.
.
.
.
"KASIHAN sekali gadis itu. Ayahnya dulu kabur, kakaknya overdosis, sekarang ibunya meninggal. Sekarang pasti dia sebatang kara."
Gadis itu berdiri mematung di hadapan makam ibunya. Peti sudah bergerak turun memasuki lubang makam. Tapi gadis itu tetap tidak menunjukkan apa pun. Hanya diam... Diam... Dan diam saja. Seakan tak ada seorang pun di sekelilingnya.
.
.
.
ANOTHER ONE
REMAKE NOVEL CHANBAEK VERSION
Separuh Bintang By Evline Kartika
BYUNNERATE
Main cast: Byun Baekhyun, Park Chanyeol
Genre: Romance
Rated: T
Warning: Genderswitch! Typos! Kata-kata tidak baku!
Enjoy and Review Juseyooooo
.
.
.
.
Dua tahun yang lalu...
Suara bantingan barang menjadi backsound keadaan rumah itu. Suara tangisan mamanya mengiris-iris hari Baekkie. Sejak sebulan yang lalu, orangtuanya selalu bertengkar. Baekkie sendiri tidak tahu apa penyebab pastinya pertengkaran itu. Yang dia tahu, dia benci keadaan ini.
Dia benci suasana rumah yang kacau seperti ini. Dia kangen papanya yang dulu! Ke mana perginya Papa yang sangat menyayanginya itu? Ke mana perginya Papa yang selalu membawa keceriaan dan kebahagiaan?
Sosok setengah baya muncul di hadapannya, memandanginya dengan tatapan jijik. Dia bukan Papa! Dia bukan Papaku! Baekkie selalu menanamkan kata-kata itu dalam hatinya. Papanya pasti telah mati. Ya, pasti begitu. Papanya tidak mungkin seperti ini.
"Baekkie, kau anak haram! Kau bukan anak Papa!"
TARRR! Kata-kata itu meluncur begitu saja. Kata-kata yang terdengar seperti umpatan dibandingkan pernyataan.
Mendadak Baekkie tidak bisa berpikir. Jangankan berpikir sekarang, bernapas pun rasanya sulit. Baekkie ingin sekali tertidur. Dia ingin tidur dan saat bangun dia akan mendapatkan semuanya kembali seperti semula. Ini pasti mimpi.
Baekkie memandang mamanya, meminta dukungan. Cepat katakan padaku bahwa semua ini cuma mimpi! Baekkie berteriak dalam hati.
Tapi mamanya hanya bisa terisak, dan terus terisak. Baekkie beralih memandang kakaknya. Tapi Sehun hanya memeluknya. Sayangnya, semuanya ini nyata...
Tanpa menjelaskan apa pun, setelah mengucapkan dua kalimat itu. Papanya benar-benar menghilang. Setiap hari, Baekkie melihat mamanya selalu menunggu di depan pintu, menunggu dan menunggu.
Tapi papanya tidak pernah kembali.
Setahun yang lalu...
"Sehun, gue pinjem kamus lo ya..." Baekkie masuk dan mendapati kamar Sehun kosong melompong.
Akhir-akhir ini dia memang jarang melihat kakaknya. Setelah kepergian papa, kakaknyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Beban Sehun pasti sangat berat. Selain harus mencukupi kebutuhan sehari-hari, Sehun juga harus menanggung biaya pengobatan mamanya yang mengidap penyakit jantung. Semua itu pasti tidak sedikit jumlahnya, apalagi jika harus ditanggung oleh remaja yang baru berumur 18 tahun.
Tiba-tiba pandangan Baekkie membuka plastik kecil itu dan ia mengerutkan dahinya. Apa hubungan Sehun dengan benda ini? Baekkie berpikir keras. Ini jelas bukan obat Mama. Lalu apa ini? Jangan-jangan...
Baekkie mencoba menepis semua pikiran buruknya. Tapi bayangan kakaknya dan tablet-tablet itu bergantian muncul dalam otaknya. Baekkie ingin teriak, dia ingin menangis, dia ingin marah. Dia sudah benar-benar lelah menghadapi semuanya.
Tanpa sadar, sebilah tablet memotong nadinya begitu saja, tidak hanya sekali... Dua kali... Tiga kali...
