Hujan deras adalah hal yang disukai Ango. Itu membuatnya bisa melakukan pertukaran informasi dengan mudah. Itu juga memberinya rasa dingin yang nyaman. Selain itu ... Dia bisa menangis tanpa ketahuan.
Jadi di sanalah dia. Berdiri di depan makam Odasaku dengan membuka payung sebagai formalitas. Diam di sana untuk waktu yang entah berapa lama, Sakaguchi Ango menundukkan kepalanya dengan tatapan sedih.
Dia tidak pernah terlibat emosi sedalam ini ketika melakukan penyusupan. Ango mengetahui kepribadiannya yang kaku dan membosankan lebih dari cukup untuk menjauhkannya dari orang-orang. Di Port Mafia, dia bertemu mereka yang menyalahi kenormalan.
Eksekutif muda dengan kekonyolan dan profesionalitas luar biasa, serta anggota terbawah yang punya skill setara jajaran petinggi mafia. Ango tidak tahu sejak kapan mereka berdua sukses membuatnya nyaman. Persahabatan adalah salah satu hal positif yang diinginkan banyak orang, tapi pengertiannya samar. Siapa sangka dia diajari itu oleh bagian tergelap organisasi pengguna kemampuan?
Hujan membuat pemandangan pada jarak tertentu menjadi kabur. Ketika Ango akhirnya mengangkat kepalanya, dia melihat bayangan di belakang nisan bertuliskan S.ODA itu. Seolah ada yang mendorongnya untuk maju, Ango melangkah lebih dekat. Cukup untuknya melihat apa yang ada di balik batu tegak itu.
Itu Dazai, dengan pakaian serba hitamnya yang basah kuyup oleh hujan. Sandarannya pada batu nisan merosot, membuatnya nyaris sepenuhnya terbaring di tanah becek. Perban yang biasa melilit kepalanya kini lenyap, membuat kedua matanya terlihat jelas sedang menutup rapat.
"Dazai-kun ...?"
Sungguh, apa yang kali ini dicoba anak ajaib itu? Usaha bunuh diri dengan tidur-tiduran di bawah hujan? Ango gagal paham. Tapi ketika dengan hati-hati tangannya menyentuh pipi Dazai dan tidak ada reaksi, Ango tersadar bahwa orang yang sudah seperti adiknya itu benar-benar kehilangan kesadaran. Dan itu bukan hal bagus.
Melempar payungnya begitu saja, Ango buru-buru membawa Dazai ke mobilnya. Setelah Pembersihan Mimic sukses, ditambah persetujuan Mori untuk tidak menyentuhnya, Ango cukup yakin apartemennya dulu tidak sedang diawasi.
Dazai demam tinggi. Ketika sesekali matanya terbuka dan menatap Ango, itu memunculkan ekspresi bingung yang jujur. Ango kemudian hanya akan menghela napas dengan berat lalu mengganti kompresnya. Atau menempelkan pipet untuk memudahkan Dazai minum.
"Hei, Ango ... Ini di mana?" tanya Dazai sambil memijit keningnya untuk menghilangkan pusing yang menusuk kepalanya. Saat itu pukul 12 malam.
"Apartemenku." Ango menjawab singkat, tidak yakin Dazai benar-benar sadar ketika bertanya.
"Eh ...? Kenapaa?" Entah kenapa dia berada di sini yang ditanyakan, atau Dazai tidak sadar dirinya itu sedang sakit. Ango memang belum pernah mengajak siapa pun ke kamarnya sebelum ini, pantas kalau anak itu pangling.
"Odasaku mana? Ango tidak mengajaknya?" lanjut Dazai riang, tidak peka bahwa pertanyaannya menyeret Ango dalam mimpi buruk yang sudah berminggu-minggu menghantuinya.
Ango terdiam lama, sibuk dengan pertimbangan sendiri. Jika dia membuat alasan palsu seperti Odasaku sedang ada misi, Dazai mungkin akan menyadari kebohongannya dengan mudah. Kalau dia mengatakan dengan jujur bahwa Odasaku telah mati, rasanya itu terlalu kejam untuk diceritakan pada orang sakit di hadapannya ini. Lalu, tidak ada jaminan dia bakal hidup sampai besok pagi.
