Tittle: The Whistle.
Cast: Kim Jongin, Do Kyungsoo, dan EXO.
Author: Jonginarts
Genre: YAOI, Romance, fluff, angst. (berubah seiring berjalannya chapter)
Rated: T
Chapter 1: Kesendirian.
Sudah tiga tahun lamanya sejak Kyungsoo mengenal sosok pria itu, pria yang begitu dingin dan selalu menyendiri di setiap waktu seolah-olah tidak ada orang lain di dunia ini selain dirinya. Ia memang tidak terlalu memusingkan hal itu, bahkan seluruh murid di sekolah telah memahami karakternya, telah terbiasa akan kecanggungan yang ia buat. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk tidak peduli dan membiarkan orang itu melakukan hal-hal yang ia inginkan, sebab bagaimana ia menjalani hidupnya tidak akan berdampak apapun untuk mereka, baik ataupun buruk.
Orang itu bernama Kim Jongin, teman sekelas Kyungsoo selama 3 tiga tahun ia bersekolah di Sekolah Menengah Cheok-Gu. Ketika pertama kali mereka memasuki sekolah itu sebagai murid baru, Jongin masih bisa berinteraksi dengan sesama temannya dan hal itu terbukti ketika ia mengizinkan Yixing duduk sebangku dengannya, pergi ke kantin bersama, bermain, serta belajar kelompok. Jongin terlihat normal seperti murid lain saat berada di sisi Yixing.
Kyungsoo pernah melihat Jongin tertawa lebar suatu kali, ketika Baekhyun— temannya yang lain— tanpa hati melemparkan bunga mawar pemberian Chanyeol tepat di wajahnya, mengatakan bahwa ia telah muak akan sifat mengekor Chanyeol pada Baekhyun. Itu adalah pertama kalinya Kyungsoo mendengar suara tawa Jongin, yang membuatnya yakin bahwa saat itulah ia mulai menaruh hati pada sang pemilik suara.
Di tahun berikutnya, Yixing memutuskan untuk kembali ke China. Mereka bilang bisnis orang tuanya di Korea memburuk. Hari itu di awal semester tiga, Yixing memeluk teman sekelasnya satu per satu, mengucapkan kata maaf dan terima kasih atas semua kebaikan yang telah ia terima. Begitu tiba giliran Kyungsoo memeluk Yixing, ia menepuk pundaknya pelan, memintanya untuk tidak bersedih karena meskipun mereka berpisah, mereka akan tetap berteman selamanya. Yixing tersenyum, ia kemudian beralih memeluk Jongin yang berada di samping Kyungsoo dan memeluknya. Ada raut kesedihan yang mendalam di wajah Jongin, Kyungsoo menyadarinya, mungkin satu-satunya yang menyadari, sebab semenjak kepergian Yixing, kesedihan itu tidak pernah hilang dari wajah Jongin.
Pesta Halloween menjadi salah satu acara favorit para murid selain Prom Night. Mereka merubah diri mereka menjadi seperti makhluk menyeramkan tapi disitulah daya tariknya. Mereka begitu menikmatinya di malam bulan Oktober. Suasana kecokelatan dari rimbunan daun Gingko menambah keindahan suasana ukiran monster labu yang di dalamnya diterangi lampu neon kuning. Kyungsoo berjalan di atas karpet pintu masuk yang sepanjang jalannya terdapat tiang stainless dengan jalaran lampu kecil, efek suara nenek sihir, dan kikikan drakula di belakangnya yang berasal dari mulut Sehun.
"Aku akan menggigitmu! Rawr! Rawr!"
"Jangan berisik, Sehun!"
"Rawr! Ra—"
"Apa?"
"Gigi palsuku jatuh. Hiks."
Kyungsoo memutar bola matanya dan mengabaikan Sehun. Ia menyerahkan tiket masuk pada panitia sekolah dan mendapatkan beberapa permen. Ia memakai kostum Annabelle saat itu— entah kenapa. Mungkin karena ide briliant Sehun. Katanya Annabelle sedang naik daun saat ini.
Suasana mengagumkan langsung ia rasakan begitu memasuki aula sekolah yang telah disulap menjadi seperti istana penyihir Angéle de la Barthe di film-film. Hawa mistis melingkup keseluruh tubuhnya tapi tidak bisa di pungkiri bahwa acara ini menyenangkan. Dibalik kostum menyeramkan yang membalut tubuh mereka, ada sebuah tawa dan keceriaan tak terbendung. Kyungsoo menyusuri setiap sudut ruangan yang didekor sedemikian megahnya, sedemikian indahnya, sebelum akhirnya menemukan seseorang yang duduk di ruangan bersetting seperti sebuah bar sedang meminum segelas darah yang sebenarnya hanya fanta di campur limun.
