Disclaimer : Not mine. All characters belong to Masashi Kishimoto

–GaaHina, AU

Untuk rucchan hayao, saudariku yang merindukan fanfiksi bernafas angst

.

.

.

Autumn

by Guavary'DarkLavender

.

.

.

Mereka menikah dalam kelabu musim gugur dan bercerai pada kehangatan musim panas.

Jika ada yang bertanya mengenai pernikahannya, ia hanya mengangkat bahu sambil menyunggingkan satu seringai pendek; tidak penting dan tidak akan pernah menjadi penting. Kawan-kawannya lalu membalas dengan tawa bariton. Suara kaum pria yang memang tidak menghargai pernikahan. Setelahnya, bila ada yang bertanya mengenai perceraiannya, ia memberi respon yang sama. Kawan-kawannya akan menjabat tangannya sambil berkomentar mengenai betapa beruntungnya Gaara yang tak lagi harus mendengar suara perempuan menyebalkan setiap hari, dapat bersenang-senang dengan lebih banyak wanita, dan tak seperti mereka yang terus mengutuki hari pernikahan. Lalu, mereka akan kembali tertawa, melanjutkan menyesap alkohol dalam-dalam dengan kepuasaan.

Sejujurnya, dia tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan pernikahan dan perceraiannya. Semua berlalu begitu saja. Datar tanpa kesan sama sekali. Ia tidak mencintai istrinya, meski ia juga tak membenci. Bila seseorang membenci, paling tidak mereka perduli. Gaara sama sekali tak memusingkan ikrar yang telah ia ucapkan. Ia bahkan tidak bisa mengeja nama istrinya dengan benar sampai enam bulan pernikahan mereka. Ia pikir namanya Hinada. Di kemudian hari, saat harus mengurus persuratan yang melibatkan buku nikah, baru ia tahu nama istrinya adalah 'Hinata'.

Mereka menikah untuk merger bisnis. Bagaimana mungkin orang berpikir ia akan memiliki kesan apapun untuk pernikahan se-klise itu?

Bahkan keseharian mereka pun klise. Dia bangun pagi, istrinya telah menyiapkan pakaian dan sarapan yang ia tolak untuk disantap, dia pergi ke kantor, menerima pesan 'Aku harap harimu berjalan baik' yang tak ia balas –karena pesan itu tak penting. Lalu ia pulang dengan otot-otot yang kaku. Istrinya telah menunggu di depan pintu, tersenyum sambil mengatakan ia telah memasak makan malam. Gaara bilang ia telah makan di luar, pergi mandi, lalu langsung tidur. Setiap hari seperti itu, berputar tak kenal henti, mengulang rutinitas sama tak habis-habisnya.

Ia menikahi orang yang membosankan.

Hinata bilang ia hanya ingin rumah sederhana tanpa maid. Ia bahagia dapat menyenangkan suaminya dan yakin mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri. Gaara menyanggupi; kalau memang si tuan putri mau tangan halusnya hancur karena detergent, itu urusannya. Dan ia benar. Tak lama, tangan Hinata nyaris selalu dibungkus plester dengan bercak-bercak merah obat antiseptik.

Ia menikahi orang yang membosankan dan bodoh.

Tiga tahun pernikahan, Hinata mulai sering membawa pulang anak-anak berusia empat sampai sepuluh tahun ke rumah. Siapa anak-anak itu, Gaara tak pernah cukup perduli untuk bertanya. Ia benci bahwa lambat laun ia menyadari Hinata menginginkan anak, maka tanpa berpikir dua kali ia langsung melarang istrinya membawa pulang makhluk apapun di bawah usia delapan belas. Hinata terlihat kecewa, tapi semenjak teriakan kasar Gaara, rumah mereka bebas dari anak-anak yang berlarian.

Di tahun ke-lima pernikahan, pada hari Minggu yang cerah, Gaara sedang membaca koran sementara Hinata menyantap sendiri masakannya yang lagi-lagi ditolak sang suami. Dia mencuci piring sendiri, bersenandung sendiri, berbicara sendiri, karena kalimat-kalimatnya tak pernah mendapat tanggapan dari orang yang ia ajak bicara. Hinata mengeluarkan pudding karamel dari dalam kulkas, menawarkan pada Gaara dan ditolak lagi, ia duduk sendiri lagi, berbicara sendiri lagi, semua dilakukan selama lima tahun tanpa lelah.

Dan tiba-tiba saja, Gaara juga tak ingat apa yang Hinata bicarakan sebelumnya, istrinya mengeluarkan kalimat yang membuatnya sedikit menurunkan bacaan paginya.

