Disclaimer:
Naruto belongs to Mashasi Kishimoto
We, and It's Meaning belongs to me
Warning: AU, OOC, Typo, Friendship, Romance (just a little bit, maybe), Bad diction, etc.
.
.
Author's Note: Anyeooong… ^o^/ saya datang lagi dengan fic baru nihhh… *rusuh*
Kali ini saya bawa fic ber-genre Friendship (yang mudah-mudahan kerasa yah). Gak seperti fic-fic saya yang sebelumnya yang kental dengan Romance (senyam-senyum sendiri) *apaa'an-abaikan* semoga fic ini bisa membuat kita merenungi betapa bahagianya memiliki sahabat, dan bisa membuat kita sadar tentang pengorbanan yang dilakukan sahabat kita, yang bahkan mungkin tanpa sepengetahuan kita.. (jadi ingat sahabat-sahabatku, love you guys :*)
Fic ini tidak bercerita tentang kehidupan siapapun, dan tanpa unsur paksaan dari pihak manapun, semua kisah dan adegan dalam fic ini murni hasil imajinasi otak saya yang udah korslet sejak mimpi ketemu Akang Sasyuuuuuu.. (Sasuke-kun sweatdrop liat kesarapan author)
Ehem, ehem..Dengan sangat bangga, saya persembahkan fic ini sebagai hadiah untuk teman saya yang sedang berulang tahun hari ini (27 mei 2012), apa boleh saya menyebutkan namanya di sini? (naik turunin alis, Tuing! Tuing!)
Kayaknya, gak usah deh sebutin kalo fic ini buat "Annisa Djarullah Putri".. ^^'a (author sarap)
Selamat ulang tahun Nisss… Happy sweet seventeen… :* semoga makin cantik, pintar, dewasa and makin sayang sama akyuuuuuu.. :*
Fic ini juga untuk keluarga kecilku yang lain, Tiaz, Opy, Yuni, Rara, Ririn…. Once again, I love you guys… :* :*
Dan lebih khusus lagi Fic ini saya persembahakan buat semua readers dan sahabat-sahabatnya… ^^
Ok, kayaknya author udah kelewat banyak nih ngebacotnya, langsung ajaaa..
Don't Like? Don't Go Anywhere! Stay here, and read this Fic.. :D
Well..
Happy reading Minna… ^O^
.
.
We, and It's Meaning
~Care, Understand and Love~
.
.
#Hinata's POV
Aku membiarkan saja angin sore ini mengacak-acak rambut indigo-ku. Walaupun aku sangat menikmati sejuk yang dibawanya, yah setidaknya angin ini bisa menenangkan perasaanku yang saat ini bisa dibilang kacau. Bisa ku rasakan bibirku menyunggingkan senyum tipis, senyum yang ku tahu berusaha ku tunjukan di balik kepiluan jiwaku.
Akh! seharusnya aku menangis.
Tapi, butir-butir bening itu rasanya sudah mengering dan enggan mengalir lagi dari mataku. mungkin karena aku sudah terlalu sering menangis, entahlah.
Langit yang sejak tadi ku tatap, kini beranjak men-jingga-kan seluruh permukaannya. Petang sudah menjelang. Tak terasa sudah hampir dua jam aku hanya duduk termenung di sini, di bukit kecil di dekat sekolahku.
Apakah berlebihan jika aku berharap ada seseorang yang akan datang menjemputku? aku selalu berharap itu ayah atau ibuku. Mungkin bagi orang lain itu wajar saja, tapi bagiku ,tidak. Bagaimana harus ku katakan? Akupun tidak mengerti dengan keluargaku. Yah setidaknya aku masih menganggapnya begitu, entahlah. Sekarang saja aku berpikir mungkin akan menginap di rumah salah satu temanku untuk malam ini, syukurlah aku masih memiliki mereka. Jika tidak, entah akan bagaimana aku.
Aku pastikan aku tak akan punya keberanian atau mungkin kemauan—atau apapun itu namanya untuk kembali ke rumahku dalam waktu dekat ini, setelah apa yang beberapa jam yang lalu terjadi di sana..
Sekali lagi. Akh! seharusnya aku menangis.
Flash back
Aku mengayuh sepedaku lebih cepat ketika kurasakan suhu udara semakin menusuk tulang. Tinggal beberapa ratus meter lagi aku akan sampai di rumahku, rasanya ingin sekali segera sampai dan membenamkan diri di bawah selimutku yang hangat. Oh, iya, dan tentu saja, karena hari ini ayahku akan pulang dari luar kota.
Namun, kayuhanku memelan ketika seseorang memanggil namaku.
"Hinata!" suara itu, tidak salah lagi, itu dia. Aku menoleh. Ku lihat ia mensejajarkan laju sepedanya denganku.
"Sasuke-kun," aku tersenyum tipis.
"Kenapa terburu-buru?"
"Hari ini ayahku akan pulang," senyumku sedikit melebar.
"Kau begitu senang karena ayahmu pulang?" ia menaikkan sebelah alisnya.
Senyumku berubah menjadi senyum masam, dan ku fokuskan pandanganku—atau tepatnya hanya pura-pura memfokuskannya ke jalan yang tengah ku lalui, tanpa berniat menjawab pertanyaannya.
"Kenapa?" ku dengar dia bertanya lagi.
Aku masih belum menatapnya, ku tarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Ada suatu perasaan yang mirip kesedihan yang tiba-tiba muncul di hatiku, dan aku berusaha menghilangkannya. Katanya senyum adalah topeng yang paling bagus, ya setidaknya untuk menyembunyikan perasaan itu dari orang lain.
Aku akhirnya menghadap ke Sasuke, kemudian memasang topengku. "Tidak apa-apa."
Ia tampak tidak puas dengan jawabanku, tapi tidak juga berniat mengintrogasi lebih jauh.
"Aku sudah sampai," kataku ketika berada di depan sebuah rumah dengan gaya Jepang-Eropa yang bisa dibilang megah yang sangat familiar buatku.
"Sampai jumpa!" katanya kemudian kembali mengayuh sepedanya.
