[Hunhan FanFiction]
Genre: Romance; Fluff – Yaoi
Rating: T-M (for mature scenes in upcoming chapters)
Warning: Yaoi ; MPreg ; Boys Love ; Typos
.
a/n : sebenernya ini sudah ada di draft saya entah sejak kapan…mungkin setahun atau lebih, tapi karena sayang jugakalo ga di publish, akhirnya yaudah diselesein aja ch.1 nya.. I don't think yall still remember me tho… but happy reading I guess! Baca nya pelan-pelan ya mentemen wkwk.
And plase do leave feedbacks/reviews
HAPPY READING!
.
.
SOMETHING FROM THE PAST
Chapter 1 [First Chapter]
.
.
.
Tubuhnya bergetar. Sesuatu dalam badannya terus berdentum dan menyebarkan panas ke sekujur tubuhnya. Jari-jari nya terus ia mainkan tidak tenang. Keringat dingin bahkan bisa ia rasakan mulai bermunculan di dahi dan dadanya. Aku tidak percaya hari ini akan datang. Batinnya tersiksa.
Lobby gedung itu sangat luas dan megah. Ada beberapa kali suara ketukan sepatu yang bertemu dengan lantai abu-abu marmer memekak telinga lelaki itu. Seakan mengoloknya dengan keadaannya sekarang. Jika bukan karena pria jangkung baik hati bernama Chanyeol tadi yang memperbolehkannya bertemu dengan atasan pria itu, mungkin ia sudah ditendang keluar 10 menit lalu.
Luhan akan bertemu lelaki dari masa lalunya.
Dan Luhan, ia tidak kuasa. Tidak dengan fakta ini akan menjadi pertemuan pertama mereka setelah 4 tahun berpisah. Not mentioning dengan tujuan Luhan yang sangat tidak biasa.
Ia ingin meminta tolong. Pagi tadi keputusannya sudah bulat. Ini adalah cara terakhir Luhan untuk menyelamatkan pria kecil kesayangannya yang sakit.
Ketukan stiletto menggema mendekatinya. Kepalanya ia dongakkan dan ia bertemu dengan seorang wanita berambut sebahu dengan dandanan sangat rapi khas kantoran. Luhan membungkuk sedikit, begitu juga dengan wanita itu.
"Mari saya antar ke ruangan direktur. Ia akan tiba di ruangannya 10 menit lagi," ujar wanita itu halus dan sopan.
"Terima kasih," lirih Luhan kemudian.
Perjalanan dari lobby ke lantai 10 di gedung itu terasa begitu cepat, Luhan masih berkutat dengan kalimat apa yang akan ia ucapkan nanti ketika ia bertemu dengannya. Luhan kemudian sudah berada di depan sebuah pintu mahoni besar nan gagah yang Luhan taksir harganya pasti lebih mahal dari jumlah tabungannya di bank dikalikan dua.
Ketika pintu itu dibukakan oleh wanita itu, Luhan disambut oleh sebuah ruangan yang lebih megah, berdindingkan kaca di sisi kanannya. Luhan digiring masuk dan ia didudukkan di sebuah sofa impor mahal.
"Tuan direktur akan tiba sebentar lagi. Saya akan berada di meja sekretaris di luar. Permisi," ujar wanita itu dengan sopan untuk terakhir kalinya sebelum menghilang di pintu mahoni besar tadi.
Luhan hanyut dalam pikirannya. Ia begitu panik. Bagaimana ia akan menghadapi lelaki itu sendirian sekarang? Dada nya berdenyut sakit dan kepalanya tiba-tiba terasa pening. Seluruh kalimat yang telah ia susun bahkan jauh sebelum ia tiba di gedung itu tiba-tiba menghilang. Tubuhnya melemas.
Belum selesai Luhan menenangkan dirinya, suara gagang pintu yang dibuka membuat Luhan merasa bahwa ia sedang dikubur hidup-hidup disana. Begitu sesak.
"Luhan," ucap lelaki itu di belakang Luhan. Bahkan Luhan tidak memiliki cukup keberanian untuk berdiri menyambut pria itu dengan pantas. Ia tetap membeku di tempatnya.
Ketika lelaki itu hadir di pandangannya, Luhan makin kalut. Pria itu masih sama seperti yang ingat. Begitu gagah dan setiap pori-pori pria itu mengeluarkan aura dominan yang membuat lutut Luhan kehilangan kemampuan untuk menopang dirinya.
"Tuan Oh," cicitnya. Hatinya tidak cukup kuat untuk mengatakan nama depan pria itu. Nama yang sering ia ucapkan dengan sayang maupun meneriakannya putus asa.
