Hai, everyone!

Anne muncul lagi, nih. Anne mohon maaf sebelumnya karena lama nggak muncul. Tugas Anne nggak ada habisnya. Sampai sequel Knock-Kncok belum bisa Anne lanjut. Nah, karena permohonan maaf itu, Anne sempat obrak-abrik file dan nemu file lama ini. Anne sedikit perbaiki dan rencananya mau buat dua chapter. Terlalu panjang untuk jadi one shot. Nah, semoga dengan cerita ini bisa terhibur dulu sebelum Anne lanjut kisah si Flo.

Happy reading!


Harry pulang larut. Malam ini ia harus mengendap-endap untuk masuk rumah agar anak-anaknya tak terbangun. Pukul 11.37 pm, Harry melihat jam dinding di ruang tamu. Malam, sudah sangat larut malam. Ia yakin anak-anaknya pasti sudah tidur, kecuali Lily, putri bungsunya. Bayi satu tahun itu mungkin saja terbangun untuk menyusu dan itu artinya, Ginny juga bangun.

Suara rengekan bayi jelas terdengar dari balik pintu kamar. Harry mendengarnya. Tepat saat ia membuka pintu, raut wajah khawatir Ginny menyapa kedatangannya. "Ginny." Panggil Harry sambil perlahan masuk ke kamarnya bersama Ginny.

Ginny, istrinya sedang menangis sambil bergerak-gerak gelisah menimang tubuh Lily yang tidur tak nyaman di gendongannya. Harry mendekat memeriksa putrinya, badannya panas.

"Lily sama sekali tak mau menyusu sejak pagi, Harry. Ia menolak apapun yang aku suapkan padanya. Badannya panas. Dan—" Ginny perlahan duduk kembali ke ranjang dan menidurkan Lily di sana. Masih terus terisak, Ginny membuka pakaian Lily dan menunjukkan beberapa ruam hitam di sekitar punggung putrinya.

Tangan Harry menyentuh ruam-ruam itu sampai Lily kembali menangis kencang tak suka punggungnya disentuh. "Sejak pagi Lily bersamaku. Dia tidak pernah lepas dari penjagaanku dan aku yakin seratus persen dia tak jatuh. Saat aku memandikannya tadi, aku melihat ini."

"Ini bukan karena jatuh atau terluka karena benda tumpul, Ginny. Ini seperti.. dari dalam." Harry coba memperhatikan kembali luka-luka Lily. "Aku takut Lily kurang darah. Lalu, apa Lily sudah makan?" tanya Harry namun Ginny hanya bisa menggelang pelan.

"Sempat aku beri bubur kesukaannya, tapi.. Lily memuntahkannya."

Lily kembali digendong. Kini giliran Harry yang menggendongnya. Tidak seperti biasanya, Ginny selalu melarang Harry menggendong atau bermain dengan anak-anak sepulang dari kerja, apalagi belum mengganti pakaiannya. Namun malam ini, untuk memberikan ciuman selamat datang saja tidak apalagi untuk marah. Ginny terlalu kalut.

Masih menggunakan kemeja kerjanya, Harry merengkuh tubuh lemas Lily ke dalam pelukannya. Mendesis sesekali membuat Lily nyaman. Harry selalu takut tiap kali menggendong anak-anaknya ketika sedang sakit. Takut memperparah karena caranya menggendong. Walaupun banyak sahabat maupun kakak-kakak ipar prianya mengatakan Harry sangat cekatan ketika menggendong bayi apalagi anak-anak.

"Shhtt, tenang, princess. Kita ke St. Mungo sekarang, ya. Ginny, bersiap-siaplah. Aku akan memanggil Kreacher untuk menjaga James dan Al."

Malam itu juga, Harry, Ginny, dan tentu saja Lily menggunakan jalur floo menuju St. Mungo. Mereka menjadikan waktu tengah malam itu sebagai jalan satu-satunya menyembuhkan Lily. Perasaan Ginny tidak bisa lepas dari kemungkinan-kemungkinan buruk di kepalanya. "Lily akan baik-baik saja, sayang." Bisik Harry saat seorang Healer menyambut kedatangan mereka.

Tidak. Naluri keibuan Ginny berkata lain. Lily, putrinya tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.

"Aku tak tahu harus memulainya dari mana, Mr. dan Mrs. Potter. Ini—"

Healer Illiana mengayunkan tongkatnya ke sebuah papan hitam di sisinya. Muncullah rincian beberapa keluhan yang sempat diceritakan Ginny tentang keadaan Lily. Tidak hanya itu, di sana muncul juga rentetan hasil pemeriksaan Lily secara sihir yang sama sekali tidak dipahami oleh Ginny maupun Harry.

"Apa maksud semua itu, Madam?" tanya Harry.