Dia Red Cape; seorang hantu Jepang dengan topeng perak di wajahnya dan mengenakan jubah merah besar. Kyungsoo pernah mendengar tentang hantu itu dari seseorang. Katanya Red Cape adalah seorang pria tampan yang banyak memikat banyak wanita dan sekali mereka ikut dengannya, mereka tak pernah ditemukan lagi. Atau versi lainnya, saat Red Cape menanyakan apa kau ingin dipakaikan Jubah Merah dan kau mengatakan ya, ia akan merobek bajumu dan mengupas kulitmu hingga kau terlihat seperti memakai jubah merah.
Konsep yang bagus, Kim Jongin. Persis seperti tugas sastra yang kau ceritakan dulu.
Kyungsoo tersipu saat Jongin melihat kearahnya, ia ingin menghindar tapi kakinya tidak berkata demikian. Ia tidak tau kenapa, tapi perlahan ia mendekati Jongin. Dengan bermodalkan kekuatan insting, ia menyapa dan bertanya mengapa Jongin sendirian? Mengapa tidak bergabung dengan yang lain? Mengapa tidak membuka topengnya? Apa ia masih bisa bernapas? Dan dari semua pertanyaan itu Jongin hanya menjawab pertanyaan terakhir dan mengatakan bahwa dia masih bisa bernapas lalu pergi, meninggalkan seorang Annabelle yang terperangah dengan wajah merah sendirian.
Mereka memasuki musim terakhir di sekolah menengah atas dengan butiran kelopak-kelopak bunga sakura berjatuhan di sepanjang jalan, bersenandung dalam kehangatan pagi di bulan April. Murid-murid mulai berbicara tentang universitas impian mereka, bersenda gurau di bawah pohon sakura sambil sesekali membaca buku pengetahuan.
Kyungsoo berbaring di atas punggung Sehun yang tertidur di rerumputan taman sekolah, sedang membaca komik manga kesukaannya sebelum akhirnya menemukan sosok Jongin berada di atap gedung seorang diri. Ia mengikuti arah pandang Jongin yang sedang mengadahkan kepalanya ke langit, mengamati segumpal awan bergerak perlahan lalu berpencar. Ia terus bertanya-tanya, bukankah sikapnya sangat aneh?
"Apanya yang aneh? Seluruh keluarga Jongin memang pendiam, bukankah itu wajar?" Ucap Sehun suatu hari ketika mereka makan siang bersama di kantin. Kyungsoo dan Sehun berada di meja paling nyaman yang ada disana ketika Jongin berada di meja paling pojok dekat tempat sampah seorang diri, seperti biasa.
"Tapi jika itu keturunan dari keluarganya, bukankah itu terlalu berlebihan?" Tanya Kyungsoo, tidak menutupi dirinya dari rasa khawatir. Ia melihat Jongin beranjak dari tempat duduknya, melempar kotak jus secara asal ke tempat sampah lalu berjalan keluar kantin dengan earphone yang menempel di telinganya tanpa ekspresi apapun. Ia kembali menatap Sehun. "Kalian sudah bertetangga lama, kan? Apa kau tidak mengetahui apa pun? Maksudku, mungkin saja dia memiliki masalah dalam keluarganya?"
"Aku memang tetangganya, tapi aku bukan Ibunya!" jawab Sehun sarkastik sembari memakan daging cincangnya.
"Aku tidak bilang kau ibunya," Balas Kyungsoo. Sehun memutar bola matanya. "Hanya saja, bukankah ujian akhir semakin dekat? Saat kita semua disibukkan dengan belajar, Jongin sama sekali tidak terlihat seperti itu."
"Siapa yang tau? Dia selalu mendapat nilai sempurna di setiap ulangan tanpa kita ketahui kapan ia pernah belajar."
"Ini ujian akhir! Ini bukan permainan, Sehun!"
"Maka katakan itu padanya!" Seru Sehun, sedikit terlihat kesal akan sikap berlebihan Kyungsoo. "Kau bukan seseorang yang suka mengurusi hidup orang lain, Kyung, tapi sepertinya akhir-akhir ini kau peduli pada Jongin," Perkataan itu tiba-tiba saja menembak lurus tepat ke jantung Kyungsoo, mengejutkannya seketika. Sehun menuntut sebuah jawaban. "Iya, kan?"
"A-apa? Tidak."
"Berhenti mengelak. Kau terlihat seperti orang idiot."
Kyungsoo hampir melempar sumpitnya ke wajah Sehun jika saja Sehun tidak langsung meringis dan mengatakan bahwa ia hanya bercanda sembari memberinya sebuah kedipan kecil. Kyungsoo mendengus, menatap kesekeliling kantin untuk menyadari bahwa Jongin tidak berada disini lagi. Entah mengapa dari semua keramaian itu ia tidak merasakan sedikitpun tentang sebuah kehadiran. Ia merasakan kesendirian begitu seseorang itu pergi.
"Sehun, boleh aku minta bantuanmu?" Bisik Kyungsoo hati-hati, menatap penuh harap pada pria di hadapannya.