"Gaara-kun, aku ingin bercerai."

Yang lucu, nada suaranya tidak datar atau berbumbu kebencian. Suaranya tenang dan manis, sama seperti semua nada baiknya selama lima tahun. Bahkan senyumnya pun masih ada.

Lalu Gaara tertawa.

Kau tahu apa lagi yang lucu? Hinata meminta cerai, itu lucu. Gaara tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa istri mungilnya yang submisif dan bersedia melakukan hal paling konyol sekali pun untuk menyenangkan suami, pada akhirnya 'mampu' meminta cerai. Ia pikir Hinata akan menghabiskan hidupnya sebagai Sabaku Hinata, meski tidak bahagia dan terasa sakit. Kenyataannya berbeda. Mungkin ia terlalu meremehkan Hinata.

Karena ia memang tidak mencinta, Gaara tanpa beban menjawab dengan sindiran "Aku sudah lama menunggu."

Itu kesalahannya yang terbesar.

Enam bulan kemudian, mereka resmi bercerai. Ia pikir-pikir lagi sekarang, mungkin musim-musim itu (menikah di musim gugur dan bercerai di musim panas) menggambarkan suasana hati Hinata; merunduk pilu pada pernikahan mereka, lalu memeluk bahagia ketika jari manisnya tak lagi harus dicekik logam dingin. Sungguh, secuek apapun dirinya, dia masih punya cukup sisi manusia untuk sadar bahwa di balik senyumnya, Hinata tak bahagia selama pernikahan mereka.

Semenjak hakim mengetuk palu, mereka tak lagi bertemu. Sepuluh tahun berlalu dan mereka tak pernah berpapasan satu kali pun. Hinata seperti menghilang ditelan bumi sementara Gaara kembali pada rutinitas bujangannya tanpa kesulitan berarti. Seiring waktu, memori pernikahannya terkikis hingga ia lupa sama sekali bahwa ia bahkan pernah menikah. Seperti apa wajah Hinata pun, ia tak lagi tahu.

Bila belum ada yang memberi tahumu, biar ia katakan suatu hal. Dunia itu kejam. Suka atau tidak, begitu kenyataannya.

Ia kembali bertemu Hinata di musim gugur.

Saat itu, ia menghabiskan sorenya dengan menikmati semilir angin di taman luas di tengah kota. Laptopnya menyala, kopi di gelas kertas mengepul di sebelahnya. Tatapannya berkali-kali berpindah pada layar dan jurnal ekonomi dengan deretan angka-angka tak bersahabat dalam putus asa. Dia memijit keningnya, kemudian menerima kenyataan bahwa berapa kali ia tatap pun, deretan angka di jurnal terkutuk itu tak akan berubah.

Ia memindahkan angka-angka pada Excel yang menunggu dengan rumus-rumusnya. Dia tahu bahwa hasil dari rumus-rumus Excel tak mungkin gemerlap, tapi benar-benar melihat angka-angka minus bertebaran cukup untuk membuatnya meraih kopinya. Ia butuh kafein.

Dan kafein itu datang dengan cepat, membawa hitam di kemeja birunya yang baru saja keluar laundry.

Gaara menggeram. Ia berdiri, menjulang seperti menara suram pada anak lelaki berambut gelap yang tampak ketakutan. Ini memang taman, tapi anak-anak tak seharusnya berlari ke sana ke mari menabrak apa pun yang bisa ditabrak apa lagi tanpa pengawasan orang tua. Ini mengapa ia tak menginginkan anak. Makhluk kecil tak berdaya, tak berguna, yang hanya bisa menghabiskan waktu dan uangnya.

"A-aku m-m-minta maaf, Paman." Si anak mencicit, kakinya bergetar hebat.

Gaara mendengus. Pendapatnya, ada waktu di mana seorang anak pantas untuk dipukul. Persetan perlindungan anak. Beruntung yang terkena hanya kemejanya, bagaimana kalau tadi jurnal dan laptonya juga ikut basah?

"Kau datang dengan siapa?"

"D-dengan I-ibuku."

"Oh." dia harus segera ke toilet terdekat untuk membersihkan kemejanya, tapi ia juga ingin memberi pelajaran pada orang tua bodoh yang melepas anjing kecilnya dengan bebas "Aku ingin bertemu Ibumu."

Wajah si anak memucat "E-eh. T-ta-tapi Ibuku sudah pulang d-duluan tadi."

Bajingan kecil yang bisa berbohong rupanya "Kalau begitu aku akan ke rumahmu."

"R-rumahku jauh."

"Aku membawa mobil."