"Secara ringkas, hasil seperti ini akan muncul jika.. sihir tidak bisa membantu dalam usaha penyembuhan penyakit pasien." Ujar Healer Illiana.

Lily kini tertidur di gendongan Ginny setelah Healer Illiana memberikan ramuan penenang untuk Lily. "Tidak bisa membantu? Maksudnya.. maaf, kami tidak paham—"

"Dalam dunia kesehatan sihir, kami para Healer juga mendapatkan pelatihan ilmu pengobatan tentang penyakit-penyakit khusus milik Muggle yang tidak bisa dideteksi oleh sihir. Hanya sebatas ilmunya saja, karena sihir hanya mampu membantu dengan kekuatan sihir tanpa bisa memberikan ramuan khusus yang lebih spesifik untuk penyakit-penyakit tertentu. Ada kemungkinan Lily mengalami masalah dengan darahnya. Itu indikasi pertama yang saya dapatkan."

Harry dan Ginny saling pandang. "Darah?" ulang Ginny.

Healer Illiana mengangguk. "Dalam istilah Muggle, saya menemukan ada sejenis virus di dalam darah putri anda. Maaf, kami tidak bisa melakukan pengobatan lanjut sebelum penyembuh dari ilmu kesehatan Muggle menemukan secara jelas penyakit apa yang diderita Lily."

Suasana hening. Ginny benar-benar takut. Ketakutannya terjawab. Ia memeluk Lily begitu kuat dan terus berbicara dalam hati, "tidak, tidak, tidak ada apa-apa dengan Lily. Lily akan sehat. Oke, Ginny tenangkan pikiranmu!" Ginny terus menguatkan dirinya sendiri.

"Lalu kami harus bagaimana sekarang? Membawa Lily pada dokter?" Harry menerima catatan ramuan sementara untuk Lily segera minum.

"Benar sekali, Mr. Potter. Saya menyarankan agar Lily diperiksa terlebih dahulu oleh dokter. Sampai hasil akhir tentang penyakitnya keluar, saya harap anda segera menginformasikan dengan St. Mungo ataupun pada saya langsung tentang hasilnya. Agar kami juga segera bertindak membantu penyembuhan putri anda, sir."

Semua berjalan seperti biasa hingga pagi tiba. Berkat ramuan yang diberikan Healer Illiana, Lily mampu tidur nyenyak sampai esok pagi. Sebenarnya, Harry ingin sekali menemani Ginny ke rumah sakit untuk memeriksakan Lily. Tapi, Harry masih ada urusan dengan pekerjaan Auror di Kementerian. "Kau bisa menungguku sampai sore nanti," tawar Harry sebelum ia masuk ke dalam perapian.

"Tidak, aku akan menitipkan James dan Al ke The Burrow nanti. Aku tak mungkin membawa mereka saat aku ke rumah sakit sambil membawa Lily. Aku yang akan membawa Lily ke dokter anak rekomendasi Hermione."

Hamilton Woman and Children Hospital, Ginny berdiri di depan rumah sakit besar itu sambil menarik napas dalam-dalam. Melihat ke arah Lily yang sedang ia gendong. Wajah gadis kecil itu pucat. Matanya merah karena demam yang kembali tinggi. Ginny kembali meyakinkan pada dirinya bahwa Lily akan baik-baik saja.

"Bagaimana, dokter?" Ginny menegakkan duduknya ketika dokter wanita dengan nama terang Sylvia Wilson, M.D. di jubah putihnya kembali masuk sambil membawa kertas yang baru diantar oleh salah seorang suster.

Ruang rawat yang penuh dengan mainan, suasana menyenangkan khas anak-anak, sedikit mempengaruhi psikologi Lily yang sejak dulu takut dengan dokter. Lily sepertinya terpukau dengan boneka kelinci kecil di atas meja dokter Sylvia.

"Mungkin ini ada hubungannya mengapa Lily tidak napsu makan ataupun dengan lebam-lebam di area punggungnya itu. Sel darah putih Lily jauh di bawah angka normal dibandingkan anak seusianya, Mrs. Potter. Saya tidak mau jauh memberikan analisa dini."

Tiba-tiba dokter Sylvia mengeluarkan secarik kertas dan menyerahkannya pada Ginny. "Dr. Archie Desen?" baca Ginny. "Dokter lain? Kenapa tidak anda?"

"Dr. Desen akan jauh lebih tahu, Mrs. Potter. Saya sudah memberikan sampel darah Lily padanya untuk segera dilakukan tes darah ulang lebih mendalam. Saya hanya menyarankan agar anda datang bersama suami untuk mendampingi anda. Dan tentu saja, agar kalian tahu bagaimana keadaan Lily."