"Baekkie! Apa-apaan?! Lo gila ya!" Baekkie mendengar teriakan Sehun tiba-tiba, terputus-putus. Perasaannya panas dan dingin tidak keruan. Sinar lampu pun terlihat nyala dan padam bergantian. Sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
Baekkie membuka mata. Semua tampak putih. Sekilas saja, dia tahu ini rumah sakit. "Kita butuh uang. Gue cuma punya cara itu. Gue cuma anak SMA, ra. Gue butuh kerja apa? Cuma itu satu-satunya jalan. Gue nggak make kok. Sumpah! Gue cuma ngedarin."
Baekkie tak habis berpikir mendengar perkataan Sehun. Baekkie tidak habis berpikir tentang semuanya.
"Gue sayang sama lo!" kata-kata Sehun membuat Baekkie gemetar. Memang bukan hanya sekali Sehun mengucapkan empat mata tadi. Dan Baekkie tahu, Sehun menyatakan perasaan sayang yang bukan hanya sekadar dari mulut seorang kakak. Untuk sekeian detik berikutnya, mereka berpelukan.
Dua minggu kemudian, Baekkie menemukan kakaknya telah terbujur kaku dengan busa memenuhi mulut. Baekkie menjerih sekeras-kerasnya, menangis sekencang-kencangnya. Baekkie mengguncang-guncang tubuh Sehun sekeras mungkin, memanggil-manggil nama Sehun tanpa henti. Baekkie merasa mulutnya sudah kering, suaranya pun sudah tidak mampu keluar lagi. Tapi Sehun tetap bergeming. Sehun overdosis.
Tiga bulan yang lalu...
Kesehatan Mama semakin memburuk. Sudah tidak ada obat yang bisa dimakan. Hampir setiap malam Baekkie bermimpi semua orang meninggalkannya. Dan hari itu, mimpinya benar-benar menjadi kenyataan. Tiba-tiba Mama pingsan dan berhenti bernapas. Baekkie hanya menatap tubuh mamanya ambruk ke tanah. Dia tidak melakukan apa pun. Dia tidak berteriak seperti saat Sehun meninggal, dia tidak menangis seperti saat menemukan Sehun yang sudah terbujur kaku, dia bahkan tidak berlaro menghampiri mamanya untuk memastikan apakah mamanya masih hidup atau tidak. Dia hanya tahu dia benar-benar ingin mati saat itu juga.
Baekkie menatap peti itu tersiram tanah. Dan dia tetap bergeming.
"Baekkie..." satu sosok merangkul pundaknya. Terlihat sangat prihatin. Tetapi, Baekkie menepisnya. "Mulai sekarang, jangan panggil gue Baekkie."
.
.
.
.
Tujan dari semua kehidupan... Hanya Dia yang tahu...
JARUM jan sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bintang-bintang mulai menunjukkan sinarnya setelah hujan mulai berganti menjadi gerimis kecil. Tapi jendela kamar itu masih terbuka, menunjukkan dengan jelas wajah penghuninya yang masih sibuk komat-kamit menghafal. Buku dengan tulisan GEOGRAFI besar-besar di sampulnya tergenggam di tangannya. Sesekali dia melirik ke arah tulisan di buku itu, tapi selebihnya matanya jelajatan melihat bintang-bintang melalui jendela kamar. Karena gerimis, dia malas beranjak ke balkon. Lagi pula hari ini bintang tidak begitu terang sinarnya, tidak bagus. Angin malam yang sepoi-sepoi sesekali mengibaskan rambut hitamnya yang lurus sebahu.
"Huuff... Akhirnya selesai juga," gumamnya seraya menutup buku dan meletakkannya di meja belajar. Saat ingin berbalik, pandangannya menyapu sekilas sebingkai foto yang terpajang di meja belajarnya. Dia mengambil foto itu dan membawanya ke ranjang. Sesaat pandangannya menerawang jauh. Jauuhhh ke masa lima tahun silam. Ada empat sosok dalam foto itu. Foto sebuah keluarga yang terlihat sangat bahagia. Di tengah-tengah, seorang gadis mungil berdiri sambil membawa boneka beruang besar. Itu dirinya saat berumur sebelas tahun.
Terkadang dia sering merasa iri pada dirinya sendiri di foto itu. Dia masih bisa tersenyum bebas dan tertawa lepas tanpa beban. Entah sejak kapan dia lupa rasanya punya keluarga yang bahagia. Di sebelahnya berdiri sesosok wanita dengan tubuh kurus dan kelihatan pucat. Namun, senyumnya tidak dapat memungkiri perasaan tulus yang yang terpancar dari sosok seorang bunda. Seorang bunda dengan senyum emas dan hati seindah pelangi. Bunda terbaik yang pernah dia miliki.
