Disclaimer Masashi Kishimoto
Pairing Always Narusaku maybe slight others
Out of character/ Many Misatakes here/ Kind!Naru/ Story From me/
Rate ; T
Romance, a little bit humor.
.
.
.
Unconditional Boyfriend
.
.
.
Senyuman di bibirnya tak pernah pudar sejak melangkah keluar dari kediamannya hingga sekarang berhenti digerbang sekolah barunya. Biru jernihnya nampak berpencar semangat, seakan menantang langit biru diatas sana siapa yang memiliki kilau paling indah pagi ini.
Namikaze Naruto. Seragamnya rapi bersih. Juga surai pirangnya yang ditata sedemikian rupa oleh stylist pribadi dirumahnya. Dan ia siap menjadi murid baru di Konoha Gakuen. Menjalankan orientasi sebagai proses adabtasi juga perkenalan diri.
"Ada yang perlu saya bantu lagi, Tuan muda?" Ia alihkan birunya pada supir berseragam jas formal disampingya. Menggelengkan kepalanya pelan sebagai jawaban. Senyum tak pernah lepas darinya.
"Baiklah kalau begitu saya permisi dulu. Jika nanti ada masalah segera hubungi saya." Ujar lelaki itu sopan.
"Tentu saja, Paman Iruka." Sahutnya riang.
Lelaki bernama Iruka itu tersenyum lalu membungkukkan badannya hormat sebelum kemudian menarik diri dan segera melesakkan mobil mewah milik majikannya meninggalkan area sekolah.
Naruto mulai melangkah, bersiap menyongsong masa-masa menyenangkan di Konoha Gakuen. Banyak sekali murid lain berseragam sama dengan dirinya berkeliaran diarea depan sekolahan. Juga sesekali terlihat murid berseragam lain yang dikenali sebagai kakak kelas. Biru-hitam untuk tingkat dua dan merah-hitam untuk tingkat tiga sementera putih-hitam untuk tingkat pertama. Seperti yang tengah dikenakan pemuda itu sekarang.
Kaki-kaki tegapnya terhenti saat seseorang menepuk bahunya dari belakang. Sontak ia menoleh. Mata jernihnya menemukan seorang pemuda berambut coklat berseragam sama dengannya. "Kamu juga anak baru kan? Kenalkan namaku Inuzuka Kiba." Begitu saja dengan mudah pemuda berambut coklat itu mengenalkan diri.
Sebuah sodoran tangan permulanan pertemanan terpapang didepannya. Juga sebuah senyum bersahabat darinya. Naruto tak serta merta menerimanya. Bukannya apa. Terlahir dikalangan orang berada, ia senantiasa harus berhati-hati. Ia tak jarang menemukan banyak orang yang tiba-tiba ingin berteman dengannya karena ada maksud dibaliknya.
Namun akhirnya ia terima baik uluran tangan pemuda itu. "Aku Namikaze Naruto, salam kenal."Pemuda bernama Kiba itu terlihat baik.
Keduanya melepaskan jabatan tangan mereka, saling melempar senyum." Jadi kamu anak tunggal Namikaze itu. Aku tak menyangka."
Naruto tersenyum tipis. Sedikit menundukan kepala." Yah, seperti itulah." gumamnya terkesan tak suka. Menendangkan kakinya kecil pada kerikil dibawahnya.
Tepukan dibahunya kembali ia rasakan." Ayo kita ke lapangan. Upacara akan segera dimulai." Kiba berujar antusias. Satu sifat dengan Naruto.
Pemilik surai pirang menggangukkan kepala lalu berjalan bersemangat bersama Kiba menuju lapangan.
Satu teman ia dapat hari ini.
Sebuah awal yang baik bukan?
Setidaknya seperti itu.
Untuk saat ini.
.
.
.
Naruto rasa, keberuntungan masih berada disisinya karena bisa berada satu kelas dengan Kiba. Ia jadi memiliki teman untuk diajak bicara. Teman-temannya sewaktu SMP tak ada yang bersekolah disini. Mereka semua lebih memilih meneruskan mencari ilmu diluar negeri, tipikal orang-orang dari kaum jetset.
