.
.
.
From The Beginning
Disclaimer :
Bleach © Tite Kubo
Pair :
Hitsugaya Toshirou dan Rukia Kuchiki
Genre :
Romance, Adventure, Mystery, and Drama
Warning :
Alternative Universe; Out Of Character; TYPO; Alur kecepatan; dan masih banyak lagi.
Diharapkan untuk menyiapkan obat sakit kepala dan kantong muntah sebagai pertahanan sebelum membaca fic ini.
.
.
.
Summary :
Rukia Kuchiki adalah seorang gadis yang berasal dari kalangan menengah atas, tetapi ia lebih senang hidup sederhana. Namun ketika ayah tercintanya mendadak jatuh sakit dan meninggal dunia, ia harus menyelamatkan nama baik keluarganya serta mencari harta warisan yang ditinggalkan kedua orangtuanya. Dengan bantuan pengacara muda, ia akan menjelajahi dunia untuk mencari harta itu. Apakah ia dapat menemukan harta itu?
.
.
.
Don't Like. Don't Read!
.
.
.
# Prologue #
Seorang gadis berambut gelap segelap langit di malam hari berlari dengan cepat sepanjang koridor sebuah rumah sakit. Langkah kaki gadis itu dipacu sekuat tenaga sejak ia memasuki rumah sakit itu. Nafasnya sudah tersenggal-senggal namun ia hiraukan hal itu. Ia terus berlari dan berlari hingga ia melihat sebuah ruangan bertuliskan UGD diatas pintunya. Lampu yang berwarna merah jika sedang ada pasien itu telah padam menandakan bahwa dokter sudah selesai melakukan apa yang ia mampu lakukan. Entah itu berhasil atau tidak. Dalam hitungan detik, kakinya berhasil membawanya didepan ruangan berpintu hijau itu. Ia mengambil nafas sebentar sebelum membuka pintu hijau itu. Tanpa mengetuk atau meminta izin terlebih dahulu, gadis berambut pendek sepundak itu langsung memasuki ruangan itu.
Ditengah ruangan itu, terdapat sebuah ranjang dan diatas ranjang itu terbaringlah seorang pria parubaya berambut hitam yang tidak kalah gelap dengan milik sang gadis. Mata sang pria itu terpejam rapat. Kulitnya dingin dan bibirnya mulai membiru. Tidak ada orang didalam ruangan itu selain gadis manis itu dan pria parubaya lain yang memiliki rambut putih walaupun wajahnya masih menunjukkan bahwa usianya sekitar awal 40-an.
"Ayah!" Gadis itu mulai menangis disamping ranjang pria yang diketahui adalah ayahnya.
"Rukia." Lirih seorang pria berkacamata dengan rambut putih yang bekerja sebagai dokter pribadi ayahnya selama bertahun-tahun. Pria itu memegang kedua pundak Rukia seolah-olah ia ingin memisahkan Rukia dengan ayahnya.
"Lepas! Tidak mungkin ayah meninggal! Ia pasti hanya tertidur!" Teriak gadis yang diketahui bernama Rukia itu sambil berlinang air mata.
"Rukia, terimalah kenyataan." Lirih pria itu sekali lagi. Kali ini cengkraman di pundak gadis berusia 23 tahun itu semakin mengeras.
"Tidak! Tidak! Tidak!" Air mata yang mengalir belum memberikan tanda bahwa ia akan berhenti. Asinnya air mata tanpa sengaja ia rasakan dengan mulutnya, namun ia tidak pedulikan itu. Pikirannya hanya terfokus pada pria yang ada dihadapannya.
Setelah beberapa menit dibujuk dengan diiringi oleh cerita dokter pribadi ayahnya itu, akhirnya Rukia dapat menerima kenyataan bahwa ayah tercintanya telah tiada di dunia ini. Ayah yang selama ini bermain bersamanya, ayah yang selama ini menghukumnya jika ia berbuat salah, dan ayahnya yang dingin namun baik hati telah tiada. Setelah ditinggal ibunya ke surga saat berusia 2 tahun, sekarang ayahnya juga menyusulnya.
"Rukia." Seorang gadis berambut hitam dicepol dengan mata hazel memanggilnya. Entah kapan gadis manis berambut cepol ini masuk ke ruangan itu. Rukia yang masih memandangi ayahnya sambil mengelus pipi ayahnya menoleh kearah gadis itu ketika namanya dipanggil.
"Ada apa, Hinamori?" tanyanya seraya menelusuri wajah tampan ayahnya yang sudah tidak ada di dunia ini.
