Reader's POV
Suara burung pipit yang menghambur di taman belakang mampu membuatku membuka mata. Sinar matahari itu menyelusup dibalik jendela, membuatku mengerang dan lantas kembali bergelung di dalam selimut. Melirik jam yang ada disamping kasur, menatap jarum panjangnya yang menunjukkan pukul enam. Terdiam, aku hanya bisu memandanginya, dan kembali melirik jendela yang sudah terkena cahaya.
Aku tidur melentang, menatap langit-langit kamar yang sedikit gelap. Terdiam dan tidak melakukan apa-apa, itulah yang sedang kulakukan. Aku tidak berniat bangun, berjalan saja aku tidak mampu. Mata ini terlalu berat, dan hal tersebut membuatku malas untuk bergerak.
Tapi tetap saja, terlintas sebuah bayangan. Sesosok manusia, dengan rambut merah serta iris heteromatika dan wajahnya yang rupawan. Akashi Seijuurou kembali muncul di benak, tercipta di depanku dan mampu membuatku mengerjap penuh rasa terkejut. Aku tidak mengerti mengapa pria itu terus terbayang. Menghela nafas sebagai permulaan, aku pun memaksa tubuhku untuk bangun. Berdiri dan mengambil handuk, mengacak rambut, dan berjalan menuju pintu.
"Kenapa kau memanggilku, Akashi-kun?"
Aku tidak bisa berkata apa-apa saat air dingin mulai membasahi tubuhku.
"Aku ada perlu denganmu."
"Tentu, katakan saja."—tersenyum. "Ada apa?"
Sepuluh menit berlalu, aku kembali mengambil handuk.
"Kau tidak perlu menolaknya. Karena perintahku adalah mutlak—"
Selesai membasuh diri, tiba-tiba aku menatap diriku yang telanjang di depan cermin.
"—jadilah kekasihku."
.
.
.
HISTORY
A Request Fanfiction from Yamashita Hanami-chan by stillewolfie
History at 2015
[Akashi Seijuurou & Reader/OC]
AR, OOC, teikou-era, typo, etc.
.
.
BAGIAN SATU
(Kelulusan)
.
.
Aku segera menatap langit yang ada di atas sana.
Aneh.
Seingatku, tadi pagi cuaca masih cerah dan matahari masih terlihat, lalu kenapa sekarang tidak ada? Berjalan menyusuri jalan yang sudah dihamburi oleh cairan es, aku menatap sekeliling. Udara terasa dingin hari ini, dan hal itu mampu membuatku memeluk diriku sendiri. Mantel tebal milik ayah sepertinya kurang berguna, mengingat suhu di kota semakin membesar.
Tak terasa, aku sudah sampai di depan gerbang. Meski sudah tiga tahun aku mendidik ilmu disini, namun entah mengapa gedungnya yang megah itu sanggup membuatku terpukau di jarak seperti ini. Aku masih tidak menyangka; aku belajar, berinteraksi, bertemu teman-teman di sekolah yang begitu mewah dengan prestasi segudang. Mendengus pelan, aku ikut memasuki sekolah bersama siswa lain yang kebetulan datang.
Aku masih tidak menyangka hari ini telah tiba.
Mataku terus menyelusuri, memandangi teman-teman yang sibuk bercengkrama dengan yang lain. Tanpa sadar, bibir ini telah naik dan aku begitu senang. Aku bahagia karena akhirnya, diriku, teman-temanku, para sahabat di angkatanku telah lulus dan kami akan menjalani kehidupan baru. Waktu memang tidak terasa—aku baru menyadarinya sekarang. Aku merasa kemarin aku hanyalah bocah ingusan yang baru masuk di sekolah mewah. Tapi sekarang, lihatlah. Aku tumbuh di sekolah ini, belajar mengenai sesuatu yang baru dan unik, serta bertemu dengan teman-teman yang sangat menarik.
Aku senang.
Aku bahagia.
Dada ini terasa sesak, tentu saja.
"Heeeeii!"
Tubrukan kecil terasa di punggungku. Melirik dari bahu, aku hanya bisa tersenyum tipis ketika melihat helaian merah muda di sepanjang penglihatanku. Momoi Satsuki, itu namanya. Seorang gadis ceria dengan wajah yang sangat cantik. Ia tipe bersemangat dan aku menyukainya. Dia adalah salah satu temanku disini, dan kami sudah akrab ketika sama-sama masuk di sekolah ini.