Naruto tak pernah terpikirkan untuk pergi jauh dari kota kelahirannya. Masih banyak yang bisa ia lakukan disini tanpa harus pergi jauh-jauh. Lagipula ia tak ingin meninggalkan Ayah dan Ibu tersayang.
"Ada apa denganmu, Naruto?" Kiba sedikit menoleh pada bangku disampingnya. Dicondongkan tubuhnya sedikit berbisik pada pemuda bermata biru itu.
Naruto menggelengkan kepalanya pelan. Kebiasaannya yang tak bisa berada dibawah terik matahari cukup lama. Ia akan sedikit merasa pening. Juga perut yang terasa bergejolak mual. Upacara penerimaan murid baru tadi cukup menyita waktu. Dan membuatnya terjemur beberapa waktu dilapangan. Ia tak terbiasa.
"Kamu sakit?" Terdengar ada nada khawatir disana.
Naruto menarik tipis sudut bibirnya. "Sedikit pusing. Aku akan minta ijin ke ruang kesehatan." Putusnya. Kiba mengangguk kepala paham. Memperhatikan pemuda pirang itu mulai beranjak dari tempatnya.
Cukup beruntung karena guru barunya memberikan ijin dan menyuruh kembali ke dalam kelas jika dirasa telah mulai pulih.
Naruto tak langsung berjalan menuju ruang kesehatan. Sebelum sampai disana ia berbelok menuju kamar mandi ketika merasakan perutnya semakin mual tak tertahan. Dan sarapan paginya tadi terpaksa termuntahkan semua.
Pemuda itu membasuh wajahnya. Badannya sedikit melemas. Ia benci jika tubuhnya mulai seperti ini. Tak bisa diajak kompromi.
Sekali lagi membasuh wajahnya, Naruto memutuskan keluar kamar mandi. Berjalan pelan mencari letak ruang kesehatan sekolahnya. Wajahnya yang selalu terlihat semangat kali ini nampak pucat. Bulir-bulir keringat menetes disela wajahnya. Tuan muda satu itu, nampak tak baik.
Mendapat beberapa langkah ia berhenti. Sebelah tangannya meraba dinding, mencoba mempertahankan tegap tubuhnya. Hari pertama saja ia sudah tumbang seperti ini, bagaimana ia menghadapi hari-harinya yang lain?
"Pirang, awas minggir. Kau menghalangi jalanku.." Ucapan cukup keras yang terdengar dari arah belakangnya memaksakan ia menoleh kepala lemah.
Seorang gadis berseragam olahraga dengan rambut indah merah jambu terkucir tinggi, berdiri tak jauh darinya. Tengah menyeret sebuah keranjang berisi bola-bola basket yang cukup banyak.
'Kuat sekali dia.' Pikir Naruto berbinar. Birunya berpencar kagum. Melupakan sedikit tentang kondisi tubuhnya yang sedang tak sehat.
Alis gadis itu terangkat, ada sedikit kerutan didahinya. "Helloo...kamu mendengarku rubah pirang?" Salah satu tangannya melambai-lambai mencoba menyadarkan si pirang.
Sejenak Naruto terdiam, sebelum kemudian kepalanya menoleh kesana kemari beberapa kali dan akhirnya kembali menatap gadis itu.
Sepi. Tak ada satu orangpun.
'Rubah pirang? Siapa yang dia panggil rubah pirang?' Otaknya berputar bingung. Benar-benar lupa kalau dia tengah dilanda sakit.
"Kau yang aku panggil rubah pirang..." Gadis bermata indah itu menghela nafas. "Jadi sekarang cepat minggir."
Naruto tersentak. 'Wooah..dia bisa membaca pikiranku. Apa dia punya kemampuan semacam mind reading? Ini hebat.' Otak si pirang yang tak biasa diajak berpikir keras, kini mulai berpikir macam-macam.
