Salam kenal! Aku hanyalah seorang newbie. Dan ini hanyalah sebuah cerita yang sama sekali gak di maksudkan untuk menyinggung kaum manapun. Kalau gak suka temanya gak usah baca dan di ambil pusing, oke?

Dan ya, ini akan up tiga hari sekali... makasih buat yang nyempetin baca, fav, komen dan lain-lain.

...1

.

.

Sudah ke sekian kalinya Sakura menghela nafas. Dia tahu apapun yang di katakannya tak akan memperbaiki keadaan. Keluarganya hanyalah keluarga miskin yang sedang terkena sial. Demi pengobatan sang kakak, keluarganya menanggung banyak hutang. Yang paling menyedihkan, akhirnya kakaknya tetap tak bisa di selamatkan. Haruno Sara pergi dengan meninggalkan beban berat pada keluarga mereka. Tak ada yang bisa di salahkan. Dan sepertinya Sakuralah yang akhirnya menanggung bagian paling berat.

"Bagaimana Sakura-chan? Ibu sungguh tak ingin memaksamu. Tapi... sepertinya itu jalan keluar terbaik." Sakura hanya bisa tersenyum pasrah. Lagipula jelas terlihat jika dia tak memiliki pilihan lain.

"Ya ibu. Aku akan melakukannya." Sahut Sakura. Raut wajah kedua orangtuanya terlihat sangat lega.

"Ayah akan berusaha agar hanya satu tahun. Ayah pasti akan membawamu kembali setelah itu. Maaf sayang." Sakura hanya diam saat ayah dan ibunya memeluknya. Tidak ada perasaan haru yang menyusup meski melihat kedua orangtuanya berurai air mata.

Sakura hanya sedang sakit hati. Kenapa dia di lahirkan jika hanya untuk menanggung beban seberat ini. Yang menginginkan hadirnya seorang anak adalah orang tuanya, bukan Sakura yang merengek minta di lahirkan. Lalu kenapa sekarang mereka melimpahkan beban berat pada Sakura? Bahkan jauh di lubuk hatinya menyalahkan penyakit Sara. Tapi sekali lagi Sakurapun tersadar, bukan Sara yang menginginkan menjadi seorang pesakitan. Jadi siapa yang bisa Sakura benci? Setelah sejak SMP dia harus berhemat dan bekerja demi membiayai sekolahnya sendiri karena hasil kerja ayah ibunya untuk pengobatan Sara. Dan usahanya sia-sia saat di penghujung masa SMAnya dia justru harus membayar hutang keluarganya dengan dirinya.

Bukannya Sakura harus menikah dengan juragan terkaya di desanya itu. Tidak. Tuan Sabaku rasa terlalu mencintai istrinya juga baik hati untuk melakukan itu. Dengan alasan iba jugalah pria terpandang itu meminjami uang dalam jumlah besar pada keluarganya. Hanya saja jelas keluarga kaya itu belum rela mengikhlaskan uang yang nyaris menyentuh angka seratus juta, tentu saja. Jumlah itu terlalu besar untuk rasa iba.

Sakura berdiri diam menggigit bibirnya ragu. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di kota yang asing baginya. Dan di antara kerumunan orang di sana, yang mana yang menjemputnya. Sabaku Rasa bilang akan ada yang menjemputnya.

Sakura menghela nafas lega melihat seorang pria berambut merah bata memegang kertas bertuliskan namanya. Dengan cepat dia mendekati pria itu.

"Permisi, aku Sakura Haruno." Ucapnya gugup. Oh ayolah, ini pertama kalinya Sakura tiba di tempat tanpa ada orang yang dia kenal.

"Uhm, ayo." Sakura membuntuti langkah kaki pria bersurai merah bata itu.

Ya, pria ini terlihat mirip dengan Sabaku rasa. Mungkin dia Sabaku Gaara. Sakura sedikit tak yakin tentang itu. Ah kalian ingin tahu cara membayar hutang pada juragan kaya itu? Sakura harus bekerja sebagai pengurus rumah tangga untuk putranya yang tinggal di luar kota. Tiga tahun tanpa bayaran jika ingin lunas. Namun orang tuanya menjanjikannya hanya setahun, mereka akan melunasi nominal untuk dua tahun. Sakura sangat berharap orang tuanya menepati ucapannya.