"Apa kabar?" Ia melepas pelukannya, kemudian kami berjalan bersama. "Bagaimana liburannya? Menyenangkan?"
"Seperti biasa," Aku tersenyum menanggapinya. "Tidak ada yang istimewa, Momoi-san."
Di detik selanjutnya, kudengar Momoi-san menghela nafas kesal dan mencubit pipiku, membuatku mengaduh. "Dasar. Sudah kubilang jangan panggil aku dari nama keluarga, 'kan? Panggil aku Satsuki! S-a-t-s-u-k-i!"
"Maaf, aku belum terbiasa."
"Makanya biasakan!"
"Tidak bisa," Oh lihatlah, tangannya sudah siap mencubit pipiku lagi. "Aku nyaman dengan panggilan ini, Momoi-san. Tak apa, 'kan?"
Kulihat, dirinya mengerucutkan bibir. Aku hanya terkekeh pelan dan mengabaikan ocehan Momoi mengenai hubungan kami yang cukup lama. Ia terus memaksaku memanggilnya Satsuki. Tapi, aku merasa aneh kalau memanggilnya secara langsung. Ini sudah kebiasaanku dan aku tidak nyaman kalau aku mengubahnya. "Dimana Aomine-kun, Momoi-san?" Tiba-tiba aku bertanya disela ocehannya.
"Eh, Dai-chan?" Gadis berupa bunga sakura itu mengerjap pelan, dan ia pun kembali menggembungkan pipinya kesal. "Dia sudah meninggalkanku duluan! Padahal aku sudah menunggunya di depan rumah. Tapi kata obaa-san, dia berangkat lebih pagi dari biasanya!"
Eh, benarkah? Lalu kenapa daritadi aku belum melihatnya?
Aku berhenti melangkah. Momoi-san pun akhirnya berpisah denganku. Ya, kami berbeda kelas. Karena itulah, tempat duduknya juga berbeda. Aku mendapati gedung belakang sekolah yang biasanya diisi oleh berbagai rangka acara, kini telah dihias sedemikian rupa karena upacara kelulusan akan segera diadakan.
Tentu saja, aku berjalan menuju tempat dudukku. Ya, tempat duduk kami, para murid, telah diatur dari jauh-jauh hari. Dan aku kedapatan di bagian tengah ujung kanan. Kurasa itu sangat lumayan. Aku duduk dan diam disana, mengabaikan segala obrolan yang ada di sekitar. Mataku hanya menatap rok di atas paha yang sedang kupakai. Aku hanya terdiam sampai suara mc acara terdengar. Orangtua murid telah datang dan acara sudah sangat siap.
Acara berjalan dengan khidmat. Dan kembali, suara mc langsung membukakan mataku.
Pria itu berdiri ketika namanya disebut. Seorang ketua dewan siswa, yang begitu hebat dalam sekali pandangan. Rambut merahnya sedikit bergerak ketika dirinya berjalan menuju panggung. Iris heteromatika itu bersinar, dengan tatapan penuh intimidasi sekaligus kepercayaan diri yang tinggi. Ia memegang mic, dan memulai sambutan dirinya sendiri.
Suaranya langsung menggema di seluruh ruangan. Tatapannya menatap kami semua yang ada di depannya. Ia sama sekali tidak tersenyum atau menyampaikan lelucon, namun ia, Akashi Seijuurou, pria itu berdiri tegap dengan wajah serius dan bibirnya terus mengucapkan kata-kata yang tak masuk di otakku. Jujur saja, aku terlalu terpaku.
Dirinya.
Yang serba sempurna.
Suara tepuk tangan yang riuh mampu membuatku tersentak. Ia kembali berjalan menuju tempat duduknya. Dan aku baru sadar, jarak kami tidak terlalu jauh. Aku tak tahu dan bagaimana bisa pandanganku terjatuh pada dirinya seorang. Lalu entah mengapa, Akashi Seijuurou juga menatapku.
Aku terkejut.
Karena jantungku yang tiba-tiba berdegup, aku langsung menundukkan kepalaku. Tidak menatapnya lagi, dan terus memperhatikan ke bawah. Meremas rokku sebagai permulaan, takut-takut kutatap dirinya. Ah, Akashi-kun sudah menghadap depan.
Ia tidak menatapku lagi.
Dan entah kenapa, aku mengharapkan sesuatu yang lebih.
.
.
~ history ~
.
.
Seijuurou's POV
Aku adalah Akashi Seijuurou.
