BLEACH FANFICTION
Rated ; T
Indonesian
Adventure, Friendship, Romance.
AU, AT, OOC
Disclaimer ; Until the end, BLEACH always Kubo Tite's.
Sumarry : Rukia harus menerima keputusan kakeknya yang tiba-tiba saja mendatangkan seorang cowok aneh berambut orange sebagai teman satu suitenya. Dan roda kehidupan baru akan berputar.
Chappie 1
Karakura Academy, sekolah megah ini memiliki mansion untuk asrama para siswanya. Mansion yang bahkan mengalahkan hotel-hotel berbintang di Jepang. Kemewahannya hanya bisa tertandingi oleh istana Yunani kuno di Athena. Tapi tidak, mansion ini bukanlah mansion kuno, tidak ada kesan tua padanya. Yah, disinilah seluruh keluarga bangsawan Jepang menyekolahkan putra-putri mereka. Sekolah terhebat di Jepang yang dimiliki oleh salah satu keluarga bangsawan Jepang, Yamamoto.
Karakura Mansion, begitu sebutan para siswa pada asrama mereka. Asrama yang terletak di puncak bukit dan berdiri angkuh memamerkan pesonanya. Hanya tersela taman lebar dengan Karakura Academy. Asrama itu menjulang dengan lima lantai, sehingga jika berdiri di atapnya maka seluruh pemandangan kota akan terlihat jelas. Kota Karakura!
Baru saja malam menjelang, seluruh siswa mulai bergegas masuk ke asrama. Memang tak ada jam malam atau apa, tapi siapa yang mau melewatkan waktu makan malam? Tentu tak ada, kecuali dia, Kuchiki Rukia. Gadis mungil itu hanya meminum segelas cokelat panas dan segera beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan ruang makan yang luas dengan puluhan kursi dan meja bundar keramik mengkilap. Ia berjalan melewati koridor-koridor yang lenggang, dan menuju lantai lima, lantai dimana ia menghabiskan waktu malamnya.
CKLEKK
Pintu suite didepannya terbuka. Ia segera melangkah masuk. Ya, memang, asrama itu seperti apartemen. Dalam satu suite terdapat 5 kamar tidur dan sebuah ruang luas lain yang berada ditengah-tengah suite besarnya. Ruang itu terisi sofa-sofa nyaman, rak buku referensi, televisi, stereo set, dan banyak perangkat elektronik lain. Bisa dibilang, ruang santai. Ia menghempaskan diri di sofa, menyambar remote dan menyalakan televisi, sesaat menengok pintu-pintu kamar. Tampaknya Inoue masih di ruang makan, batinnya.
Orihime Inoue, gadis yang tinggal satu suite dengannya. Ia menempati kamar di samping kamar Rukia, sehingga masih tersisa tiga kamar kosong lainnya. Baru saja ia terantuk-antuk karena lelah, pintu suite itu terbuka.
"Tadaima...!" Suara seorang anak perempuan menyapa. Rukia menoleh
"Ah, okaerii Inoue!" Jawab Rukia. Seorang gadis berwajah manis dengan rambut kecoklatan panjang, menutup pintu suite itu. Menguncinya.
"Kuchiki-san tidak makan malam? Aku tadi mencarimu di ruang makan!" kata anak itu dengan senyum polos sambil melepas sepatu sekolahnya dan mengambil selop ruangan dari rak di samping pintu. Rukia menggeleng.
"Aku sedang malas!" jawabnya tanpa menoleh. Tatapannya masih fokus pada layar televisi flat 21" di depannya. Inoue masuk ke kamarnya, tak lama ia kembali ke ruang tengah itu.
"Kalau begitu Kuchiki-san mau kubuatkan makanan?" tanyanya pada Rukia yang nampak lesu.
Glekk ...oh tidak..
"Errr... tak perlu Inoue. Arigatou ..tapi aku sudah kenyang," jawab Rukia gugup, Inoue menatapnya heran.
"Ah ya..Inoue, aku mau ganti baju dulu!" sambar Rukia cepat sembari mengambil tasnya yang tergeletek di sofa. Bergegas pergi kekamarnya.