Hari ini Harry pulang lebih awal. Putrinya yang sakit membuatnya tidak berkonsentrasi dengan pekerjaan. Untung saja tidak ada yang penting di Kementerian. Ia bahkan datang bersama Ron dan Hermione. Mereka ingin melihat Lily dan menanyakan bagaimana hasil pemeriksaannya di rumah sakit.

"Seperti yang dikatakan Madam Illiana, ada sesuatu di darah Lily. Entahlah, darah putihnya rendah atau.. aku tak tahu. Kata Dr. Wilson, ia tidak bisa memberitahu hasilnya karena, ada dokter lain yang akan menguji darah Lily." Kata Ginny saat Hermione menanyakan hasilnya. Ginny menggenggam tangan Harry erat lantas berkata, "kita berdua diminta untuk menemui dokter rujukan Dr. Wilson, Harry."

"Tentu saja, aku ikut. Tapi, kau tahu siapa dokternya?" tanya Harry.

Ginny tampaknya mengingat sesuatu. Ia kembali ke kamar dan mengambil kartu nama yang diberikan oleh Dr. Wilson. "Ini," Ginny menyerahkan kartu nama itu pada Harry.

Dan.. deg! Harry terkejut bukan main. Bukan karena nama, tapi tulisan tentang rincian keahlian dokter rujukan itu. "Kau yakin ini dokternya?" Harry tergagap.

"Yeah, Dr. Wilson yang mengatakannya sendiri bahwa dokter itu jauh lebih paham keadaan Lily—"

Ron ikut penasaran lantas mengambil alih kartu nama itu dari tangan Harry dan tanpa membayangkan apa yang terjadi nanti, Ron membaca nama dokter di kartu nama itu keras-keras. Hermione yang sedang menggendong Lily tidak memperhatikan jelas siapa nama dokter yang dibacakan Ron, sampai ia mendengar..

"Haematology Oncology—"

"Apa?" Hermione terkejut bukan main. Ia tertuju langsung pada Harry yang juga terkejut dengan ekspresi tidak percayanya. "Kau tak salah baca, Ron?"

"Kenapa?" tanya Ron tak paham.

"Harry," panggil Ginny. "Memangnya kenapa? Ada apa dengan dokter itu? Hermione? Kalian tahu sesuatu?"

Ginny kembali kalut dan mempererat genggaman tangannya di tangan Harry. Mata Hermione berkaca-kaca menatap Lily di gendongannya. "Tak mungkin—" bisiknya lantas mencium dahi Lily.

"Sebenarnya Dr. Desen itu dokter apa?" Ginny terus menuntut jawaban. "Jawab aku—"

"Kau ingat nama penyakit Madam Alyah? Istri Mr. Arvin? Yang rumahnya di blok depan?" Harry tiba-tiba mengingatkan tentang tetangga mereka daripada menjawab pertanyaan Ginny.

Istrinya mengangguk. "Madam Aliyah dulu sakit.. kan-kanker. Dia pernah mengeluh tenggorokannya sakit sebelum dia meninggal— Oh my God! Harry jangan bilang Lily—"

"Yeah!" Harry membenarkan apa yang belum Ginny katakan. Karena ia tahu, Ginny pasti paham maksud pertanyaannya.


Bersama James dan Al, Harry dan Ginny mengantar Lily bertemu dengan Dr. Desen di rumah sakit. Mereka sampai di departemen Haematology Oncology khusus anak-anak. Harry memilih memangku Lily sambil mengajak putrinya itu bergurau dengan mainan boneka kelinci yang sempat dipinjamkan oleh Dr. Wilson di pertemuan pertamanya. Ginny berjanji saat mereka berkunjung lagi ke rumah sakit, ia akan mengembalikan boneka kelinci itu pada Dr. Wilson.

James dan Al bermain berdua di sudut permainan anak-anak. Mereka tampak senang bermain bola dan prosotan bersama seorang anak seusia James yang tak berambut, atau lebih tepatnya botak. Anak itu menggunakan pakaian rumah sakit. Tangan Ginny bergetar, membayangkan bagaimana jika Lily nantinya seperti anak itu juga.

Lima menit hanyut dengan ketakutan, Ginny disadarkan dengan panggilan seorang suster yang mengajaknya untuk masuk ke sebuah ruangan. "Mr. dan Mrs. Potter, Dr. Desen siap bertemu dengan anda berdua."

Seorang dokter pria muda berambut coklat menyambut Harry dan Ginny begitu ramah. Ia telah siap dengan satu map tebal dengan nama pasien Lily Luna Potter.

"Hasil yang.. tidak bisa dikatakan baik." Kata Dr. Desen mulai membuka mapnya setelah berbasa-basi sebentar.

"Berdasarkan hasil CBC yang kami lakukan untuk Lily, trombositya menurun. Darah putihnya sangat rendah, bahkan tercatat sel blastnya hanya mencapai 10 % dan myeloblas hanya 17 %."

