Akashi Seijuuro, pemuda tampan berambut merah crimson dengan warna mata senada. Pemuda berumur empat belasan itu mengacak pelan surainya. Malam ini, tepat sesaat sebelum Ia seharusnya istirahat dari kegiatan sehari-harinya, Ia malah tak bisa tidur. Jangankan tidur, mengantuk saja tidak. Tugas sekolah, OSIS, klub basket, serta tugas tugas sederhana tentang perusahaan Ayahnya-yang tentu saja Ayahnya sendiri yang mengajarkan: sudah selesai Ia kerjakan. Satu hal yang harus dilakukannya sekarang hanyalah tidur. Kalau tidak, lama kelamaan Ia akan sakit. Dan itu tidak boleh terjadi.
Ia tahu, tahu persis bahkan apa yang mengganggunya saat ini. Awalnya, Ia mengira hal ini adalah hal yang wajar untuk anak seusianya. Dia mafhum seperti orang dewasa, dia mafhum kalau umurnya yang masih belasan, yang masih labil dan emosi di pucuk kepala itu memaksanya untuk berperasaan demikian: jatuh cinta. Bukan pilihannya, kan?
Satu tahun lebih Ia uring uringan pada perasaannya sendiri. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi sejak itu juga, Ia memendam dalam dalam perasaannya. Ia tidak bisa mengungkapkannya begitu saja. Kenapa? Karna Ia jatuh cinta pada Kuroko Tetsuya. Seorang pemuda. Ya, seorang lelaki. Walaupun untuk ukuran lelaki, wajahnya terlalu manis, tingginya tidak seberapa, dan lain lainnya.
Seijuuro tidak bisa memaksakan kehendaknya kali ini. Apa kata Ayahnya? Demi harta dan tahtahnya Ia tahu, Ayahnya tidak akan menyetujuinya. Setelah mendengar itu, kemungkinan pertama Ia dijodohkan. Yang lebih parah jika sampai keselamatan Kuroko Tetsuya yang jadi taruhan. Tidak, Ia tidak mau seperti itu.
Matanya kembali mencoba tertutup. 'Setidaknya, mimpikan aku dan Tetsuya bersama'-ujarnya
Namun Seijuuro tidak tahu bahwa takdir Tuhan sebenarnya telah membelenggunya dengan Tetsuya
.
.
.
Twister
Disclaimer:
Kuroko no Basuke milik Fujimaki Tadatoshi-sensei
Twister milik saya sendiri dengan beberapa adegan terinspirasi dari cerita cerita lain yang saya berikan terimakasih sebanyak banyaknya
Warning :
OOC, Typo(s), Penulisan tidak benar, Inspirasi dadakan
Happy Reading*kissu*
.
.
.
Akashi Seijuuro, As a Teenager: I'm Falling in Love
Sudah semimnggu sejak Kuroko Tetsuya menghilang dari sekolah. Dia tidak masuk kelas, dia tidak masuk latihan. Bahkan pada latihan hari minggu, sang pujaan hati Seijuuro tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Jangankan hidung, sehelai rambut saja tidak ada. Dan bagi Seijuuro, ini sudah kelewatan. Dia sudah tidak tahan, dia penasaran, dia khawatir. Apakah Tetsuya baik-baik saja? Paling besar kemungkinan adalah dia sakit, tapi bagaimana jika hal yang lainnya terjadi? Tetsuya hilang? Tetsuya diculik? Atau yang paling parah, dia kecelakaan dan koma? Atau bahkan meninggal?! Oh, Seijuuro sudah pada batasnya mengkhawatirkan seseorang.
"Hei, ini aneh–Tetsu tidak muncul sudah seminggu. Aku mulai khawatir". Pemuda berkulit tan berbicara disela deru nafasnya yang tak beraturan. Ia menyenderkan bahunya pada bangku bench terlihat sangat kelelahan.
"Ïyassu, aku juga mulai rindu padanya". Kali ini pemuda berambut pirang yang berbicara. Ia menyeka keringat dan mengambil minuman yang diserahkan oleh seorang wanita dengan surai pink. "Bagaimana jika kita kerumahnyassu?!"
Surai pirang sudah duduk tegak. Ia begitu semangat ketika mengatakannya. "Aku ikut", nada malas terdengar dari pemuda berambut ungu sambil minum.
"Hmph merepotkan. Tapi aku juga ikut". Kali ini pemuda berambut hijau dengan posisi shooting guard dalam timnya bersuara sambil membenarkan letak kacamatanya yang sebenarnya tidak berubah dari detik sebelumnya.