Aku tidak menunggu sepedanya menjauh dan langsung memasuki rumahku dengan senyum yang tersungging di wajahku. "Tadaima!" aku sangat senang setiap kali ayahku pulang dari perjalanan bisnisnya.
Tapi tidak terdengar jawaban apapun dari dalam rumah. Setelah melepas sepatuku dan menggantinya dengan sandal rumah, aku melangkah semakin dalam, "Tadaima.. otou-san? Out-san dimana?". Lagi-lagi tidak ada jawaban. Bahkan suara Hanabi yang biasanya ramai menyambutku jika pulang sekolahpun tak terdengar. Kemana semua orang? Dan apakah ayah belum tiba?
Aku melangkah ke kamar ayahku, "Aku capek," terdengar suara ayah dari dalam sana. Ternyata ayah sudah pulang. Saking senangnya, aku hampir saja membuka pintu kamar itu dan menghambur ke pelukan ayah, karena aku sudah sangat merindukannya.
"Jangan menghindar!" Tapi niatku terhenti ketika terdengar suara ibu tiriku. Oh, apakah aku belum bilang? Dia adalah wanita yang dinikahi oleh ayahku beberapa tahun setelah ibu kandungku meninggal.
"Kau harus menjelaskan padaku!" suara ibu tiriku terdengar lagi.
Menjelaskan? Apa yang sedag mereka bahas? Aku kembali menajamkan pendegaranku, ku tempelkan telingaku ke pintu kamar bercat putih itu.
Ayahku tidak menjawab, terdengar ia hanya menghela napas lelah. Ayah memang orang yang jarang berbicara, tapi dia bukan orang yang akan menghindari percakapan. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Prangg!" aku nyaris terlonjat ketika tiba-tiba terdengar sesuatu yang terbuat dari kaca dilemparkan ke lantai dengan sangat keras. Mungkinkah ibu tiriku yang melakukannya? Ia memang memiliki tempramen yang buruk, ehm maksudku, sifatnya tidak begitu baik, terutama padaku, ah, sudahlah! Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Sekarang, aku harus tahu ada apa sebenarnya antara ayah dan ibu tiriku itu. Walapun aku ingin sekali masuk tapi ku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk itu, akhirnya aku memutuskan tetap menunggu di luar dan mendengarkan.
Suara ibu tiriku terdengar lagi, kini sepertinya dia sedang menangis, "Katakan sejujurnya siapa wanita itu?"
Wanita? Wanita siapa?
"Sudah ku bilang dia bukan siapa-siapa!" bahkan suara ayah kini meninggi.
"Bohooong! Kau pembohong, dia simpananmu kan? Oh.. atau jangan-jangan dia sudah jadi istrimu?"
"Hhh…haahhhh. ya, dia istriku." Suara ayah terdengar santai mengatakannya.
"Brengsek! Kau laki-laki brengsek!"
"Tou-san? Be-benarkah apa yang ku dengar?" aku sudah tidak tahan lagi, aku membuka pintu kamar ayah, dan kulihat wajahnya begitu terkejut melihatku.
"Hinata?"
Dan apakah itu ekspresi ketakutan?
Tanpa sadar air mataku mengalir menuruni pipiku, ku gigit bibir bawahku yang bergetar. Ku rasakan semua perasaan bercampur di benakku, perasaan marah, kecewa, sedih.
"Hinata, dengarkan tuo-san!" Ku lihat ayah berusaha mendekat padaku. Tapi setiap satu langkahnya yang mendekat, aku akan mundur satu langkah untuk menjauh. Aku menggelengkan kepalaku, tidak dapat ku percaya, ayah yang selama ini menjadi orang yang paling ku banggakan, bisa berbuat seperti ini. Satu-satunya laki-laki yang bisa menjadi penyemangatku ketika aku merasa sedih ternyata orang seperti ini. Mengapa ayahku? Ayah yang sangat ku sayang..
Entah kenapa udara di rumah ini seketika membuatku sesak, aku berlari keluar pintu rumahku, aku terus berlari tanpa kutahu kemana arahku. Air mataku belum kunjung berhenti mengalir. Setelah cukup jauh dari rumah, aku sadar ternyata aku hanya memakai sandal rumahku. Aku lupa memakai sepatuku. Aku kembali menangis, entah karena apa kali ini. Dan selanjutnya ku rasakan kakiku hanya terus berjalan, saat sadar aku sudah berada di sini, di bukit dekat sekolahku. Beruntung aku tidak nyasar ke tempat yang aneh-aneh.
Flash Back End
Walaupun langit tampak mulai gelap, tapi belum ada niatku untuk beranjak dari sini. Entah kenapa aku masih mengharapkan ada seseorang yang datang menjemputku.
"Sampai kapan kau akan duduk di sana? Hari sudah malam, Hinata."
Sasuke? Aku menoleh. Walaupun tipis, tanpa sadar aku tersenyum ketika ku dapati pemilik suara itu memang Sasuke. Ia tengah berdiri bersandar pada sebatang pohon. Sepedanya juga tampak terparkir di sana.
Ia kemudian berjalan mendekat dan duduk di atas rerumputan di sampingku. "Apa yang kau lakukan di sini? Dan sendirian? Dengan sandal rumah?" katanya meneliti penampilanku, terutama alas kakiku yang memang masih memakai sandal rumah.
"Hanya merenung, sambil menikmati matahari terbenam," aku tersenyum, dalam hati menertawai penampilanku dan alasanku.
"Kau menangis." entah itu pertanyaan atau pernyataan, ia menatap dalam-dalam ke wajahku.
Aku bersumpah, tidak ada setetes air matapun yang kini mengalir di wajahku.
"Apa aku terlihat sedang menangis? Aku bahkan tidak mengeluarkan air mata setetespun," aku tertawa hambar lalu menunduk.
"Hanya meneteskan satu atau dua tetes air mata bukan berarti menangis."
Aku menoleh ke arahnya. Tidak lama, setelahnya aku kembali menunduk. Rasanya sekarang aku malah ingin menangis. Jujur saja. Dan ternyata benar, ku rasakan pipiku mulai basah oleh air mataku.
