat keras. Dada Yoongi naik-turun menahan emosi dan matanya berkilat marah.

"Beraninya kau berbicara seperti itu. Orang sepertimulah yang sudah menghancurkan keluargaku!"

Yoongi dengan brutal memukuli dada Jimin, dan yang dipukuli seperti biasa hanya menerimanya dan perlawanan. Hingga akhirnya pukulan itu semakin melemah dan berhenti. Yang tersisa hanya isakan tangis Yoongi. Ini pertama kalinya Jimin melihat Yoongi yang rapuh, pemuda paling kuat dan tak terkalahkan itu menangis didepannya dengan tersedu.

"Kau tidak tahu rasanya saat orang tuamu berpisah."

Entah dorongan dari mana, tahu-tahu Jimin sudah membawa Yoongi kedalam pelukannya. Melihat wajah rupawan Yoongi yang sedang menangis dan merasa sangat tersakiti membuat Jimin luluh dan kasihan. Jimin membekap kepala Yoongi didadanya, dan tangisan itu semakin keras terdengar.

"Bagaimana aku harus hidup jika mereka berpisah?"

Tangisan Yoongi membuat Jimin kembali ke masa lalu. Saat ia menangis sendirian ditengah pusara kedua orang tuanya. Tidak ada keluarga yang menemaninya, Jimin hanya sendirian. Saat itu Jimin masih berusia sebelas tahun. Anak ksekecil itu harus hidup sendirian ditengah kerasnya dunia.

"Bahkan aku sudah hidup sendiri sejak kecil, Yoongi."

Jimin berhenti mengusap belakang kepala Yoongi saat ia tidak lagi mendegar tangisan, diganti dengan suara napas yang teratur. Yoongi tertidur dipelukan Jimin setelah lelah menangis. Jimin menggendong Yoongi. Ia menatap pada wajah rupawan Yoongi, matanya sedikit membengkak namun tidak mengurangi ketampanan pada wajah itu.

Tapi semakin dilihat, Jimin menemukan sesuatu yang berbeda dari wajah Yoongi. Secara keseluruhan wajah Yoongi itu mungil, dahinya putih bersinar, hidungnya runcing dan mungil, bibir Yoongi juga kecil dan tipis. Jimin tersenyum melihatnya, bagaimana bisa lelaki dengan wajah mungi dan lucu seperti ini menjadi Alpha?

Jimin membawa Yoongi keranjang lalu menghempaskan tubuh itu dengan sangat hati-hati, takut membangunkan tidurnya. Yoongi menggeliat pelan dan meracau tidak jelas. Kelakuan Yoongi membuat Jimin tersenyum, ia membuka sepatu dan jaket kulit Yoongi agar pemuda itu nyaman. Ketika akan beranjak pergi, Yoongi menahan tangannya.

"Jangan pergi, temani aku."

.

.

.

.

Yoongi terbangun ketika matahari sudah tinggi. Ia mengerang karna merasakan sakit dikepalanya. Yoongi merasakan hangat napas ditengkuk belakangnya, begitu ia menengok wajah Jimin menyambutnya. Yoongi menyerngit bingung, membawa pandangannya ke sekeliling kamar dan baru menyadari kalau ia berada diatas ranjang yang sama dengan Jimin.

"Apa yang kaulakukan?!" Yoongi berdefensif. Sedangkan Jimin hanya tersenyum melihatnya, ia menyanggah kepalanya dengan satu tangan. "Aku tidak melakukan apapun padamu,"

Yoongi memeriksa keadaannya dan memang benar kata Jimin, ia tidak diapa-apakan. Baju yang semalam ia pakai masih rapih meski jaketnya sudah tidak ada lagi, dan juga Yoongi tidak merasakan keanehan pada tubuhnya. Ia membawa pandangannya pada Jimin yang masih tersenyum dengan tajam.

"Semalam kau mabuk," ingat Jimin, "Kau tidak ingat?"