Lelaki yang merasa namanya disebut mengernyit. Rasanya begitu aneh ketika ia mendengar lelaki mungil didepannya ini memanggil dengan honorific dan nama marganya, bukannya nama depannya. Seperti bagaimana ia selalu memanggilnya setiap hari dahulu.
"Aku disini untuk meminta bantuanmu, Tuan,"
Telinganya tidak menyampaikan sinyal yang salah pada otaknya bukan? Apa ia baru saja mendengar pria mungil ini memanggilnya dengan sebutan 'Tuan'? Apa ia adalah benar Luhan yang dulu? Sehun tidak bisa memungkirinya, ia terkejut, dibuktikan dengan matanya yang melebar namun ia dapat mengendalikannya dalam sekejab. Wajahnya kembali menjadi stoic dan tak terbaca. Mata rusa milik Luhan yang kali itu tidak bersinar seperti yang Sehun ingat dahulu bahkan melewatkan raut ekspresi terkejut pria itu.
"Katakan, berapa nominal yang kau inginkan dariku?"
Dengan mudahnya kalimat itu meluncur dari mulut Sehun. Begitu dingin dan menusuk. Tubuh Luhan bahkan menegang hanya dengan mendengarnya. Ia menghembuskan nafas yang tanpa sadar ia tahan lalu berusaha untuk kembali tenang. Ia seharusnya paham Sehun yang ada di hadapannya bukanlah Sehun yang pernah singgah dalam hidupnya.
"Aku tidak memerlukan uangmu, Tuan. Aku ingin memohon kebaikan hatimu untuk mendonorkan darahmu," ada jeda sebentar karena tenggorokan Luhan rasanya dicekik untuk mengatakan kata selanjutnya, "…anakku yang sedang sakit membutuhkannya."
Sehun rasa ia memiliki gangguan dengan telinganya. Seorang anak? Bagaimana?
"Bagaimana?"
Ada keheningan yang mencekik mereka berdua selama beberapa saat. Luhan menarik nafas dan mencoba merangkai kata-kata terbaik dalam kepalanya "Iya…aku…memiliki seorang anak,"
Sehun yakin ia tidak salah dengar namun otaknya masih menolak untuk percaya. Lalu kesadaran menghampirinya. Bodoh! Terakhir kali ia melihat pria mungil itu adalah 4 tahun lalu . Banyak sekali hal yang bisa terjadi dalam kurun waktu selama itu. Entah mengapa pikiran bahwa Luhan memiliki seorang suami atau istri benar benar mengganggu Sehun. Lalu untuk apa pria itu repot-repot menghampirinya? Sehun memikirkan alas an terlogis mengapa Luhan menghampirinya lagi setelah sekian lama.
Pria itu pasti sedang mengemis untuk diberi uang seperti sedia kala dengan berkedok bahwa ia membutuhkan donor darah.
Sehun berdecih, cukup keras sehingga membuat Luhan yang awalnya tertunduk, menegakkan kepalanya. "Jika kau kesini untuk mengemis padaku, katakan secara langsung, tidak perlu membuat alas an bahwa anakmu –itu pun jika kau benar benar memilikinya – membutuhkan donor darahku. Itu tidak masuk akal. Kau tidak bisa menipuku, aku memiliki golongan darah yang langka." Sehun menarik lembaran uang 10 ribuan won dari dompetnya, lalu melemparnya ke wajah Luhan. Tidak memberikan waktu untuk Luhan menjawabnya.
Lembaran uang itu jatuh di lantai marmer hitam yang begitu mengilat sarat akan kemewahan. Sehun menyadari ada hal lain yang jatuh disana. Air mata Luhan.
"AB negatif." Ucap Luhan tetap dengan kepala tertunduk.
Sehun tertegun. Bagaimana Luhan bisa tahu?
"Golongan darahnya adalah AB negatif. Karena itulah ia membutuhkanmu." Suara Luhan bergetar dan entah mengapa sesuatu dalam Sehun seperti diremas oleh tangan tak kasat mata. Dengan menarik nafas, ia melanjutkan. "Kemarin anakku kecelakaan dan kehilangan banyak darah. Rumah sakit tidak memiliki stok darah langka itu ketika ia membutuhkannya paling lambat sampai siang esok hari."
Sehun tertegun. Kepalanya tiba-tiba mendadak sakit. Apa ini? Jadi Luhan benar-benar memiliki anak? Bagaimana mungkin anak Luhan secara kebetulan–atau tidak – memiliki golongan darah yang sama dengannya yang sangat langka itu?