Tangannya bergetar, sudut-sudut matanya mulai basah. Perlahan namun pasti, air matanya berderai tanpa henti "H-hukum aku saja, Paman. J-ja-jangan hukum Ibuku."

Gaara berdiri tak bergerak, memasang ekspresi minim tanpa melakukan apapun untuk menghentikan tangis si anak yang mulai terdengar seperti penderita asma. Beberapa orang mulai menoleh, yang ia balas dengan anggukan kaku. Mereka merespon dengan 'oh' seolah mengerti bahwa mungkin orang dewasa berambut merah itu adalah ayah dari si anak sehingga tak perlu terlalu dipusingkan.

Ia bertanya-tanya seperti apa wujud si Ibu yang mampu membuat sosok lemah yang telah bergetar hebat dengan ketakutan pun masih mau untuk melindunginya. Mungkin tipe Ibu kasar dan pembentak.

Selang beberapa menit, terdengar suara feminin yang memanggil-manggil. Wajah berlinang air mata seketika berubah gembira. Tak lama, berubah lagi menjadi keragu-raguan, tak yakin apakah harus senang atau khawatir, sambil membisikkan 'Ibu' berulang-ulang. Pada akhirnya, dengan tarikan lendir yang keras, ia berlari ke arah barat, menyosong siluet wanita yang sementara berlari-lari kecil.

Gaara menyeringai. Oh. Jadi ini Ibunya.

Ia menenteng laptop dan jurnal di tangan kanan, kaki membawa mendekat pada Ibu yang kini menggendong anaknya. Wanita ini tidak pantas memiliki anak. Ia bahkan tak mengawasi anaknya dengan benar. Seharusnya ada semacam tes yang digelar pemerintah untuk mengecek apakah orang-orang tertentu memang layak menimang keturunan atau harus disterilkan secara permanen.

Semakin mendekat, makin jelas sosok si wanita, semakin lambat langkah kaki Gaara. Ia diterpa perasaan-perasaan yang tidak ia suka. Memorinya digali paksa. Setengah perjalanan, langkahnya sempurna terhenti. Dia ingat sepenuhnya.

Mengapa dia harus bimbang menghadapi wanita yang ia sebut membosankan dan bodoh?

Ia melanjutkan lagi langkahnya, lebih tegas. Ia tidak ingin meninggalkan semua begitu saja, karena itu berarti ia dikuasai perasaannya. Mereka memang pernah menikah, tapi pernikahan datar yang bahkan penggosip kakap sekali pun tak akan mau membicarakannya. Sampai sekarang pun ia tidak benar-benar mengenal Hinata. Ia tidak tahu apa makanan kesukaannya, tidak tahu apa warna favoritnya, tidak mengingat tanggal ulang tahunnnya –tanggal pernikahan mereka pun ia lupa (meski secara ironis ia tiba-tiba mengingat tanggal perceraian mereka).

Dia menegakkan punggungnya, tak yakin harus memasang tampang yang bagaimana. Wanita ini seperti orang asing, meski sebenarnya dan seharusnya mereka tidak merasa asing satu sama lain.

"Hinata." Katanya, memutuskan untuk memakai ekspresinya yang biasa.

Wanita itu tak berubah meski tahun-tahun berlalu. Sebelah tangannya sibuk menepuk-nepuk punggung putranya yang mulai tenang. Matanya bercahaya, bibirnya masih berhias senyuman tenang. Ia tidak terlihat kaget, bahagia, atau benci. Di tengah-tengahnya, seolah mereka hidup bertetangga dan secara kebetulan bertemu di taman kota.

"Gaara-kun." Nada suaranya lembut, manis dengan taburan keramahan melimpah.

Gaara nyaris tertawa, miris. Kau tahu apa lagi yang lucu? Nada suaranya ketika meminta ia makan, berbicara dengannya di tempat tidur, meminta cerai, lalu bertemu setelah sepuluh tahun, semuanya sama.

Seharusnya ia memulai ceramah pendek nan kasar tentang betapa bodohnya Hinata sebagai seorang Ibu, tapi otaknya tak bisa diajak bekerja. Draft pidatonya hilang entah ke mana, meninggalkan dirinya yang bingung mengapa ia tidak segera mengucapkan selamat tinggal pada mantan istrinya yang jelas-jelas telah bahagia dengan keluarga baru.

"Dia anakmu." Katanya, tak penting. Untuk apa ia susah-susah memulai percakapan?

Hinata mengangguk, alisnya turun dengan permintaan maaf "Kemejamu, apa anakku yang melakukannya?" Gaara diam, Hinata melanjutkan, tak kikuk sedikitpun karena telah terbiasa dengan sikap acuh tak acuh pria di depannya "Aku minta maaf. Akan kubelikan yang baru."