Yoongi berusaha mengumpulkan ingatannya semalam. Ia pulang dengan keadaan mabuk berat, bertengkar dengan Jimin kemudian menangis. Wajah Yoongi sedikit memerah ketika ia mengingat kalau ia nangis dipelukan Jimin.

"Sudah ingat," itu bukan sebuah pertanyaan dari Jimin, melainkan pernyataan. Yoongi memang sudah ingat tapi tidak seluruhnya. Bagian kenapa ia bisa tidur diatas ranjang yang sama dengan Jimin, ia tidak ingat.

"Lalu bagaimana aku bisa tidur disini?" tanya Yoongi.

"Kau kelelahan menangis hingga tidur dupelukanku. Aku yang membawamu keranjang,"

Pipi Yoongi semakin memerah mendengarnya. Oh sialan, kenapa ia bisa begitu ceroboh. Jimin sudah melihat sisi lain dari dirinya yang menggemaskan. "Berjanjilah untuk tidak memberitahu pada orang lain." Ancam Yoongi, Jimin hanya tersenyum menimpali. "Aku hanya menyimpannya untukku sendiri."

Suhu kamar kembali naik, entah karena sudah siang dan Yoongi belum mandi. Atau kalimat-kalimat yang diucapkan Jimin yang membuatnya terus merona. Yoongi bangkit dari tidurnya dan segera menuju kamar mandi, ia butuh berendam air hangat untuk memulihkan tubuhnya kembali. Sedangkan Jimin masih saja tersenyum melihat tingkah Yoongi yang kikuk itu. Benar kan, Yoongi itu mempunyai satu sisi yang menggemaskan dari dirinya.

.

.

Semenjak kejadian malam itu hubungan antara Yoongi dan Jimin sedikit membaik. Meski Yoongi tidak lagi menyiksa Jimin namun pria itu masih disekap didalam kamarnya. Kadang Yoongi datang dengan membawa beberapa buku untuk Jimin baca, sebagai penghilang rasa bosan. Jimin juga tidak menuntut banyak dari Yoongi, karna baginya walaupun dia dikurung, setidaknya ia masih mempunyai tempat untuk berlindung dan makan.

Mereka berdua pun tidak canggung lagi untuk mengobrol. Yoongi bahkan meminta maaf atas perlakuannya (walaupun dengan berat hati) setelah mendengar kisah hidup Jimin. Dari teman mengobrol, hubungan mereka meningkat. Kadang mereka akan berpelukan sepanjang malam sebagai penghantar tidur.

Tapi lama-kelamaan Jimin merasa tidak enak juga dengan Yoongi. Untuk apa ia masih dikurung kalau Yoongi tidak menyiksanya seperti dulu. Malam itu akhirnya Jimin memberanikan diri untuk meminta pada Yoongi. Omong-omong belakangan ini Yoongi jadi sering menghabiskan waktunya bersama dengan Jimin dikamar ini.

"Yoongi, aku ingin bertanya sesuatu padamu,"

Yoongi mendongak dari buku yang dibacanya, "Tanya apa?"

Jimin mendekat pada Yoongi dan berlutut didepannya. Yoongi refleks mengangkat kedua kakinya dan memeluknya. Mereka berdua bertatapan dalam diam. Namun jantung Yoongi bergemuruh hebat ketika manik sipit itu menatap langsung padanya.

"Apa kau masih membenciku?"

Pertanyaan sederhana tapi bagi Yoongi itu adalah pertanyaan yang sulit. Bagaimana perasaannya sekarang ini pada Jimin? Apa dia masih membencinya? Yoongi pun tidak tahu. Yoongi membuang pandangannya ke segala arah.

"Aku tidak tahu,"

Jimin tersenyum dan tangannya meraih tangan Yoongi yang berada diatas lututnya. Seketika itu juga ada aliran listrik yang menjalar dari tangan Yoongi yang disentuh Jimin. "Lalu kenapa kenapa masih mengurungku?"

Yoongi tidak menjawab dan membuat Jimin mendesah kecewa. Ia menaruh dagunya diatas lutut Yoongi, "Apakah aku boleh pergi? Sepertinya kau tidak butuh aku lagi untuk dipukuli."