"Bagus". Terdengar suara sang kapten Akashi Seijuuro, sebelum dengan sempurna berada didepan kepala pelangi yang baru saja membicarakan tentang Kuroko Tetsuya. "Kita akan kerumahnya sepulang ini, kau ikut Momoi?". Ia melirik manager basketnya, dengan semangat Momoi mengangguk
"Aku akan tunggu kalian di gerbang!", ucap Momoi sebelum meninggalkan mereka dan memberikan minum pada yang lain.
"Ngomong-ngomong, Akashichhi tidak apa apa pulang lebih larut?", surai pirang mendongak menghadap kapten. Maklum, Seijuuro biasanya selalu pulang tepat waktu. Atau, jika Ia berurusan dengan sekolah setidaknya dia akan pulang bersama supirnya. "Tentu, kenapa tidak?"
Seijuuro kemudian mendahului mereka pergi ke locker room. Latihan hari ini rasanya begitu menjadi beban buatnya: Ia sama sekali tidak bisa konsentrasi. Ia terlalu khawatir, Ia perlu informasi yang jelas tentang keberadaan si surai biru. Dan sebentar lagi Ia akan tahu, betapa leganya ketika Ia memikirkan hal itu. Akhirnya, Ia dan rainbowhead-teman setimnya bergegas mengganti baju. Bahkan mereka hanya lap sana sini keringatnya-mereka ingin bergegas menemui Kuroko. Kangen berat, katanya
TING TONG
"Tetchan ada orang diluar! Coba lihat sana". Wanita paruh baya ditengah umur tiga puluh tahunannya berteriak dari dapur. Surai biru sebahunya terlihat menggantung lucu. Wajahnya bahkan masih seperti anak belasan tahun. Namanya Kuroko Tetsuna, seorang ibu rumah tangga yang sebelas duabelas periangnya dengan Kise Ryota, "Tetchan!"
Sekali lagi Tetsuna berteriak, nampaknya yang dipanggil merasa enggan-sangat enggan untuk membukakan pintu. Ia lebih memilih melirik balik ke Ibunya.
"T-Tapi bu!". Sepasang iris biru bertemu dengan iris lainnya. "Tetsuya"
Sejurus kemudian, anaknya berlari menuju pintu. Rupanya takut sekali jika ibunya sudah tidak memanggilnya dengan panggilan "Tetchan"
Sebelum membuka pintu, Tetsuya berdoa dalam hati. Mengusir kegalauannya sejenak. Dia memikirkan tentang siapa tamunya? Semoga bukan siapa siapa, batinnya. Ia memutar kenop pelan, pelan sekali sampai mungkin tamunya tidak mengetahui bahwa pintu sudah terbuka. Cahaya matahari sempat membuat Tetsuya kesulitan melihat, hingga akhirnya pintu rumahnya terbuka sempurna: begitu juga mulutnya
Tujuh orang dipintu rumah Tetsuya-termasuk Tetsuya sendiri. Diam masing-masing memperhatikan, yang paling diperhatikan adalah Tetsuya, beberapa detik kemudian suara Tetsuna kembali mengumandang.
"Siapa Tetchan? Kenapa berdiri disitu saj–". Tetsuna terkejut. Sama halnya dengan tamunya. Siapa tadi? Ibu ini bilang "Tetchan"? tolong, mereka tahu itu nama panggilan siapa oleh ibunya ini. Mereka tahu panggilan itu untuk pemuda bersurai biru langit sepertinya, dan mereka ulangi lagi: PEMUDA. Sedangkan yang berdiri dihadapan mereka-yang dipanggil ibunya dengan sebutan tadi adalah: PEREMPUAN
Bisakah Kuroko Tetsuya kabur sekarang? Orang-orang yang paling dihindarinya sekarang berada didepannya: memandang dengan mata kepala mereka sendiri bertemu dengannya. Oh Tuhan, demi apapun jadikan ini mimpi! Tim basketnya sekarang berada didepan matanya, sama terkejutnya dengan dirinya. Tetsuya akui dia memang ingin sekali bertemu dengan teman-temannya. Tapi setelah dia sembuh! Bukan dengan masih seperti ini.
Ya, Kuroko Tetsuya menjalani tiga belas tahun hari harinya sebagai seorang pemuda-seminggu lalu, Ia bangun dengan tubuh yang lebih ramping, kulit yang lebih halus dan lebih putih, otot yang semakin tidak terlihat dibagian tangan, paha dan kaki, dan-rambutnya yang kini lurus sampai pantatnya. Lantas pagi itu Ia awali dengan teriakan didepan kaca
"Ja-jadi maksud bibi, perempuan ini adalah Tetsu?". Daiki menunjuk dengan tidak sopannya. Ia terlihat tegang, tidak tenang, tapi ada sedikit semburat merah di pipinya. "K-kau Tetsu?"