Fuuuhhh... untunglah, pikir Rukia, melepas sepatunya dan memakai selop rumah kepala chappy-nya. Ia trauma dengan makanan unik-imajinatif nya Inoue, imajinatif? Mungkin mengerikan kata yang lebih tepat. Heeh...batinnya. Rukia meletakkan tas sekolahnya di meja belajar, menyambar handuk mungil bergambar kelinci dan segera masuk ke kamar mandi. Dua puluh menit setelahnya ia sudah bergabung kembali ke ruang tengah, pakaiannya kini adalah piyama imut bermotif kotak-kotak kecil.
"Ah Kuchiki-san, apa benar besok Kuchiki-san nggak masuk sekolah?" tanya Inoue sambil membuka bungkus potato chip dan meletakkannya di meja.
"Eeem yah..lagipula sudah hampir sebulan aku tak menjenguk okaa-san!" jawab Rukia sambil meminum jus strawberry kesukaanya.
"Dijemput Kuchiki-sama?"
"Tidak, otou-san sedang sibuk. Yama-jii menyuruh Yamada-san untuk mengantarku!"
"Oh..!"
Mata violet-amethys Rukia nampak sendu. Mungkin karena ia sudah rindu dengan ibunya tersayang. Satu jam kemudian...
"Kuchiki-san...aku mau tidur dulu!" kata Inoue sambil bangkit dari sofa.
"Hai, oyasuminasai Inoue!"
"Oyasuminasai yo Kuchiki-san. Jangan... tidur terlalu malam...!" jawab gadis bertubuh ideal itu sambil mengucek matanya. Rukia hanya tersenyum kecil. Begitu Inoue menutup pintu kamarnya, Rukia merebahkan diri disofa.
"Kaa-san," katanya lirih. Ia menatap langit-langit ruangan yang putih bersih.
Pagi itu, Rukia segera menyambar tas mungilnya, ketika asisten jii-sannya menelpon dan mangatakan bahwa ia sudah ditunggu. Sambil memakai sepatunya ia memanggil tetangga kamarnya itu,
"Inoue.." panggilnya.
Cklekk, pintu kamar di sampingnya terbuka. Inoue sudah rapi dengan seragam sekolahnya.
"Kurotsuchi-san barusan menyuruhku cepat. Aku harus segera pergi," katanya
"Tidak makan pagi dulu?" tanya Inoue, membuka gorden jendela ruangan itu.
"Iie..sudah ya Inoue, Ittekimasu," kata Rukia sambil membuka pintu keluar.
"Hai..itterasahai.." sahut Inoue. Tapi Rukia sudah berjalan menuju lantai bawah. Melewati aula asrama yang luas dan nampak lenggang, bergegas menuju pintu dan berlari kecil menyusuri taman, menuju rumah kakeknya yang tak jauh dari asrama, masih dalam kompleks Karakura Academy.
"Ohayougozaimasu Yama-jii!" sapanya menghampiri kakeknya yang duduk di beranda rumah. Bangsawan berjenggot putih itu tersenyum melihat cucu kesayangannya datang.
"Ohayou Rukia! Tou-san tak bisa menjemputmu jadi Hanatarou yang mengantarmu ke Seiretei." kata kakeknya. Rukia mengangguk
"Wakarimasuka Yama-jii, arigatou!"
"Dou ita...pergilah, Hanatarou menunggumu didepan!"
"Hai...ittekimasu Yama-jii!" jawab Rukia sambil membungkukkan badannya. Kakeknya tersenyum, Rukia bergegas menuju mobil Mercedes S_class hitam mengkilat yang menunggunya sejak tadi. Dress selututnya bermain berirama dengan langkah kaki mungilnya, lembut.
"Ohayou Rukia-sama...!" kata seorang sopir pribadi kakeknya yang memakai pakaian formal. Sembari membukakan pintu penumpang untuk Rukia.
"Ohayou Yamada-san. Dan, jangan panggil aku begitu...Rukia-san saja!" protes Rukia sambil menggembungkan pipinya. Hanatarou Yamada hanya tersenyum "Gomen ne Rukia-san!" katanya. Barulah Rukia tersenyum dan segera melangkahkan kakinya, masuk ke mobil.
Perjalanan menuju Kota Seiretei memakan waktu sekitar dua jam, membuat Rukia mengantuk. Ia bersandar di kursi mobil yang nyaman. Sesekali melihat keluar jendela. Ramai, kesannya dalam hati.
"Yamada-san...bisa berhenti di toko bunga depan itu?" tanya Rukia.
