Copyright © 2015 by Happyeolyoo

All rights reserved

.

.

Come Back Although isn't Easy

Genre : Angst, Drama

Rate : T+

Pairing : HunHan as Maincast.

Length : Twoshoot

Chapter : 1/2

Warning : Genderswitch. Miss typo(s).

Disclaimers : Saya hanya meminjam nama dari mereka untuk menemukan inspirasi dan membaginya dalam bentuk karya sastra. Ini hanya sebuah fanfiction dari fans untuk fans dengan kemampuan menulis yang normal. Hargai kerja keras author dengan mengklik tombol review dan tulis beberapa tanggapan. Muak dengan cast atau plot cerita? Just click a close button on your web browser, guys. Wanna chitchat? Click on PM button. Don't bash any cast or other, please.

Summary : Luhan dan Sehun yang selama tujuh tahun belakangan hidup sendiri dengan melupakan masa lalu, tiba-tiba dipertemukan dalam lingkup kantor. Sehun kembali menemukan Luhan setelah sekian lama berusaha menekan perasaan bersalahnya. Kesalahan besar yang telah diperbuat Sehun di masa lalu membuatnya mengalami kekacauan hebat; dia mutlak membutuhkan kata maaf dari Luhan agar terbebas dari penderitaan akibat tekanan penyesalannya.

BGM : 또운다또 by Davichi

.

.

Bagaimana perasaanmu ketika mantan kekasihmu muncul kembali setelah tujuh tahun tidak pernah bertemu?

Padahal kau sendiri tidak pernah berharap jika akan kembali bertemu.

Karena dengan menatapnya, maka kenangan buruk yang diciptakannya akan kembali terkenang.

Selama tujuh tahun belakangan aku sudah melupakan semua yang berhubungan dengannya.

Tetapi setelah itu, dia justrumuncul sebagai bosku.

Apa yang diinginkannya?

Kenapa dia melempar tatapan yang sama seperti tatapan yang selalu diberikannya ketika kita masih bersama?

Kenapa dia sering mengajakku bicara?

Aku sungguh tidak ingin terlibat lagi dengannya.

Aku ingin dia cepat-cepat pergi dari hidupku.

Tetapi, kenapa dia bersikeras untuk terus merecokiku dengan perhatian?

Ingin menebus dosa?

-Xi Luhan-

Seoul, March 28th 2015.

.

.

Hari itu, Luhan mempersiapkan diri untuk menyambut seorang kepala divisi yang akan memimpin kelompok di bidang kerjanya. Semua teman-temannya mulai berisik ketika wakil kepala divisi memerintahkan untuk segera berdiri. Kedua tangan Luhan bergerak merapikan blazer cokelatnya yang manis, lalu dadanya membusung pongah dan disusul oleh lengkungan menakjubkan pada bibirnya.

Luhan akan memberikan sambutan yang baik dan sopan—seperti yang dilakukan teman-temannya. Tetapi, rencananya untuk melukis senyuman ramah urung terlaksana ketika pandangannya malah menangkap sosok cowok masa lalunya melangkah memasuki ruangan lima belas meter kali lima meter itu dengan langkah ringan.

Cowok berambut cokelat madu, yang disebut wakil kepala divisinya, sebagai Ketua Divisi yang baru.

Semua karyawan yang berdiri tepat di depan meja kerjanya masing-masing, merundukkan badan demi memberi salam. Luhan terkesiap sebab pikirannya sempat dicabut paksa oleh ingatan masa lalu. Gerakannya tampak amat kikuk saat mencoba memberi salam. Ketika Luhan kembali mendongak dan mendapati pandangan dari manik cokelat Ketua Divisinya, akhirnya semua berawal lagi.

Dentum tidak menyenangkan melingkupi jantungnya yang bertugas memasok darah pada tubuhnya. Getaran aneh yang amat dibencinya merambat dengan amat menyebalkan menggapai tiap inci pori-porinya. Paru-parunya mengembang dalam waktu lima detik penuh akibat dilanda keterkejutan, namun akhirnya berangsurnormal kembali. Pandangan terpaku pada wajah profesional yang coba dilukis atasannya; lalu gendang telinganya berdenging hebat ketika dibelai oleh desah suara itu.