Mengapa bukan ibunya? Ah wanita yang melahirkannya itu masih terikat kontrak menjadi pembantu rumah tangga untuk keluarga kaya lainnya.

"Namaku Gaara. Aku sudah dengar tentangmu dari ayah." Sakura hanya tersenyum sopan. Dia tak tahu harus memberi tanggapan bagaimana saat pria itu memasukkan kopernya ke bagasi mobil.

"Tugasmu hanya memastikan rumahku selalu bersih. Seperti pekerja rumah tangga lainnya. Jadi jangan terlalu khawatir." Ucap Gaara lagi sembari membukakan pintu mobil untuk Sakura.

"Iya." Lirih Sakura duduk di kursi penumpang.

Mobil melaju membelah keramaian jalan. Sakura menggerak-gerakkan jemarinya gelisah. Bahkan dia tak berani melirik pria yang sedang menyetir di sampingnya. Terlalu canggung dan tak nyaman.

"Sayang sekali, ku pikir ayah bisa menunggumu menyelesaikan sekolah. Tapi ibu terlalu mencemaskan aku yang sendirian. Kau lihat? Aku sudah besar dan mampu mengurus diriku sendiri." Celoteh Gaara ringan.

Sakura melirik keluar jendela. Dia sungguh tak tahu harus menanggapi celotehan pria di sampingnya dengan kata apa. Sakura iri, andai dia terlahir di keluarga kaya mungkin orangtuanya juga akan seperti orang tua Gaara. Meski tak baik, bukankah wajar bagi dirinya untuk memendam rasa iri?

"Aku akan jarang di rumah. Kau bisa melakukan apapun jika pekerjaanmu selesai."

"Ya." Sahut Sakura lagi-lagi singkat.

Mereka memasuki halaman luas dengan rerumputan hijau yang menghampar. Mobil berhenti tepat di depan rumah yang di mata Sakura sangat megah, jauh lebih megah dari rumah Sabaku Rasa.

"Ayo." Gaara menyeret koper Sakura masuk ke rumah modern yang besarnya terlihat tiga kali lipat dari rumahnya.

"Ini kamarmu. Mungkin akan sepi jika rumah sebesar ini hanya ada kau sendiri. Sayangnya kau harus bertahan dengan itu karena aku tak suka terlalu ramai." Sakura mengikuti Gaara yang memberikan tour di dalam rumah sambil sesekali mengangguk saat pria itu menunjukkan berbagai ruangan di dalam rumahnya.

"Tak ada ruang yang tak boleh kau masuki. Tukang kebun akan datang seminggu sekali. Jadi tak perlu memikirkan bagian luar. Ah kau bisa memasak?" Sakura menggigit gugup bibirnya saat Gaara menatapnya.

"Hanya sedikit." Lirih Sakura.

"Oke, asal sedikit itu bisa membuatkanku sarapan dan makan malam sudah cukup. Biasanya aku pulang sore, atau terkadang tak pulang." Sakura menatap pria yang tersenyum ramah padanya. Dia tak tahu akan bagaimana kehidupannya sebagai pengurus rumah tangga jika tak mau di sebut pembantu. Hanya saja perasaan lega saat mendapati tuannya seramah ini menelusup di hatinya.

"Ah aku harus pergi." Gumam Gaara setelah melihat jam tangannya. "Di laci meja di kamarku ada kunci cadangan rumah ini. Itu milikmu. Ku serahkan rumah padamu." Lanjut pria itu sembari melangkah ke arah pintu di buntuti Sakura.

"Ya." Sahut Sakura seadanya.

Gadis itu menghela nafas setelah mobil Gaara keluar dari halaman dengan pintu pagar otomatis itu. Bagaimanapun menyesakkan rasanya mengetahui kenyataan jika dia adalah seorang pembantu.

"Apa yang bisa ku syukuri sekarang? Apa rumah bagus ini?" Gumam Sakura lesu memasuki rumah asing yang menjadi tanggung jawabnya sekarang.

Sakura tak pandai memasak. Dia mendengus jengkel melihat yang mampu di buatnya hanya tumis kangkung dan telur dadar dan ayam goreng. Sepertinya dia memang tak berbakat jadi pembantu.