"Padahal, aku pikir air mataku sudah kering. Ini salahmu, aku menangis lagi karenamu, Sasuke-kun!"
Kurasakan dia kemudian mengacak puncak kepalaku. Aku mendongak, melihat ke arahnya.
"Jelek." ucapnya datar.
Anehnya aku malah tersenyum mendengar ejekannya.
"Ayo, pulang!" ia menarik lenganku.
Aku menahan pergerakannya yang hendak bangun dari posisi duduknya. Aku menggeleng. Dia terlihat menaikan kedua alisnya.
"Aku mau pulang ke rumah Sakura-chan, bisa kah kau mengantarkanku ke sana?"
"Terserah."
Aku tersenyum, kemudian mengikuti langkahnya yang sudah lebih dahulu berjalan menuju sepedanya.
Dan dilatarbelakangi cahaya sunset yang hampir menghilang, kami melaju meninggalkan bukit itu. Aku menyandarkan kepalaku di punggungnya. Entah kenapa, aku merasakan perasaanku sedikit lebih tenang. Yah setidaknya untuk sementara waktu.
#Normal POV
Hinata dan Sasuke akhirnya sampai di depan rumah Sakura, rumah bergaya minimalis dengan perpaduan wanra soft pink dan putih.
Hinata lalu turun dari boncengan Sasuke.
"Kau sepertinya sudah tidak sedih lagi?" katanya setelah melihat senyum Hinata.
"Hm, mungkin. Tapi yang jelas aku tidak mau membuat Sakura-chan khawatir."
"Oh, lagi-lagi topeng" jujur saja, itu terdengar sangat dingin. Tapi Hinata tampaknya sudah biasa dengan nada-nada seperti itu, jadi dia tidak ambil hati, malah gadis itu kini tersenyum. Yang entah senyum apa kali ini.
"Sudah kubilang, aku hanya tidak ingin Sakura-chan khawatir."
Sasuke kemudian menatap penampilan Hinata, sudah dua kali ia melakukannya hari ini. Dan matanya lagi-lagi berhenti di alas kakinya. Hinata mengikuti arah pandang Sasuke.
"Hehehe, benar juga yah.. kalau penampilanku seperti ini, tentu saja Sakura-chan tidak akan percaya aku baik-baik saja," dia tampak menggaruk bagian belakang kepalanya yang tentu saja tidak gatal.
Sasuke tiba-tiba saja berjongkok, dan oh, apa yang dia lakuakan? Dia melepas sepatunya. Sasuke benar-benar melepas sepatunya.
Harusnya itu akan menjadi adegan yang sangat romantis kalau saja Sasuke mengakhirinya dengan memakaikannya langsung di kaki Hinata. Seperti yang di drama-drama itu.
Tapi, inilah Sasuke. Bungsu uchiha yang sangat tampan dan dingin. Ia melemparkan begitu saja sepasang sepatu kets bertali yang baru dilepasnya itu ke depan kaki Hinata. "Pakai itu!" perintahnya.
"Eh?"
Dan inilah Hinata. Sulung hyuuga yang sangat lemah lembut dan polos, serta sedikit telmi. Ia memandang sepatu itu. "Sasuke-kun ingin aku memakainya?" ia sedikit membulatkan matanya.
"Hn."
"Tapi bukankah akan makin aneh? Bagaimana kalau Sakura-chan mengenali sepatu ini?"
"Bilang saja sepatumu hilang atau apa, jadi kau meminjam sepatuku."
Hinata akhirnya mengangguk. "Hm, aku akan bilang sepatuku rusak saja, jadi aku meminjam sepatu Sasuke-kun."
"Terserah."
"Arigatou," Hinata tersenyum, kemudian segera memakai sepatu yang ukurannya kebesaran itu. "Tapi, bagaimana dengan Sasuke-kun?" kini giliran Hinata yang mengamati penampilan Sasuke.
"Aku naik sepeda, jadi aku akan baik-baik saja." Tidak, bukan itu yang dikhawatirkan oleh Hinata. Yang ia pikirkan, bagaimana nanti pandangan orang-orang terhadap Sasuke? Terutama fansnya? Bagaimana kalau pamor Sasuke turun hanya karena ia tidak memakai sepatu?
Sepertinya Hinata sudah berpikir terlalu jauh.
"Masuklah!"
"Aku ingin melihat Sasuke-kun pergi terlebih dahulu."
"Baiklah, sampai jumpa."
"Sampai jumpa." setelah benar-benar memastikan Sasuke sudah menghilang dari pandangannya. Hinata akhirnya masuk ke dalam rumah Sakura. Ia mendekati pintu masuknya dan mengetuk. Tapi tidak terdengar jawaban apapun dari dalam.
"Mungkin Sakura-chan belum pulang." Hinata pun akhirnya memutuskan untuk menunggu dan duduk di kursi yang berada di teras rumah Sakura. Sakura memang tinggal sendiri di Konoha sejak masuk SMA, orang tuanya berada di luar negeri. Karena itu, Hinata yakin Sakura pasti akan sangat senang jika ia datang ke rumahnya, gadis berambut manis itu sering merasa kesepian bila tinggal sendirian di rumahnya. Biasanya sih akan ada beberapa pelayan yang datang ke rumahnya setiap hari, tapi orang-orang itu akan pulang setelah malam. Tidak heran jika Sakura sering mengajak teman-temannya untuk menginap di rumahnya.
.
.
Seorang yang sudah bisa disebut pria—karena umurnya yang kira-kira sudah 27 tahun-an duduk di salah satu meja kafe bernuansa western itu. Ia tampak sibuk dengan laptop di hadapannya. Bunyi keyboard yang beradu dengan jarinya terdengar cepat namun seakan berirama. Sesekali ia akan menyeruput cappuccino yang sudah hampir dingin di samping laptopnya.
