Cukup Satu
Lee Seung-hoon Winner, Song Minho Winner .
Friendship, Non Romance.
Lorong sekolahnya saat ini begitu sepi karena waktunya belajar telah di mulai sedangkan ia masih berkeliaran dengan tenang di lorong sekolah. Menatap kebawah memastikan langkah kakinya tetap constan tak berubah, ia menengok kearah kelas dilewati olehnya, kelas dimana adik kelasnya tengah sibuk belajar.
Mengalihkan pandangan kedepan sedikit sekali orang yang benar-benar mengenalnya, ia tidak seperti tim basket sekolah berisi anak bermasalah, atau seperti kakak kelas tomboynya, ia seorang laki-laki biasa yang mempunyai segelintir orang yang berteman dengannya tanpa paksaan.
Menaiki anak tangga satu persatu dalam diam, ia tidak lah tampan seperti teman-temannya, wajahnya cenderung bulat dengan mata begitu sipit. Ia sangat menyukai namanya menari, ia bisa mengekspresikan apa pun lewat sebuah tarian. Ia juga sangat menyukai buah besar berwarna hijau dalamnya berwarna merah, memiliki sumber air begitu besar: semangka.
Menaiki anak tangga terakhir ia berselisihan dengan seorang anak berwarga kenegaraan China layaknya senior tomboynya itu, seorang anak yang di benci satu sekolah entah karena apa. Jangan masukan ia dan teman dekatnya akan hal benci membenci tersebut, karena ia sendiri memiliki posisi sama dengan anak berwarga kebangsaan China itu, ia seorang murid beasiswa.
"Mino ingin bertemu dengan mu di lapangan basket."
Anak itu berbicara dengan datar sambil berlalu, menghentikan langkah kaki konstan miliknya kini langkah awal menuju kelas berbalik arah kelapangan basket. Menuruni tangga kembali wajahnya yang cenderung bulat, sedangkan bibirnya begitu tipis jarang menarik sebuah senyum kini terukir lurus.
Langkah kaki konstan masih di pertahankan olehnya hingga hampir mencapai lapangan basket di bagian lapangan sekolah, ia melihat laki-laki berkulit coklat berlari kearahnya sambil tersenyum lebar.
"Seunghoon-ah."
Mino laki-laki berkulit coklat di tengah warga Seoul yang mayoritas berkulit putih itu segera merangkul bahunya akrab, seorang teman yang berbanding terbanding terbalik dengannya di lingkungan sekolah ini. Memberikan sebuah cengiran lebar matanya yang sipit tenggelam tak terlihat, garis di bibir itu yang begitu lurus kini membuat sebuah busur lebar untuk mengukir cengiran.
"Hoi, jangan mentang-mentang kaya gak masuk kelas."
Mino mengepalak kepalanya begitu kuat.
Tidak terima kepala berisi otak jeniusnya di pukul kuat, ia membalas memukul kuat kepala itu yang di balas rengutan tak suka. Tertawa renyah melihat ekspresi temannya itu, biar pun Mino banyak di gandrungi kaum hawa, dia itu sebenarnya menyukai seseorang murid laki-laki dari sekolah berbeda yang kini telah menjadi kekasih Mino.
Ia tidak mempermasalahkan keadaan seksual temannya. Ia sendiri masih belum menemukan seseorang yang pas untuk mengisi waktunya karena mayoritas utama saat ini adalah sebuah keinginan besarnya mencapai kesuksesan.
Mino sering sekali menyuruhnya untuk mencari kekasih namun dengan malas ia menolak itu semua. Karena ia belum mencapai apa yang ia inginkan, kali ini teman seperti Mino lah di butuhkan olehnya. Mino menjadi seorang teman tidak menuntut jadi, wajar hanya satu teman untuknya itu terasa cukup dari pada memiliki banyak teman namun tak pernah mengulurkan tangan di dalam keadaan apapun terlebih terlalu banyak menuntut.
Tamat