Sakura menatap meja makan, mungkinkah Gaara yang orang kaya itu mau memakan makan malamnya? Sakura terlalu tradisional untuk membuat makanan modern apapun. Dia tak pernah berpikir jika kemampuan memasaknya akan di uji.

Sakura mulai kebingungan. Haruskah dia tidur terlebih dulu? Atau menunggu Gaara pulang? Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sakura sudah kelelahan karena terlalu tegang seharian.

Entah berapa lama Sakura tertidur, saat dia bangun ternyata dia masih berada di meja makan. Sakura mengucek matanya lalu menyeret kakinya menuju kamar Gaara. Kosong. Pria itu belum pulang. Sakura kembali ke dapur dan membuang tumisannya yang basi.

Gadis itu menatap miris pada sayur yang berakhir di tong sampah. Dia bahkan tak bisa melakukan ini jika di rumahnya. Sakura menghela nafas lalu sarapan dengan telur dan ayam goreng tadi malam.

Hingga siang Gaara belum juga kembali. Padahan Sakura sudah nyaris mengenali semua peralatan modern di dapur Gaara dengan panduan internet di ponselnya. Jangan heran, orang termiskin sekalipun sudah memiliki Android saat ini.

Sakura menoleh dan berlari kecil ke depan saat mendengar suara mobil datang. Dia membuka pintu dan mendapati wajah terkejut Gaara. Dengan gugup Sakura menyingkir memberikan Gaara jalan.

"Ah kau tak perlu sampai membukakan pintu untukku Sakura." Kekeh Gaara yang membuat Sakura makin gugup bercampur malu.

"Eh itu..." Sebenarnya Sakura sendiri tak begitu mengerti. Seolah tubuhnya bergerak sendiri melakukan itu.

"Kau sudah sarapan?" Gaara melangkah ke dalam di ekori Sakura yang sudah menutup pintu.

"Ya, uhm.." Sakura menggigit bibirnya gelisah menatap punggung Gaara yang menuju dapur.

"Bagus. Sarapan apa?" Pria itu menuju mesin pembuat kopi. Sakura memperhatikan cara pria itu mengoperasikannya.

"Ayam. Uh sekarang tak ada makanan." Ucapan Sakura menghentikan niat Gaara menyeruput kopinya. Pria itu tersenyum ramah. Sakura merasa ketegangannya berkurang melihat senyum itu.

"Jangan khawatir Sakura, kau hanya akan membuatkanku sarapan dan makan malam. Tanpa makan siang."

"Ya."

Gaara menepuk bahu Sakura lalu masuk ke kamarnya membawa gelas kopinya. Lagi, Sakura menghembuskan nafas lega. Entah kenapa berada di sekitar orang seperti Gaara membuatnya sesak nafas. Sakura iri, Sakura minder dan tak nyaman. Pemikiran 'mereka berbeda' seolah sudah terpatri di otaknya. Membuatnya mengotak-ngotaki seseorang dari statusnya. Memilah mana yang bisa di gauli dan mana yang tidak. Dan tentu saja Gaara dan orang-orang sejenisnya tak akan pernah masuk kategori orang yang bisa di gauli bagi Sakura. Status mereka terlalu jelas.

Sakura tak melihat Gaara keluar dari kamarnya hingga malam menjelang. Makan malam sederhana sudah terhidang di meja. Dia berdiri kebingungan di depan kamar pria itu. Sakura bingung harus membangunkan pria yang mungkin sedang tidur itu atau tidak. Terkadang dia kesal dengan dirinya yang selalu kebingungan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, dia memang seperti ini.

Gadis itu makin tak nyaman saat mendengar suara motor memasuki halaman rumah. Dia pikir meski pintu pagar otomatis bukan berarti siapapun bisa masuk. Jadi siapa yang masuk? Dan Sakura makin gelisah saat sepertinya orang itu masuk tanpa membunyikan bel atau mengetuk pintu. Sakura menatap pintu kamar Gaara memohon agar pria itu bangun. Dia tak bisa menghadapi orang asing begitu saja.