"Kau benar-benar membuat kesabaranku habis..." Dengan kasar gadis itu melepaskan cengkramannya pada tali keranjang bola basket yang tengah diseretnya, berjalan mendekat kearah pemuda yang masih diam ditempatnya.
Jemari-jemari lentiknya meraih pergelangan tangan pemuda itu. Memaksanya untuk minggir, karena tanpa Naruto sadari, hampir separuh tubuhnya menghalangi pintu disampingnya. Mendapatkan beberapa langkah karena paksaan sang gadis membuat dirinya sedikit terhuyung. Dan kesadarannya kembali jika saat ini ia masih sakit.
"Ugh..." Ia mengeluh merasakan pandangannya yang mengabur tak jelas. Tanpa sadar memposisikan kedua tangannya dibahu gadis itu.
"Hey, apa yang kamu lakukan pirang?" Gadis itu sedikit panik. Juga sibuk mencoba melepaskan tangan Naruto dibahunya.
Naruto sedikit menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar merasa pusing sekarang. Tak kuat lagi membuka mata terjaga. Perlahan tapi pasti pandangannya menghitam.
"Maafkan aku t-tapi kepalaku s-sakit seka-" Dan pemuda pirang itu tak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya. Hanya, dirinya sempat mendengar gadis itu bersuara sebelum kemudian ia benar-benar jatuh pingsan.
.
.
.
Ketika dua kelopak itu terbuka, Naruto mendapati supir pribadinya dan Kiba tengah berdiri disamping ranjang tempatnya terbaring sekarang. Ia menatap kesekeliling sejenak sebelum kembali mengarahkan birunya pada dua orang itu.
"Tuan muda, apa masih sakit? Apa perlu kita kerumah sakit sekarang?" Iruka bertanya khawatir. Membantu Naruto yang berusaha untuk bangun dari tidurnya. Menatap cemas dari celah dua obsidiannya.
"Aku dimana Paman?" Naruto mengucek kedua matanya, rambutnya sedikit berantakkan. Namun ia tak lagi merasakan pening dan tubuhnya sudah terasa meringan.
"Kamu di ruang kesehatan, Naruto..." Kiba berujar menyeruak, mendorong sedikit Iruka hingga membuat lelaki itu terhuyung kebelakang. "Tadi Shizune-sensei datang ke kelas. Mengatakan kamu tengah di ruang kesehatan. " Ia menjelaskan dengan cepat. Merasa kasihan melihat sahabat barunya jatuh sakit.
"Bocah, kamu berisik sekali. Tuan muda Naruto sedang sakit. Pelankan suaramu itu..." Iruka mengomel. Saling melemparkan tatapan sengit pada Kiba.
"Sudahlah Paman. Aku tidak apa-apa. Paman sebaiknya pulang saja, jangan sampai Ayah dan Ibu tahu dan membuat mereka jadi khawatir." Naruto berucap pelan. Menggerakan kaki dan menapaki lantai ruang kesehatan. Memohon pada lelaki itu.
Iruka sempat terdiam, sebelum akhirnya membungkuk hormat. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu."
Naruto mengangguk singkat membiarkan sang sopir berlalu dari sana.
"Dasar.." Kiba mendengus menatap kepergian Iruka. Lalu kembali beralih pada Naruto." Kamu benar sudah baikan Naruto?"
Anggukan singkat menjadi jawaban pertanyaan pemuda berambut coklat itu. "Yaa sudah, berhubung sekarang sudah masih waktu istirahat kita pergi ke kantin, bagaimana?"
Naruto menghela nafas sesaat. "Baiklah. Aku juga merasa lapar."
Keduanya tertawa sejenak sembari berjalan beriringan keluar ruang kesehatan. Menjadi beberapa objek tatapan sekilas para siswa yang berwira-wiri dikoridor sekolah.