Apa? Luhan kesulitan mencari kata yang tepat untuk menebak apa yang sebenarnya terjadi di ruangan ini. Keterkejutan sudah membumbung tinggi mencapai ubun-ubun, kepalanya terasa pening sebagai akibatnya. Antisipasinya tidak berhenti manakala atasan barunya mengedarkan pandangan memerhatikan tiap wajah karyawannya, melainkan terus berlanjut ketika Ketua Divisi itu memutuskan untuk menghampiri setiap meja pekerjanya; saling menjabat tangan dan berbincang sebentar.

Amat sebentar.

Tetapi mungkin kasusnya akan sedikit berbeda jika tengah berhadapan dengan Luhan. Wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu mengeram menahan napas saat pandangan mereka kembali bertemu. Mereka bertatapan sangat lama, melempar tatapan aneh yang membuat semua orang yang ada di sana mengerutkan dahi.

Ketua Divisi yang tampan itu, melukis senyuman di bibir tipisnya dan mengulurkan tangan; bermaksud mengundang Luhan untuk bersalaman. Semua orang di ruangan ini sedang memerhatikannya dan tidak ada alasan untuk tidak bersikap profesional; Luhan menerima uluran tangan itu dan sekali lagi merundukkan kepala sambil tersenyum penuh keramah-tamahan.

"Sudah lama bekerja di sini, Miss Xi?" Suara bassnya yang sedikit serak menembus pendengaran Luhan kendati mereka masih belum melepaskan tautan tangan tersebut.

"Sekitar tiga setengah tahun, Oh Bujangnim," Luhan berusaha menarik tangannya, tetapi jemari panjang milik KetuaOh melingkupi telapaknya yang kecil dan mulai berkeringat.

"Kuharap Anda bisa bertahan lebih lama lagi selama saya menjadi bagian dari kantor ini," akhirnya dia menarik tangannya sendiri dan menyimpannya di saku celana pullovernya. Pandangannya yang setajam elang serasa menampar telak kesadaran Miss Xi yang mungil.

"Ya," Luhan ingin sekali merunduk dan memutus kontak mata mereka. Orang yang sedang mengajaknya bicara adalah atasannya; dan Luhan harus menaruh hormat padanya. "Saya harap juga begitu."

"Senang sekali bisa menemukan Anda di sini," Ketua Oh mengulurkan sebelah tangannya yang lain dan menepuk pundak kanan Luhan. "Bekerja keraslah untukku. Aku akan mengawasimu," setelah tersenyum, dia beralih ke karyawan lain.

Luhan melempar tatapan benci tanpa maksud ke arah atasan barunya. Pengendalian dirinya langsung hinggap menelangkup kesadarannya. Ekspresinya kembali tampak netral—bahkan saat kepalanya dibayang-bayangi oleh kalimat terakhir itu.

Aku akan mengawasimu.

Decihan pelan nyaris meluncur dari mulut Luhan ketika mendapati ketua di divisinya sudah duduk di meja paling ujung yang memang diperuntukkan untuk seorang atasan. Begitu Pak Ketua sudah ada tempatnya, semua karyawannya kembali duduk.

Cukup beraktinglah sebagai atasanku dan aku berharap jika kau terkena amnesia sehingga sudah melupakanku.

OoO

Ingatan masa lalu itu kembali terbang bebas dalam benak, berputar-putar, menabrak dinding kepalanya, dan kembali berputar-putar. Konsentrasi sulit sekali diserap sehingga pikirannya melayang kemana-mana; bahkan masa lalunya terus disetel layaknya sebuah video. Berulang kali dia menyuruh dewa batinnya untuk serius, tetapi yang dilakukannya hanyalah terdiam dan kembali mengenang semuanya.

Penyesalan yang selama ini selalu dirasakannya menggelegak naik, secara naluriah dia mengangkat kepala dan mengintip satu wanita mungil yang tengah menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan di suatu bilik kerjanya. Sorot matanya melembut, terselipi permintaan maaf yang sekarang sudah terlalu sulit untuk dilontarkan oleh lidahnya. Pengampunan yang tujuh tahun lalu sering diminta olehnya mendadak tersangkut di pangkal tenggorokan. Sekiranya dia memang tidak berhak untuk mendapat kesempatan kedua.