Sehun terdiam sebentar, membalas pertanyaan Kyungsoo hanya dengan sebuah anggukan kecil dan senyum mengetahui.
Jam pelajaran tambahan baru selesai pukul sepuluh malam. Kyungsoo berjalan keluar dari gerbang sekolah seorang diri di bawah langit mendung dan lampu jalan yang meremang dalam kegelapan. Desiran sunyi angin malam itu menyapu rambut hitamnya yang terurai sempurna di atas kening. Ia merasa lelah, begitu lelah sampai ke tulang belakangnya. Rumahnya tidak terlalu jauh dari sini, itulah alasannya mengapa ia lebih memilih berjalan kaki, melewati gang-gang sempit sebagai jalan pintas.
Satu bola lampu meledak tepat di atas Kyungsoo, menyebabkan konsleting listrik sebelum akhirnya padam sempurna. Ia spontan melindungi kepalanya dari serpihan kaca bohlam. Ia mendesah, membersihkan tubuhnya lalu kembali menyusuri jalanan yang semakin gelap. Hitam. Mencekam.
"Hey kau! Lari! Sekarang!" Jantung Kyungsoo hampir keluar dari mulutnya saat kaleng-kaleng kosong terjatuh nyaring ke tanah bersamaan dengan seseorang yang sedang berlari kearahnya, melemparkan benda apapun yang ia raih kebelakang. Tak jauh dari orang itu, Kyungsoo melihat segerombolan orang bermasker membawa balok besar di tangannya, berlari dengan bringas seolah-olah sedang mengejar mangsa mereka. "Lari!" Teriak orang itu sekali lagi, wajahnya samar dalam kegelapan.
Kyungsoo merasakan kakinya gemetar, ia hampir terjatuh tapi orang itu langsung mendekapnya, membawanya berlari dalam gang sempit di bawah lampu temaram. Ia merasakan kehangatan dalam buku-buku jari yang kasar, dan meski dalam keadaan genting sekalipun, ia merasa waktu terhenti untuk mereka, memberi suasana lain pada genggaman yang saling bertaut. Tapi Kyungsoo tersadar kemudian, ia sedang dalam masalah— sepertinya. "Kau siapa?" Tanya Kyungsoo, napasnya tersenggal karena terus berlari.
"Diam dan ikuti saja aku!" Jawab orang itu. Kyungsoo masih tidak bisa mengenalinya, malam terlalu gelap dan orang itu terlalu sibuk menoleh kebelakang, memastikan keberadaan segerombolan pria bermasker yang semakin lama semakin mendekat. "Sial!" Gumamnya. Ia mendorong tubuh Kyungsoo kedalam tumpukan barang bekas. "Tunggu disini!" Lalu menutup ruang Kyungsoo dengan sebuah drum kosong.
Tidak ada yang bagus untuk di dengar saat itu. Kyungsoo mendengar pukulan demi pukulan terjadi, kulitnya merinding saat menangkap bunyi tulang yang dipatahkan, menyengat sampai ke ulu hatinya. Rentetan makian seperti brengsek dan sialan terus berulang yang disusul dengan runtuhnya tumpuk-tumpukan botol plastik. Kyungsoo menutup telinganya, berharap semua ini akan berakhir tapi tiba-tiba seseorang menendang drum kosong yang menutupinya. "Keluar!"
Kyungsoo terdiam, seluruh tubuhnya gemetar, basah akan keringat dan ia masih memeluk lututnya erat-erat. "Ini aku, keluarlah." Ucap seseorang itu sambil mengulurkan sebelah tangannya— yang Kyungsoo genggam dengan ragu-ragu. Seseorang itu mengangkat tubuh Kyungsoo, kemeja putihnya lusuh dan ada sedikit bercak darah disana.
"K-kau tidak apa-apa?" Tanya Kyungsoo yang berakhir dengan sebuah pengabaian. Ia terkejut begitu melihat ke sekelilingnya, setidaknya ada 6 orang pria bermasker tergeletak di tanah, tengah mengerang kesakitan dan bahkan ada beberapa yang tidak sadarkan diri. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada seseorang yang tengah menggenggamnya, menuntunnya untuk kembali pulang.
Kyungsoo tidak tau mengapa langit malam menjadi seterang ini, tapi berkat itu semua, ia bisa mengenali siapa pria itu.
TBC
A/N: Hallo, aku hadir untuk FF Kaisoo pertamaku disini~ biasanya aku nulis FF straight, pengen coba nulis FF yaoi karena selama ini cuma jadi penikmat aja xD jadi gimana menurut kalian? Kalau misalnya responnya bagus aku bakal lanjut FF ini tapi kalau misalnya gaada yasudah~ stuck disini aja kali ya wkwkwkwk terima kasih untuk ga jadi seorang silent reader. Review sangat diharapkan! Trims. ^^