"Odasaku-san ... Sudah pulang."
"Benar juga, dia punya anak-anak untuk diurus ... " Dazai memejamkan matanya. "Mereka mungkin sedang bersenang-senang ... Kan, Ango?"
"Ya," Ango merasa suaranya bergetar. "Mungkin begitu. Tidurlah, Dazai-kun."
Dazai menatapnya heran, tapi segera saja matanya menutup lagi. Tidur nyenyak setelah beberapa hari tidak memejamkan mata.
Itu sudah pagi ketika Dazai terbangun dengan kesadaran penuh. Dia berada di tempat tidur, dengan sprei lembut dan selimut hangat. Kelaparan setelah beberapa hari tidak makan, remaja 18 tahun itu meneguk susu hangat yang ada di meja tanpa pikir panjang. Roti tawar yang menumpuk di piring dilahapnya pula. Lalu pistol kosongnya yang entah kenapa tahu-tahu sudah diisi ulang diputar-putarnya seperti mainan.
"Ini dimana sih?" gumamnya sambil turun dari tempat tidur dan menyingkap tirai jendela. Pemandangan pelabuhan di bawah sana membuatnya langsung bisa mengambil kesimpulan akurat.
"Selamat pagi, Dazai-kun." Ango berdiri di pintu. "Sudah baikan?" tanyanya datar. Kedua tangannya disembunyikan di balik punggung.
Dazai tidak menoleh, masih fokus ke pemandangan di luar. "... Aku mungkin bisa saja mati kemarin, tapi kau mengganggu. Jadi aku tidak akan berterima kasih, Ango."
"Aku tidak menginginkan jadinya begini, jadi aku juga tidak akan minta maaf, Dazai-kun."
"Lalu aku tidak akan memaafkanmu."
Dazai memejamkan matanya, memikirkan kata-kata Ango yang sebenarnya kaitannya ke mana dia bisa mengerti. "Jika semuanya punya alasan ... Apakah itu berarti tidak apa-apa lepas tangan?" gumamnya pada diri sendiri.
Dazai kadang berpikir dengan putus asa tentang siapa yang harus disalahkan atas kematian Odasaku. Pertama, yang membunuh Odasaku adalah komandan Mimic, Gide. Orang itu intinya ingin mati, sepertinya. Masalahnya adalah dia melibatkan terlalu banyak orang untuk mewujudkannya. Sejak hari itu Dazai mengubah prinsipnya menjadi bukan hanya bunuh diri tanpa rasa sakit, tapi juga tidak merepotkan orang lain.
Bicara tentang merepotkan, yang paling sering direpotkan oleh usaha bunuh diri Dazai tidak lain adalah Mori. Orang yang juga memiliki andil dalam misi tidak masuk akal Odasaku.
"Dazai-kun, menjadi pimpinan suatu organisasi artinya adalah ... "
Dazai tidak begitu peduli. Meskipun Chuuya menjadikan kata-kata Mori yang itu sebagai harga kesetiaannya, Dazai yang tidak pernah berpikir sebagai pemimpin membuatnya tidak begitu peduli. Meskipun begitu, empat tahun mengenal sang bos membuat Dazai memahami satu hal. Bahwa orang itu tulus mencintai Yokohama.
Orang lain yang bisa disalahkan adalah Ango. Tapi lagi-lagi seperti Chuuya yang menyalahkan Ango terkait konflik 2 tahun lalu, Dazai juga tahu posisi serba salah si mata-mata rangkap tiga. Lagipula, mau menyalahkan Ango sekarang juga kontradiktif mengingat status mereka sekarang tak jauh beda, pengkhianat Port Mafia.
Lalu ada satu orang lagi yang bisa disalahkan. Satu orang yang Dazai tidak bisa memberinya alasan pembenaran.
Orang itu adalah dirinya sendiri.