Perbuatannya di masa lalu terlalu keterlaluan; dan sampai kapan pun, Sehun tidak akan mampu untuk mengganti apa yang telah dihilangkannya. Pada malam-malam kelamnya, ekspresi kemarahan serta kesedihan mantan gadisnya mengusir mimpi-mimpi indahnya—membuatnya kesulitan untuk pergi tidur sehingga dengan amat terpaksa menenggak pil dari dokternya. Pergi ke dokter untuk berkonsultasi mengenai keadaan psikologisnya memang keputusan yang tepat; Sehun bisa mendapatkan pil penenang yang mampu mengantarkannya ke alam mimpi. Selama lima tahun belakangan, Sehun rutin menenggak pilnya.

Jika tidak, maka dia akan terjebak dalam lautan penyesalan tidak berujung yang bisa-bisa memutuskan salah satu saraf yang menyambung pada otaknya. Sehun terlalu gila jika tidak mendapatkan pilnya. Dia tidak sanggup untuk menahan luapan penyesalan-penyesalan itu.

Hingga akhirnya, setelah lima tahun berjuang untuk mencapai pangkat yang tinggi, sekaligus mencari di mana keberadaan Xi Luhannya, Sehun meninggalkan Chigago yang menjadi tempat tinggalnya setelah lulus SMA, kembali ke Korea. Informasi dari orang-orang suruhan yang dikerahkannya datang silih-berganti; sedikit demi sedikit, Sehun menyusun strategi untuk melamar pekerjaan di perusahaan yang menjadi tempat kerja Luhan. Dan dengan kecerdasan otaknya, dia mampu menduduki kursi kepala divisi dengan mudah; Xi Luhan ada di lingkup karyawannya.

Selanjutnya, Sehun akan berpikir untuk kembali mendekati Luhan—kembali menuntut permintaan maaf yang sudah lama diharapkannya.

"Pak, apakah Anda ingin minum kopi?"

Suara seseorang terdengar amat menyentak hingga mampu membuat Sehun setengah terjerembab dalam jurang kesadarannya. Kelopaknya mengerjap, lalu dia mendapati salah satu karyawannya berdiri dari kursi untuk menanyakan hal tersebut.

"Amerikano," Sehun menyempatkan diri melirik Luhan dari ujung matanya tetapi yang didapatkannya hanya desah kekecewaan; Luhan masih tenggelam dalam pekerjaan.

Beberapa detik menulis sesuatu, Luhan tiba-tiba bangkit dan mengedarkan pandangan ke seluruh teman-temannya. "Biar aku saja yang membelinya."

"Oh," karyawan yang tadinya menegur Sehun, kini menoleh menatap Luhan yang tersenyum. "Benarkah?"

"Ya, aku juga sudah mencatatnya," Luhan memamerkan selembar kertas berwarna merah jambu yang penuh tulisan mengenai jenis kopi. "Silakan lanjutkan pekerjaan kalian dan aku akan kembali 15 menit lagi," ujarnya sebelum menarik kursinya mundur.

"Miss Xi?" Sehun ikut meninggalkan kursinya, melangkahkan kakinya mendekati Luhan yang telah berada di ambang pintu. "Bisakah aku ikut denganmu? Aku ingin membeli beberapa makanan."

Ada gurat keterkejutan yang terlukis di wajah Luhan sesaat setelah Sehun selesai mengucapkan keinginannya. Tetapi binar matanya tampak kembali normal dalam beberapa detik. "Biarkan saya mencatatnya dan membelikannya untuk Anda, Bujangnim."

"Tidak, aku ingin memilihnya langsung," Sehun bersikeras untuk ikut; dia tahu jika seluruh karyawannya diam-diam meliriknya dengan pandangan aneh. "Apakah tidak boleh?"

"Oh, baiklah," Luhan tersenyum pasrah. Dia berpamitan pada teman-temannya lalu melangkah meninggalkan ruang tersebut, diikuti Sehun tepat di samping tubuh mungilnya.