"Kiba..." Naruto memanggil pelan. Masih melangkahkan kaki konstan tanpa mengurangi lajunya. Pemuda disampingnya terlihat menoleh padanya sedikit sebelum kembali memperhatikan kedepan. Bergumam sebagai sahutannya.
"Apa kamu tahu siapa yang membawaku keruang kesehatan?"
Kiba mengangkat bahunya tak tahu. "Tanyakan saja pada Shizune-sensei, mungkin dia tahu."
Sedikit kepala pirang itu tertunduk. Menumpukan pandangan pada lantai-lantai yang tengah dipijakinya. Apa gadis itu yang membawanya kemari? Naruto masih ingat terakhir kali ia jatuh pingsan saat tengah bersama dengan gadis yang dianggapnya kuat dan punya kemampuan mind reading itu.
Tapi, apa betul dia yang membawanya?
"Kamu mau pesan apa Naruto?" Pertanyaan itu sedikit membuat Naruto tersentak. Mendapati dirinya telah berada didalam kantin ketika birunya berpendar. Tak menyadarinya.
"Roti lapis dan jus jeruk saja." Jawab pemuda itu akhirnya, setelah membuat Kiba menunggu beberapa waktu.
"Oke. Carilah tempat, aku akan pesan."
Naruto mengangguk singkat dan berjalan berlainan arah dengan Kiba. Menengokkan kepala ke sana kemari mencari bangku yang masih kosong. Hingga birunya terhenti dibangku terpojok kantin yang terlihat masih kosong. Dengan langkah ringan ia berjalan kesana.
"Huh..?" Bibirnya sedikit tertarik kedepan. Bingung melihat hampir semua siswa yang berada dikantin menatap kearahnya ketika ia duduk dibangku tersebut. 'Apa ada yang salah dengan penampilanku?' Ia membatin bingung sembari memeriksa tubuhnya, jikalau mungkin saja ada yang tak beres. Tapi tak ada. Ia masih normal-normal saja seperti tadi pagi. Hanya mungkin pirangnya yang sedikit terlihat agak berantakan.
"Ini pesananmu, Naruto." Kiba menyodorkan satu potong roti dan sekaleng minuman dimeja hadapan Naruto. Duduk diseberang pemuda pirang itu.
"Hey Kiba kau tak merasa aneh?" Naruto setengah berbisik, masih mengedarkan pandangan menatap para siswa yang masih memperhatikan dirinya dan Kiba.
"Apa? Aku biasa-biasa saja..." Kiba mengigit roti miliknya, mengunyah pelan dan menelannya. Sedikit menekukkan dahi melihat raut kebingungan Naruto.
"Kenapa mereka menatap kemari? Apa ada yang salah?" Naruto akhirnya menumpukan tatapan pada Kiba, membuka tutup kaleng minumannya serta meraih roti miliknya.
Tatapan Kiba berubah, menengok kesekitar sebelum kemudian menatap Naruto lagi. "Iya juga. Tapi abaikan saja. Kita juga tak punya masalah dengan mereka kan?"
Naruto mengangguk singkat, menggunyah roti dalam mulutnya. Berusaha menikmati tanpa menghiraukan tatapan dari siswa yang lain.
Keduanya lalu diam untuk beberapa saat, asik menikmati makanannya masing-masing. Sebelum kemudian Kiba berseru sedikit keras.
"Minumku habis. Aku minta punyamu Naruto." Naruto sigap meraih kaleng minumannya saat melihat Kiba tengah menggapainya juga. Membuat kaleng minuman tersebut terjebak dalam genggaman tangan dua pemuda itu.
"Beli lagi, Kiba. Aku belum meminumnya." Tolak Naruto seraya memperkuat tarikannya. Disisi lain Kiba juga tak mau kalah.
"Maka dari itu, biar aku meminumnya. Kau pelit sekali." Aksi rebutan kaleng minuman itu sukses menambah kedua pemuda itu menjadi objek perhatian dalam kantin. Memperhatikan aksi konyol dua remaja yang saling berebut minuman.