Mata Yoongi melotot lebar dan ia langsung menengok pada Jimin, "Tidak!" teriaknya. Jimin berjengit, ia hampir saja jatuh kalau saja tidak menjaga keseimbangannya. Yoongi tiba-tiba saja memeluknya. Saat ini Yoongi tidak lagi memikirkan harga dirinya, ia hanya ingin memeluk Jimin.

Jimin menahan punggung Yoongi dan tangan kirinya merambat naik keatas kepala lelaki itu. Ini hanya perasaannya saja atau memang Yoongi sedikit aneh akhir-akhir ini. Seperti, pemuda itu terus saja bermanjaan dengannya, dan tidak ingin jauh-jauh darinya. Jimin merasakan pundak Yoongi bergetar dan kemejanya basah dibagian pundak, tempat Yoongi menaruh kepalanya.

"Kau menangis?" tanya Jimin dengan suara lembut. Yoongi menggeleng, pelukannya semakin erat. Jimin menghela napasnya, ia sedikit berdiri dan mendudukan bokongnya disofa. Jimin tidak tahu mengapa Yoongi tidak ingin ia pergi. Dan sebenarnya, Jimin juga cukup berat hati untuk meninggalkan Yoongi. Kebersamaan mereka telah mengantarkan sesuatu kedalam hati Jimin.

"Jimin, jangan pergi. Ku-mohon,"

Jimin tertegun, Yoongi tidak pernah memohon pada siapapun. Karena dia adalah pria terkuat. Tapi malam ini sungguh sulit Jimin percaya. "Jimin, kumohon jangan pergi. Jangan tinggalkan aku."

Jimin ikut mempererat pelukannya pada Yoongi, ia juga menciumi kepala Yoongi. "Tidak akan Yoongi, aku tidak akan meninggalkanmu."

Dan sekali lagi Jimin tertegun. Astaga, darimana ia mendapatkan keberanian untuk mengatakan kalimat itu? Mungkin Jimin sudah gila, atau bisa saja ia terbawa perasaannya sendiri. Tapi apapun itu, Jimin tidak menyesal telah menjanjikan Yoongi untuk tidak meninggalkannya.

.

.

.

Jimin sedang berbaring disofa sambil membaca buku, diatasnya ada Yoongi yang meringkuk sambil memainkan kalung Jimin. Setelah menangis—untuk yang kedua kalinya bagi Yoongi, ia meminta Jimin untuk menemaninya tidur. Dan disinilah mereka berakhir. Jimin sudah tidak lagi memperdulikan sikap aneh Yoongi. Karena ia menyukai Yoongi yang sedang bermanjaan padanya, seperti sekarang ini.

"Jimin," panggil Yoongi. Jimin menatap kebawahnya, buku yang ada ditangan ia taruh dimeja didepannya. "Ada apa?" Yoongi menggeleng pipinya ia bawa ke dada Jimin. "Aku hanya suka memanggil namamu."

Ada getaran aneh dalam dada Jimin ketika Yoongi mengatakan kalimat itu. Desiran halus namun membuatnya tergelitik. Yoongi diam-diam tersenyum merasakan dada Jimin yang berdetak kencang sekali, seiring dengan detakan jantungnya yang tak kalah kencang.

"Jimin, maukah kau berjanji padaku? Untuk tidak meninggalkanku."

Jimin terdiam membuat Yoongi mendongak hanya untuk melihat reaksi darinya. Dari mata Jimin, Yoongi melihat sedikit keraguan. Namun manik itu berkedip sekali dan digantikan dengan tatapan tegas tapi tulus.

"Kau ingin aku berjanji apa?"

Yoongi agak naik keatas Jimin dan Jimin juga turun sedikit, sehingga wajah mereka berhadapan. Yoongi menaruh telunjuknya di kening Jimin, kemudian ia membawa telunjuk itu di sekitar wajah Jimin dan berakhir di hidungnya. Jimin hanya diam saja menikmati halusnya sentuhan tangan Yoongi pada wajahnya.