Semua orang yang mereka temui di sepanjang lorong menuju lift memberi salam penghormatan pada Sehun. Dan hal itu menjadi hal bagus yang membuat suasana di antara mereka menjadi tidak lebih mencekam. Luhan menikmati tiap langkahnya tanpa merasakan luapan perasaan. Sedangkan Sehun, berulang kali dia harus menarik-ulur napasnya demi menyembunyikan afeknya.

Mungkin mendapati lift yang kosong sekitar pukul 6 sore adalah hal yang tidak disukai Luhan. Sehun memaksanya untuk masuk dan dia sendiri yang memencet tombolnya—lantai tiga puluh lima menuju lantai satu. Butuh sekitar empatatau lima menit.

Sehun kembali menarik napas, memandangi wajahnya sendiri yang terpantul di pintu lift yang memang terlalu mengilap. "Bagaimana kabarmu?" bola matanya bergulir, menatap bayangan Luhan di pintu lift dan lagi-lagi merasa kecil hati sebab Luhan tidak tampak gugup seperti dirinya.

"Baik, Bujangnim," Luhan berujar netral.

"Mari lupakan tentang status kita di kantor selagi berbicara seperti ini," Sehun mengatakannya setelah melewati pertimbangan tunggal. "Kau bisa berbicara banmal denganku."

Untuk yang pertama kali, senyuman tipis terlukis di bibir Luhan. "Akan lebih baik jika kita tetap mempertahankan hubungan kerja bahkan saat di luar jam kantor," katanya tenang.

"Tapi kau sudah mendapat izinku," Sehun menanggapi kemudian disusul oleh bunyi denting nyaring yang dibarengi dengan pintu lift yang terbuka. "Apa kau merasa tidak nyaman jika sedang bersamaku?"

Luhan melangkah keluar dan diikuti dengan mudah oleh kaki-kaki panjang Sehun. "Saya tidak memiliki alasan untuk merasa terganggu terhadap Anda," mereka melewati pintu geser dan kulit mereka ditebas oleh udara khas senja.

"Luhan,"

Sehun tiba-tiba menggapi pergelangan tangan Luhan dan mencengkeramnya erat-erat. Luhan tersentak dan menoleh defensif. Mereka baru saja keluar dari gedung kantor tetapi dengan berani Sehun mencekal tangan Luhan.

"Banyak yang melihat, Bujangnim," Luhan mengingatkan dan berharap jika dia bisa menarik tangannya. Dahinya mengerut penuh protes ketika merasakan cengkeraman itu semakin erat. "Bisakah Anda melepaskan tangan saya?"

"Selama seminggu bekerja satu ruangan denganmu, akhirnya kita bisa mendapat waktu untuk berbincang lebih banyak," Sehun menarik Luhan agar mengikuti langkah kakinya, menuntunnya menyusuri trotoar. "Aku butuh keberanian untuk menegurmu seperti tadi."

Luhan masih berusaha untuk melepaskan cengkaman jemari-jemari Sehun. Senyuman remeh terlukis diam-diam pada belah bibirnya. "Tidak perlu merasa hingga seberlebihan itu, Bujangnim," ucapnya, menggumamkan kata 'tolong lepaskan' ketika mereka mendekati kedai kopi tujuan. "Bersikaplah seperti layaknya seorang kepala divisi. Saya hanya karyawan Anda dan Anda berhak menegur saya."

Dada serta bahu Sehun terangkat begitu pendengarannya ditembus oleh kalimat Luhan. Rasional, memang. Xi Luhan berusaha untuk menekankan hubungan mereka yang hanya sebatas relasi kerja. Sehun melepaskan pegangan tangannya begitu mereka melewati pintu dorong kedai kopi tersebut, pandangannya mendapati beberapa karyawan dari kantor yang sama dengannya sedang mengantri membeli kopi.

"Duduklah, aku yang akan mengantre," ujar Sehun penuh kepasrahan.