Sementara itu, masih di kafe yang sama, namun di meja yang berada cukup jauh dari pria itu, di sebuah meja dekat jendela, duduk seorang gadis berambut soft pink sedang mengaduk-aduk bosan jus strawberry-nya, ia tampak tidak terlalu berminat dengan minuman kesukaannya itu sekarang. Arlojinya sudah menunjukan pukul tujuh malam, dan gadis yang bernama Sakura itu sudah hampir dua jam duduk di sana. Entah kenapa ia melakukan ini, ia pun tak tahu pasti, tapi sejak tadi matanya tak pernah lepas dari seorang pria yang duduk di meja yang berseberangan dengannya di sudut sana.
Sakura tampak menghela napasnya beberapa kali, ia mengacak rambutnya frustasi. "Kenapa dia belum selesai juga?". Ia menopang dagunya. Wajahnya terlihat bosan total.
"Sebanarnya apa yang dia lakukan dengan laptopnya itu?"
Senyumnya tampak mulai mengembang ketika dilihatnya pria itu menutup lptopnya. Setelah memasukan laptopnya ke dalam tas, Pria itu lalu bangun dan sepertinya beranjak ingin meninggalkan kafe.
Sakura masih mempertahankan senyumnya, ia lalu menyambar tasnya, kemudian melangkah mengikuti pria itu.
Pria itu kini tengah berjalan menyusuri trotoar yang entah akan membawanya kemana. Sejak keluar dari kafe, ia menyadari ada seseorang yang mengikutinya. Bahkan ia tahu gadis itu terus memandanginya ketika berada di dalam kafe. Ia tersenyum tipis, dan terus berjalan, berpura-pura tidak menyadari keberadaan gadis itu.
Sakura sedikit khawatir ketika ia kehilangan jejak pria itu, padahal ia merasa hanya sebentar saja mengalihkan pandangannya ke Hp-nya untuk membaca pesan dari sahabatnya. Kini pria itu sudah menghilang entah kemana. Sakura menghela napasnya lagi. Entah sudah berapa kali ia melakukannya hari ini.
Jantungnya hampir saja meloncat, ketika merasakan seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya. Ketika ia berbalik, betapa terkejutnya ketika mendapati orang yang mengagetkannya adalah orang yang diam-diam diiukutinya tadi.
"Ada perlu denganku? Haruno-san?"
"E..eh? tidak.. Sensei," ia berusaha tersenyum di tengah kegugupan yang tiba-tiba menyerangnya.
"Lalu, kenapa kau mengikutiku?"
"Ano.. sepertinya sensei sudah salah paham, ini memang arah menuju ke rumahku," ia mengangguk, membenarkan ucapannya sendiri. Tidak bohong juga kan? Toh memang rumahnya ke arah ini.
"Benarkah? Lalu kenapa kau memandangiku terus ketika di kafe?"
"Itu.."
"Apa kau stalker?" pria itu mendekatkan wajahnya, matanya menyipit menyelidik.
Sakura menggeleng cepat, "Tidak! Tentu saja bukan!"
"Lalu? Apa kau penguntit?"
'Apa bedanya?' Bathin Sakura.
"Ano.. itu s..sebenarnya.. ada yang i..ingin ku tanyakan pada sensei" tiba-tiba Sakura merasa tertular penyakit gagap salah seorang sahabatnya.
"Oh ya? Tentang apa?" Sensei itu mengangkat kedua alisnya. "Bukankah kau bisa menanyakannya pada jam pelajaran? Atau kau bisa menanyakannya ketika kita bertemu di sekolah? Mengapa harus mengikutiku?"
"Karena mulai besok kan libur.. dan aku sudah sangat penasaran, jadi, aku memutuskan untuk menanyakannya langsung kepada sensei, ya… begitulah." ia tersenyum. Atau lebih tepatnya nyengir?
Sang sensei tampak mengangguk, "Baiklah, jadi apa yang mau kau tanyakan?"
"Itu.." Sakura tampak berpikir.
Senseinya menaikkan sebelah alisnya menunggu kelanjutan kalimat Sakura yang tampak jelas sekali sedang grogi.
"Sepertinya aku lupa sensei, hehehe.." kata Sakura akhirnya, sambil cengengesan dan menyentuh rambut pink-nya.
"Baiklah, kalau begitu ku rasa berarti tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, temui saja aku kalau kau sudah mengingat apa yang ingin kau tanyakan itu, Haruno-san." Sensei itu berbalik dan hendak melangkah, namun terhenti karena ujung belakang mantelnya di tarik oleh Sakura.
"Aku.. menyukaimu.. Kakashi-sensei" ucap Sakura sambil menunduk dengan wajahnya yang kini sudah merah padam.
Keduanya masih mempertahankan posisi itu hingga beberapa saat. Sampai akhirnya sesnsei Sakura yang ternyata bernama Kakashi itu berbalik dan menghadap ke Sakura. Sakura masih menunduk, terlalu malu menatap guru Bahasa Inggris-nya itu.
"Maaf."
Hinata perlahan mengangkat kepalanya mendengar senseinya berucap dengan suara yang melembut. Ia memberanikan diri menatap mata orang yang sejak enam bulan yang lalu di sukainya itu.
"Aku menyukaimu juga, tapi sebagai seorang siswi yang cerdas dan penuh semangat, tidak lebih, dan aku ingin kau juga tidak berharap lebih. Aku tidak ingin hal ini terulang lagi, kau harus berusaha melupakan perasaanmu itu, aku yakin itu bukan perasaan suka, kau hanya salah mengartikannya. Apa kau mengerti maksudku? Haruno-san?"
Sakura kembali menunduk, ini memang bukan pernyataan cintanya yang pertama, tapi ini pertama kalinya ia ditolak. Ia berusaha tersenyum, tapi pada saat bersamaan air matanya juga jatuh ke wajah cantiknya. Ia buru-buru mengusap air matanya, dan kembali memandang wajah pria dihadapannya.
"Uhm!" Sakura mengangguk, "Wakatta," ia tersenyum lagi, kini terlihat lebih tulus. Ia lalu berlari meninggalkan pria itu, semakin lama, larinya tampak semakin cepat. Rasanya ia ingin segera tiba di rumahnya dan membenamkan wajahnya ke bantal dan berteriak sekencang-kencangnya. Itulah kebiasaannya jika sedang sedih atau kesal.