Lalu sosok jangkung yang merangkulnya. Pandangan yang begitu ramah, begitu hangat. Seorang yang telah menempatkan dirinya lebih daripada sekadar seorang kakak. Sebuah cinta yang telah mengisi kotak hatinya yang terdalam walaupun kemudian berubah menjadi mimpi buruk sepanjang masa.
Mereka... Dua orang yang paling dicintainya, dua orang yang selalu bilang sangat mencintainya. Tetapi mereka jugalah yang pergi meninggalkannya. Pergi jauh... Lebih jauh dari embusan angin dan bentangan awan. Mereka telah menemukan tangga... Ke surga.
Terakhir, sosok pria yang paling dewasa di foto itu. Sosok dengan kehangatan seorang ayah. Sosok yang membawanya bermimpi menjadi putri kecil dengan baju dan istana indah. Namun, sosok itu pula yang melemparkannya ke tempat penyihir jahat yang penuh ular berbisa.
Dia mendesah. Senyum sinis tersungging di bibir cewek itu. "Foto yang menipu," gumamnya.
Dia beranjak dari tempat tidurnya, meletakkan kembali foto tadi di meja belajar. Sesaat dia tercenang, sebelum akhirnya setetes air bening mengalir melintasi pipinya. "Baekhyun..."
Ketukan dan panggilan dari arah pintu membuat Baekhyun buru-buru menghapus air mata dan merapikan rambut di depan cermin, sebelum melangkahkan kaki membukakan pintu.
Baekhyun mengangguk pelan begitu melihat sosok di depannya ini. "Masuk, Paman...," ujarnya seraya mundur beberapa langkah memberikan jalan, dan kembali menutup pintu saat sosok itu sudah duduk di sofa di sebelah tempat tidur. Baekhyun tersenyum lalu ikut duduk.
"Kamu suka sama kamar kamu?" tanya pria itu. Baekhyun mengangguk. "Suka, Paman."
Jelas aja suka, gimana nggak suka samar kamar yang besarnya aja empat kali lipat besar kamarnya yang dulu. Bukan hanya lebih besar, isinya juga lebih banyak. Kamar Baekhyun tepat berada di sudut kiri lantai dua. Di tengah-tengah kamar terdapat double-bed, berseprai biru dengan motif kotak-kotak, di sebelah kirinya ada meja belajar superbesar berbentuk huruf L. Lengkap dengan dengan laci-laci dan rak buku. Di sebelah kanan tempat tidur masih ada sofa yang superempuk, lengkap dengan boneka-boneka. Di depan sofa bertengger dengan gagah sebuah TV flat ukuran 34 inch berikut DVD/VCD/CD player dan mini compo.
Di sekeliling sofa dan tempat tidur tergelar permadani yang kalau diinjak kakimu akan tenggelam beberapa senti saking tebalnya. Di pojokan samping meja belajarnya, Iya menaruh meja kecil yang dipasangi taplak biru tua untuk meletakkan cermin kecil dan peralatan cewek lainnya. Biasanya dia menyebut tempat itu "pojokan dandan".
Di sebelahnya ada pintu menuju kamar mandi. Dan dinding di bagian kanan, yang letaknya bersebelahan sengan sofa, terbuat dari kaca dengan pintu geser yang juga dari kaca, untuk menjadi pemisah antara kamar dan balkon. Dari sofa itulah, Baekhyun selalu menghabiskan malamnya memandangi bintang-bintang. Di langit-langit kamarnya pun banyak bertempelan bintang-bintang dan bulan glow in the dark. Coba aja, dengan kamar seperti ini mana bisa Baekhyun nggak bilang suka.
Pria tadi adalah Henry. Dia ayah angkat Baekhyun sejak tiga minggu yang lalu. Sejak mamanya meninggal tiga bulan yang lalu, Baekhyun diangkat anak olehnya. Tidak jelas apa alasannya dan apa hubungan Henry dengan keluarganya. Baekhyun pun baru bertemu dengannya sekali ini. Pria itu hanya bilang bahwa dia teman lama mamanya. Baekhyun memang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kakek dan nenek sudah tidak ada. Papanya anak tunggal, jadi tidak punya saudara. Satusatunya saudara mamanya sudah meninggal sejak Baekhyun belum lahir.