Dia lah yang bertanggung jawab atas kematian para anak asuh Odasaku, karena dia yang memindahkan mereka ke tempat persembunyian tanpa memprediksi Mori bisa melacaknya. Dia juga yang gagal mencegah kepergian Odasaku ke markas musuh. Kenapa dia tidak bergerak membiarkan punggung itu menjauh?
"Dazai-kun!" Tahu-tahu Ango sudah berada tepat di hadapannya, mengguncang-guncang bahunya dengan ekspresi khawatir. "Kau baik-baik saja?!"
Dazai tersadar bahwa selama beberapa saat dia lupa caranya bernapas.
"Odasaku ... Menyuruhku jadi orang baik." gumam Dazai. "Ne, Ango, gimana caranya?"
Pertanyaan polos yang sangat mendasar tapi jawabannya memiliki banyak cabang itu membuat Ango kesulitan membendung gejolak perasaannya. Dari sekian banyak hal, menangis di hadapan Dazai tidak pernah terpikirkan olehnya.
"Aku tidak tahu," Ango menggeleng pelan. "Tapi ada informasi rahasia yang mungkin bisa membantumu." Mengeluarkan secarik kertas dari saku dan pena, Ango menuliskan sebuah alamat dengan tangan gemetar. "Ketua Taneda akan ke sini besok, dia mungkin punya saran untukmu."
Dazai menerima kertas itu dengan heran. "Memberitahuku ini sangat ceroboh mengingat posisimu sekarang, Ango. Bagaimana kalau aku membunuh atasanmu?"
"Mempercayainya juga pasti sulit untukmu, Dazai-kun. Berpikir ini bagian dari jebakan untuk penangkapan?" balas Ango, sudah biasa dengan selera humor Dazai yang mencekam.
"Kalau begitu Ango gak perlu susah-susah membawaku ke sini."
"Maka aku tidak percaya Dazai-kun akan mengabaikan pesan Odasaku-san apalagi memalsukannya."
Dengan begitu Dazai bangkit dari duduknya. "Baiklah ..." Sebelum meninggalkan kamar, dia sempat-sempatnya menyambar sisa roti yang ada.
Ango diam mengamati punggung Dazai yang menghilang di balik pintu. Jika itu permintaan Odasaku, kalau itu jalan yang dipilih Dazai, dia akan membantu. Hanya itu caranya agar bisa memejamkan mata malam nanti.
Dua hari kemudian, Ango mendengar keluhan Taneda tentang seorang pemuda berbakat yang daftar kejahatannya sudah punya lemari tersendiri saking banyaknya.
"Aku tahu perjanjian dengan Mori Ougai adalah menghapus kasus pidana Port Mafia, tapi yang satu ini terlalu ...,"
"Kalau begitu bagaimana kalau saya yang mengurusnya?" Ango menawarkan.
"Kamu? Itu akan sangat membantu. Tapi harus ada alasan khusus untukmu yang sudah sesibuk itu mau turun tangan." Taneda melipat kedua tangannya dengan ekspresi tertarik.
"Anda sendiri sepertinya punya alasan khusus untuk bersedia membantu penjahat itu?" balas Ango.
"Heh, matanya itu sungguh-sungguh. Apalagi kriteria pekerjaan yang dicarinya baru kali ini kudengar, anak muda yang aneh. Aku merasa seperti dia punya kemampuan untuk menyelamatkan kota ini atau membakarnya sampai habis."
Ango tersenyum tipis. "Saya percaya dengan penilaian Anda, jadi saya akan membantu."
Taneda teringat kembali cuplikan percakapannya dengan Dazai, mantan eksekutif Port Mafia yang menemuinya dengan senyuman lebar dan kemampuan bicara terlatih.
("Jadi pekerjaan macam apa yang kamu inginkan?"
"Tempat di mana aku bisa menolong orang.")
Maaf kalau berasa OOC atau gaje, kebanyakan narasi atau hal-hal buang waktu lainnya. Suatu hari aku pengen berhenti mengganggu kalian, para pembaca.