.
.
Sakura yang pulang dengan mata bengkak dan wajah berantakan oleh bekas air matanya yang telah mengering, mendapat pandangan khawatir dari sahabatnya yang sejak tadi sudah menunggunya di depan rumahnya. Ketika mendengar suara sahabatnya itu, tangisnya kembali pecah, lalu menghambur ke pelukan sahabatnya.
"S..Sakura-chan, kamu kenapa?" Katanya dengan suara lembut seraya menepuk-nepuk punggung sahabatnya.
Sakura tidak menjawab, ia hanya terus menangis. Hinata menjadi semakin khawatir dengan keadaan Sakura sekarang. Jangan-jangan terjadi sesuatu yang buruk dengannya.
"A..apa kamu diganggu orang jahat?" sebenarnya ia juga ragu dengan pertanyaannya sendiri. Dalam hati ia berharap Sakura menjawab tidak.
Sakura menggeleng di bahunya. Hinata tersenyum, syukurlah.
"La…lalu kenapa?"
"Hweeee" tangisan Sakura malah semakin membesar. Hinata sekarang malah takut kalau-kalau ada tetangga Sakura yang mendengar. Di tambah udara di luar terasa semakin dingin saja.
"S..sebaiknya kita masuk saja dulu, Sakura-chan."
Setelah ia merasakan anggukan Sakura, Hinata melepaskan pelukan gadis itu. Sakura langsung mengeluarkan kunci rumahnya. Tapi sudah cukup lama ia berusaha menautkan kunci itu pada lubangnya, tapi tidak kunjung berhasil. Hinata semakin risau saja melihat tingkah temannya. Bahkan kunci itupun terjatuh dan mengeluarkan suara gemerincing. Sakura membungkuk dengan enggan untuk memungut kuncinya.
"Berikan kuncinya, biar aku saja yang membuka pintu." Sakura hanya menurut saja, lalu memberikan kunci itu kepada Hinata. Setelah pintunya terbuka Hinata membawa Sakura masuk. Ia mendudukan Sakura di sofa ruang tamunya.
"Tunggu di sini, aku akan buatkan coklat hangat untukmu." Hinata sudah sangat akrab dengan rumah Sakura. Jadi dia sudah tahu letak ruangan-ruangan di rumah ini. Ia juga tahu kebiasaan Sakura yang selalu menyiapkan air hangat dalam termosnya.
Beberapa saat kemudian, Hinata kembali dengan membawa dua mug coklat hangat untuk mereka. "Minumlah ini dulu Sakura-chan.."
Sakura meneguk coklat itu hingga tersisa separuhnya.
"Sekarang ceritakan apa masalahmu!"
"Hinata.." untuk pertama kalinya Sakura mengeluarkan suaranya sejak tiba di rumahnya. Ia lalu memulai cerita yang membuatnya begitu sedih itu kepada sahabatnya.
.
.
"Oh jadi begitu ceritanya? Lalu, apa kau kesal karena Kakashi sensei tidak menyukaimu?"
Sakura menggeleng. "Tidak, aku malah berpikir dia memang seharusnya tidak menyukaiku."
"Lalu? Kenapa Sakura-chan merasa sedih sekarang?"
"Aku kesal Hinata, ini pertama kalinya aku di tolak. Padahal Sasori-kun dan Gaara-kun, langsung menerimaku ketika aku menyatakan cinta. Bahkan Lee pun sampai sekarang masih mengejar-ngejarku, tapi kenapa aku bisa di tolak olehnya?" Sakura meremas taplak mejanya.
"Hahahaha.." reaksi Hinata itu malah mendapatkan tatapan heran bercampur kesal dari sahabatnya.
"Kenapa malah tertawa?"
"Aku rasa apa yang dikatakan Kakashi sensei benar, kamu tidak benar-benar menyukainya, aku rasa itu hanya perasaan kagum yang salah kamu artikan sebagai perasaan suka. Buktinya kamu kesal karena ini pertama kalinya kamu ditolak, bukan karena dia tidak menyukaimmu."
"Benarkah? Jadi menurutmu aku sebenarnya tidak menyukainya?"
Hinata mengangguk sambil tersenyum menjawab pertanyaan sahabatnya itu.
"Tapi aku tetap saja malu kalau harus bertemu dengannya nanti," ia menggerakkan jari-jarinya di atas meja.
"Tenang saja, bukankah sensei menyuruhmu melupakan masalah ini? Jadi pasti dia juga tidak akan terlalu memikirkannya. Percayalah padaku." Hinata kembali menyunggingkan senyumnya. Kini yang berjenis penyemangat.
Yang ternyata ampuh untuk sahabatnya itu, "Terima kasih yah Hinata.. kamu memang teman aku yang paling baik dan pengertian," Sakura memeluk Hinata erat. Erat sekali.
"S..Sakk..kura-c…chan, s…ses…sak" suara Hinata hampir hilang di telan pelukan Sakura.
Sakura lalu melepaskan pelukannya, tapi belum menjauhkan badannya dari Hinata. Tapi itu cukup bagi Hinata untuk bernapas lega.
"Ngomong-ngomong Hinata-chan, kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini?"
"I..itu.. aku—"
"Apa kamu ada masalah?"
Hinata menggeleng. "Ti..tidak, aku—"
Ting Tong! Ting Tong!
"Sepertinya ada tamu Sakura-chan."
"Iya, siapa ya malam-malam begini?" Sakura sedikit melirik jam dindingnnya yang menunjukan pukul 08.45 malam, sebelum akhirnya menuju ke pintu. Hinata mengikutinya di belakang.
"Ino-chan?" Hinata yang terlebih dahulu mengeluarkan suara setelah pintu itu terbuka. Penampilan Ino kini tak jauh beda dengan Sakura tadi ketika pertama kali tiba di rumah.