Tak dapat menawan isinya karena tekanan dari dua cengkraman itu membuat isi dari dalam kaleng menyembur keluar. Jus jeruk tersebut tertumpah kesisi lain. Bukan pada Naruto maupun Kiba. Hingga saat terdengar geraman dari seseorang, keduanya akhirnya menghentikan sesi rebutan kekanakan mereka. Serempak menoleh.
Biru Naruto terlihat melebar melihat siapa orang yang tengah berdiri disamping bangku yang tengah didudukinya, apalagi melihat noda jus jeruk mengenai seragam depan miliknya. Kiba pun juga sama. Menatap horor siapa yang menjadi korban aksinya dengan Naruto.
'Tamatlah riwayat kami.' Batin Kiba ngeri.
"Naruto, ku serahkan padamu. Maafkan sahabat barumu ini, oke?" Secepat sambaran kilat pemuda berambut coklat itu melesak pergi meninggalkan kantin dengan raut wajah pucat. Meninggalkan Naruto seorang diri yang tengah kalut melihat gadis didepannya.
"Kau lagi..." Gadis berambut merah muda yang tadi sempat ditemuinya saat ia sakit kini nampak murka dihadapannya. Menilik seragam yang sekarang tengah dipakai gadis itu membuat Naruto menelan ludah. Gadis itu ternyata senior tingkat tiga !
"Se-senpai, maafkan aku. Aku benar-benar tak seng-"
"Anak baru sudah cari masalah saja denganku..." Omelnya memotong cepat lontaran kata yang ingin Naruto sampaikan. "Dan juga, apa yang kau lakukan dimeja kami huh?"
Naruto mengerjapkan matanya pelan. 'Meja kami?' Batinnya bingung.
"Kamu sedang menduduki meja kami, pirang." Gadis berambut merah muda itu menunjuk meja yang tengah dipakai Naruto sekarang, menyadari wajah pemuda itu yang tengah dilanda kebingungan dengan maksud perkataannya. Dan itu sukses membuat Naruto lagi-lagi salah tanggap. Mengira gadis ini memang betul-betul punya kemampuan mind reading yang hebat.
"Senpai, kamu menakjubkan." Ucapan ngawur Naruto membuat gadis dan juga teman-teman perempuan yang sejak tadi berdiri dibelakangnya itu nampak menaikan alis bingung.
"Apa kamu waras atau otakmu baru saja terbentur sesuatu?!" Gadis itu sedikit merunduk menatap lekat-lekat wajah Naruto. Sesaat kemudian merasakan desiran aneh melihat biru indah dua bola mata itu.
"Senpai ajari aku yaa?!" Naruto menangkupkan kedua tangan, memohon. Dan perkataan itu sukses membuat sang gadis menegakkan tubuh sembari menepuk dahinya pelan.
"Oh Tuhan, aku bisa gila..." Desahnya. "Ikut aku..." Tangan itu lalu beralih, bergerak gesit menyambar lengan pemuda itu dan menyeretnya keluar meninggalkan kantin. Membuat teman-teman perempuannya nampak saling berpandangan melihat kepergian dua orang itu.
"Kira-kira apa yang akan Sakura lakukan pada pemuda itu?!"
.
.
.
Pemuda berambut coklat itu menghentikan larinya. Nafasnya ngos-ngosan tak beraturan. Ia membungkukkan tubuh, menumpukan tangan diatas kedua lututnya. Mencoba mengatur nafas dan detak kencang jantungnya.
'Maafkan aku sobat. Aku benar-benar tak bermaksud meninggalkanmu. Aku hanya masih sayang dengan nyawaku...' Batin Kiba prihatin.
"Apa kamu tidak apa-apa?" Suara lembut itu membuat Kiba menegakkan tubuhnya. Melebarkan dua bola matanya dengan bibir setengah terbuka ketika melihat siapa yang baru saja berbicara dengan dirinya. Melongo. Takjub.
"Heeyy..." Lagi-lagi gadis yang tengah berdiri didepannya memanggil pelan sedikit meninggikan suaranya. "Apa kamu sakit? Tubuhmu berkeringat, wajahmu juga pucat."
