Last Letter

Summary: Based from Vana'nIce song, Last Letter

Disclaimer: Vocaloid or Vana'nIce is not mine. But their mine in my heart ...^^

Author's note: Youkoso~ this is my second fanfic. I really really love Len!

Author: Sori ya Len... kali ini kamu harus jadi cewek lagi. Imutnya kelewatan, sih~

Len: Tapi napa pake dipanggil 'gadis' segala, sih?!

KaiGaku: Biar makin imuetz...#ditampolesterong

Author: Nimbrung aje lu pada! udah, pada siap2 sono! BTW di sini Len jadi gadis biar gak keliatan Yaoi banget#padahal author suka banget ama yang begituan =="

Happy reading! enjoy...

Last Letter

By: Yume-chan27

Chapter 1

Masih berdiri di sana, ia mengela napas tertahannya. Sudah sepuluh menit sejak ia berdiri di depan salah satu loker milik siswa kelas tiga itu. Jantungnya beregup kencang, pikirannya mulai melayang pada hal yang sebenarnya tidak perlu.

Berkali-kali ia memikirkan keputusan untuk mengutarakan perasaannya lewat surat sampai akhirnya ia berada di titik ini.

Pada senpai yang kukagumi...

Sudah lama ia memperhatikan orang itu dari jauh. Perawakannya yang santai dan baik pada semua orang membuat hatinya tertarik untuk mengenal orang itu lebih jauh. Ia tidak banyak bicara, tapi semua orang menyukainya. Meskipun tahu tidak punya kesempatan sejengkal pun, setidaknya mencoba adalah hal yang benar.

Dua hari terakhir ini ia terus menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya. Sepulang sekolah ketika jam klub yang berlangsung jauh dari jangkauannya, tidak ada yang berada di lorong itu saat ini. Waktunya sudah pas, tinggal memasukkan sepucuk surat sederhana itu ke dalam celah loker.

Sembari menutup mata, ia memasukkannya dengan segera. Keringat dingin mulai membanjiri pelipis 'gadis' itu. Secepat kilat ia berlari seakan ingin melupakannya bagai tak pernah terjadi.

Len, Len Kagamine, seorang 'gadis' biasa yang hampir tidak ada keistimewaan di dalam dirinya. Dia sama seperti kebanyakan gadis lain, berangkat ke sekolah, belajar, dan pulang ketika sudah waktunya.

Mungkin karena ke-terlalu biasa-an itu, tidak banyak orang yang berbicara dengannya. Dibandingkan yang lain, gadis itu lebih suka menyendiri di tempat duduknya, membaca buku yang setiap hari berganti, buku-buku pinjaman dari perpustakaan. Ia biasa menghabiskan waktu istirahatnya di sana.

Namun, kebiasaan yang monoton itu belakang ini sedikit berubah. Ada yang menarik perhatiannya, lebih dari buku bagus yang tidak sengaja ia temukan di perpustakaan. Itu terjadi satu minggu yang lalu. Ketika ia berjalan melewati halaman belakang untuk membawakan beberapa barang tak terpakai ke gudang atas perintah guru. Ia tidak pernah melewati daerah itu sebelumnya, karena wilayah itu sama sekali tidak mengarah pada semua tujuannya, perpustakaan, atau pun toilet. Jadi selama ini ia merasa tidak ada gunanya melewati daerah itu.

Tapi di luar dugaan, ada sesuatu yang tersembunyi di tempat yang jarang dikunjungi itu. Di bagian belakang sekolah ini, hanya ada dua bangunan yang menjadi pengisinya. Gudang, dan sebuah ruang musik tak terpakai. Di tempat yang seharusnya tidak ada orang itu, ia mendengar sebuah suara yang mengalun indah dari dalam sana. Suara alunan gitar diiringi nyanyian yang amat merdu.

Tanpa sadar, kedua kaki gadis itu melangkah mendekat, seraya mengintip dari sisi jendela dengan hati-hati. Di sanalah ia melihatnya. Seorang pemuda bersurai ungu yang tampak tengah tenggela ke dalam melodi yang ia mainkan. Len membeku di tempat, terpesona dengan permainannya yang menakjubkan. Tentu ini bukan kali pertama ia melihat seseorang bernyanyi sambil memainkan gitar. Tapi yang ia lihat saat ini adalah pemandangan terindah yang pernah ia lihat sebelumnya.

Kakinya yang menjinjit untuk mencapai sosok itu turun dari tempatnya, dan mulai tersenyum sendiri. Len menghembuskan napas yang terdengar tenang, lalu berjalan meninggalkan tempat itu tanpa suara dengan langkah bahagia. Sepertinya ia harus berterima kasih pada sang guru yang membuatnya bisa bertemu sosok luar biasa si tempat tersembunyi itu.

Lalu, satu hal lagi yang membuat hari-harinya terasa berbeda dari yang selama ini ia jalani. Itu terjadi tak lama setelah ia bertemu si surai ungu.