"Tidak, Bujangnim. Saya yang akan mengantre,"

Baik Luhan mau pun Sehun sama-sama melangkah mendekati antrean. Sehun menyerah dan membiarkan Luhan ikut mengantre kendati dia tidak ingin berada di sini.

"Kita butuh banyak bicara," kata Sehun.

"Apa yang akan kita bicarakan?" Luhan mengatakannya dengan nada rendah.

"Semuanya."

"Akankah kita akan membicarakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan pekerjaan?"

"Tentu," Sehun menoleh menatap Luhan, memerhatikan gurat mantan gadisnya yang amat dirindukannya. Ingin sekali dia melingkarkan salah satu lengannya pada pundak Luhan, tetapi Sehun menyadari jika dia tidak berhak melakukannya. "Semuanya. Tentang masalah-masalah di antara kita yang belum terselesaikan."

"Saya rasa jika ada kesalah-pahaman di sini," akhirnya Luhan mau menoleh sehingga manik matanya berbalas dengan tatapan elang Sehun. Sebelah alisnya terangkat mengekspresikan keterkejutan. "Saya tidak merasa jika kita memiliki urusan yang belum diselesaikan, Oh Bujangnim."

"Lulu," Sehun memanggil nama kecil Luhan dengan desah nada yang lebih rendah sehingga orang-orang yang ada di depan atau belakang tubuhnya tidak bisa mendengar. "Kau tahu jika kita punya hal serius yang harus dibicarakan."

"Misalnya?" Luhan menuntut dan melukis raut tidak suka. "Anggap saja kita sudah menyelesaikan semuanya, Bujangnim. Saya tidak pernah berharap jika kita akan membicarakan hal lain selain pekerjaan."

Sehun tidak bisa menanggapi karena saat itu mereka sudah berada di meja order. Luhan mengeluarkan kertasnya dan mengucapkan apa saja yang telah dipesan oleh teman-temannya. Dan Sehun yang berdiri di sampingnya, hanya diam sambil memikirkan kesalahan masa lalunya.

OoO

Sehun menggelung tubuhnya dengan selimut tebal harum lavendel lembut, menghirup napas panjang-panjang demi mendapatkan kelonggaran pada dadanya. Pendingin ruangannya sudah dinyalakan sepanjang waktu dan seharusnya seluruh ruangan dalam apartemennya ditelangkup udara sejuk. Kamarnya punya ekstra pendingin ruangan dan aroma lemon terjebak di tiap petaknya. Seharusnya Sehun bisa tidur nyenyak dalam balutan selimutnya.

Tetapi nyatanya, dia malah berkeringat-dingin di bawah selimutnya. Tubuhnya dibiarkan basah oleh keringat, menggigil dalam perasaan aneh yang kian menyiksa. Kepalanya berdenyut-denyut saat tangisan-tangisan Luhan di masa lalu kembali diputar dalam otaknya. Visual dari wajah penuh air mata milik Luhan tergambar dengan amat jelas di dinding ingatannya.

Dimana otakmu?

Bagaimana bisa kau melakukannya?

Kau bukan manusia, Sehun.

Kau monster!

Kau tidak punya hati!

Tidak-punya-hati!

Kelopak mata Sehun yang semula terpejam, kini membeliak lebar-lebar hingga bola matanya nyaris meloncat keluar dari tempatnya. Dia terbatuk lantas tersenggal sebentar. Sebelah tangannya terulur keluar dari lingkupan selimut, menggapai-gapai nakas dan menemukan ponselnya di sana.

Pandangannya yang mulai mengabur mencoba memerhatikan layar ponselnya yang menyala terang. Jemarinya yang bergetar memencet layarnya dan menyambungkannya pada sambungan telepon.

Lima dering berjalan dengan diringi degup jantung beserta alur napas tersenggal-senggal, akhirnya di dering selanjutnya telepon tersebut diangkat.

"Halo? Xi Luhan di sini. Siapa ini?"

Sehun terpejam sejenak ketika merasakan galur-galur nyata yang menembus dadanya; terasa begitu hangat dan menenangkan saat mendengar desah suara Luhan. Beban yang bercokol dalam kepalanya perlahan mulai terangkat, menguap begitu saja seperti uap air.

