Disclaimer: VOCALOID isn't mine.
Warning: unmainstream-pairing, (maybe) alur cepet, dll.
FOR MINOR CHARA PARADISE!
HOPE YOU LIKE IT!
Raja langit bersiap-siap untuk menenggelamkan diri di antara ribuan awan. Rona oranye tampak menyebar di mana-mana dengan anggun─seolah-olah mentari ingin terlihat indah sebelum ia terkunci dalam kegelapan.
Angin silih berganti datang menghampiri. Melewati lubang telinga dengan desiran halus, mengusap helai demi helai rambut hingga berantakan, dan menyentuh seluruh permukaan kulit dengan lembut. Aku memeluk kedua kaki seraya memusatkan atensi pada sunset, seperti yang dilakukan oleh seorang gadis manis yang berada di sampingku.
Sedari tadi, kami tidak membuka konversasi. Hening memenuhi atmosfer di sekeliling kami. Aku cukup ragu untuk memecahkan sunyi karena aku takut kalimat yang aku ucapkan melukai hatinya, sementara gadis itu tampak… malu-malu? Entahlah, yang jelas pipinya terlihat memerah.
Diam-diam, aku melirik gadis cantik tersebut. Surai cokelat yang terguyur siraman cahaya matahari, kedua pasang manik cokelat madu yang jernih, serta kulit putih yang tampak halus. Fitur-fitur wajah tersebut diatur-Nya dengan sangat baik. Tidak dapat aku pungkiri bahwa aku mengaguminya. Ia benar-benar mempesona di mataku.
Faktanya, tujuanku mengajak dia untuk menikmati sunset karena aku ingin mengadakan konfesi cintaku. Tetapi hingga kini, tidak ada satupun kalimat yang aku luncurkan. Entah mengapa, lidahku terlalu kelu untuk mengatakan sesuatu─walau hanya sekadar basa-basi.
Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu. Aku suka matanya yang jernih, senyumnya yang lembut, kepribadiannya yang tenang, dan banyak lagi. Dibanding dengan sejumlah gadis-gadis di sekolahku, dialah yang sempurna bagiku.
Namun di samping semua itu, aku merasa diriku tidak pantas bersanding dengan dia yang seanggun bidadari. Bagiku, dia pantas bersanding dengan seorang Shion Kaito, idola mayoritas gadis-gadis di sekolah. Karena itulah, aku ragu untuk mengucapkan konfesi cinta─meski dari dasar hati aku menjerit, meminta sebuah keberanian.
"SeeWoo,"
Suara lembut miliknya menyebut namaku. Membuyarkan lamunanku hingga aku tersadar. Dengan perlahan, aku menoleh.
"Ada apa?" tanyaku sambil berusaha bersikap normal.
"Etto…" dia menggantungkan kalimat, tampak ragu-ragu untuk melanjutkan perkataannya. Sedetik kemudian, ia membuka mulut, "Kenapa kamu mengajakku kemari? Bukankah masih banyak orang lain yang dapat kamu ajak?"
Aku terkesiap mendengarnya. Ada rasa sakit yang mulai menghujam jiwa ketika dia mengatakan 'bukankah masih banyak orang lain yang dapat kamu ajak?'. Tetapi aku berusaha mati-matian untuk mengabaikan perih yang mengalir.
"Gomen nasai, sepertinya ucapanku tadi terdengar menyakitkan…" ia menunduk dengan raut menyesal, seolah-olah ia telah mengetahui ada sebuah luka yang menyayat hatiku.
"Tidak apa-apa, Kokone," dustaku. Mendengar perkataan dustaku, dia segera mengangkat kepala dan menatapku.
"Benarkah?"
Aku hanya mengangguk singkat, "Ya," jawabku. Dia tersenyum lega, tanpa terlihat kecurigaan dalam air mukanya.
Kami kembali memandang langit. Kesunyian kembali menghampiri. Tampaknya, Kokone tidak memaksakan diriku untuk menjawab pertanyaannya, sehingga ia tidak mengacuhkan hal tersebut.
Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak. Aku telah membohongi dia. Aku juga telah mengabaikan pertanyaannya. Aku merasa, aku orang yang sangat egois. Karena itu, aku menghela nafas─bersiap-siap untuk jujur padanya.
"Kokone.." panggilku sambil menatap wajahnya.
"Ya?" responnya tanpa melepaskan tatapan dari sunset yang memenuhi pandangannya.
"Tujuanku untuk mengajakmu kemari.. adalah.." aku sengaja menggantungkan kalimat. Rasa takut lambat laun merasuki celah-celah sanubari.
Sementara itu, Kokone melepaskan pandangannya dan beralih padaku dengan tatapan heran, "Adalah?" ulangnya. Namun, tatapan herannya tersebut membuatku semakin sukar untuk mengatakan haluanku. Kini, aku merasa wajahku memanas.
"A-a-a-adalah…" aku mencoba untuk menyembunyikan rasa gugup, tetapi mengapa? Mengapa kali ini aku gagal menutupi rasa gugupku?
"K-karena aku… ingin… m-me-mengatakan bahwa…"
Kokone diam tanpa menanggapi. Ketakutanku untuk ditolak semakin membesar.
Cukup. Cukup sudah ketakutan mendatangiku! Aku segera membulatkan tekadku, seraya memejamkan mata serapat-rapatnya. Mulutku terbuka perlahan, mengucapkan suatu kalimat yang begitu sulit aku ucapkan pada gadis impianku; Kokone.
"DAISUKI DAYO, KOKONE!" teriakku. Perasaanku kini bercampur-aduk. Di satu sisi, aku merasa senang dan lega bisa mengutarakan cintaku, di sisi lain aku merasa takut ditolak.
"Eh?" respon Kokone. Aku yakin, ia akan menolakku mentah-mentah.
Merasa ada suatu keganjilan, aku segera membuka kedua mataku─setelah berkutat dengan phospene yang membosankan bagiku. Kemudian, aku membenturkan pandangan ke arah gadis yang sudah lama aku cintai dan kagumi ini.
Kokone menunduk, tampaknya sedang berusaha untuk mengusir rona merah yang menghiasi wajah cantik yang ia miliki. Meski begitu, warna merah tomat tersebut masih dapat kulihat.
"S-SeeWoo…" ia memanggilku dengan malu-malu.
"Ya?" aku membalas panggilannya dengan cepat. Berharap ia akan melontarkan sebuah jawaban yang aku harapan.
"A-aku… j-j-juga… d-da-i-su-suki, SeeWoo-kun!"
Aku tak percaya mendengarnya. Kokone juga memiliki perasaan khusus untukku! Ditambah lagi, ia memanggilku dengan sufiks '-kun'.
Aku tersenyum lebar. Tanpa aba-aba, aku mendekap tubuh gadis yang sudah lama aku dambakan ini.
"Arigatou, Kokone-chan…"
Di bawah naungan sunset, kami telah memberitahu perasaan kami terhadap satu sama lain. Ada rasa lega yang membekas, di hati kecil kami.
END
Hai minna-san! *lambaikan tangan* ini fic ku dengan sudut pandang pria yang pertama! Heheh, jadi dimaklumin ya kalo jelek :3
Tunggu, alurnya cepet gak? Kalo iya, gomenasaaaiii! *bungkuk*
Saya harap, kalian semua akan mereview dan memfavoritekan fic … *bungkuk" lagi*