"Hai..!" jawab sopir pribadi kakeknya itu. Mobil berhenti di depan sebuah toko bunga besar. Seorang gadis melayaninya, tak lama, ia kembali masuk mobil dengan sebuket mawar ungu. Sama seperti warna matanya, violet. Setengah jam kemudian mobil itu memasuki rumah megah bergaya Jepang zaman Edo. Kuchiki Mansion. Tempat dimana Rukia menghabiskan masa kecilnya sebelum ia masuk Karakura Academy. Beberapa pelayan menyambutnya, ia hanya membalas sapaan mereka dan tersenyum ringan.
"Rukia?" sapa sebuah suara. Ia menoleh. Seorang pemuda tegap berambut merah dengan tato di dahinya menyapa Rukia akrab.
"Hai ...Renji!" balas Rukia. Ya, ia mengenalnya, Renji Abarai, pengawal pribadi ayahnya yang cukup akrab dengannya, karena sejak kecil hanya Renji Abarai lah yang dikenalnya, sebagai teman sekaligus pengawal. Renji tersenyum lebar,
"Hei...lama sekali kau tidak kesini!" katanya sambil menepuk-nepuk kepala Rukia.
BLETTAKK...jitakan mendarat di kepala Renji ketika gadis mungil itu meloncat dengan susah payah, err, begitulah.
"Jangan seenaknya menepuk kepala orang, baka baboon!" kata Rukia sambil cemberut. Renji hanya meringis.
Mereka menuju ke ruang keluarga, kemudian ke sebuah ruang yang luas dan tertata artistik. Kamar tidur. Di ujung ruang terbaring seorang wanita anggun yang berwajah sangat mirip dengan Rukia. Tertidur tenang dengan selang infus melengkapi lengannya begitu juga dengan selang oxygen membantu pernapasannya. Renji meninggalkan Rukia di ruang itu. Dengan hati-hati Rukia meletakkan buket mawar yang dibawanya ke meja, ia lalu menarik kursi dan duduk di samping wanita itu.
"Ohayou kaa-san!" sapanya lirih. Tatapan matanya mulai sendu, penuh pancaran kerinduan.
"Gomenasai kaa-san, lama tak datang menjenguk. Bagaimana kondisi kaa-san?" tanyanya lagi sambil menggenggam jemari ibunya itu, dingin.
"Rukia baik-baik saja...begitu juga Yama-jii!" sambungnya. Tetap tak ada jawaban dan reaksi apapun dari ibunya, hening.
"Kapan kaa-san akan bangun?...Rukia ingin bercerita banyak pada kaa-san!" tik, sebutir air mata jatuh dipipi Rukia, Ia tak menghapusnya.
"Bulan ini tou-san sibuk. Rukia juga lama tak bertemu tou-san"...
"Banyak test dari academy, jadi Rukia harus banyak belajar. Padahal Rukia ingin libur saja agar bisa tinggal di rumah dan menemani kaa-san. Kaa-san kesepian ya?...bilang saja pada Rukia...pasti Rukia akan datang dan menemani kaa-san!"
tik, lagi...air mata menyusul membasahi pipinya yang sehalus dan seputih porselen.
"Oh ya...ada pesan dari Yoruichi-san. Kemarin bilang bahwa kemampuan karate Rukia sudah lebih baik. Hanya saja Rukia masih belum lihai dengan seni pedang. Urahara-san masih saja bilang bahwa Rukia tak berkembang. Uuh...rasanya menyebalkan" lanjutnya mencoba tersenyum.
"Dan lagi...Yama-jii lebih sering tak menemani Rukia berlatih. Beliau semakin sibuk sekarang..." sempurna, air mata mengalir lembut membasahi wajah cantik Rukia. Ia yang tak pernah menangis karena masalah apapun jika berada di depan kaa-sannya akan merasa menjadi gadis cengeng, di depan kaa-san yang di cintainya, kaa-san yang amat dirindukannya.
"Kapan sih kaa-san akan bangun? Sudah lama sekali Rukia tak melihat kaa-san tersenyum, Rukia kangen itu kaa-san...Rukia juga kangen dengan suara lembut kaa-san" ia menunduk, meletakkan kepalanya di ranjang ibunya. Jemarinya masih menggenggam jemari ibunya yang dingin.