Sulit baginya menerima semua kenyataan yang tergelar di hadapannya sekarang ini. Sejak kepergian papanya, yang berlanjut dengan kematian kakak dan mamanya, Baekhyun benar-benar sebatang kara. Sehingga saat ada sesosok pahlawan yang menawarkan rumah, makanan, pakaian, uang, dan segala kebutuhan lainnya, mana mungkin Baekhyun menolak. Apalagi saat ini dia hanya seorang anak berumur emam belas tahun. Belum lulus SMA, mana bisa cari kerja?
Henry sendiri seorang pria berusia 48 tahun. Pekerjaannya direktur sebuah industri teksil. Dengan perusahaan yang sudah bertaraf internasional, tidak mengherankan kalau dia jarang ada di rumah. Sering bepergian ke luar kota maupun ke luar negeri, mengurus anak-anak perusahaannya, yang sudah menjadi makanannya selama dua belas tahun ini. Jangan heran kalau dalam satu tahun dia hanya berkunjung ke Indonesia (ke Jakarta tepatnya) sekali-dua kali saja. Itu pun paling satu atau dua minggu.
Istrinya, Amber, juga tidak ada bedanya. Dia lebih pantas disebur wanita karier daripada seorang istri. Sifatnya sangat tegas, berkarakter, elegan, benar-benar mencerminkan wanita kelas atas. Hanya saja, dia tidak pantas disebut ibu yang baik. Kesibukannya dalam mengurus bisnis tidak ada bedanya dengan Henry. Walaupun tidak sampai harus terus-menerus ada di luar negeri, dia jarang sekali ada di rumah.
Makanya, Baekhyun sendiri sebenarnya merasa sangat bingung dan heran. Seorang pengusaha kelas atas, yang banyak kenal dengan menteri-menteri di sana-sini, sibuknya setengah mati, datang ke rumahnya dua bulang yang lalu untuk menghadiri pemakaman mamanya sekaligus menawari Baekhyun untuk menjadi anak angkatnya.
Baekhyun sendiri tidak terlalu mengerti alasannya. Setiap Baekhyun bertanya, jawabannya hanya lima patah kata. "Nanti kamu juga kan tahu." tadinya Baekhyun juga agak-agak takut menerima tawarannya.
Tetapi, setiap hari Henry membujuknya, datang ke rumahnya dan memastikan bahwa dia memang tidak punya maksud tertentu. Dia benar-benar ingin mengangkat Baekhyun tanpa alasan yang terselubung.
Sempat sih terpikir oleh Baekhyun kalau ujung-ujungnya dia akan dijadikan istri simpanan, sekarang kan banyak penjahat kelas atas yang mengambil istri muda yang beda umurnya dua puluh sampai tiga puluh tahun.
Tapi akhirnya, karena Baekhyun merasakan ketulusan pria yang terusmenerus membujuknya tanpa henti selama satu bulan, dia menyetujui tawaran mengangkatan anak itu. Dengan satu syarat, dia tidak mau memanggil Henry dengan sebutan papa dan Amber dengan sebutan mama. Henry langsung menyetujuinya. Prosedur pengangkatan tidak terlalu lembar berkas, kemudian dia resmi diangkat anak.
Seminggu kemudian semua barang miliknya sudah diangkut ke kamar barunya di rumah itu.
Dan dimulailah kehidupan Baekhyun yang baru.
Oh, ya, Henry dan Amber mempunyai satu anak. Namanya Park Chanyeol. Maklum kakek buyut mereka orang Jerman, jadi namanya masih berbau-bau Korea. Walaupun Baekhyun sendiri keturunan Korea pula.
Baekhyun tahu dari awal kehadirannya di sini, Chanyeol dan Amber sangat tidak menyukainya. Memang sih, mereka tidak menyuruh Baekhyun bekerja yang berat-berat seperti layaknya ibu dan kakak tiri Cinderella.
Jelas aja, pelayan mereka segudang kok. Bibi Jung khusus memasak, Bibi Im khusus mencuci baju, Bibi Lim khusus membersihkan rumah, Paman Kim khusus mengurus kebun dan kolam renang, ada juga Mang Asep yang jadi satpam. Apa coba yang mesti dikerjakan Baekhyun lagi?
Hanya saja sikap mereka sangat-sangat tidak bersahabat. Mereka sering kali menganggap Baekhyun hanya bayangan yang tidak kelihatan, sehingga menyapa pun mereka tidak pernah.
Sebenarnya Baekhyun juga itdka terlalu pusing dengan persoalan ini, dia juga tidak mau pedulu. Ada yang ngasih makan aja udah bagus. Dia lebih menganggap semuanya itu sebagai anugerah dibanding penyiksaan mental. Biarpun begitu, siapa coba yang nggak keki kalau terus-terusan dicuekin. Emangnya dia tembok?