"Siapa kau?" Sakura terlonjak mendengar suara seseorang menegurnya. Dia menahan nafas gugup melihat seorang pria berkulit pucat berdiri memperhatikannya. Onix itu seperti menembus tempurung kepalanya bahkan menembus jantungnya. Sakura berusaha menahan detakan jantungnya yang menyiksa. "Kau terlalu kecil untuk jadi teman tidurnya." Lanjut pria itu yang membuat Sakura mendongak menatap pemilik suara. Wajahnya seperti terbakar. Bukan, tubuhnya terasa seperti tersengat listrik. Entahlah. Sakura hanya merasa tersinggung dengan ucapan pria di depannya. Sayang dia tak mampu bereaksi apapun selain gelengan kepala tak percaya.

Pria itu melewati Sakura menerobos masuk ke kamar Gaara. Tanpa ragu dia menarik tubuh Gaara hingga jatuh ke lantai. Membuat Sakura menutup mulutnya tak percaya. Pria itu masih tenang saat mendengar erangan dan umpatan Gaara.

"Bangun." Tandas pria itu sembari melangkah keluar yang lagi-lagi melewati Sakura yang masih tak tahu harus melakukan apa.

"Sialan. Cari cara yang lebih manusiawi untuk membangunkan ku Sasuke." Gerutu Gaara. Pria itu bangun dan menatap Sakura yang masih diam kebingungan antara harus menolong Gaara atau tidak.

"Ada apa Sakura?" Tanya pria itu tertatih menghampiri Sakura. Sepertinya di jatuhkan dari ranjang sangat menyakitkan. Sakura kagum melihat Gaara tak berteriak marah pada orang yang mungkin temannya itu.

"Uh makan malam sudah siap." Ucap Sakura sangat ragu. Sebenarnya dia tak yakin dengan rasa masakannya.

"Ah ya. Ayo makan bersama." Eh? Sakura mendongak menatap Gaara sebelum mengekor pria itu melangkah ke dapur.

Di sana sudah ada pria berkulit pucat yang justru sudah makan lebih dulu. Sakura tak tahu sedekat apa pria ini dengan Gaara hingga bisa melakukan apapun di rumah ini. Tapi melihatnya makan, rasanya Sakura takut untuk mendengar pendapatnya tentang masakannya yang sangat... entahlah.

"Kau kehilangan sopan santun?" Celetuk Gaara duduk di depan pria itu.

"Tak butuh sopan santun jika itu kau." Acuh pria itu.

"Ck. Ah kenalkan dia Sasuke. Dia orang yang tak sopan, jadi jangan terkejut dengan segala tingkahnya." Sasuke berdecak mendengar cara Gaara mengenalkannya.

"Tak adakah kalimat lebih baik untuk mengenalkan ku?" Gerutunya yang hanya di sahuti dengan kedikan bahu oleh Gaara.

"Kemarilah Sakura. Kau belum makan juga kan?" Sakura menurut dan duduk di samping Gaara. Dia sangat sangat canggung berada di situasi ini. Sayangnya perbendaharaan kata miliknya terlalu minim untuk membuat alasan agar bisa pergi meninggalkan dua orang ini. Sakura yakin, tubuh dan pikirannya pasti pegal di sini.

"Apa sekarang kau bermain dengan anak kecil?" Sakura berusaha mengacuhkan ucapan Sasuke yang membuat telinganya panas. Pria itu membicarakannya seolah dia tak ada di sana.

"Hei kau gila. Apa kau mengatakan itu padanya tadi? Sopan santunmu memang perlu di perbaiki."

"Jangan ngoceh Gaara. Iya atau tidak?" Sakura merasa kepayahan menelan makanannya. Dia benar-benar takut tersedak. Dia ingin cepat masuk ke kamarnya dan tidur.

"Tentu saja bukan. Dia gadis yang di kirim ibuku." Sasuke terdiam menatap Gaara dan Sakura bergantian. Diam-diam pemilik emerald itu berusaha meredam detak jantungnya yang menggila. Tatapan Sasuke terlalu mengintimidasinya.

"Ck. Ibumu memasukkan dia ke dalam neraka." Spontan Sakura mendongak mendengar ucapan Sasuke. Namun pria raven itu sudah beranjak mencuci piringnya. Sakura tak mengerti, ucapan itu terlalu serius untuk di anggap sebagai gurauan. Apa yang salah?