Does that make Luhan's child is also his?
Pria itu menolak percaya. Sehun pernah bersumpah bahwa ia tidak akan memercayai siapapun. Termasuk Luhan. Salah satu orang yang membuatnya bersumpah seperti itu.
Sehun membuang nafas lelah, ia memijit nose-bridgenya "Aku tidak memiliki waktu untuk ini Luhan. Ambillah uang itu dan pergilah."
Luhan mendongak padanya dan Sehun bisa melihat bagaimana mata rusa Luhan yang pernah ia puja dahulu itu memerah dan kentara sekali jejak air mata yang meleleh di pipinya. Sehun tiba-tiba menyesali apapun yang telah ia katakana pada pria malang dihadapannya.
"Severance Hospital. Ruang 4.30." Luhan berusaha menelan isakannya dan menahan air matanya yang tidak ia sadari sudah berkumpul di kelopak matanya, lalu ia melanjutkan,
"Kumohon,"akhirnya isakan pria mungil itu pecah juga. Keputusasaan dalam suara lirihnya tergambar jelas.
What have I done? Batin Sehun. Pikirannya kalut oleh berbagai macam kemungkinan yang membuatnya sesak.
"Haowen membutuhkanmu." Ucap Luhan bahkan semakin lirih. Haowen? Ini adalah pertama kali Sehun mendengar nama itu dalam hidupnya. Namun dampaknya begitu mengerikan, Sehun merasakan keringat dingin yang muncul dari dadanya dan darah dalam tubuhnya berdesir ribut.
Luhan lalu membungkukkan badannya di depannya lama-lama. "Kuharap kau mengubah pikiranmu. Terima kasih, Tuan."
Pria mungil itu kemudian menegakkan badannya lalu berbalik dan Sehun bersumpah bahwa ia melihat setetes air mata yang kembali meleleh di pipi pucat Luhan sebelum akhirnya pria itu menghilang di balik pintu mahoni ruangannya.
Siapa…Haowen?
.
.
.
Sehun menemukan dirinya di sebuah lorong rumah sakit malam itu. Ia terlihat begitu berantakan dengan rambut yang tak tertata serta kemeja nya yang mulai kusut karena tak ia ganti. Lagipula ia tidak mempunyai pikiran untuk menggantinya. Karena yang ada di kepalanya sejak tadi siang adalah Luhan dan nama yang baru ia dengar hari ini namun dampaknya sungguh besar padanya, Haowen.
Di ujung lorong itu, ia bisa melihat papan yang menggantung di atas pintu di pojok sana yang bertuliskan 4.30. Di depannya ada sebuah kursi dan ia dapat melihat ada seorang pria yang ia kenali bukan Luhan.
Sehun berjalan mendekat. Lalu pria itu mendongak padanya. Tubuhnya hampir sama mungilnya dengan Luhan.
Pria itu melihat Sehun dari bawah dan ketika berhenti di wajahnya Sehun dapat melihat dari raut wajahnya bahwa ia begitu terkejut, "Apa kau Oh Sehun?" tanyanya dengan cepat. Sehun terlalu lelah untuk bertanya bagaimana ia bisa tahu namanya, sehingga ia hanya mengangguk.
"Oh astaga, akan kupanggilkan Luhan. Ia di dalam menjaga Hao."
Hao?
Pria itu masuk ke dalam ruangan itu dan keluarlah Luhan. Wajahnya berbeda. Sehun melihatnya dari matanya seolah ia memiliki sedikit harapan sekarang.
Luhan meneteskan air matanya ketika ia melihat Sehun. Namun ia tidak berusaha untuk menyembunyikannya sekarang
"Syukurlah, Tuan, kau datang…kau benar benar datang" ucapnya. Ia terdengar lebih hidup daripada Luhan yang ia lihat beberapa jam lalu.
"Cukup Sehun saja, Luhan." Koreksinya. "Aku berubah pikiran. Aku ingin mendonorkan darahku untuk anakmu. Maafkann tingkahku tadi siang yang kasar padamu. Aku menyesal."
"Tidak apa-apa, yang penting kau sudah disini dan aku sangat bersyukur. " ucapnya dengan tersenyum. Luhan terlihat berpikir sebentar lalu ia terlihat berbisik pada pria mungil yang tadi. Sehun tidak ambil pusing.
Luhan menggaruk pipinya, "masuklah.."
Luhan membimbing Sehun masuk. Sehun dapat melihat ada tubuh mungil yang terbaring di ranjang itu dengan beberapa perban di kaki dan telapak tangannya tapi Sehun tidak bisa melihat wajahnya karena tubuh Luhan yang menutupinya.