"Hweee.." Ino langsung menghambur ke pelukan Sakura. Hingga gadis itu nyaris kehilangan keseimbangannya. "Ada apa?" tanyanya sambil mengusap rambut pirang Ino.
"I..Ino-chan, kau tidak apa-apa?" suara Hinata membuat Ino mengangkat kepalanya yang ia benamkan di bahu Sakura. Seketika ia lalu berpindah ke pelukan Hinata.
"Hinata-chan…aku…aku putus dengan Sai, hiks..hiks.." ia kembali menangis di pelukan Hinata.
"Ayo, ayo, masuk dulu. Jangan di sini, malu kalau ada yang lewat," Sakura jadi sedikit mengerti, mungkin begitu juga dirinya tadi.
Hinata mendudukkan Ino di sofa ruang tamu, sementara Sakura, membawakan satu mug coklat hangat untuk Ino.
"Minumlah dulu," ucapnya setelah meletakkannya di atas meja.
Sama halnya dengan Sakura tadi, Ino pun meminumnya dengan sedikit rakus, udara diluar membuatnya memang membutuhkan minuman-minuman semacam ini masuk ke dalam tubuhnya, selain penghangat ruangan yang kini aktif diruangan itu.
"Sekarang ceritakan masalahmu." Hinata mengeluarkan suaranya ketika Sakura sudah mengambil tempat di samping kanan Ino, sementara dirinya berada di samping kiri Ino. Jadi sekarang mereka duduk dengan urutan.. Hinata, Ino, Sakura.
"Dia yang memutuskanmu?" pertanyaan Sakura terkesan cukup to the point.
"Bukan," ia menggeleng, sejurus kemudian air mata tampak turun di wajahnya.
"Berarti Ino-chan yang memutuskannya?" Hinata sedikit membulatkan matanya.
"Bukan juga."
Hinata dan Sakura kompak berekspresi bingung. "Lalu?" ucapnya bersamaan.
"Jadi begini ceritanya…"
Flash back
Seorang gadis berambut pirang dan seorang pemuda dengan rambut hitam tampak duduk di salah satu bangku panjang sebuah taman. Dua orang itu adalah Ino dan Sai. Taman itu tampak sepi sekarang mungkin karena hari sudah sangat sore, jadi anak-anak yang biasanya bermain di situ sudah tidak tampak lagi. Sementara itu, di sekeliling mereka, ditumbuhi pohon-pohon momiji yang sudah cukup tinggi. Daun-daunnya kini mulai memerah, yang menandakan musim gugur telah tiba.
Udara musim gugur yang cukup menusuk, hanya bagaikan belaian lembut dari alam bagi dua insan itu. mereka menikmati keindahan alam ini, untuk yang kesekian kalinya, karena tempat ini memang sudah menjadi tempat favorit mereka. Di tangan sang pemuda tampak sebuah kamera, ia sepertinya sedang melihat hasil-hasil jepretannya. Tangannya tiba-tiba berhenti pada foto kesekian, foto yang di ambil dari jarak yang tidak terlalu dekat, yang menampilkan sebatang pohon momiji yang entah kenapa hanya menggugurkan satu saja daunnya. Ia melirik perempuan yang kini duduk disampingnya yang tampak sedang sibuk dengan beberapa bunga kecil di tangannya—yang sepertinya tengah dirangkainya.
"Bagaimana menurutmu foto ini?" Sai mengangsurkan kamera itu dihadapan kekasihnya.
"Bagus," Ino melirik foto itu, kemudian kembali sibuk dengan kegiatan awalnya.
Tapi Sai belum menarik kembali kameranya, membuat si gadis menoleh ke arahnya.
"Apa kau tidak merasa foto ini memiliki arti?" ia mengangkat sedikit alisnya sambil tersenyum.
"Bukankah setiap foto memang pasti memiliki arti?"
"Lalu beritahu aku! Menurutmu apa arti dari foto ini?"
Ino akhirnya kembali melihat ke arah foto itu. 'foto itu menampilakn gambar sebatang pohon momiji yang hanya menggugurkan sehelai daun saja'. Bathinnya. Ia mengerutkan keningnya. Ia lalu kembali menatap kekasihnya. Yang di tatap hanya tersenyum yang entah apa artinya. Akhirnya si gadis memutuskan kembali memikirkan arti foto itu.
"Ku rasa.. artinya pengorbanan," kata Ino akhirnya.
"Lalu?" tarikan sudut bibirnya bertambah beberapa senti. Ia tahu penjelasan Ino belum selsai.
"Ehm… artinya, pohon itu harus rela mengorbankan daun-daunnya demi kehidupan selanjutnya."
Sai tampak mengerutkan keningnya mendengar jawban Ino yang memang terkesan menerak-nerka itu.
"I guess, hehehe." ucapnya cengengesan setelah melihat reaksi kekasihnya.
"Jawabanmu hampir benar, foto ini memang menggambarkan pengorbanan."
Ino hanya mengangguk-ngangguk saja.
"Menurutmu siapa yang berkorban di sini? Apakah Si pohon yang berkorban sekarang agar nantinya mendapatkan daun-daun yang baru dan bisa hidup lebih baik?"
Ino kembali mengangguk, membenarkan pendapat itu.
"Apa kau tidak pernah berpikir bahwa sebenarnya Si daun lah yang mengorbankan dirinya demi kelangsungan hidup si pohon?" Sai kembali menampilkan ekspresi itu, tersenyum penuh arti.
Ino tercengang dengan pendapat yang kedua ini. Jujur saja ia tidak pernah berpikir seperti itu.
"Jadi sebenarnya, bukan pohon yang menanggalkan daun-daun mereka, tapi daun-daun itulah yang meninggalkan Si pohon yang tentu saja demi kebaikan pohon itu."
Mata Ino tampak sudah berkaca-kaca mendengar kisah pengorbanan itu. Ia tidak perduli walaupun itu hanya karangan kekasihnya saja, yang jelas, ia sangat terharu. Ino belum tampak akan bersuara.
"Sekarang, coba kita posisikan diri kita sebagai mereka."