"Huuuhhh..." Len Kagamine menghela napas panjangnya sembari memperhatikan dedaunan yang mulai gugur di akhir musim panas ini. Rasanya membosankan karena ia tidak bisa melakukan apa pun setelah jam sekolah berakhir. Gadis itu masih belum memutuskan ingin masuk ke klub apa setelah masuk SMA, bahkan sampai musim gugur pertamanya dimulai.

Sampai-sampai karena saking tidak punya kegiatan apa pun, saat ini ia sedang di luar kesadaran duduk di tepi lapangan sepak bola, memandang latihan klub yang sedang berlangsung dengan tatapan kosong.

Benar-benar di luar kesadaran bagai terlepas dari dunia tempatnya berpijak.

Syuuung...

Buak!

Hingga sebuah bola melayang membentur kepala yang kosong itu.

Pelan-pelan ia membuka matanya, rasa berputar itu masih tertinggal di sana.

"Ah! kau sudah sadar!"

Sebuah suara mengejutkan Len yang belum sepenuhnya tersadar, memaksa seluruh kesadaran itu berkumpul bagai petugas pengatur barisan yang galak. Di hadapannya, seorang wajah pemuda terpampang jelas di sana, begitu dekat. Tepat ketika seluruh jiwanya telah kembali pada kenyataan dunia, gadis itu spontan bangkit hingga membentur wajah yang hanya berjarak beberapa jengkal itu.

"Aduh! kau ingin balas membuatku pingsan juga, ya?!" seru pemuda berambut biru itu sambil mengusap keningnya. Dibanding pemuda itu, sudah tentu Sugata-lah yang lebih menderita, sudah jatuh, tertimpa tangga.

Itu, adalah pertemuan pertamanya dengan Kaito-senpai, senior satu tingkat di atasnya yang populer dan periang.

Setelah kejadian itu, Kaito yang merasa bersalah karena pernah melukai Len dengan tendangan bolanya, terus mendekati gadis itu. Apalagi sejak mengetahui pergaulan gadis itu yang sangat kurang, ia pun mulai bertekad membantu Len dengan menjadi temannya.

"Sudah kubilang jangan memanggilku begitu!" tatap Len dengan tajam pada seniornya. "Memangnya kenapa? Len-chan kedengaran bagus, kan?" sahut Kaito tanpa wajah berdosa. Baru sekitar dua minggu menjalin hubungan pertemanan tak terduga sebagai 'pelaku dan korban kecelakaan', seniornya itu sudah berani memanggilnya dengan embel-embel –chan. Ia tahu dari banyak suara anak gadis yang sering menggosip di kelasnya. Kaito-senpai adalah murid yang cukup populer di sekolah itu. Ia tidak mempermasalahkan kedudukan pemuda itu. Sama sekali tidak. Tapi hal itu juga yang menjadi masalahnya jika sang senior terus memanggilnya dengan panggilan yang sangat akrab. Bisa jadi hubungannya dengan teman sekelas yang sejak awal memang tidak pernah jernih malah akan mengeruh seperti air selokan yang tak terawat hanya karena salah paham.

"Tenang saja. Aku sudah memberitahu beberapa anak yang mulai bertanya padaku tentang hubungan kita. Dan aku menjawab, hubungan kita hanya sebatas rekan satu klub." jelas Kaito dengan santainya, tidak memikirkan sedikit pun kekhawatiran Len yang berwajah suram di sampingnya.

"Tunggu dulu!" Len berhenti sejenak, memikirkan ulang kata-kata Kaito. "Rekan satu klub?" ia kembali menatap wajah itu. Kaito tersenyum. "Aku tahu kau belum masuk klub apa pun. Makanya aku mengarangnya demikian."

"Klub apa yang senpai maksud?"

"Ikut saja!"

Kaito terus membawanya pada satu tempat yang jarang namun sudah tidak asing bagi Len. Halaman belakang sekolah. Tempat yang penuh kenangan. Karena di tempat inilah ia pertama kali bertemu dengannya. Dengan seseorang yang telah berhasil mencuri seluruh perhatiannya dalam sekejap melalui alunan musik yang indah.

Aahhh... sudah hampir satu bulan sejak aku melihatnya di sini, ya?

Rasanya ingin mengulang saat itu lagi...

Bertemu dengannya lagi...

"Gaku! aku bawa seseorang hari ini!" Kaito berteriak hingga seseorang yang berada di dalam sana menoleh padanya. Rambut panjangnya berayun ketika ia melakukan itu. Rambut panjang yang indah, dengan warna ungu yang lembut.

Rasanya Len tidak bisa mempercayai apa yang ada di hadapannya saat ini. Mimpi? tapi ia yakin merasakan jantungnya berdegup kencang tak beraturan. Namun tatapan itu selalu dapat membuatnya merasa tenang. Sosoknya yang diterpa cahaya hangat dari sang matahari yang menembus jendela, sungguh menakjubkan.

TBC

Hahh... satu chapter kelar...

Maap klo bahasanya terlalu kaku apa gimana, inilah batas kemampuan author. Tapi kalau ada kritik dan saran monggo di review... author masih belajar juga soalnya

Jaa, mata!