"Aomine-kun", Kuroko Tetsuya menggantungkan kalimatnya. "Mati saja sana", lanjutnya. Tidak lama, wajah Daiki semakin merah padam. Dan Daiki memalingkan wajah sambil tangan menutupi mulutnya.
"Maaf, tapi saya masih tidak mengerti", wajah Tetsuya melunak sedikit. Setidaknya, yang satu ini tidak akan membuatnya sakit hati berlebih seperti Daiki barusan. Atau seperti Momoi yang masih diam dengan wajah merah dan tatapan kagum: menurutnya, Tetsuya cantik dan manis sekali. Atau seperti Shintarou yang bahkan tidak mau bertatapan dengannya, Shintarou gugup. Atau Ryota yang tiba tiba memeluknya dan mengatakan hal seperti 'Kau cantik sekalissu, manis sekali! Kurokochhi mau kan jadi pacarku?!' hingga akhirnya membuat Seijuuro harus meninju pipinya. Tapi hal itu bahkan tidak dipedulikan lagi oleh Ryota. Atau bahkan seperti Atsushi yang sampai sekarang masih memakan cemilannya dengan wajah yang malas. Tapi, Atsushi memakannya lebih cepat. Sepertinya dia kehilangan kendali dirinya sendiri.
"Intinya, malam itu bibi menyuguhkan vanilla cake buatan teman bibi pada Tetsuya dan besoknya dia sudah–seperti ini?". Seijuuro berkata ragu. Dan Tuhan, Seijuuro sudah tidak tahan lagi. Makhluk didepannya benar benar Kuroko Tetsuya dengan gender perempuan?! I-itu artinya Ia akan dapat persetujuan dari Ayahnya?! Maaf, masih terlalu jauh Seijuuro.
"Ya, begitulah Seijuuro-kun. Sejak saat itu, Tetsuya tidak mau pergi sekolah. Dia bahkan tak mau keluar rumah". Tetsuna menghela nafas. Ia khawatir tentu saja. Anaknya sudah kelas dua SMP dan seharusnya Ia tidak boleh melewatkan satu mata pelajaran pun. "Bibi sudah mencoba bertanya pada teman bibi?"
Seijuuro kembali mengobservasi, mungkin saja didalam cake itu ada bahan kimia yang membuat Tetsuya menjadi seperti ini kan?
"Sudah, sebenarnya Seijuuro-kun," Tetsuna menggantungkan kalimat. Menarik nafas pelan-pelan
"Sebenarnya aku juga ikut memakan kue tersebut. Tapi tidak ada apa apa yang terjadi padaku. Begitu juga suamiku". Tetsuya sekarang sudah memandang objek lain. Hatinya sakit. Tentu saja, ini tidak wajar. Ia dengan yakin sudah hidup selama tiga belas tahun sebagai seorang lelaki tulen. Lelaki yang masuk klub basket pria disekolahnya, lelaki yang dijuluki pemain bayangan oleh rekan setimnya, lelaki yang menjadikan Daiki sebagai cahayanya: jadi, dia tidak bermimpi sebagai seorang lelaki.
"Pertama-tama, Tetsuya kau harus masuk sekolah". Ucapan Seijuuro membuat bola matanya sedikit membesar, namun beberapa detik kemudian kembali menjadi normal. "Akashi-kun mau membawaku kesekolah dengan–seperti ini?". Ia sendiri bahkan tidak tahu harus memanggil kondisinya sekarang apa.
"Aku dan anggota tim tidak akan keberatan. Kami akan menjagamu dan membuatmu dimengerti oleh para guru dan teman teman. Kita masih tidak tahu apakah kau bisa kembali menjadi laki-laki atau terus menjadi–", jeda diberikan Seijuuro. Ia kemudian melirik surai biru, iris biru langitnya sedih. Dan itu mau tidak mau membuat Seijuuro sakit hati. "–perempuan"
"bibi sudah ke dokter bukan?", lanjutnya lagi. "Sudah", Tetsuna pun menjawab seadanya. Baginya, beruntung Tetsuya mempunyai teman dengan otak jenius sebanding dengan Seijuuro. "Dokter mengatakan tidak ada yang aneh di tubuhnya-bahkan ketika mereka memeriksa tubuh Tetsuya, mereka bilang Tetsuya murni perempuan"
"Mungkin keajaiban dan takdir Tuhan". Tetsuna sudah melihat tubuh Tetsuya dengan mata kepalanya sendiri jika Tetsuya sudah berubah menjadi perempuan utuh. Dadanya, kelaminnya bahkan sudah murni seperti perempuan. Hal itu tentu saja tidak perlu diceritakan.