Ino membulatkan matanya, "A..apa maksudmu, Sai-kun?"
Pemuda itu tersenyum sebelum kembali mengeluarkan suaranya, "Ino..'musim gugur' kita telah tiba, kita hanyalah sebatang pohon yang lemah yang pasti tidak akan bisa melewatinya. Jadi karena itu, salah satu dari kita harus berkorban, demi kebaikan kita nanti." Sampai akhir kalimatnya, pemuda itu masih tersenyum.
Ino menggeleng, ia tahu akan mengerah kemana pembicaraan ini, ia meremas rangkaian bunga yang berada di genggamannya.
"Aku…akan menjadi daun itu, mengorbankan diriku demi kelangsungan hidup 'pohon'ku."
Ino belum juga bersuara, atau lebih tepatnya tidak mampu bersuara, hanya air matanya yang terus saja mengalir.
"Karena itu, pohon juga harus merelakan kepergianku, untuk kebaikannya."
Hening. Hening untuk waktu yang cukup lama. Bahkan tangisan Ino pun teredam. Hanya bunyi desiran daun-daun momiji yang tertiup angin yang terdengar mengalun riuh rendah.
"Kau harus terlebih dahulu lepaskanku, agar aku bisa mengorbankan diriku dengan tenang, Ino-chan."
"Bodoh!" suara Ino akhirnya terdengar dan dengan keras. "Lalu bagaimana nasib daun-daun itu setelah ia lepas dari sang pohon?" ia tampak masih menangis.
"Bahkan walaupun ia hanya akan membusuk dalam tanah, ia tetap bahagia asalkan pohonnya hidup dengan baik speninggalnya."
Entah kenapa, Ino tiba-tiba saja jadi membenci senyuman Sai. "Lalu apa menurutmu pohon akan bisa hidup tenang jika daun yang sudah berkorban untuknya hidup tidak dalam situasi yang baik?"
Senyum itu ia sunggingkan lagi, "Biasanya, setelah tumbuh daun-daun baru, pohon akan berangsur melupakan daun-daun yang telah gugur itu."
"Kenapa Sai? Apa ini karena perjodohanku? Kau bilang kau tidak akan menyerah!" mata aqua itu sungguh-sungguh mendesak penjelasan dari sang pemuda.
"Tapi kenyataannya, aku memutuskan untuk menyerah. Aku hanya merasa tidak bisa menjadi seseorang yang baik untukmu."
"Pengecut!" Ino melemparkan rangkaian bunga yang sudah tak berbentuk itu ke depan wajah Sai. "Mulai hari ini, jangan pernah menunjukan wajahmu lagi di depanku!" Ino lalu berlari meninggalkan Sai. Ia terus berlari tampa memperdulikan udara yang semakin dingin karena sudah menjelang malam.
Setelah kepergian Ino, Sai masih duduk di bangku itu. di sekelilingnya, daun-daun momiji tampak serentak menggugurkan diri mereka dari pohonnya. Sai hanya tersenyum menyaksikan itu. tapi bukan senyumnya yang biasanyanya, itu senyum yang tak pernah ia tunjukan pada siapapun. Senyum kepedihan.
Flash Back End
Ino sudah mengakhiri ceritanya sejak lima belas menit yang lalu, tapi ia masih belum menghentikan tangisnya. Hinata dan Sakura juga tidak tahu harus bagaimana. Rasanya sakit sekali melihat Ino menangis sesedih ini, mereka seakan melupakan masalah mereka sendiri yang padahal tadi membuat mereka menangis juga. Namun, demi menguatkan sahabatnya, mereka tetap memasang senyumnya, berharap dengan itu bisa turut mengundang senyum sahabatnya juga. Tidak ada perjanjian apapun diantara mereka untuk sama-sama tidak menunjukan luka sendiri ketika sahabat sedang bersedih, mereka berkomunikasi melalui hati, dengan bahasa kasih sayang.
Hinata memeluk Ino, yang kemudian disusul oleh Sakura. Air mata keduanya tidak mampu di bendung lagi.
"Sudahlah, mungkin Sai punya alasan mengapa ia melakukan itu, Ino-chan." ucap Hinata dengan suara pelan, namun masih bisa didengar oleh kedua sahabatnya.
"Ya, mungkin dia tidak ingin kamu menjadi anak yang membangkang kepada orang tua."
"Tapi kenapa? Kenapa hanya karena masalah itu dia menyerah? Tiga tahun Sakura, tiga tahun kami bersama. Tapi kalau hanya karena masalah seperti ini kami berpisah, apa artinya semua itu?"
Sakura merasakan pundaknya basah oleh air mata Ino. Ia tahu persis, hubungan Ino dengan Sai memang sudah cukup lama. Sakura merasa mengerti bagaimana perasaan Ino sekarang.
Lama. Lama sekali mereka saling memeluk. Tanpa mereka sadari, hujan kini telah mengguyur bumi.
"Apa menurut kalian dia punya selingkuhan?" tiba-tiba saja Ino melepas pelukannya. Dan menatap mata sahabatnya lekat-lekat secara bergantian.
"Hhm, a..aku rasa Sai bukan orang seperti itu," Hinata menyampaikan pendapatnya, yang mendapat anggukan setuju dari Sakura.
"Terus kenapa dong?" Ino kembali menunduk lemas.
"Mungkin dia butuh waktu," Hinata memberikan jeda sejenak. "Untuk memikirkan apa yang harus dia lakukan? Dia pasti sedang dilema, di satu sisi ia ingin yang terbaik untuk Ino-chan, tapi di sisi lain, dia juga masih sangat mencintaimu. Makanya dia jadi tidak tahu harus bagaimana, jadi karena itu ia ingin Ino-chan yang meninggalkannya saja."
"Aku juga yakin Sai masih mencintaimu, pasti ada sesuatu dibalik ini semua, jadi kau harus percaya padanya. Ok?" kini suara Sakura yang terdengar.
"Uhm!" Ino mengangguk sambil mengusap air matanya, sedetik kemudian ia tersenyum.