Tapi harus diakui, kehidupan materinya sangat berubah sembilan puluh derajat.
Kehidupan Baekhyun sebelumnya tidak tergolong miskin. Papanya bekerja sebagai karyawan swasta. Penghasilannya cukup besar. Mamanya memang tidak bekerja, lebih banyak meluangkan waktu di rumah mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Dia dan kakaknya, Sehun, bersekolah di sekolah unggulan.
Dia juga bisa membeli barang-barang yang dia inginkan. Memang tidak berlebihan, tapi hidupnya bisa dibilang sangat berkecukupan. Apalagi Baekhyun tidak pernah kekurangan kasih sayang. Baik dari Mama, Papa, maupun kakaknya.
Hanya saja semua itu terjadi sebelum tragedi itu datang.
Sekarang dia pindah sekolah ke SMA yang setingkat di atas golongan elite. Makan makanan mewah setiap hari (kecuali sarapan yang cuma roti panggang), tidur di kasur empuk dengan bantal dari bulu angsa, bisa berenang kapan saja dia mau (mmm... Nggak juga sih, soalnya Baekhyun nggak bisa berenang), dan tidak perlu mengurus rumah.
Sebelum ini, mamanya tidak suka dengan pembantu, bukan karena tidak mampu membayar, hanya saja dia lebih suka mengurus rumah sendiri, sehingga Baekhyun dididik untuk mandiri.
"Lusa Paman akan berangkat ke Singapura," ujar Henry lagi. "Paman harap kamu bisa cepat kerasan tinggal di sini."
Baekhyun hanya tersenyum kecut. Sepertinya akan susah. Sebenarnya Baekhyun masih ingin menanyakan alasan kenapa Paman Henry mengangkatnya menjadi anak, tapi Baekhyun melihat hari ini tampang Henry sangat letih sehingga dia mengurungkan niat tersebut. Dia malas mencari masalah hari ini.
"Sebenarnya Paman berencana ingin menjual rumahmu."
Kalimat yang cukup membuat Baekhyun membelalakkan mata. "Apa?"
Yang benar saja! Dia sudah kehilangan Mama, Papa, Kakak, dia sudah kehilangan semua orang yang dicintainya. Sekarang, satu-satunya benda yang dimilikinya juga harus hilang?
Melihat mata Baekhyun yang lebih membulat dibanding biasanya, mau tak mau Henry melepaskan senyum tipis. " Paman belum menjualnya kok. Paman mau meminta persetujuan kamu dulu. Lagi pula, rumah itu kosong. Kan repot juga ngurusnya. Belum lagi bayar PBB, biaya iuran ini, iuran itu..."
Baekhyun mendengus. Emangnya semahal apa sih iuran-iuran itu dibandingkan kekayaan yang dimiliki pria itu. Paling juga nggak sampe seperseratus dari kekayaannya. Tapi sedetik kemudian dia tersadar, buru-buru dia menepis pikiran jeleknya tadi. Udah numpang, masa nggak tahu diri sih.
"Mmm, gimana ya... Gimana ya? Soalnya... Itu kan...," Baekhyun menggaruk-garuk kepalanya. Sebenarnya dia sangat tidak ingin kehilangan rumah itu, tapi dia juga merasa tidak enak kalau ingin tetap mempertahankannya.
"Oh iya, Paman..." tiba-tiba dia mendapatkan akal. "Kalo dikontrakin aja gimana, Omm? Jadi kan ada yang ngurus. Terus Paman juga nggak repot tapi kepemililkan masih tetep milik papa saya, gimana, Paman?"
Henry hanyan tersenyum. Biasanya kalau dia tidak berkata apa-apa tandanya setuju. "Oke kalau begitu. Sekarang kamu tidur deh, udah malem. Besok sekolah, kan? Paman keluar dulu. Maaf ya udah ganggu kamu. Paman harap kamu bisa betah tinggal di sini. Tante Amber sama Chanyeol memang agak keras kepala. Tapi sebenarnya mereka baik kok. Mereka belum kenal kamu saja. Jangan sungkan-sungkan ya," ujar Henry sambil mengelus rambut Baekhyun.
Sekilas tebersit kembali pikiran jeleknya tentang istri simpanan. Tapi dia buru-buru menepisnya. "Iya, Paman. Tenang aja. Makasih, Paman. Baekhyun udah banyak ngerepotin Paman."