Kerinduan pada ibu nya tak pernah terobati. Hampir tiga belas tahun ibunya tertidur tenang, dalam keadaan koma. Tentu saja ia sangat merindukan ibunya. Sejak usia tiga tahun ia tak lagi mendengar sapa lembut ibunya, tak lagi merasakan belaian tangan ibunya, tak lagi menikmati dongeng pengantar tidur dari ibunya. Semuanya terjadi begitu cepat, dan Rukia masih merasa sulit menjalaninya. Kenangan kecilnya bersama ibunya terasa sangat singkat...dan semua terpeta kabur di hati Rukia.
Kuchiki Hisana, wanita anggun itu tak sempat melihat putri kecilnya tumbuh, menjalani masa-masa remajanya karena takdir menuliskannya untuk tertidur. Tertidur panjang. Rukia mengangkat wajahnya. Menatap wajah ibunya yang tenang.
"Kaa-san... kemarin Yama-jii bercerita sedikit lebih banyak tentang Hougyoku. Hanya saja, Yama-jii tak menceritakan arti serpihan Hougyoku yang Rukia miliki. Ceres, kata Yama-jii. Selalu begitu, jii-san selalu membuatku bertanya-tanya." Rukia menghapus air matanya.
"Apa kaa-san tahu artinya?"...hening, tak ada suara yang terdengar.
"Kaa-san tidak tahu ya? Emm, apa boleh buat. Semoga Yama-jii bercerita lagi!" sambungnya.
Greeek.. pintu ruangan itu terbuka, seorang wanita berwajah keibuan dengan senyum lembut dan rambut yang dikepang di depan, masuk. Di belakangnya ada gadis semampai berambut perak membawa koper.
"Unohana-san?" kata Rukia. Wanita itu tersenyum
"Ohayou Rukia-san...gomen mengganggu, tapi kami harus merawat dan memeriksa kondisi Hisana-sama!" katanya. Rukia mengangguk, ia berdiri
"Kaa-san, Rukia keluar dulu ya...nanti kalau sudah selesai Rukia balik lagi!" pamitnya pada ibunya.Mengecup kening wanita yang menjadi orang yang paling ia sayangi itu. Ia membungkuk pada Unohana-san dan Isane-san, perawat sekaligus Dokter pribadi keluarga Kuchiki.
"Arigatou Unohana-san, Isane-san...". Dua wanita itu tersenyum membalas ucapan terimakasih Rukia.
Segera, gadis berambut hitam sebahu itu keluar dari ruang tidur ibunya. Berjalan pelan di koridor mansion mewahnya. Ia menuju ke halaman tengah, duduk di beranda lantai kayu, beralaskan sebuah bantal duduk bermotif bunga sakura. Ia menatap halaman tengah itu, luas, dengan banyak sekali pohon. Hanya saja sebagian dari mereka kehilangan daunnya. Ini hal yang wajar mengingat waktu telah memasuki bulan Oktober, pertengahan Musim Aki...Musim gugur. Beberapa lembar daun terbang di sekitarnya, ia menghela nafas, merasakan kelembutan angin musim gugur.
"Rukia?" panggil seseorang, langkahnya bergema di lantai kayu mansion itu.
"Ada apa, baboon?" tanya Rukia tanpa menoleh. Plukk , tangan kokoh Renji memegang puncak kepala Rukia, ia berdiri disamping nona mungilnya itu.
"Jangan panggil orang seenaknya!"
"Singkirkan tanganmu!"
"Tidak!"
"Singkirkan...!"
"Tidak.!"
Duaggghhh... dan kepalan tangan Rukia memukul tulang kering Renji. Sukses membuat pengawal pribadi ayahnya itu meringis menahan sakit. Renji duduk di samping Rukia.
"Ternyata kau semakin galak ya?" gumam Renji mengeluh.
"Khusus untukmu!" sahut Rukia.
"Kenapa tidak bersama tou-san?"
"Minggu ini aku sedang bebas tugas, lagipula Ikkaku menggantikanku, gilirannya."
"Si botak itu?"
"Kau pasti dibunuh kalau ia dengar julukanmu itu!" kata Renji
"Haah...tak bisa kubayangkan, tou-san mau dikawal olehnya, pasti setiap ruangan akan jadi terang benderang,"
"Ha ha ha..!" pemuda berambut nanas itu tertawa mendengar ucapan Rukia.
"Ngomong-ngomong, tou-san sedang dimana?"
"Tokyo, kalau tak salah. Rencananya minggu ini juga akan ke Korea!" Jawab Renji, mengetahui jadwal tuan besarnya itu.