"Nah gitu dong, kan cantik tuh.." Sakura menangkupkan wajah Ino dengan kedua telapak tangannya, tidak lupa senyum ia sunggingkan untuk sahabatnya itu. Kemudian dengan tiba-tiba Ino menghambur ke pelukannya, membuatnya nyaris jatuh kebelakang—lagi.
Hinata hanya tersenyum.
Ting Tong! Ting Tong!
Suara bel rumah Sakura kembali berbunyi. Ketiganya tersentak. Padahal waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam kurang seperempat. Siapa yang tengah malam begini bertamu?
Karena ketiganya perempuan semua, mereka berjalan bersama menuju pintu masuk untuk mencari tahu siapa yang datang. Mereka mengintip dari jendela kaca. dan seketika itu juga mereka melihat seorang wanita dengan pakaian yang berantakan, tubuh basah kuyup dan wajah pucat pasi berdiri di depan pintu mereka.
"Tenten-chan?" gumam Hinata.
"Apakah itu benar-benar Tenten?" Sekarang giliran Sakura yang berbicara seraya berbisik sambil bergidik ketakutan. "Bagaimana kalau itu bukan Tenten, tapi—" ia tidak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri.
"Ssstt, kalian ini. Itu benaran Tenten. Ayo cepat buka pintunya kasihan kan dia kedinginan di luar."
"Ta…tapi—" Hinata tampak tidak yakin dengan keputusan Ino.
"Zaman sekarang mana ada hantu, Hinata?" Ino lalu memutar kunci pintu tersebut dan membuka pintunya.
Sakura dan Hinata hanya berdiri di balik pintu seraya saling berpelukan.
"Tenten? Kau kenapa?" Tanya Ino setelah melihat keadaan gadis berambut coklat itu tampak sudah tidak kuat lagi.
"I…Ino—" Tenten tiba-tiba saja ambruk dan tak sadarkan diri.
Hinata dan Sakura yang tadinya hanya melihat segera menuju ke arahnya. Perasaan takut mereka tadi telah hilang entah kemana.
"Tenten? Sadarlah!" Sakura mengguncang-guncang badan sahabatnya itu.
"S..sepertinya dia demam." ucap Hinata ketika menyentuh wajah Tenten yang dirasanya bersuhu tinggi.
"Bawa dia masuk." Perintah Ino. Kemudian mereka bersama-sama mengangkat sahabatnya itu dan membawanya ke kamar Sakura.
Setelah sudah berada di kamar Sakura, mereka membagi tugas. Ino dan Sakura yang mengganti baju Tenten yang basah, sedangkan Hinata menyiapkan alat kompres dan memasakan bubur.
Beberapa menit pun berlalu, kini pakaian Tenten sudah diganti dengan baju kering—milik Sakura. Dan kemudian menyelimutinya dengan selimut yang tebal. Sakura mengukur suhu tubuh teneten dengan thermometer, dan alat pengukur suhu tubuh itu menunjuk angka 38o C. keduanya tercengang melihat angka itu. Kemudian tampak Hinata masuk ke dalam kamar dengan dengan membawa kotak P3K.
"Suhu tubuhnya 38o." ucap Sakura. Kalimat itu jelas ditujukan untuk Hinata.
"Tinggi sekali," Hinata tidak menyembunyikan kekhawatirannya.
"Sebenarnya ada apa dengan Tenten? Kenapa dia hujan-hujanan sampai demam begini?" Ino berekspresi sama dengan Hinata.
"Sepertinya dia sedang ada masalah." kedua sahabatnya yang lain mengangguk menyetujui perkataan Sakura.
Hinata lalu menempelkan plester penurun demam di kening Tenten. "Kalian tidurlah dulu, biar aku yang menjaga Tenten."
"Baiklah, tapi Kalau kau sudah mengantuk, bangunkan saja kami, untuk menggantikan menjaganya," kata Sakura seraya membuka lemari dan mengeluarkan kasur lipat dari dalamnya. Kemudian ia gelar di lantai di samping tempat tidur yang ditiduri Tenten. Ia dan Ino kemudian berbaring di sana. Tak butuh waktu lama, keduanya sepertinya sudah langsung berpesiar ke alam mimpinya masing-masing.
Hinata menatap ke arah Tenten, ketika mendengar sahabatnya itu mengigau. "Jangan pergi Kaa-san.. jangan tinggalkan aku.." ia bahkan melihat air mata mengalir dari wajah sahabatnya itu yang tampak sangat pucat. Hinata menghapus air mata yang jatuh di pelipis Tenten dengan perlahan. Tanpa sadar air matanya sendiri ikut menetes. Ia menutup mulutnya untuk meredam tangisnya. Ia tidak mau membangunkan ketiga sahabatnya yang tengah tertidur. Ia yakin mereka—Ino dan Sakura pasti kelelahan setelah menangis cukup lama tadi. Sekarang entah kenapa ia seperti lupa dengan masalahnya sendiri, karena menurutnya disaat seperti ini harus ada yang setidaknya satu orang yang kuat agar bisa menguatkan yang lain. Hinata sungguh tidak tega melihat sahabat-sahabatnya menderita seperti ini.
Sepanjang malam itu Hinata hanya terus menangis dalam diam. Bukan untuk dirinya, tapi karena dia memikirkan sahabat-sahabatnya.
*TBC*
Bagaimana chap 1 ini?
Ancur banget ya? Feel-nya gak dapat? Gomenasai… T_T
Sebenarnya saya niatnya mau bikin oneshoot, tapi malah kebablasan, dan hasilnya panjang banget. Jadinya saya bagi dua deh… tapi dua-duanya tetap menjadi kado buat sahabat-sahabt saya yang udah saya sebutin namanya di atas. Terutama buat yang ultah. Entah siapa itu namanya… :p
*plak*
Kritik dan saran akan sangat membangun. Tapi flame akan membuat saya sedih… karena saya sepertinya tidak kuat jika harus menerimanya.. T,T
Akhir kata..
Gomawoyo… ^o^
Kata Terakhir..
Review please?
.
.
27th May 2012.