Semilir angin kian menusuk. Ia merapatkan mantelnya, mengharap sedikit pengampunan untuk kemejanya yang basah "Tidak apa-apa. Lupakan saja."

Jadi setelah lima tahun pernikahan tanpa percakapan sama sekali, kini mereka berdua berbicara seperti dua orang 'rekan kerja'; ramah, namun penuh formalitas. Orang macam apa yang beramah-tamah dengan ex-spouse-nya? Ada peraturan tak tertulis bawa jika kau bercerai, maka semuanya selesai. Kau bukan pasangan suami-istri lagi, bukan juga sahabat. Dia sungguh harus memasukkan mereka pada Guiness Book of Records untuk kategori pasangan pertama yang tak mencoba membunuh satu sama lain setelah perceraian.

Hinata menurunkan putranya dari gendongan. Ia menepuk puncak kepala anaknya, memberi semangat "Ayo, minta maaf." Dia bilang, mencoba memberi semangat pada anak lelaki yang nampak lebih nyaman di dekat kaki Ibunya "Kyo-chan mau minta maaf kan?"

Daun-daun kuning berguguran, mengiringi permintaan maaf anak lelaki yang bersuara serak. Gaara mengangguk kaku, memindahkan lagi fokusnya pada Hinata dan langsung mengakui bahwa ia mirip sekali dengan anaknya. Rambut gelap, mata pucat, dan kulit putih.

Sebelumnya, ia tidak percaya pada Kankurou yang bilang ada wanita yang semakin cantik dengan bertambahnya usia. Baginya simpel saja. Makin tua, makin jelek pula seorang wanita. Tidak ada pria waras yang mau menghabiskan malam dengan perempuan beruban. Tetapi, menjadi saksi keberadaan Hinata, ia harus menelan bulat-bulat pernyataannya. Hinata semakin cantik. Ada sedikit keriput di sudut-sudut matanya yang entah bagaimana memberi kesan anggun di tiap tarikan bibirnya. Ini gila.

Detik-detik terus berputar, mengubah siang ke sore bertabur oranye. Musim gugur semakin angkuh dengan dinginnya. Ia sudah lupa naskah ceramah marah-marahnya, maka paling tidak, dengan penampilan kemeja coklat dan dinginnya musim gugur, dapat memberi pemahaman pada otaknya untuk segera pulang. Yang ada ia justru terus berdiri seperti patung. Mananti apa, ia pun tak tahu.

"Aku akan belikan kemeja yang baru. Di dekat sini ada cabang butik yang cukup terkenal. Jangan khawatir, aku berlangganan di sana, jadi aku bisa mendapat diskon." Hinata berbisik penuh konspirasi. Ia mengeluarkan kartu member dari dalam dompetnya, mencoba meyakinkan bahwa ia sama sekali tak merasa kerepotan.

Gaara tak menjawab, ia hanya terus memandang datar pada Hinata yang kini kembali menggendong anak lelakinya. Wanita itu tersenyum, paham. Ia melanjutkan lagi kalimatnya "Jadi aku harus bagaimana?" Gaara tetap diam "Ohh… Tapi kau tidak marah kan? Kalau memang tidak ada yang bisa aku lakukan, aku rasa kau harus pulang sekarang. Noda kopi mungkin susah hilang. Lagi pula semakin dingin. Kau pasti kedinginan dengan kemeja basah."

Hinata berbicara sendiri, mempertahankan kesopanannya sampai setengah jam kemudian. Begitu lonceng berdentang enam kali, ia pamit. Ia menurunkan anaknya lagi, berdua membungkuk, mengucap salam perpisahan hangat, lalu melambai dan berjalan menjauh bergandengan tangan dengan putranya yang mulai bisa tertawa.

Gaara tetap tak bergerak, menatap punggung berbalut mantel coklat lekat-lekat. Dia ingin berbicara panjang lebar, namun lidahnya kelu. Lama ia tidak menemukan seseorang yang melakukan hal baik padanya tanpa memikirkan keuntungan apa yang mereka dapat. Lelaki atau perempuan di kehidupannya semua sama. Rekan kerjanya yang pria menginginkan uangnya. Wanita-wanita di sekelilingnya juga menginginkan uang. Lama. Terlalu lama ia tak mencicipi kebaikan hati yang tulus.

Di situ ia sadar.

Dia jatuh cinta pada wanita yang telah ia ceraikan.

.

.

.

To be continued…

.

.

Salam,

Ava : )