"Ah, Rukia..kenapa baru datang sekarang, biasanya dua minggu sekali kau menjenguk Hisana-sama..."
"Salahmu!" cetus Rukia sinis
"Hah? Kenapa?" Tanya Renji heran.
"Dasar baka...kau tak menjemputku kan? Memangnya kau rela kalau nonamu ini harus berdesakan di chikatetsu untuk kesini?" ketus jawaban Rukia. Renji hanya menggaruk kepalanya.
"Ah iya juga ya..." ... "Eh, kau bilang apa tadi?"
"B-a-k-a baboon," jawab Rukia tenang
" JANGAN PANGGIL AKU BAKA! DASAR BAKAAA" teriakan Renji sukses membuat telinga Rukia berdenging. Mungkin gelas-gelas wine yang ada di ruang makan pun ikut retak.
"Diam baboon…kau berisik sekali" gerutu Rukia.
"Tou-san pasti akan memecatmu kalau melihat kau memperlakukan nonamu ini dengan kasar!"
"Huh, coba saja... Kuchiki Taicho lebih percaya padaku...Lagipula, beliau sedang tak bisa dihubungi. Jadi kau akan lapor lewat mana nona?" ejek Renji.
"Benarkah? Kurasa bulan lalu tou-san memberiku ponsel jalur langsung untuk bicara pada beliau... ini," jawab Rukia, mengeluarkan Ponsel nya,
"Err...emm, mungkin terlalu berlebihan. Err, Rukia, kau mau ku taraktir?" elak Renji dengan bujukannya..
Taraaa, muka Rukia berubah sumringah. Cerah ceria, mengalahkan sinar mentari. (?)
"Es krim chappy? Baik, sekarang..." katanya. Renji menghela napas, yaah..nona nya yang berusia hampir 16 tahun dan 7 tahun lebih muda darinya itu, bagi Renji tak lebih dewasa dari anak kelas 4.
"Sekaraaang Renjiii!" rengekan khas Rukia jika sedang merajuk di depan pengawalnya itu.
"Iya-iya..mau ikut?" tanya Renji sambil berdiri, mengibaskan debu imajiner di celana dinsnya. Rukia menggeleng.
"Ah ya..jangan lupa, Shiratama!"
"Apa lagi?"
"Itu saja, cepat pergi sana..hush-hush..." Perintah Rukia, Renji melenggang pergi. Begitu Renji pergi, ia kembali temenung. Menatap taman didepannya. Samar-samar ia mengingat, ibunya sering mengajaknya merawat bunga, mawar ungu yang menjadi kesukaan ibunya itu.
"Kaa-san!" panggilnya lirih.
~ * bleach * ~
Kurosaki Mansion, pagi tadi.
"GOOD MORNING, ICHII...GOOO!" teriak seorang lelaki paruh baya sambil berlari ke tempat tidur anak lelakinya itu.
DUAGHHH... tendangan lelaki berjenggot tipis itu meleset, karena dihindari dengan tepat oleh sang putra berambut orange. Terkapar di sudut kamar anaknya, lelaki itu mencoba berdiri.
"Ouchh,, good job my son…tampaknya London tak mempengaruhi kesigapanmu"
Sang anak hanya mengacuhkannya,
"Dasar, kupikir berubah…ternyata sama saja..!" gumam remaja jangkung itu sambil keluar dari kamarnya. Isshin Kurosaki, kepala keluarga Kurosaki itu tersenyum kecil mendengar gumaman anak lelakinya. Mengikuti remaja berambut orange yang menuruni tangga. Menuju ruang makan.
"Ohayou Ichi-niii...!" sapa seorang anak perempuan berambut cokelat terang sambil tersenyum manis melihat nii-channya sudah bangun.
"Ohayou Yuzu..." jawab kakaknya sambil duduk di salah satu kursi nyaman yang tersedia disana. Barusaja ia hendak menyandarkan punggungnya mencari posisi nyaman ketika tiba-tiba suara seorang anak perempuan menegurnya.
"Minggir Ichi-nii, itu tempatku..."
Remaja yang menjadi anak pertama keluarga itu menoleh, mendapati seorang anak perempuan berambut hitam legam berkacak pinggang di belakangnya.
"Huh..kau ini. Baik-baik..." Jawabnya sambil duduk di kursi lain.