Kiba masih asik mengaggumi sosok cantik didepannya. Sebelum sesaat kemudian tersadar dengan asik bodohnya. Dengan kikuk ia menggaruk rambut belakangnya. Wajahnya sedikit memerah.
"Kamu tidak apa-apa?" Gadis berseragam merah-hitam itu masih bersabar menanyai Kiba. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum manis.
"Ah, iya..iya aku tidak apa-apa, Senpai." Jawabnya malu-malu.
Gadis berambut indigo itu menganggukkan kepala paham. "Ya sudah, aku pergi dulu.." Kaki-kaki milik sang gadis perlahan bergerak, berjalan menjauh dari Kiba yang masih terdiam kaku ditempatnya dengan mata tak lepas dari sosok sang gadis.
'Man, sepertinya aku jatuh cinta pada pandangan pertama.'
.
.
.
"Se-senpai kita mau kemana?"
Satu menit lalu tarikan itu tak lagi mengekang lengannya. Namun sang gadis yang sampai saat ini belum ia ketahui namanya itu memintanya untuk ikut. Entah kemana.
Berhentinya kaki-kaki ramping itu secara mendadak membuat Naruto hampir menubruk tubuh sang gadis. Gadis berambut merah muda itu berbalik. Menumpukan pandangan pada Naruto dengan mata menyipit.
"Kau lihat seragamku?" tanyanya tajam. Seolah mengintimidasi pemuda pirang itu.
Naruto mengangguk lambat. "Kotor..." Ucapnya spontan.
"Lalu?" Tuntut sang gadis.
"Harus dibersihkan." Jawab Naruto dengan antengnya. Membuat sang gadis lagi-lagi menggelengkan kepala frustasi.
"Oke, kamu tahu seragamku kotor, perlu dibersihkan, dan apa kamu tahu kalau aku sedang tak bawa baju ganti. Jadi kalau baju ini dibersihkan otomatis aku tidak bisa mengikuti pelajaran, Pirang." Cercanya sebal.
Naruto menjilat bibir bawahnya gugup. "Iya maafkan aku Senpai. Aku benar-benar tidak sengaja. " Ia menatap memohon. "Apa perlu aku panggilkan pelayanku untuk memberikan Senpai seragam baru."
Gadis itu mengibaskan tangannya. "Tak perlu. Kamu cukup lakukan sesuatu untukku. Dan aku akan memaafkanmu."
Naruto menaikan sebelah alis, bingung. "Melakukan apa, Senpai?" tanyanya tak paham.
Gadis itu melangkah mendekat, sedikit mengangkat kepala memandang Naruto, terhenti ketika jarak keduanya tersisa beberapa centi ruang. Ia nampak terdiam sejenak, memperhatikan lekat pemuda pirang itu. Membuat putra tunggal Namikaze itu mengerjapkan mata semakin bingung.
"Sepertinya kamu cocok..." Senyum itu mewarnai wajah cantiknya." Temui aku sepulang sekolah nanti ditaman belakang sekolah. " Dan ia bergerak mundur. "Sendirian." Tandasnya seraya berjalan pergi meninggalkan si pemuda pirang.
"Taman belakang sekolah? Sendirian?" gumamnya penasaran.
.
.
.
Tubuh tegapnya langsung ditubruk Kiba saat ia memasuki ruang kelasnya. Pemuda berambut coklat itu menepuk-nepuk punggungnya pelan. Terdengar kekehan kecil juga darinya. Dan itu membuat Naruto merasa sedikit risih.
"Aku benar-benar minta maaf Naruto. Aku tak bermaksud meninggalkanmu. Apa?...Apa yang mereka sudah lakukan padamu?" Ia melepaskan pelukannya, memeriksa kondisi sahabatnya jika mungkin ada yang kurang. Atau patah, mungkin.
"Kamu tidak dihajarkan? Atau dipotong bulat-bulat oleh dia kan?" Tanya Kiba hiperbolis. Wajahnya terlihat gurat-gurat khawatir.