"Halo? Bisakah Anda berbicara? Halo?"

"Luhan."

Lalu yang ditelepon seketika berhenti berbicara, terdiam seperti apa yang dilakukan Sehun di sini. Telapak tangan Sehun menangkup dahinya yang basah, merasakan sensasi lengket mengganggu di sana.

"Oh Bujangnim, apa yang membuat Anda menelepon saya pukul satu dini hari seperti ini?" Luhan bersuara, dengan nadanya yang tenang terkendali seperti biasa. "Apakah Anda ingin agar saya mengecek beberapa laporan?"

"Luhan," kelopak mata Sehun malah terpejam lagi ketika kecemasan datang bersamaan dengan ingatan mengenai kemarahan Luhan. Penderitaannya kembali datang—rasanya benar-benar menyesakkan hingga Sehun kesulitan untuk bernapas. Dia mengulurkan tangannya yang lain demi meraih tube pilnya di nakas. "L-Luhan."

"Bujangnim?"Luhan terheran-heran mendengar desah napas tidak beraturan dari seberang—kedengarannya seperti orang yang sedang terkena serangan asma tingkat berat yang mengkhawatirkan. "Anda baik-baik saja?"

Dengan amat susah payah, Sehun meraih dua pilnya dan melemparkannya ke dalam mulut. Rahangnya bergerak mengunyah pil-pil tersebut dengan gemelatuk rakus; menghiraukan rasa pahitnya lalu dia setengah terbatuk.

"Bujangnim? Anda baik-baik saja?"

"Maafkan aku," Sehun berhasil mengucapkannya dengan bibir bergetar hebat. Penglihatannya mulai berputar-putar tanpa tentu arah.

"Apakah saya perlu memanggil ambulans? Apakah Anda sakit? Oh Bujangnim?"

"Maafkan aku," Napas Sehun berangsur-angsur bisa dikendalikan, rasa kantuk yang hebat menghipnotis kelopaknya hingga membuatnya terasa amat berat. Debar jantungnya kembali seperti normal, tidak berdentum-dentum menyakitkan seperti tadi.

Semakin lemah. Dan semakin lemah.

"Bujangnim?"

"Tutup teleponnya," Sehun mengatakannya dengan susah payah, berusaha mengenyahkan rasa kantuk ini agar tetap berbicara dengan Luhan. Tetapi dia tahu jika efek pil yang ditelannya tidak bisa dihindari. "Aku .., baik-baik saja."

"Bujangnim? Oh Bujangnim?! Sehun-ah?"

Telepon ditutup oleh Luhan setelah panggilannya tidak digubris sama sekali oleh Sehun. Dan lelaki yang terbaring di ranjangnya yang kusut, memejamkan mata tidak berdaya dengan kerut-kerut di kening.

Tertidur lelap kendati sedikit-banyak ingatan masa lalunya masih menghantuinya dalam mimpi.

OoO

Sehun keluar dari mobil Mercedes M-classnya, merapikan kemeja linennya sebentar setelah meletakkan kotak yang bertuliskan nama restoran terkenal di atas kap mobilnya. Dia memastikan jika penampilannya sudah oke, barulah kaki-kakinya menapaki aspal dan membawanya masuk ke sebuah gedung apartemen.

Bawah sadarnya telah mencoba mengingatkan dengan keras mengenai apa yang akan dilakukannya pada hari ini. Dengan amat susah payah, dewa batinnya sedang berusaha menyimpan segala emosi yang tidak dibutuhkan dalam suatu kotak ajaib di sisi kepalanya. Sehun naik lift untuk bisa sampai di lantai tiga, berdebar-debar tidak keruan saat memikirkan apa yang akan terjadi jika dia sampai di sana. Ini hari Minggu dan seharusnya akan menjadi akhir pekan yang menarik. Walau dia sendiri tahu jika kedatangannya pasti akan mengejutkan.

Setelah kejadian di malam itu, ketika Sehun menelepon Luhan dalam keadaannya yang setengah gila, dirinya mendapatkan tatapan penuh ingin tahu dari Luhan manakala mereka bertemu di pagi harinya. Tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka, kontak langsung yang dilakukan keduanya hanya saling bertukar pandangan di awal hari itu. Dan semuanya selesai.