Yuzu, gadis mungil berambut cokelat tadi menyiapkan makanan ke meja di bantu beberapa pelayan. Begitu semua beres, anggota keluarga Kurosaki itu berkumpul mengelilingi meja makan.
"Itadakimasu..." Kata mereka saat memulai makan.
"Jadi..nyam.. my son..nyam-nyam..apa kau dapat pacar cantik disana?" tanya Isshin pada anaknya. Cowok berambut orange yang memiliki kerutan permanen di dahinya itu hanya mendengus.
"Diam tou-san..kita sedang makan. Apa kau tidak tahu?" tanya anaknya yang berambut hitam sambil menginjak kaki ayahnya yang ada di bawah meja.
"Oohhh, Karin-chann, hiks..jangan galak begitu pada tou-san malangmu ini" sahut Isshin dengan gaya lebaynya seperti biasa.
"Tou-san, hentikan..." sambung Yuzu sambil menuang susu digelas kakaknya.
" Hiks...benar, Yuzu, Masaki..apa karena masa puber putri-putri kita ini sangat kejam pada tou-sannya... Masakiii...tolong akuuu..." teriaknya sambil menghambur pada foto seorang wanita anggun berambut cokelat ke-orangean yang terpasang memenuhi tembok d ibelakang tempat mereka makan. Ketiga anaknya hanya bisa ber-sweatdrop melihat tingkah konyol ayahnya itu.
Kurosaki Ichigo, remaja berambut orange itu adalah anak sulung keluarga Kurosaki. Baru kemarin ia kembali ke mansion nyamannya ini, karena sejak setahun lalu ia menjalani studi di London. Memiliki sepasang adik kembar fraternal. Yuzu, dan Karin.
Kurosaki Karin, anak tengah yang berambut hitam itu sangat-sangat tomboy. Hobi bermain bolanya mungkin menuruni dari sang kakak. Bertolak belakang dengan kembarannya, Kurosaki Yuzu yang sangat feminim. Anak perempuan berambut cokelat dengan senyum manis itu sangat pintar memasak, meski usianya masih 11 tahun.
Sedangkan, sang ayah.. Kurosaki Isshin adalah seorang dokter bedah ahli yang dinas di Rumah Sakit Pusat Tokyo. Meskipun sebagai pimpinan utama sekaligus pemilik sah Kurosaki Corporation, ia tetap meluangkan waktu menolong orang lain di rumah sakit besar itu.
"Ne Ichigo, malam nanti kau harus sudah sampai di Karakura Academy 'kan?" tanya Isshin.
"Eehhh...malam ini?" Teriak yuzu kaget.
"Nazee tou-san? Kan Ichi-nii baru saja pulang?"
"Yah, Yamamoto-Jii menyuruh hari ini," jawabnya pada putri bungsunya itu.
"Kenapa tidak besok saja?" protes Yuzu.
"Sudahlah Yuzu, nanti Ichi-nii tambah baka kalau tak segera sekolah lagi!" tambah Karin dengan nada malas.
"Kalau kau mau, datang saja kapan-kapan. Hanya di Karakura...suruh saja tou-san mengantar..." kata Ichigo menenangkan adiknya itu, tangannya masih sibuk mengoles rotinya dengan krim.
"Benar sekali Yuzu...Tou-san mu tersayang ini akan mengantarmu kemanapun yang kau mau," kata Isshin berlebihan.
Ichigo hanya menghela napas, harapannya setelah setahun ia ada di London, ayahnya itu akan berubah, paling tidak bersikap sedikit lebih serius seperti saat menangani pasiennya. Tapi ternyata sia-sia saja.
"Gouchisousama deshita" kataIchigo sambilberdiri.
"Ah..Ichi-nii..siang nanti temani Yuzu belanja ya?" pinta adik nya itu sambil memasang muka manisnya. Ichigo mengangguk.
"Ne… nanti aku pulang sore, ada meeting. Jadi kita ke Karakura setelah malam." sahut Isshin.
"Ya ya..terserah .." jawab Ichigo malas. Ia pergi ke kamarnya. Duduk di depan meja belajarnya, membuka Macbook Air, Notebook keluaran Apple yang sangat tipis dan memiliki berat hanya tiga pon itu. Notebook yang menemaninya setahun terakhir ini. Ia membuka file-file yang ada disana, menekuninya. Sesekali menghela napas.