Setelah Paman Henry keluar, Baekhyun beranjak ke balkon. Gerimis sudah berhenti. Bintang sudah mulai bermunculan.
Bulan separuh bersinar tidak begitu terang. "Bintang, mudah-mudahan besok lebih baik daripada hari ini."
.
.
.
.
Chanyeol membanting buku geografinya ke kasur. Sinting! Baru seminggu masuk sekolah, udah ada ulangan. Sekolah apaan tuh? Gedungnya aja yang bagus, tapo semua gurunya nggak berperasaan.
Apalagi ditambah harus sekelas dengan saudara tirinya yang menurutnya cukup aneh! Tolong dicatat besat-besar!
ANEH! Masih terngiang di benaknya saat kemunculan cewek itu pertama kali di rumahnya.
Dia datang dengan membawa koper superbesar dan rambut lurus tergerai. Tadinya Chanyeol pikir, anak angkat itu identik dengan pakaian lusuh, tubuh superdekil, tampang yang mengenaskan karena hidup sebatang kara dan kurus ceking karena kurang makan, and guess what? He's totally wrong!
Kenyataannya amat sangat berbeda dari apa yang dibayangkannya. Cewek itu jauh sekali dari kesan lusuh, apalagi dekil. Kulitnya putih, bajunya juga layaknya anak ABG_tank top pink, celana jins, dan sepatu pump biru cerah. Wajahnya memang terlihat pucat, tapi senyumnya masih melekat di wajahnya. Tubuhnya juga tidak bisa dibilang ceking, walau untuk ukuran Chanyeol, dia masih termasuk kurus.
"Chanyeol, mulai sekarang dia jadi adik angkat kamu. Jangan galak-galak! Dia bakal tidur di kamar atas, sebelahan sama kamar kamu," kata Papa saat memperkenalkan cewek itu.
What?! Masuknya ceweknya cewek asing ke rumah ini aja sudah membuat Chanyeol pusing setengah mati. Dan sekarang makhluk aneh itu harus tidur di kamar sebelahnya?
Memang sih di rumah besar itu ada enam kamar. Di lantai bawah terdapat empat kamar. Yang satu, kamar yang paling besar, kamar mama dan papa Chanyeol. Yang satu lagi, kamar tamu. Kadang-kadang kalau sedang berada di Jakarta, Papa sering mengundang rekan bisnisnya makan malam dan menginap. Sisanya, yang dua lagi itu, kamar pembantu. Sedangkan di lantai atas ada dua kamar. Yang satu miliknya, sedangkan yang satu lagi memang tidak terisi.
Dan dia tidak bisa membayangkan, lantai dua yang biasanya menjadi daerah kekuasaannya kini harus dibagi dua dengan cewek asing yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Kenalin. Gue Byun Baekhyun. Panggil aja Baekhyun. Maaf ya udah ngerepotin. " Baekhyun mengulurkan tangan kanannya.
Mau tak mau Chanyeol membalasnya sekilas. "Park Chanyeol."
Belum lagi ras herannya hialng, tiba-tiba Baekhyun nyerocos. "Wah, namanya bagus banget! Tapi kepanjangan ah, nggak enak manggilnya. Gimana kalo... mm... Chanyeol... Ah iya, gue panggil Yeollie aja ya? Bagus kan, Yeollie? Dulu gue punya kura-kura kecil. Namanya juga Yeollie. Lucu, kan?"
Chanyeol melotot. Sinting! Masa dia disamain sama kura-kura? Jadi begini nih keadaan anak angkatnya Papa yang katanya baru kehilangan nyokapnya? Sama sekali nggak ada kesan kalau dia sedang berkabung.
Sejak kehadiran Baekhyun di rumah ini, Chanyeol tidak bisa tidur nyenyak dan makan dengan enak. Bayangkan saja, Papa yang tidak pernah ingat ulang tahunnya (ulang tahun Chanyeol maksudnya), Papa yang di kepalanya hanya ada bisnis, Papa yang pulang hanya setahun sekali itu, tiba-tiba balik ke Jakarta hanya untuk ngurusin pengangkatan anak yang boro-boro punya hubungan darah, yang bahkan Chanyeol sendiri pun nggak kenal.
"Kan kasihan dia udah nggak punya siapa-siapa lagi," ujar Papa beberapa hari lalu saat Chanyeol memperotes tindakan papanya itu.