"Kita harus bicara." Ungkap Hinamori Momo dingin sambil menatap Rukia. Iris hazel yang indah menatap Rukia dengan pandangan yang sulit diungkapkan. Antara benci, sayang, dan kagum.
Rukia yang sudah puas melihat jasad ayahnya itu segera mendekati adik tirinya itu, namun ketika ia ingin menyentuh adik tirinya itu, gadis bercepol itu langsung membalikkan badannya sehingga punggungnya menghadap kearah Rukia. Tangan Rukia yang sempat terulur untuk memeluk tubuh adiknya itu hanya berhenti ditengah jalan dan menarik tangannya kembali. Ia kira dengan kematian ayahnya akan membuat hubungan mereka membaik. Namun hasilnya adalah sebaliknya.
"Ada apa?" Pertanyaan yang dilontarkan Rukia hanya mengambang di udara ketika mereka berjalan keluar dari ruangan itu didampingi dokter pribadi ayahnya itu. Mereka berjalan selama beberapa menit sebelum akhirnya sampai di sebuah ruangan yang berbeda dengan kamar pasien. Ruangan itu lebih condong kearah ruang tamu dengan 4 sofa kecil yang ada ditengah ruangan itu. Sofa-sofa yang memiliki warna peach ini mengelilingi sebuah meja berwarna coklat muda. Tidak lupa dengan dekorasi ruangan yang bernuansa klasik juga.
Di sofa-sofa itu, Rukia dapat melihat 4 orang pria dari berbagai usia, namun tidak ada yang terlihat lebih muda dari usia 30 tahun. Di sofa tengah, Rukia melihat seorang pria parubaya dengan pakaian yang agak mencolok diantara pria-pria lain. Matanya tertutupi oleh topi berwarna hijau dengan garis-garis putih. Rukia ingat, ia adalah tangan kanan dari ayahnya, Urahara Kisuke. Rukia pernah menggunting rambut pria itu waktu ia berusia 5 tahun dan alhasil pria itu memakai topi untuk menutupi rambutnya. Tapi sepertinya sekarang ia tidak bisa lepas dari topi itu.
"Ada apa, Urahara?" Rukia menatap sinis pria itu. Sejak kecil ia tidak suka dengan pria yang menjadi tangan kanan ayahnya itu. Ia memiliki aura yang berbeda. Entah aura yang menyeramkan atau aura yang menjengkelkan.
"Kita berkumpul disini untuk membicarakan harta warisan ayah kalian." Urahara menunjuk Hinamori dan Rukia dengan jari telunjuknya secara bergantian. Nada bicaranya riang seperti biasa.
"Harta warisan?" Rukia menaikan sebelah alisnya.
"Harta yang diberikan oleh ayah kalian tentunya. Ia sudah menyiapkan semuanya untuk kedua putri tercintanya." Urahara tersenyum cerah. Hinamori melirik Rukia dengan sinisnya, sedangkan Rukia hanya terlihat bosan. Sudah tersebar bahwa hubungan kakan beradik ini sangat tidak harmonis sejak isu perebutan harta oleh ibu Hinamori dengan Rukia yang masih berusia 6 tahun saat itu.
"Hitsugaya, tolong berikan aku suratnya." Urahara memanggil seorang pemuda yang terlihat muda dan tampan. Pemuda itu memiliki rambut seputih salju dan iris bagaikan batu emerald paling mahal di dunia. Tatapan dingin dan datarnya memberi kesan cool padanya.
Pemuda yang diketahui bernama Hitsugaya Toshirou itu memberikan sebuah amplop berwarna coklat kepada Urahara. Belakangan ini, Rukia tahu bahwa pemuda ini bekerja sebagai pengacara pribadi ayahnya. Meskipun berperawakan muda dan imut, ia adalah salah satu pengacara handal.
"Disini tertulis bahwa perusahaan Kuchiki, rumah mewah, dan segala aset yang dimiliki oleh Byakuya Kuchiki akan diwariskan kepada Hinamori Momo." Urahara berbicara dengan lantang dan Hinamori tersenyum penuh kemenangan. Rukia yang memang tidak mengerti jalannya perusahaan memang tidak pantas mendapatkan perusahaan, bahkan Rukia mengakui itu. Namun jika rumah mewah dan segala aset yang dimiliki oleh ayahnya menjadi milik Hinamori juga, apa yang ia dapatkan sebagai warisan?