"Aku juga sudah meminta surat keterangan dokter mengenai itu. Jika Tetsuya mengalami kesulitan dalam sekolahnya yang mungkin tidak akan begitu saja percaya". Seijuuro mengangguk, sejauh ini Ia paham betul dengan yang terjadi. Dan jika salah satu dari anggota timnya, atau gurunya, atau teman teman yang lainnya mulai mempertanyakan Tetsuya, itu sudah menjadi tanggung jawabnya.
"Tetuya, aku akan menunggumu siap untuk masuk sekolah", Seijuuro memandang Tetsuya lembut. Ia mengerti: sedikit saja matanya menajam menuju Tetsuya, itu hanya akan menambah luka dihatinya sekarang.
"Besok, Akashi-kun". Mata Seijuuro membulat sebentar, lalu normal kembali.
"Aku sebenarnya sudah siap. Aku malah lebih takut untuk bertemu dengan kalian ketimbang dengan guru atau teman-teman sekelas"
"Tadaima", Seijuuro memasuki rumahnya yang luas. Barisan maid dan butler terlihat sesaat setelah Ia menapakkan kaki didalam.
"Okaerinasaimasen Seijuuro-sama". Barisan maid dan butler itu secara serempak menundukkan badan didepan putra tunggal majikannya.
"Sei". Bariton lelaki tua berusia diujung empat puluh memanggil namanya. "Otou-sama", jawabnya
"Kemarilah"
Seijuuro kemudian membawa kakinya mendekati Ayahnya. Ruang keluarga terletak masuk lebih kedalam dibalik tangga kembar yang menuju arah kanan dan kiri. Ruang itu begitu luas namun sepi, hanya ada sofa, meja kaca sebatas lutut, tv dan perabotan sederhana: namun bernilai tinggi. Menghiasi ruang kosong. Ayahnya duduk di sofa panjang berwarna hitam. Masih lengkap dengan kemeja kerjanya, dasi, beserta kacamata dan banyak sekali lembar lembar kertas disekitarnya.
"Otou-sama, Seijuuro mengusulkan Otou-sama untuk mengganti pakaian terlebih dahulu". Seijuuro kemudian duduk tak jauh darinya, memberikan ruang untuk Ayahnya beserta kertas-kertas yang ada disekelilingnya.
"Lebih penting dari itu, Sei. Kau kemana saja? Aku dengar kau menjenguk temanmu yang sakit?". Akashi Masaomi, Ayah dari Akashi Seijuuro itu masih fokus pada lembaran kertas kerjanya.
"Ya, sesuatu terjadi padanya". Seijuuro menyamankan diri di sofa, namun sebaik mungkin masih terlihat sopan didepan Ayahnya. "Begitu kah?", Masaomi merespon. "Apakah parah?"
"Hmmm, dia masih terlihat baik-baik saja. Walau sebenarnya tidak"
"Apakah teman dekatmu?"
"Ya, dia teman setim basketku"
"Sayang sekali"
Hening menyelimuti keduanya, sampai Seijuuro berdiri dan mengucapkan ingin bebersih diri dan mengerjakan tugasnya, yang lalu diberi anggukan oleh Masaomi.
Hanya sebatas itu, paling tidak seminggu tiga kali Ia bertatap dengan Ayahnya diluar jam makan malam dan sarapan. Saat sarapanpun, Ayahnya kebanyakan sudah pergi lebih dulu. Tapi Seijuuro menikmatinya, Ia tidak merasa terganggu sama sekali. Dan sebenarnya, Ia akhir-akhir ini semakin senang karna Ayahnya semakin sering mengajak ngobrol dirinya. Tanpa Ia sadari, sebelum memutar knop pintu kamarnya, Seijuuro tersenyum lega.
Entah apa yang harus Seijuuro hadapi besok: dengan masuknya Kuroko Tetsuya sebagai seorang perempuan. Sebagai Ketua OSIS, kapten dari tim basket Kuroko Tetsuya, dan sebagai seorang sahabat tentu saja Ia sedikit banyak ambil andil dalam kejadian ini. Dan Seijuuro kembali paham: jika Tetsuya tidak kembali menjadi lelaki, maka ada banyak kesempatan untuk menjadikannya pasangan hidupnya, kan?
To Be Continued
GYAHAHAHA saya kembali lagi dengan membawa fanfic dengan ide yang nista. Ya, saya tau saya cuman banyakin tanggung jawab aja dengan ngebawa ff ini. Tapi saya tidak suka memendam, jadi ya saya tulis saja.
Ngomong-ngomong, di chapter ini kebanyakan dari sudut pandang Sei-kun ya? Padahal yang jadi peran utamanya Tetsu-kun. Hmmm aneh ya? Sebenarnya saya pengen bikin ini jadi prolog–tapi malah kepanjangan. Hehe gomenne! Jadi, bagaimana menurut kalian?