Ichigo mengemasi barang-barangnya yang rencana akan dibawa ke sekolah barunya. Ia menatanya dalam koper, dibantu Yuzu.
"Apalagi Ichi-nii?" tanya Yuzu sambil memasukkan beberapa buku tebal ke dalam koper.
"Emmm, novel Shakespearre?"
"Semua sudah ku masukkan Ichi-nii.."
"Oh kalau begitu... sudah saja. Arigatou yuzu"
"Dou ita...jadi kita pergi sekarang 'kan?" pinta Yuzu menagih janji kakaknya pagi tadi sambil memasang puppy-eyesnya.
"Ya..keluarlah dulu" jawab Ichigo.
"Yeay.." teriak Yuzu sambil memeluk kakaknya itu. Singkat dan segera keluar. Turun kelantai satu. Ichigo meraih jaket cokelatnya dan menyusul adiknya yang sudah bersiap di ruang tamu. Sendirian.
"Tidak dengan Karin?" tanya Ichigo sambil membuka rak sepatu dan memakai sepatunya.
"Iie, Karin-chan main ke tempat temannya. Ayo Ichi-nii..." ajak Yuzu sambil menarik lengan kakaknya. Mereka berjalan menyusuri trotoar, menuju salah satu mall terdekat. Sepanjang jalan Yuzu tak melepaskan pelukan di tangan kakaknya itu. Ingin bermanja lebih lama. Maklum, mereka jarang bertemu sejak Ichigo studi ke London. Selisih lima tahun usia mereka.
Jalanan cukup ramai.
"Ichi-nii.."
"Hm?"
"Kalung dengan pecahan kristal itu masih Ichi-nii simpan?"
"Yah..naze?"
"Iie..hanya saja minggu lalu aku melihat seorang kakak memakai yang mirip dengan punya Ichi-nii...ia cantik, berambut cokelat... Apa Ichi-nii punya teman yang begitu?"
"Entahlah Yuzu..."
"Tapi..kristal itu kata tou-san penting kan?..."
"Sudahlah Yuzu..." kata Ichigo mengakhiri pertanyaan adiknya, mereka sudah memasuki mall.
~ * bleach * ~
Sebuah mobil All New Corolla Altis berwarna silver mengkilat dan sangat mengutamakan keselamatan penumpang itu memasuki komplek Karakura Academy. Mobil dengan tenaga mesin 1ZZ-FE itu melaju lembut di halaman Karakura Mansion. Begitu berhenti, seorang cowok tegap berambut orange dengan wajah tegas, keluar. Diikuti seorang lelaki paruh baya berjenggot tipis yang memakai jas hitam elegan. Mereka berjalan menuju kediaman sekaligus kantor Yamamoto Genryuusi. Disambut oleh seorang assistant berponi rata dan pendiam yang mengantarkan mereka ke ruang kerja Yamamoto Kuchou. Begitu mereka masuk keruang kerja itu, tampak diujung ruangan seorang kakek tua berjenggot putih sedang duduk di balik meja kerjanya, tumpukan berkas ada di depannya. Nyala lampu ruangan membuat Ichigo bisa melihat dengan jelas garis-garis ketuaan di wajah kepala sekolah itu.
"Konbanwa Yama-jii. Osoku narimashite hountou ni sumimasen," kata Isshin memberi salam.
"Hai- hai...konbanwa kurosaki. Douzo," balas Yamamoto
"Suwatte kudasai!" lanjutnya mempersilahkan mereka berdua duduk.
"Ahh..Isshin, Ogenki desuka?"
"Hai, Ogenki desu."
"Jadi inikah putramu? Ichigo Kurosaki?" Tanya Yamamoto sambil menatap Ichigo.
"Benar Yama-jii" jawab Isshin.
"Sudah setinggi ini sekarang...lama sekali aku tak melihat putramu ini...terakhir masih kutepuk kepalanya saat meninggalnya Masaki..."
"Ya, benar Yama-jii...sudah tujuh tahun lalu.."
TOK TOK..
"Yama-jii?" pintu ruangan itu diketuk pelan bersamaan dengan suara seorang gadis memanggil.
"Akette kudasai, Rukia." jawab Yamamoto. Pintu terbuka menampakkan seorang gadis mungil berambut hitam yang tak lebih tinggi dari 150cm, anak itu melangkah masuk.