Sang kapten tim basket Teikou, seorang ketua dewan yang hebat di segala bidang.
Aku pintar dan itu benar.
Semua yang ada di dalam diriku adalah benar.
Aku tidak pernah menyesalinya. Aku adalah putra tunggal Akashi yang di didik secara keras. Itu memang merepotkan tapi aku tidak membencinya. Semua itu kuterima dengan tangan terbuka dan aku rasa hal tersebut adalah suatu kewajiban. Hingga, didikan itu berhasil menciptakan aku yang elegan, dihormati, dan selalu disegani oleh tiap sampah yang pernah bertemu denganku.
Aku benar maka aku akan menang; itu adalah suatu kemutlakan yang sangat pantas. Kemenangan adalah suatu kebutuhan bagiku. Aku tidak peduli dengan perkataan orang mengenaiku. Itu hanyalah perkataan yang disampaikan oleh mulut kotor mereka, dan tentunya—iri. Ya, mereka iri padaku.
Aku sempurna. Aku hebat. Dan aku selalu benar.
Aku absolut dan itu mutlak.
Segala sesuatu sudah sangat jelas di mataku. Aku tidak pernah mengucapkan segala sesuatu tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Apa yang aku katakan adalah suatu kebenaran yang dihasilkan oleh suatu praduga yang dipikirkan matang-matang. Aku tidak akan pernah mengucapkan kalimat salah. Aku absolut, ingat? Aku akan mengucapkan semua fakta dan aku akan menepatinya. Aku berkuasa. Aku adalah penguasa dan gelar itu hanya untukku seorang.
Termasuk dirimu.
Aku adalah penguasa atas dirimu.
Kau, seseorang yang tak pernah kusangka menjadi objek untukku. Dirimu yang selalu menarik perhatianku. Sebenarnya, apa yang kau lakukan padaku? Aku tidak bodoh. Jelas, kau tidak pernah melakukan hal buruk padaku. Kau hanyalah teman sekelas yang pendiam dan sedikit tertutup. Kau tidak pernah melakukan kesalahan yang mampu membuatku menjadi buruk di depan orang banyak. Kau bukanlah siapa-siapa. Kita tidak memiliki hubungan apa-apa.
Namun sebenarnya, kau itu apa?
Segala perlakuanmu tak luput dari penglihatan ini. Kurasa, meski aku dikenal banyak orang, tapi hal itu tak akan berguna bila kau sama sekali belum pernah melirikku. Kau tidak pernah merasakan apapun ketika berhadapan denganku. Tatapanmu kosong dan datar. Itu terlihat jelas di kedua matamu.
Tapi, aku adalah Akashi Seijuurou.
Yang selalu benar, dan akan menang terhadap apapun.
Karena itulah, keputusan ini sudah bulat dan tak akan pernah kumusnahkan.
"Jadilah kekasihku."
Kulihat dirimu menegang dan wajahmu terkejut sempurna. Kau menatapku heran dengan sebelah alis terangkat. Lihatlah, kau begitu berani saat menatap mata ini. Kau, adalah gadis pertama yang bisa menaklukkan diriku. Dan kau, adalah perempuan pertama yang bisa menatap dalam mataku.
Kau hebat.
Dan aku menyukainya.
"A-Apa?"
"Tidak ada penolakan," Aku melangkah. Aku ingin kepastian ini darimu. Ya, mulai sekarang, kau adalah milikku. Milikku sepenuhnya. "Mulai sekarang, kau adalah kekasihku."
Milik Akashi Seijuurou seorang.
Dan keputusanku tak pernah salah.
.
.
~ history ~
.
.
Hari kelulusan telah selesai. Aku lega dan akhirnya bisa menyelesaikan reuni terakhir di sekolah ini. Setelah perpisahan pada tim basketku usai, aku segera berbalik langkah menuju lapangan belakang. Ya, aku ada janjian. Dengan seseorang.
Dengannya.
Gadis itu.
Tak lama, aku menemukannya sedang berdiri di sebuah pohon yang tertutup salju. Kulihat, kau memejamkan kedua kelopak matamu ketika butiran-butiran salju turun, dan menyusuri pipimu dengan pelan. Senyum tipis kudapati dirimu dan kemudian kau mendongak ke atas, menatap langit yang mendung akibat salju yang turun.
"Akashi-kun."
Kau memanggilku. Dengan suaramu yang merdu itu. Seperti biasa, kau sopan dan penurut. Membungkukkan tubuh dan tersenyum kepadaku. "Sambutanmu hebat sekali. Aku bahkan tak bisa berkata apa-apa saat kau mengakhirinya, Akashi-kun."
