'Vanilla',
'Vanilla',
'Vanilla'…
'Vanilla' adalah rasa ternikmat di dunia. Terpujilah wahai manusia-manusia yang telah menemukan essens ini.
'Vanilla' tentu identik dengan warna putih. Apa? Biru pucat? Tidak, tidak. 'Vanilla' tidak identik dengan biru pucat, dia identik dengan putih. Tolong jangan sok tahu.
Ada satu 'Vanilla' yang amat kusukai, ah mungkin cinta adalah kata yang lebih tepat dibanding suka. 'Vanilla' ini begitu nikmat, tak ada yang dapat menandingi cita rasanya. Aku yakin kalian juga akan tergila-gila jika mencicipinya. Tapi tunggu dulu, jangan kira aku mau membagi 'Vanilla' yang satu ini dengan kalian. Karena 'Vanilla' ini hanya aku yang boleh merasakannya!
Hm, tapi jika hanya sekedar memberitahukan kenikmatannya aku masih rela. Bersiaplah untuk menahan liurmu yang menganak sungai nanti.
.
Ini adalah kali kedua aku menikmati 'Vanilla' nikmat itu. 'Vanilla' ini tak mudah untuk didapat, aku harus bersusah payah berdesakkan di shinkansen menuju Kyoto dan sedikit merajuk pada Akashi-kun untuk mendapatkannya. Kalian bertanya mengapa Akashi-kun disangkut pautkan? Tentu saja karena hanya dia yang dapat menghasilkannya. 'Vanilla' Akashi-kun adalah yang terbaik. Dengan warna putih gading berkilau bagai permata, kepekatan dan kekentalan yang begitu pas ditambah sensasi lembab yang khas, dan jangan lupakan aromanya yang begitu menggoda. Oh, aku hampir lupa, meski begitu hangat, 'Vanilla' ini tetap menyimpan sensasi dingin ketika berada di mulut. Belum lagi rasa manis jambu[1] yang menjalar ketika dikecap begitu dalam. Benar-benar membuat siapapun yang mencicipinya menjadi gila. Tapi perlu kutekankan sekali lagi, hanya aku yang boleh merasakan kenikmatannya. Jangan harap kalian dapat merasakannya barang satu tetes pun. Tak akan pernah kubiarkan hal itu terjadi, karena 'Vanilla' Akashi-kun adalah milikku!
.
.
"Hhh… Tetsuya,"
"Ya, Akashi-kun?"
"Berhentilah…"
Mengernyit samar, "Kenapa? Akashi-kun tidak suka aku menikmati 'Vanilla'mu?"
Si pemuda merah kembali menghela napas, "Bukan begitu, aku senang kau menyukainya,"
"Lalu?"
Akashi menegakkan punggungnya lalu menepuk lembut kepala pemuda di hadapannya. Sedangkan Kuroko, si pemuda di hadapan Akashi, memandang dengan binar penuh tanya meski wajahnya tetap terlihat datar.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Berhentilah berkomentar mengenai es krim goreng vanilla-ku dengan kata-kata yang ambigu—"
.
Jeda sejenak
.
"—lagipula apa-apaan tanda petik satu di setiap kata vanilla itu?"
.
.
.
"Akashi-kun tahu istilah 'biar greget' kan?"
.
.
.
.
.
Tamat dengan tidak elitnya
.
.
.
.
.
Footnote
[1] Manis jambu = Manis samar. Rasa manisnya begitu samar dan hampir tak terasa tapi tetap tidak mati banget dan juga tetap memberi kesan manis.
A/N:
Wkwkwkwk, gila~ Apaan nih? xD Berawal dari obrolan ambigu di studio bulan lalu yang sempat terlupakan dan tiba-tiba muncul ke permukaan lagi dengan begitu ajaibnya, maka jadilah fic gejeh ini~ /tengkurep/
Sebenernya gak ada maksud ambigu sama sekali karena waktu itu saya sama temen-temen ngobrol biasa tentang rasa es krim dan sundae yang dijual di cafeteria kampus. Tapi ketika diingat-ingat, kok waktu itu penggunaan kata-katanya ambigu semua ya? Hakhak~
Dan uhuk, maaf kalau tata bahasa atau sebagainya kurang enak dibaca dan banyak kekurangan, sejujurnya saya sempat kena WB parah bulan ini dan menyebabkan fict-fict yang sempat saya lanjut/kerjakan bulan lalu terbengkalai dan menjamur di sudut sana~ /tunjuktunjukpojokdekstop/ Eeehh, maaf malah curcol~
Oke lah, akhir kata, mohon kritik dan sarannya ditinggalin di kotak ripiu yaaa~ Btw, genre yang cocok ini apa ya? Parody cocok gak? Wkwkwk, bingung parah~
.
Sign,
HS.
