Di dunia ini tak hanya ditinggali manusia dan makhluk nyata yang lain, tapi juga mereka..
Mereka, sosok tak kasat mata. Sosok yang tak bisa kita lihat sewaktu-waktu...
Tapi meski kita tak bisa melihat mereka, bukan berarti mereka tak ada..
Bisa saja saat ini, mereka berada tepat di belakang kita..
.
Disclaimer : © Masashi Kishimoto
Warning : AU, OOC (mungkin?), alur gak jelas, dll
.
.
Suara sang gemuruh memenuhi kedamaian sang malam tanpa henti, dan selalu diakhiri dengan kilat dan petir yang menyambar-nyambar di langit. Suasana tak mengenakkan terlihat jelas, ditambah udara dingin yang membekukan tulang yang sanggup membuat bulu kuduk berdiri.
"Naruto, kau yakin kita akan memainkan permainan ini?"
Di dalam sebuah bangunan tua, berdiri beberapa orang pemuda dan tiga orang gadis. Seorang gadis berambut pirang ponytail berdiri dengan gelisah, iris aquamarinenya memandang kangit-langit dan sekeliling bangunan dengan ngeri. Ekspresi dan wajah pucatnya menunjukkan jika gadis ini benar-benar dalam keadaan takut sekarang.
"Tentu saja! Kemarin kita kan sudah sepakat untuk memainkannya, Ino!" Naruto menyahut dengan penuh semangat.
"Tapi.. Kalau dia benar-benar muncul bagaimana?"
"Hee.. Kalau dia muncul bukankah itu menyenangkan? Berarti permainan ini benar-benar terbukti!"
"Sudahlah Ino," Sakura menyahut. "Kita lakukan saja. Lagipula kita kan melakukannya bersama. Kalau terjadi sesuatu kita bisa mengatasinya bersama."
Ino menghela napas seraya menatap Naruto jengkel. "Baiklah. Tapi kalau terjadi apa-apa, kau yang tanggung jawab, Naruto!"
Naruto tersenyum dan mengarahkan jempolnya pada Ino. "Oke!"
Shikamaru menjejalkan kedua tangannya di saku celana sambil menatap langit-langit yang sudah bobrok. Tatapannya kemudian tertuju pada Hinata yang terdiam sambil tersenyum kecil. "Hinata, kau sudah membawa lilin untuk kita semua?"
"S-sudah. Tapi aku hanya bawa tujuh lilin, apa itu cukup?"
"Itu sudah cukup, Hinata. Lagipula kita kan cuma berenam," Sakura menyahut santai.
"Baiklah teman-teman, ayo, kita mulai permainannya sekarang." Naruto tersenyum dan memimpin mereka berjalan ke salah satu ruangan di bangunan tua itu.
Hyaku Monogatari, sebuah permainan kuno asal Jepang. Permainan pemanggil roh yang membutuhkan 100 orang dan menceritakan 100 kisah hantu di sebuah ruangan yang hanya bermandikan cahaya lilin. Dan menurut legenda, akan ada sesosook roh yang muncul tepat setelah lilin terakhir padam. Roh bernama Aoandon, roh berwujud wanita berkimono biru dengan rambut hitam yang menjuntai.
Cara memainkan permainan ini tidak terlalu sulit. Sebelum bermain, kita harus memanggil beberapa orang dan menyiapkan 100 buah lilin. Permainan ini membutuhkan tiga ruangan, yang jika dilihat dari atas ruangan itu berbentuk huruf L. Mereka harus menceritakan sebuah kisah hantu sambil memegang sebuah lilin yang menyala di ruangan pertama. Dan setelah mereka selesai bercerita, mereka harus mematikan lilin tersebut dan berjalan seorang diri menuju ke ruangan ketiga. Di ruangan itu harus ada sebuah cermin dan sebuah lentera. Mereka harus bercermin sambil memegang lentera itu, dan setelah itu mereka harus kembali ke ruangan pertama. Dan begitulah seterusnya, sampai lilin ke seratus.
Naruto yang membaca tentang legenda permainan ini menjadi tertarik. Ia menceritakan permainan Hyaku Monogatari ini kepada Sasuke dan Sakura saat di sekolah dan sepakat untuk memainkannya malam ini. Tapi mereka tak hanya bertiga, mereka juga mengajak Hinata, Shikamaru, dan Ino supaya suasana tidak terlalu sepi. Dan akhirnya, disinilah mereka sekarang. Berkumpul di sebuah bangunan tua di sudut kota yang sepi untuk memainkannya. Bertemankan suara gemuruh dan kilat yng mendominasi di langit malam.