Bola biru itu memutar malas. Mendorong tubuh Kiba agar menjauh. "Kamu berlebihan Kiba. Aku tidak diapa-apakan olehnya." Pemuda pirang itu bergerak menuju bangkuknya dan duduk disana. Diikuti Kiba yang mengekor setia dibelakangnya.
"Kamu beruntung sekali Naruto." Decaknya kagum. Memilih untuk meminjam tempat duduk seorang temannya didepan bangku Naruto. "Kalau orang lain pasti langsung dihajar habis-habisan." Celotehnya.
"Memang ada apa? Kenapa kamu tadi begitu panik sekali sampai kabur seperti itu?" Naruto melirik Kiba sesaat.
Kiba terkekeh pelan. Mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangan. Nampak mengedarkan pandangan sejenak sebelum menatap Naruto kembali. "Kamu tak tahu siapa Senpai kita yang berambut merah muda cantik tadi?"
Naruto mengangkat bahunya, menggeleng pelan.
"Kemana saja kamu selama ini Naruto?! Bagaimana mungkin kamu tak tahu siapa Sakura Haruno?!" dengan sigap kedua tangan itu membungkam mulutnya sendiri karena tanpa sadar meninggikan suara miliknya.
"Sakura Haruno?!" Gumam Naruto pada dirinya sendiri. Dia memang merasa tak pernah mendengar nama itu. Kecuali nama keluarganya, ia seperti pernah mendengarnya. Tapi entahlah ia juga tak tahu pasti.
"Memang kenapa dengan Senpai kita itu?" Tanya Naruto masih juga tak mengerti kemana arah pembicaraanya kali ini. Birunya terlihat bersinar sedikit penasaran.
"Dia itu salah satu siswi populer disini, sangat dihormati dan ketua perkumpulan gadis-gadis cantik yang kita lihat tadi." Seloroh Kiba, sok bersikap serius layaknya dektetif handal.
Naruto hanya mengedikan bahunya. Merasa biasa saja. Di Smp nya kemarin juga banyak hal macam seperti itu."Hanya itu?"
"Kau ini..." jengkel si pemuda coklat. "Ok, lupakan saja." Ia menghela nafas pelan. Wajahnya berubah berbinar. "Oh ya, tadi aku bertemu dengan seorang Senpai dari tingkat tiga. Dia cantik sekali..." Dan sekarang pikiran Kiba sudah melalang buana membayangkan wajah cantik Senpai yang ditemuinya tadi.
"Kamu mengenalnya?" Wajah Naruto terlihat datar kali ini.
Kesadarannya kembali, digelengkan kepala sebagai tanda tidak. "Tapi aku tahu siapa dia? Salah satu keturunan Hyuuga. Juga teman Sakura-senpai." Ujarnya penuh keyakinan.
"Lalu kenapa? Hubungannya denganku apa?" Naruto bertopang dagu. Merasa bosan menunggu bel tanda istirahat tak juga terdengar.
"Aku hanya bercerita." Dan kemudian terlihat senyum janggal dari bibir Kiba. "Kamu bisa membantuku, kan?" Pintanya memohon.
Naruto mengerutkan dahi. "Bantu apa?"
"Bantu mendapatkannya." Seru Kiba semangat. Melupakan bahwa kini kelasnya telah meramai karena bel istirahat usai akan segera berbunyi.
Naruto diam sejenak. Lalu mengangguk setuju. "Baiklah.." Tak ada salahnya juga membantu seorang sahabat.
"Kamu memang sahabatku, Naruto."
Mungkin kebaikan hatinya menolong sahabat barunya adalah permulaan kesialan yang akan Naruto dapatkan.
Tapi setidaknya ia merasa ini hari yang baik.
Entah untuk besok.
Apa ia yang sanggup untuk melewati hari-hari yang sekalipun tak pernah ia pikirankan?
-To Be Continue-
-Terimakasih-