Berhari-hari setelahnya, beban penyesalan yang dipikul Sehun perlahan mulai terangkat jika mengingat pandangan tersebut. Tiap malam dia selalu memikirkan Luhanbahkan saatzat anestetis mengaliri pembuluh darahnya; dan kenangan masa lalu mereka yang membahagiakan sempat disetel sebagai mimpi.

Mimpi indah.

Sehun sudah sampai di depan sebuah pintu apartemen bertuliskan angka 209, menatap bel pintu lamat-lamat dan akhirnya memutuskan untuk memencetnya.

"Siapa?" Suara Luhan terdengar serak saat keluar dari mulut interkom.

"Aku, Sehun."

Dua detik setelahnya, pintu disentak oleh pemiliknya. Luhan yang mengenakan kaus santai serta jeans pendek muncul dari balik pintu, menatapnya penuh pertanyaan tetapi dia tetap mempersilahkan tamunya—bosnya—masuk.

Sehun duduk di sofa ruang tamu yang kecil, tetapi Luhan masih berdiri di depan meja dengan mengaitkan tangan.

"Oh Bujangnim, mau minum kopi atau teh?"

"Oh," Sehun sempat melupakan barang bawaannya. Tangannya bergerak meletakkan kardus tenteng itu ke atas meja dan Luhan langsung menghujaninya dengan tatapan menyelidik. "Aku membeli sarapan untuk kita."

Luhan memiringkan kepala ke suatu sisi.

"Duduklah," Perintah Sehun, dan Luhan langsung menurutinya seperti seekor anjing terlatih. Sehun membuka kardus tenteng itu, mengeluarkan isinya; dua kopi panas dan dua burger berukuran jumbo. "Kau masih suka burger, 'kan?"

"S-saya tidak mengerti kenapa Anda begitu ..," Luhan menggigit bibir ketika tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk menyambung kalimatnya. Pandangan terfokus pada makanan yang dibawakan bosnya, lalu dia memandang Sehun. Terus bergantian seperti itu. "Oh Bujangnim, kenapa Anda membawa .."

"Bisakah kita benar-benar menggunakan banmal ketika sedang bicara berdua?" Tiba-tiba, Sehun mengangkat dagunya dan pandangannya yang tajam terarah lurus menembus manik kristalLuhan. "Lulu, apakah sungguh sulit?"

Luhan terkesiap kala nama kecilnya disebut oleh Sehun; panggilan yang sudah lama tidak hinggap ke pendengarannya. Sulur-sulur kerinduannya menguncup tanpa diduga, perasaannya meletup-letup asing meskipun dia ingin bersikap biasa seperti sebelum-sebelumnya. Luhan menghindari tatapan mata Sehun, menggulung telapak tangannya erat-erat dan menghela napas.

"Saya tidak mengerti kenapa Anda mengunjungi saya pada hari libur, membawakan sarapan, dan ..," bahunya mengedik dan lagi-lagi Luhan tidak menuntaskan kalimat yang akan diucapkannya. "Bujangnim, apakah Anda baik-baik saja?"

Kepala Sehun seperti baru saja dipukul oleh godam besar menyakitkan yang menciptakan rasa pening luar biasa. Kalimat formal dari Luhan benar-benar nyaris identik dengan penolakan. Banmal adalah hal paling simpel yang mereka perlukan untuk menuntaskan segala permasalahan yang terjadi di masa lalu. Dan Luhan selalu menampiknya.

"Sudah tujuh tahun, Luhan," Sehun nyaris mengeram, sorot matanya melembut. "Aku terjebak dalam penyesalan dan aku benar-benar ingin menebusnya."

Luhantersentak, bahunya terangkat dan turun lagi pada detik yang nyaris bersamaan. Pandangannya merendah seketika saat memori kelam yang pernah dilaluinya dengan Sehun berkelebat dalam benak. "S-saya tidak mengerti," ujarnya susah payah.