Cih, baru kali ini dia mendengar papanya yang gila uang itu berbicara tentang makna kasihan. Siapa sih sebenarnya cewek itu? Yang Chanyeol tahu hanya sebatas:
1. Papa Baekhyun pergi dari rumahnya dua tahun yang lalu,
2. Kakak Baekhyun meninggal setahun yang lalu karena overdosis, dan
3. Mama Baekhyun tiba bulang yang lalu meninggal karena sakit jantung. Yang bener aja! Masa Papa ngangkat anak yang asal-usulnya aja berantakan?
Chanyeol berjalan keluar kamar. Buku geografinya ditinggal begitu saja. Lampu kamar Baekhyun sudah padam. Maklumlah, semuap pintu di rumah itu terbuat dari kaca yang digrafir. Jadi, Chanyeol bisa melihat lampunya sudah padam atau belum.
Dia beranjak turun mengambil minum. Langkahnya terhenti saat melihat papanya duduk di sofa. "Papa belum tidur?" tanya Chanyeol.
Pria itu tersenyum dan menyururhnya duduk di sebelahnya. "Kamu masih marah sama Papa karena mengangkat anak tanpa menanyakan pendapatmu dulu?"
Chanyeol hanya diam. Bukannya memang selalu begitu? Nggak pernah ada pendapat!
Pria setengah baya itu mengembuskan napas panjang memandangi putra semata wayangnya. "Papa tahu Papa udah bikin kamu sama mama kamu kecewa banget sama Papa. Tapi, Papa punya alasan kuat di balik semua ini. Hanya saja, Papa nggak bisa bilang sekarang. Mama kamu juga masih keki tuh sama Papa. Makanya dia tidur duluan."
Chanyeol memandang wajah papanya. Dia benar-benar tidak habis pikir. Selama ini papanya orang yang paling terbuka perhadapnya. Tapi kenapa mendadak jadi misterius begini? "Yah, kecewalah. Aku kan sama sekali nggak kenal sama dia. Anaknya aneh begitu, lagi. Kenapa sih Papa nggak ngangkat anak yang laen aja? Yang bagusan dikit gitu."
Papanya tergelak mendengar ocehan anaknya. "Chanyeol, dia nggak seburuk itu kok. Oh ya, lusa Papa mau berangkat ke Singapura sama Mama. Abis itu mungkin ke Korea. Kamu baik-baik sama dia ya. Kalian juga kan baru satu minggu masuk sekolah, jadi jangan berkelakuan anehaneh. Baekhyun itu selalu dapat peringkat kelas, jadi kalau kamu kesulitan pelajaran, tanya aja sama dia. Dan kalau visa, kalian pulang-pergi sekolah sama-sama saja. Kamu kan bawa motor. Papa sengaja memasukkan dia ke SMA yang sama dengan kamu biar kalian bisa saling membantu." Chanyeol melongo .
Heh? Enak aja! Ngapain juga ngeboncengin dia ke sekolah? Sesaat Chanyeol mengingat kejadian tepat seminggu yang lalu.
Chanyeol membaca deretan huruf yang tertera pada selembar kertas yang dia pegang. Senyum puas muncul di wajahnya. Kemudian dia berjalan dan masuk ke kamar Baekhyun tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Chanyeol bengong melihat kamar itu kosong.
Masih jam enam pagi kok udah gak ada orangya sih? Tapi semenit kemudian matanya melotot melihat Baekhyun yang baru keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan selemar handuk!
Chanyeol tidak begitu jelas mendengar umpatan apa yang keluar dari mulut Baekhyun. Yang jelas, segala jenis bantal dan perabotan beterbangan ke arahnya, membuat dia lari tunggang-langgang keluar kamar.
Setengah jam kemudian...
Mereka duduk berhadapan di sofa yang terdapat di depan kamar mereka berdua. Di depan kamar Baekhyun dan Chanyeol terdapat terdapat semacam perpustakaan kecil. Pada salah satu sisi dinding penuh berbagai buku. Di sisi yang lain terdapat komputer dan sofa hijau.
Di sofa itulah mereka duduk saat ini. "Ini..." Chanyeol menyerahkan selembar kertas.
"Apaan nih?" Baekhyun mulai membaca kata per kata.
PERATURAN
1. Di sekolah harus pura-pura saling tidak kenal apalagi ngaku-ngaku sodara.
2. Pulang dan pergi sekolah sendiri-sendiri.
3. Kalau di rumah nggak boleh nanya-nanya persoalan peribadi.
4. Pemakaian komputer harus keizin Chanyeol.
5. Harus menjaga privasi satu sama lain, jadi nggak boleh masuk kamar orang lain sembarangan.
Baekhyun mengerutkan dahinya kemudian tertawa. "Apaan nih? Masih zaman ya, pake peraturan-peraturan segala? Yeollie lucu deh..."