"Dan untuk Rukia Kuchiki," Urahara memincingkan matanya untuk membaca kelanjutan surat itu, "...maaf tidak tertulis apa-apa disini." Urahara bingung tujuh keliling. Bukan kebiasaan atasannya yang satu ini untuk melupakan putri tercintanya ini. Terlebih lagi Rukia. Putri dari mendiang istri pertamanya yang memiliki paras yang mirip dengannya. Bisa dikatakan Rukia adalah replica paling sempurna dari mendiang ibunya.
"Tidak apalah." Rukia menghela nafas berat kemudian tersenyum kecil. Ia menepuk pundak Hinamori dengan maksud menyemangatinya, namun Hinamori membalasnya dengan senyum penuh ejekan.
.
.
.
Rukia sedang berjalan menuju apartemen dimana tempat ia tinggal selama ini. Memang ia lebih memilih hidup sederhana daripada hidup dilimpahi harta. Ia memutuskan untuk hidup sendiri ketika usianya masih 17 tahun. Tidak heran kalau ia sudah memiliki penghasilan sendiri dari hasil part time job yang ia ambil setelah pulang sekolah atau kuliah.
Perlahan namun pasti, salju putih turun ke bumi. Rukia yang menyadari hal itu menengadahkan kepalanya untuk melihat salju yang turun itu. Salju putih yang indah itu lama-kelamaan makin banyak dan memenuhi pijakan manusia yang sekarang sedikit demi sedikit terlihat putih. Rukia yang sudah memakai pakaian musim dingin mengeratkan mantel yang ia kenakan.
Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya ia sampai di apartemennya. Ketika ia membuka pintu, ruangan apartemen itu sangat gelap. Ia mencari sakelar yang terletak disebelah pintu masuk. Setelah lampu dinyalakan, ia melepas mantel yang ia kenakan dan menggantungnya ditempatnya dekat pintu masuk itu. Ia berjalan menuju kamarnya dan langsung menghempaskan tubuhnya diatas kasur yang empuk itu. Matanya menatap langit-langit kamar yang putih itu. Satu pertanyaan berputar di kepalanya sedaritadi. Mengapa ia tidak mendapatkan apa-apa? Bukannya ia ingin harta atau apa. Tapi apakah ayahnya benar-benar melupakannya karena ia jarang di rumah? Tidak mungkin. Ayahnya selalu mengingatnya. Lagipula setiap minggu Rukia menelponnya untuk melepas rasa rindu.
Sejak awal Rukia menyadari ia tidak akan mendapatkan warisan berupa perusahaan dari ayahnya karena ia tidak pandai berbisnis, plus, hampir semua harta ayahnya adalah perusahaan. Ia juga sudah tahu bahwa harta-harta itu akan jatuh ke tangan Hinamori karena ia telah dididik oleh ayah mereka untuk menjadi penerusnya karena Rukia menolak ide untuk menjadi seorang CEO perusahaan besar. Rasanya itu bukanlah panggilan hidupnya.
Tok. Tok. Tok.
Suara pintu terketuk menyambangi pendengaran Rukia. Rukia yang sedang berada di posisi nyamannya diatas kasur terpaksa bangun dan berjalan keluar dari kamarnya.
"Siapa sih?" Gerutu Rukia sambil berjalan menuju pintu rumahnya dan membukanya. Dibalik pintu berwarna putih itu, terlihatlah seorang pemuda berambut seputih salju. Iris emerald milik pemuda itu membuat Rukia terpana untuk kedua kalinya namun sebelum pria itu dapat berbicara Rukia mendahuluinya.
"Ada apa?" Ucapnya sinis karena istirahatnya diganggu.
"Aku hanya ingin memberi tahu sesuatu padamu." Hitsugaya, nama pemuda itu, bersandar di daun pintu apartemen itu. Rukia yang mengerti bahwa ini ada hubungan dengan ayahnya kemudian mengangguk dan mempersihlakan Hitsugaya masuk kedalam apartemen yang Rukia tempati sekarang.
Hitsugaya menelusuri setiap sudut apartemen itu. Apartemen ini terlihat kecil jika dilihat dari luar, namun tidak disangka ternyata didalamnya bisa seluas ini. Sofa untuk 2 orang terletak ditengah ruangan yang ia asumsikan sebagai ruang tamu. Ditengah kedua sofa panjang itu terdapat meja kaca yang berbentuk bundar. Hitsugaya berjalan menuju salah satu sofa itu dan mendudukan dirinya. Ia kembali mengamati ruangan itu.
"Jadi..." Rukia memberi jeda, "apa yang ingin kau bicarakan, Tuan Pengacara?" Tanya Rukia meletakan kopi yang baru ia buat tadi diatas meja bundar yang ada.