"Hey kau menakutinya, sialan." Umpat Gaara tak suka. "Jangan dengarkan dia, Sakura. Habiskan makanmu dan pergilah tidur." Mengikuti perintah Gaara, gadis itu menelan paksa beberapa suapan terakhir dan mencuci piringnya. Dia masih sempat mendengar gerutuan tak terima Gaara ketika menuju kamarnya.

Sakura menoleh menatap Sasuke yang bersidekap menatap Gaara menantang. Bicara mereka terlalu pelan untuk bisa di dengar Sakura. Gadis itu menghela nafas dan benar-benar masuk ke kamarnya saat melihat Gaara memukul kepala Sasuke yang tentu saja mendapat balasan.

Sakura merebahkan tubuhnya di kasur empuk namun sangat tak nyaman baginya. Dia tak bisa tidur nyenyak di sini. Berkali-kali tidurnya terganggu karna otaknya yang tak mau berhenti bekerja. Pemikiran bahwa di sini dia menumpang dan membayar hutang benar-benar efektif mengurangi waktu tidurnya.

"Ku harap Sasuke hanya bercanda. Jika ada neraka lainnya selain kurang tidur, mungkin aku akan kurus kering." Gumam Sakura pasrah. Dia memejamkana matanya berusaha mengistirahatkan tubuh dan otaknya.

Entah berapa lama Sakura memejamkan mata, membalik posisi tubuhnya ke sana kemari. Sayangnya dia tetap tak bisa tertidur sampai kepalanya pusing. Sakura bangun dan mengeluh memijiti keningnya. Apa ini yang di katakan insomnia? Ini benar-benar menyiksa.

Sakura melirik jam yang bertengger di dinding, lewat tengah malam. Lagi-lagi dia mendesah. Jika tak tidur sekarang mungkin saja dia bertemu hantu. Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat. Dia menggerutu betapa konyolnya dirinya.

Dengan malas Sakura bangkit menuju dapur. Ini sudah terlalu malam untuk membuat dua pria itu terjaga. Dari kamarnya ke dapur akan melewati pintu ruang tengah. Harusnya Sakura fokus saja ke dapur tanpa celingak-celinguk. Atau harusnya dia diam saja di kamarnya. Setidaknya itu akan membuat Sakura tidak perlu menempel di dinding samping pintu ruang tengah tempat tv berada dan membekap mulutnya sendiri gemetar. Dia melihat dua pria itu sedang berciuman. Sasuke dan Gaara. Dengan posisi Gaara duduk di pangkuan Sasuke memeluk leher pria raven itu.

Oh kesialan atau keberuntungan? Sakura tak bisa berfangirlingan saat ini. Oke, dengan maraknya kaum fujoshi dunia maya, Sakura juga sedikit banyak terpengaruh. Tapi melihat hal itu secara nyata justru membuat Sakura panik dan gemetaran. Jangan tanyakan alasannya, karna Sakura sendiri tak mengerti. Nyatanya dia tak bisa senang dan berkya-kya ria seperti di banyak cerita yang dia baca. Duh. Apa yang harus di lakukannya sekarang?

Sakura menarik nafas pelan khawatir terdengar oleh dua orang itu. Perlahan kepalanya kembali melongok mengintip ruang tengah. Mereka masih berciuman? Ya ampun. Memangnya mau berapa lama mereka bertukar ludah begitu. Demi Tuhan Sakura belum tujuh belas tahun dan harus menonton adegan dewasa? Ini salah Sakura atau salah dua orang itu?

Sakura terlonjak bagai tersengat listrik saat emeralnya bertemu onix yang menatapnya di sela ciuman panas itu. Sakura menyadari jika bahkan Sasuke tak memeluk Gaara seperti pasangan umumnya. Bukan itu masalahnya! Sasuke memergokinya mengintip! Dengan panik Sakura berjingkat kembali ke kamarnya. Dia menutup ah bahkan mengunci kamarnya. Tubuhnya yang gemetar merosot di balik pintu.

"Apa yang ku lihat tadi? Kenapa aku mengulang melihat hal seperti itu? Sasuke melihatku, apa dia akan marah? Aaah bagaimana ini?" Panik Sakura.

Sakura membanting tubuhnya ke kasur dan bergelung dengan selimut. Sakit kepalanya hilang. Sekarang berganti dengan kekhawatiran bagaimana jika mereka bertemu besok pagi. Duh. Sakura makin tak bisa tidur.

Tbc...