"Ah..Rukia..ini Ichigo Kurosaki...Ia akan menempati kamar diruanganmu. Jadi antarkan ia kesana...sudah cukup malam, agar ia bisa bersistirahat.." suruh Yamamoto. Rukia hanya membungkukkan badannya.
"Hai.." jawabnya tak bersemangat. Ichigo mengikuti Rukia yang sudah berjalan lebih dulu. Setelah pamit singkat pada ayahnya, ia segera keluar. Menyeret kopernya yang cukup besar.
Mereka masuk ke asrama, melewati aula. Banyak mata menatap kagum pada Ichigo. Terutama para siswa putrinya. Menyusuri koridor-koridor panjang yang diapit tembok dan pintu-pintu ruangan. Merasa sudah berjalan cukup lama dan tanpa suara akhirnya Ichigo buka mulut.
"Hei kau.." panggilnya pada Rukia...
Rukia diam saja, ia sedang kesal pada kakeknya. Mana mungkin suite pribadinya (baca: kamar asrama) itu akan bertambah penghuni. Dan penghuni baru itu adalah cowok. Ia sedang sibuk memikirkan bagaimana cara agar ia masih tetap menguasai suite mewahnya itu.
Merasa diacuhkan Ichigo kembali memanggil
"Hei.. kau.."
Rukia tetap sibuk berpikir, malas menaggapi cowok bermuka cemberut di belakangnya itu. Habis kesabaran Ichigo, seumur hidunya ia belum pernah dicuekin. Akhirnya ia berjalan menjejeri langkah Rukia dan memanggil cewek itu di telinganya, tak bisa dibilang dengan pelan.
"Heh...midgett..Kau ini tuli apa bisu sihhh?" teriaknya. Rukia masih mencoba cuek. Tapi setelah beberapa detik ia tersentak
"APAA? Apa kau bilang?" tanyanya berbalik, menghadapi Ichigo. Mendongak tentusaja.
Ichigo menjawab santai..
"Midget..salah ya?" mukanya menyeringai, mengejek. Tak tanggung-tanggung tedangan kaki mungil Rukia mendarat di lutut Ichigo yang kemudian meringis sakit.
"Apa-apaan sih? Seenaknya aja menendang kaki orang..kau pikir aku ini samsak?" protes Ichigo kesal.
"Heh..Denger ya, kepala jeruk, jangan pernah panggil aku seperti itu, Mengertiii?" kata Rukia kasar.
"Memangnya siapa yang memulai..?"
"Jangan membangkang..." deathglare.
"Apa kuasamu?...Dengar midget aneh. Aku ini siswa undangan. Jadi jangan mencoba memerintahku..dan lagi, kalau kau memang tuli pakailah alat bantu dengar.."
Blettakkk. Jitakan keras Rukia mendarat di kepala orange Ichigo.
"Kau..." gertakk Ichigo kesal. Tapi mereka sudah sampai di depan pintu sebuah suite. Rukia membukanya, maka tampaklah suite mewah terang di depan mereka.
"Kamarmu di ujung itu.." Tunjuk Rukia sekenanya. Ichigo masuk ke rumah barunya. Ia menghempaskan diri di sofa, lelah. Tiga jam perjalanan dari Tokyo membuatnya kecapekan. Baru saja ia menyalakan televisi ketika seseorang menimpuk kepalanya dengan sesuatu yang keras,
"Apa sih?" teriaknya, melihat dua kunci terjatuh di sampingnya. Seorang gadis bermata violet menghampirinya.
"Dengar baik-baik...kunci dengan gantungan chappy itu kunci suite ini, dan satunya kunci kamarmu. Kalau sudah tahu..cepat minggir, aku mau nonton tv..." katanya mengusir Ichigo yang sudah nyaman bersantai sebentar si sofa itu.
"Huh.. dasar midget aneh.." gerutunya sambil menagambil kopernya. Menuju kamar yang tadi ditunjuk Rukia.
Buukkk.. bantal sofa menyambarnya, segera saja ia bergegas masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Mendengar beberapa barang mengenai pintunya dan teriakan keras Rukia. Tapi ia menghempaskan diri di tempat tidur, tak mengacuhkan teriakan marah Rukia karena ia menyinggung tentang tinggi badan gadis itu.
Sepertinya hidupku akan lebih buruk...batin Ichigo.
~ * bleach * ~
To Be Continued On Chappie 2