"Ini." Hitsugaya meletakan sebuah amplop berwarna cokelat muda diatas meja tempat Rukia meletakan dua cangkir kopi itu.
"Apa ini?" Rukia menatap pengacara muda itu dengan tatapan curiga, namun Hitsugaya hanya menatapnya datar. Akhirnya Rukia mengambil amplop cokelat muda itu dan membukanya.
"Itu adalah warisan dari ayahmu untukmu. Itu adalah dokumen rahasia dan hanya aku dan ayahmu yang mengetahuinya." Hitsugaya mengambil kopi yang disediakan gadis didepannya kemudia meminum isinya.
"Bahkan paman yang aneh itu tidak tahu?" Rukia bertanya dengan polosnya bagaikan anak kecil.
"Paman yang aneh?" Hitsugaya menaikan sebelah alisnya tanda ia tidak mengerti maksud dari gadis didepannya ini.
"Itu loh, Urahara Kisuke." Rukia membalas Hitsugata sambil mengambil isi amplop itu.
"Oh. Tidak, ia tidak tahu soal amplop ini. Tapi aku tidak tahu apa isinya. Aku hanya diminta memberikannya kepadamu saja setelah Beliau meninggal." Hitsugaya kembali meminum kopi itu lagi. Harus ia akui kopi buatan Rukia memiliki rasa yang berbeda dari kopi yang selama ini ia minum.
"Wow!" Pekik Rukia ketika melihat isi amplop itu. Beberapa lembar foto dan sebuah surat ada ditangannya sekarang.
Padahal ia hanya mendapatkan benda biasa bukan uang maupun harta dari ayahnya. Apakah dia tidak peduli dengan harta, pikir Hitsugaya seraya melihat Rukia yang membaca surat yang diberikan kepadanya. Gadis yang tadi ia lihat di rumah sakit sangat berbeda dengan yang sekarang. Seolah-olah ia memiliki 2 kepribadian, pikirnya lagi.
"Eh?" Pekik Rukia sekali lagi, "Aku dapat warisan loh!"
Hitsugaya menaikan sebelah alisnya, "Warisan? Bukannya semuanya sudah diberikan kepada adikmu?"
"Kukira begitu tapi ayah bilang katanya dia meninggalkan sebuah warisan untukku." Ucap Rukia dengan nada yang kalem sekarang. Sebenarnya bukan karena warisan yang membuatnya senang tapi sebuah kalimat yang ditulis tangan oleh ayahnya sendiri yang ditujukan kepadanya.
Sebenarnya aku dan mendiang ibumu telah menyiapkan sebuah hadiah untukmu sebelum kau lahir. Anggap saja ini adalah warisan jika aku sudah tiada nanti.
Hitsugaya hanya bisa mengangguk tanda mengerti sedangkan Rukia hanya bisa tersenyum lebar. Ia tidak menyangka bahwa ayahnya yang dingin dan datar itu telah menyiapkan hadiah untuknya sebelum ia lahir. Bukankah itu luar biasa?
"Baiklah kuputuskan untuk mencari hadiah itu!" Rukia berdiri dari tempat duduknya dan mengepalkan tangannya. Semangatnya menggebu-gebu saat ini. Ia sangat menyukai jalan-jalan keluar negeri. Plus, dia juga suka misteri. Sepertinya ayahnya menjadikan impian kecilnya tercapai. Memecahkan sebuah misteri.
"Baiklah kalau begitu aku pulang dulu. Aku tidak ada urusan dengan semua ini dan tugasku juga sudah selesai." Hitsugaya berdiri dan berjalan keluar dari apartemen yang Rukia tempati.
"Terima kasih dan sampai jumpa, Tuan Pengacara!" Rukia melambai mengantar kepergian Hitsugaya. Hitsugaya hanya menyambutnya dengan tatapan dingin dan datarnya disertai dengan tangan kanan yang terangkat dengan posisi membelakangi Rukia.
"Jadi..." Rukia mengehela nafasnya, "aku akan pergi ke Jepang besok!" Rukia masuk kedalam apartemennya dan segera menelpon agen travel untuk membeli tiket pesawat.
.
To Be Continued
.
Author Note :
Saya memutuskan untuk menulis ulang cerita ini setelah 1 tahun ditinggalkan. Terima kasih sudah membaca dan jangan lupa tinggalkan review untuk saya di kotak review~
Saya harap kalian mau membaca ulang karena ada beberapa adegan dan fakta yang saya ubah untuk menunjang cerita ini. Maaf atas ketidaknyamanannya *udah kayak supermarket yg ditutup*