Oh, kau menyadarinya? Tentu saja.
Aku selalu menang dalam hal apapun. Ingat itu.
Manik kelabumu menatapku tanpa rasa takut. Berbinar melihat wajahku yang sempurna ini. Benar, kau tidak takut padaku. Kau menganggapku sama sepertimu. Seorang manusia, yang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kau bisa menahan rasa takut itu dengan mudah dan mulai mendongakkan kepala, menatap mataku secara langsung dengan wajah jenaka.
Saat melihatmu yang pertama kali, aku menyadarinya—
"Hm."
—kau memang malaikat yang ditakdirkan untukku.
Kutepuk kepalamu pelan. Mengelus lembut suraimu yang begitu tentram. Kau tidak terganggu oleh aksiku ini. Melainkan, kau terlihat menyukainya. Kau terkekeh pelan dan kembali tersenyum tipis padaku. Perlahan, kau mulai mengambil tanganku yang awalnya ada di puncak kepalamu. Menggenggamnya lembut, dan menyatukan jari-jariku dengan milikmu—
"Aku mencintaimu."
—dan aku menyadari bahwa perkataanmu adalah sebuah emas yang langka.
"Kau mencuri kalimatku."
Kau terkekeh. "Salahmu sendiri tidak mengatakannya duluan."
Aku terdiam, memilih untuk menghangatkan tangannya yang kugenggam. "Kenapa kau menatapku tadi?" Kurasa tubuhnya mulai menegang. Oh, ketahuan rupanya. "Kau seperti baru mengenalku saja. Dasar bodoh."
Ia tersenyum. "Maaf, aku lancang ya?" Kugenggam lebih erat tangannya. "Habis, kau membuatku terpesona untuk yang kedua kalinya, Akashi-kun."
Kita mulai berjalan beriringan, meninggalkan sekolah dan memilih untuk berjalan kaki di trotoar. Kau terlihat lelah dan aku tidak mau memulai pembicaraan. Aku memilih untuk terus menggenggam tanganmu erat dan berniat tak akan pernah kulepaskan.
Beberapa detik setelahnya, pandanganku jatuh pada satu titik. Dimana saat kita melewati daerah kota, kau menatap anak kecil di sebuah taman kanak-kanak yang jaraknya tak jauh dari sekolah kita. Pandanganmu berbinar, dan aku pun menyadarinya.
"Akashi-kun, mereka lucu ya?"
Kau menunjuk anak-anak itu. Kau terlihat senang dan aku juga bahagia melihatnya. Kutepuk kepalamu pelan—maaf, sudah menjadi kebiasaan—dan melirikmu sejenak. "Bola salju?" tanyaku.
"Ya, Akashi-kun." Kau tertawa pelan. "Mereka sedang bermain salju—ah, lihat bangunan itu! Keren, 'kan?"
Aku mengikuti objek penglihatanmu. Disana, terdapat sepasang anak kecil yang bermain salju di sebuah kotak pasir. Ah, tidak ada pasir lagi, melainkan sudah tertutupi oleh salju yang membeku. Mereka terlihat akrab dan tertawa bersama. Bocah laki-laki dan satu perempuan. Mereka tampak sedang bekerjasama untuk membangun sebuah bangunan berbentuk kastil.
Aku melirikmu lagi.
Melihat wajahmu saja, aku sudah tahu dimana letak pemikiranmu berada.
"Akashi-kun?"
Tapi, aku adalah Akashi Seijuurou.
Kutepuk kepalamu sekali lagi. "Ya, kau benar."—aku tersenyum tipis.
Dan tidak ada yang mustahil bagiku.
Kau milikku.
"Ada apa?"
"Tidak. Tidak apa-apa."
Tidak ada yang boleh memilikimu selain aku.
.
.
.
continued
.
.
a little notes:
hai. ini request pertama di tahun 2015 dari Yamashita Hanami-chan. semoga suka ya. :')
for Hana: maaf kalau kurang memuaskan ya. maaf juga kalau rada-rada meleset dari permintaanmu di chat kemaren hahahaaa. maaf kalo gatot. SEKALI LAGI MAAAPKAAAN AKUUUUUU /ditendang
sekedar informasi, ini rencananya bakal twoshot atau nggak trishot. doain biar cepet apdetnya oke? :3
.
.
Terima kasih sudah membaca!
Mind to Review? :)