Entah mengapa Sehun merasakan jantungnya tiba tiba berdetak dengan lebih cepat. Apa ini?
"Sayang, bangunlah, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu," ucap Luhan dengan lembut pada anak itu.
PuLuhan detik berlalu dan Sehun masih saja membeku di tempatnya menunggu Luhan membangunkan anak itu. Ia rasa tubuhnya saat itu tidak mampu melakukan apapun entah mengapa.
Lalu sehun mendengarnya. Suaranya begitu lirih "eung…siapa, Mama?"
Mama?
Sehun mengantisipasi namun ia begitu takut dan tidak berani. Sehun merasa tubuhnya mulai memanas karena mengantisipasi sesuatu yang bahkan Sehun tidak tahu apa.
Ketika tubuh Luhan bergeser dan memberi akses untuk Sehun agar bisa melihat wajah anak itu, Sehun bersumpah jantungnya berhenti berdetak untuk saat itu dan lututnya melemas. Hampir menyerah untuk menopang tubuhnya.
Wajah anak itu…..begitu mirip dengannya.
Mulai dari mata hingga bibirnya, Sehun dapat melihat dirinya dalam diri anak itu. Seolah anak itu adalah duplikat, versi mini dari seorang Oh Sehun.
Sehun terperangah.
Bagaimana wajah bocah yang sedang terbaring itu begitu mirip dengannya. Demi tuhan dan semestanya, ia bahkan dapat melihat kilat yang sama seperti ketika ia bercermin di mata anak itu.
Tidak berhenti hanya di mata, bahkan hidung bangir dan bibir penuh miliknya pun ia temukan pada wajah anak itu.
Bagaimana bisa?
Sehun menolehkan kepalanya pada Luhan yang ternyata juga sedang memperhatikannya. Sehun dengan jelas dapat melihat mata Luhan yang memerah dan air mata yang masih saja membasahi pipinya.
"Paman..siapa?"
Suara bocah itu terdengar lagi memecah keheningan dan pertama kali dalam hidup Sehun, ia merasa linglung. Suaranya begitu lirih di ruangan itu namun Sehun dapat mendengarnya sama seperti ia meneriakkannya di depan wajahnya.
"Haowen, ia paman Oh Sehun yang akan mendonorkan darahnya untukmu," Luhan memotong dan Sehun merasa ia perlu berterimakasih padanya nanti karena honestly lidahnya masih saja kelu untuk memulai percakapan dengan anak itu.
Haowen mengangguk lemah sebelum matanya bergerak mencari sesuatu dan berhenti di Luhan kemudian Luhan segera mendekat pada pria kecil itu lalu ia berbisik kepada ibunya, "Haowen sangat lelah, Ma." Pendengaran Sehun cukup tajam untuk menangkap suara lirih anak itu. Entah mengapa dadanya berdenyut sakit.
"Haowen istirahatlah, Mama akan keluar sebentar, okay? Paman Baekhyun akan berada disini," Sehun melihat Haowen mengangguk kecil lalu menutup matanya dan Luhan mengecup dahinya sayang.
Luhan mengisyaratkan Baekhyun untuk masuk sementara mereka berdua keluar. Keduanya berjalan pelan beriringan menuju sebuah bangku taman di luar.
Pikiran Sehun begitu kalut. Begitu banyak informasi yang masuk dalam kepalanya dan entah mengapa otaknya begitu sulit untuk mengurai informasi tersebut padahal ia adalah seorang pebisnis jenius dengan ide dan solusi luar biasa.
Ia tidak pernah merasa sedungu ini.
"Sehun?" bisik Luhan pelan. Sehun mendongakkan kepalanya pada Luhan. Wajah Luhan begitu teduh, hingga ia menemukan dirinya yang sedang panik mulai tenang.
Sehun menarik nafas, "Apakah Haowen adalah," Sehun menjeda, tidak yakin atas apa yang akan ia katakan, "seperti yang aku pikirkan?"
Lelaki yang lebih mungil menundukkan kepalanya, lidahnya kelu tapi akal sehatnya mengatakan bahwa bagaimanapun Sehun berhak tahu. "Maafkan karena membuatmu begitu terkejut. Tapi, pikiranmu benar."
Sehun terdiam.
Luhan menarik nafas, "Ia adalah darah dagingmu."
.
.
.
Tbc
a/n : kalo mau dilanjutin please kindly review yaa mentemen~ share your thoughts with me! saran kelanjutan cerita juga boleh kwkwk and thankss 3