"Berjanjilah untuk tidak meninggalkanku,"

"Ya. Aku berjanji."

Jimin terlalu cepat menjawab, tapi Yoongi tidak menemukan kebohongan disana. Jimin benar-benar serius dengan perkataannya. Yoongi tersenyum tulus, entah sejak kapan ia terpesona pada pemuda yang berada di bawahnya ini. Semua perilaku lembutnya membuat hati Yoongi tersentuh. Mata lelaki itu yang sudah membuatnya terhipnotis, tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.

"Kenapa aku harus berjanji?" Jimin juga mengelus wajah lembut Yoongi. "Karena aku kesepian. Orang tuaku telah bercerai dan aku tidak memiliki siapapun disini."

"Tapi aku ada disini,"

"Benar, maka jangan tinggalkan aku."

Jimin mengecup hidung Yoongi, dan wajah Yoongi seketika memerah. Lalu dengan keberanian entah dari mana Jimin kembali mengecup Yoongi, kali ini ia mengecup seluruh permukaan wajahnya. Dan ketika bibir Yoongi adalah objek terakhir, Jimin terdiam sebentar. Yoongi seolah mengerti dengan tindakan Jimin, akhirnya dia mengangguk.

Jimin tidak perlu anggukan dua kali dari Yoongi. Tangan kanannya menahan tengkuk Yoongi dan yang kirinya bersandar diatas punggung pemuda itu. Bibirnya secepat kilat menyentuh bibir Yoongi dan mengecupnya. Bibir lelaki yang dibawah bergerak dengan lembut, selembut sentuhan sutera yang memabukkan. Membuat Yoongi merasa sedang terbang tinggi.

Ciuman itu, adalah jenis ciuman yang Yoongi dambakan. Tidak ada kekerasan, hanya kelembutan dan juga Jimin sangat sabar saat menciumnya. Perut Yoongi menegang dan ribuan kupu-kupu terasa menyapu perutnya. Selanjutnya Jimin merubah posisi mereka, ia melepas sejenak ciumannya. Napas Yoongi tersengal dan mukanya memerah tapi ia bahagia.

Ini ciuman pertama Yoongi dan ia melakukannya dengan seorang lelaki. Tangan Jimin menyapu permukaan kening Yoongi yang basah oleh keringat lalu menciumnya. Seolah mencium Yoongi sudah menjadi candu baginya. Ia terus saja menaruh bibirnya diwajah Yoongi. Akhirnya bibir Jimin bertemu lagi dengan bibir Yoongi.

Kali ini Jimin menciumnya agak keras dengan lumatan-lumatan yang ia berikan. Tangan Yoongi perlahan merambat dari pundak menuju tengkuk Jimin dan berakhir dengan ia meremas rambutnya. Kemudian lenguhan Yoongi terdengar, Jimin masih sadar dengan yang ia lakukan setelah mendengar lenguhan itu ia menarik bibirnya dari bibir Yoongi.

"Maaf Yoongi, aku sudah kelewatan"

"Tidak Jimin!"

Mereka berdua terdiam lagi. Tangan Yoongi masih meremas rambut Jimin dan itu membuat Jimin jadi bergairah kembali. Lalu dengan sedikit merendahkan badannya, Jimin meminta izin pada Yoongi,

"Bolehkah?"

Anggukan Yoongi menjadi jawabannya.

To be continued

.

.

..

YOONGI AKHIRNYA KAMU POTONG RAMBUT WEEEHH :g

GA NYANTE NIH AKU DARITADI GA ADA KERJAAN SELAIN TEREAK-TEREAK GA JELAS KARNA YOONGI omg POTONG RAMBUT DAN ITU omg DIA JADI GANTENG GWILAAAAA….

DOAKU TERKABUL TUHAN…. AKHIRNYA DIA MAU POTONG RAMBUT DAN YOONGI! YOU NEVER DISAPPOINT ME AS ALWAYS

Ekhem! Okeh cukup…. Kalian mau gila bareng aku yuk dikotak review…. Eaaaaa

Btw,

Are you ready for BTS BEGIN PART 1? YES, I AM!