Mata Chanyeol hampir keluar beberapa senti. Bukan hanya karena Baekhyun tidak menanggapi perjanjian itu, tetapi lebih karena dia dipanggil "Yeollie".
"Jangan panggil gue Yeollie!" Chanyeol hampir berteriak, tapi Baekhyun hanya senyam-senyum.
"Kalo gitu gue juga punya peraturan," ujar Baekhyun dengan senyum licik. "Kalo gue boleh manggil elo dengan panggilan Yeollie, apa pun peraturan yang elo buat pasti gue turutin. Gimana?"
Chanyeol merasa darahnya sudah hampir sampai ubun-ubun. Bener nggak sih nyokapnya anak ini bar meninggal? Kok nggak ada sedih-sedihnya? Mimpi apa pula dia, kok bisa dapet adik angkat kayak gini? Bayangan Chanyeol sebelumnya karena dia anak tunggal, seorang adik adalah sosok yang manis, ramah, lucu, cantik, dan pintar.
Tapi begitu melihat Baekhyun, semua pikiran itu langsung kabur entah ke mana. Sebenarnya nggak bisa dibilang kalau Baekhyun itu adik angkat, karena toh mereka seumur. Chanyeol hanya lebih tua dua bulan dibanding Baekhyun.
"Eh, jangan bengong!" Suara Baekhyun membuatnya terkejut. "Gimana? Gue kan cuma punya satu aturan. Masa nggak mau? Lagian nama Yeollie kan lucu."
Chanyeol menelengkan kepalanya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, dia kembali mengambil kertas tadi dengan kasar dan berjalan masuk ke kamar.
"Hei..." Belum lagi tiga langkah, suara Baekhyun membuat langkahnya terhenti. Chanyeol berbalik.
Baekhyun menyungging senyum penuh kemenangan. Sesaat Chanyeol ingin sekali menghajarnya kalau tidak pngat makhluk yang ada di hadapannya itu berjenis kelammin perempuan.
"Lo tuh aneh ya?" Baekhyun menyilangkan kakinya ke atas sofa.
"Pertama, gue nggak pernah ngerasa punya saudara selain kakak gue sendiri. Lagian emangnya gampang nganggep orang yang sama sekali belom gue kenal jadi kakak gue?
"Kedua, gue bakal dianter-jemput sama temen gue. Dan yang lebih penting lagi, dia itu bawa mobil. Jadi, mau sebagus apa pun motor li, tetep aja yang namanya mobil lebih bagus daripada motor. Dan gue juga nggak butuh dianter-jemput sama lo.
"Ketiga, emangnya gue mau tahu apa soal perbadi lo? Tenagn aja, lo bukan tipe gue kok. Lo tuh cuma bagus di tampang doang, tapi..." Baekhyun menunjuk-nunjuk dahinya. "Otak lo kosong."
Chanyeol melotot. Tapi Baekhyun tak peduli.
"Keempat, gue juga tahu diri kok. Komputer itu kan emang punya lo. Gue juga nggak bakal make punya orang lain tanpa izin.
"Kelima, bukannya tadi lo yang masuk duluan ke kamar gue sembarangan? Untung tadi gue pake handuk. Coba kalo gue nggak pake apa-apa?"
Masih dengan senyumnya, Baekhyun berjalan masuk ke kamar, meninggalkan Chanyeol yang saat itu mengeluarkan asap dari berbagai lubang di tubuhnya. Cewek itu bukan saja membuatnya kesal, tapi juga sudah membuat harga dirinya habis sampai tetes terakhir.
Sejak saat itu, Chanyeol sangat ingin membunuh Baekhyun.
.
.
TBC/END?
.
.
Setelah dipikir-pikir aku lebih baik original novelnya aja. susah banget kalau mesti diubah lagi. harus dirombak semuanya. jadi ini ga baku ya^^ mumpung masih chapter 1 jadi aku masih bisa rubah hehe. yang sudah baca chapter 1 gausah baca lagi, intinya sama aja kok:D
Banyak peminatnya kah ff ini?
Apakah perlu di lanjut?
Sebenarnya aku mau bikin YAOI, tapi aku ga sreg. Jadi gue bikin jadi GS aja.
Semoga tidak ada typo:vvv
Review ya kalau mau dilanjut;))
Byunnerate