Ginny mendesah ketakutan. "Artinya?"

"AML. Acute Myeloid Leukaemia. Dan ini termasuk kasus yang jarang, mengingat usia Lily masih sangat muda. Sangat berbahaya, bahkan jika kita tidak cepat menyadari penyakit ini, saya tidak yakin jika Lily masih bisa bertahan hingga minggu esok."

Detik itu juga, seolah gedung rumah sakit itu runtuh di kepala Ginny dan Harry. Lily hanya bisa bersandar lemas di dada ayahnya sambil bermain boneka kelinci milik Dr. Wilson. Menatap lekat Dr. Desen tanpa paham dengan apa yang sedang terjadi. Ia tidak tahu apa itu AML, sel darah putih, leukemia ataupun tangis ibunya yang pecah tiba-tiba.

"Jadi ini leukemia? Kanker?" Harry meraba rambut merah Lily. Menyisirnya dengan jari-jarinya sambil terus mendengar pernyataan Dr. Desen yang mengangguk.

"Positif, Mr. Potter."


Setiap tahun, Lily selalu keluar masuk rumah sakit. Dengan bantuan Healer dari St. Mungo yang terus mendukung penyembuhannya, Lily mampu memperpanjang napasnya tetap berhembus. Sempat divonis 5 bulan oleh Dr. Desen, sihir secara tidak langsung mampu memperkuat tubuh Lily. Meski sering sakit, Lily jarang sampai koleps. Harry berusaha keras ikut mencari ramuan-ramuan untuk membantu pengobatan dari rumah sakit. Tidak terhitung berapa banya biaya yang ia keluarkan demi kesembuhan Lily.

Hingga usianya ke 9 tahun, Lily tak tahu jika kankernya begitu mengerikan. Ia hanya tahu setiap kali kemoterapi rasanya tidak nyaman, cuci darah itu melelahkan, mimisan itu membuat kepalanya pusing, berlari membuatnya sesak napas, dan satu lagi.. rumah sakit itu memuakkan.

"Aku ingin segera ke Hogwarts, supaya tak menyusahkan Mum dan Dad lagi." Dengan lugunya, Lily ingin memilih tinggal di Hogwarts agar tak menyusahkan kedua orang tuanya. Tapi apa daya, Harry bahkan Ginny tidak yakin jika Lily bisa berangkat ke Hogwarts di tahunnya nanti. "Aku mau jadi penyihir, bukan vampir yang selalu meminta darah Daddy setiap transfusi darah." Guraunya menyesakkan.

Ya, dari keluarganya sendiri, hanya ayahnya, Harry, yang memiliki darah yang sama dengan Lily. Dokter menyarankan agar setiap donor yang diberikan untuk Lily berasal dari keluarga sendiri. Karena itu sangat beresiko jika menerima sumbangan dari organ milik orang lain.

"Badan Lily terlalu sensitif, sayang. Dia bisa runtuh jika terus seperti ini." Ginny bergumam dalam tidurnya. Malam adalah waktu Ginny bertukar pikiran dengan Harry sebelum mereka tidur. Membicarakan Lily dan rencana apa yang akan mereka lakukan untuk menyambung nyawa Lily esok hary.

Harry berbaring miring mengamati wajah Ginny lekat. "Tujuh kali pembengkakan limpa, lima kali typus, dua belas kali diare akut. Dua kali radang paru-paru—"

"Empat kali gangguan ginjal. Delapan kali operasi syaraf." Ginny berhenti. "Sekarang dia gagal jantung, Harry. Dan aku tak akan biarkan putriku mati!"

Harry mengecup bibir Ginny cukup lama. Basah karena Ginny menangis. "Aku pun begitu. Lily darah dagingku sendiri. Dia anak yang kuat, Ginny. Sudah banyak masalah besar yang ia lewati tapi kau lihat.. Lily bisa selamat hingga sekarang." Kata Harry penuh keyakinan.

"Aku-aku.. takut, Harry. Aku takut." Ginny menangis di dada Harry. Meremas ujung krah piama Harry emosional. "Dia masih kecil, tak pantas mendapatkan cobaan seperti ini!"

"Tenanglah, Ginny. Kau harus kuat! Kita berusaha bersama Lily. Dia akan jadi putri kita. Tetap menjadi putri kita!"

- TBC -


#

Ahhh, semoga tidak marah Anne selingkan cerita ini sebelum cerita sebelumnya selesai. Insha Allah Anne lanjut chapter duanya besok. Oke! Untuk istilah-istilah medisnya, hanya sebatas pengetahuan Anne aja. Kalau ada salahnya mohon maaf, anggap itu sebagai salah satu faktor kebutuhan cerita. Ditunggu reviewnya. :)

Thanks,

Anne xoxo