"Berhentilah bersembunyi dan salahkan aku seperti tujuh tahun lalu!" Sehun gagal mengontrol amarahnya yang sudah meledak, memilih menghancurkan kotak pertahanannya. Matanya melotot, begitu pula Luhan yang duduk di hadapannya. Luhan melukis raut terkejut sekaligus tidak mengerti; mungkin dia terlalu dikagetkan dengan perubahan nada bicara Sehun yang begitu tiba-tiba.

Sehun bangkit dari duduknya, menarik Luhan untuk ikut berdiri dan memegang pundak sempit wanita itu erat-erat. "Katakan," ujarnya tanpa pikir dua kali. "Kenapa kau bersikap begitu dingin setelah kita bertemu, huh?"

Tembok pertahanan Luhan baru saja dihantam oleh ombak perasaan sedih yang diakibatkan oleh pengalaman masa lalu. Air mata serasa berubah menjadi puluhan jarum tajam yang menusuk bola mata Luhan hingga membuatnya perih dan perlahan pandangannya mengabur.

"Aku terjebak dalam penyesalan, Luhan. Dan selama tujuh tahun aku tidak bisa menjalani hidupku dengan tenang selama aku belum mendapatkan permintaan maafmu," Sehun mengucapkannya lamat-lamat dengan desah berantakan. Manik matanya bergulir ke segala arah, memerhatikan raut lawan bicaranya.

"Apakah hanya permintaan maaf?"

Sehun merasa lega setengah mati ketika mendengar logat banmal di kalimat Luhan. Dua telapak tangannya merayap naik membungkam pipi gembul Luhan. "Ya."

"Setelah kau mendapatkannya," Luhan menggigit bibir ketika tenggorokannya serasa baru saja disodok oleh kesedihan. Nada suaranya mendadak bergetar samar. "Bisakah kau pergi dari hidupku?"

"Apa?"

"Setelah aku memberikan kata maafku, bisakah kau segera pergi dari hidupku? Bisakah kau tidak muncul lagi di hadapanku? Bisakah kau mati sekalian untuk menebus semuanya!" Luhan memicingkan matanya yang penuh air mata, diam-diam dewi batinnya tersenyum miris ketika mendapati gurat terluka di sorot mata Sehun. "Bisakah Anda melakukan itu, Oh SehunBujangnim?"

Sehun jelas tertohok karena serentetan kalimat yang didengarnya dari Luhan; merasa sangat terpojok dan sialnya dia tidak bisa melakukan apa-apa. Rasa sakit yang diderita Luhan sama besarnya seperti apa yang dirasakannya, karenanya, Sehun tidak punya nyali untuk menanggapi lebih lanjut.

"Tidak bisa, ya?" Pandangan Luhan turun kebawah, kelopak matanya berkedut hingga meloloskan satu bulir air matanya. "Kalau kau tidak bisa, cepatlah pergi dari sini, Sehun. Aku benar-benar tidak mau melihatmu lagi."

"Tidak bisakah kau memberiku kesempatan kedua?" Sehun mengatakannya dengan nada putus asa. "Agar aku bisa menebus semuanya?"

Luhan menggeleng keras kepala. "Tidak akan, Sehun," kepalanya kembali mendongak dan matanya melotot penuh permusuhan. "Aku tidak mau memberikan kesempatan pada monster sepertimu," dia menekankan nada suaranya pada kata monster lalu berbalik pergi meninggalkan Sehun yang tertegun di ruang tamunya.

TBC

MARHABAN YA RAMADHAN~ /tabuh gendrang/

Selamat berpuasa bagi yang menjalankannya :3 gue juga puasa kok guys, semangat yaaks ..

FF ini sebenernya punya cast asli KyuMin, soalnya ini request dari temen seperjuangan pas smp. Caca rahma /celingukan/ dia nggak bakal nongol di ffn. Dan seharusnya aku unggah ff ini ke wordpress dulu baru ke sini. Tapi, berhubung gue masih punya tanggungan, gue milih update di sini ajaa :3

Oke, sekian curhatnya. Mind to review, guys?

Ps : baca ffn lebih gampang kalo pakek aplikasi android "Fan " . Download di playstore dan pastikan developernya si "Fiction Press" yaa ohohohohooo