"Yosh! Siapa yang mau bercerita duluan?" Naruto memandang semua temannya meminta jawaban. Tapi mereka semua tak berkutik, tetap duduk diam di tempatnya memandang Naruto dengan datar.
"Lebih baik kau duluan saja, Naruto. Kau yang bersemangat memainkan permainan ini." Sasuke akhirnya menyahut. Meski ia sedikit tak yakin dengan ucapannya supaya Naruto yang pertama bercerita. Sahabat pirangnya yang hiperaktif ini, mana mungkin pernah mengalami kejadian seram, paling-paling hanya khayalannya atau kesalahan semata.
"Baiklah, aku akan mulai." Naruto memegang lilin miliknya yang menyala dan mendekatkan ke wajahnya. Rautnya berubah serius dan tampak menyeramkan terkena cahaya temaram lilin.
"Ini kisah saat aku masih kecil."
"Sejak kecil aku memang seorang anak yang periang dan sangat aktif. Di manapun jika aku bertemu orang aku akan tersenyum dan menyapanya meski aku sama sekali tak mengenalnya. Oleh karena itu semua orang-entah anak-anak seumuran maupun orang dewasa sangat menyukaiku. Di sekolah dan di rumah aku punya banyak teman. Mereka selalu mengajakku bermain atau melakukan sesuatu yang menyenangkan.
Tapi walaupun aku anak yang periang, saat di rumah aku jarang bermain dengan anak-anak tetangga. Aku sering mengurung diriku di kamar sendirian, entah untuk bermain atau mengerjakan sesuatu yang kuinginkan. Ayah dan ibu juga tidak pernah memprotes kebiasaanku, mungkin karena mereka tahu, jika sebenarnya aku sangat menyukai ketenangan. Aku suka saat dimana aku sendirian dan terdiam. Aku terbiasa untuk memejamkan mata dan mendengarkan sesuatu dengan saksama saat aku di kamar..
Tapi, setiap aku melakukannya.. Setiap aku memejamkan mata dan mendengarkan, aku merasakan seolah aku tak sendirian. Aku merasakan kehadiran orang selain diriku di kamar, dan terkadang aku mendengar suara yang memanggil namaku lembut.
Ayah dan ibu tidak terlalu percaya supranatural, jadi saat aku bercerita mereka hanya tersenyum dan berkata jika itu hanya sebuah imajinasi dan itu wajar, karena aku masih kecil.
Tapi suatu hari, aku sadar. Itu bukan imajinasiku. Semua hal itu nyata.
Di suatu malam, aku melihatnya. Sesosok gadis berambut hitam panjang terduduk di atas ranjang dan tersenyum kepadaku.
Aku seharusnya menjerit dan berlari ketakutan, tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya hanya menatap gadis itu lekat dan mendekatinya. Dia sangat cantik, rambut dan matanya sangat indah. Bibirnya merah dan sangat indah saat tersenyum. Tapi saat itu aku masih kecil, jadi aku tak terlalu mengerti tentang gadis cantik. Aku sangat menyukainya saat ia tersenyum padaku dan mulai menganggap kalau dia kakak perempuanku.
Saat aku berada tepat di depannya, dia tersenyum lembut dan membelai rambutku dan memanggilku, "Naru."
Saat itu aku kaget karena dia tahu namaku, aku menatapnya dengan bingung. "Bagaimana kakak bisa tahu namaku?"
"Tentu saja kakak tahu. Kakak tahu segalanya tentang Naru,"
Saat itu euforia kebahagiaan muncul dalam diriku. Aku tersenyum penuh semangat padanya. "Apa kakak seorang peri yang dikirim Tuhan untuk menjagaku?"
Ia tersenyum dan mengangguk. "Ya, aku datang untuk menemani dan menjaga Naru. Kakak akan selalu berada di samping Naru dan bermain dengan Naru."
Saat itu, aku sangat senang dan menghambur memeluknya. Dia nyata, bukan sesosok hantu yang ada di film-film horor. Aku bisa menyentuhnya, memeluknya, dan merasakan hembusan napasnya. Mulai saat itu, aku mulai memanggilnya 'kakak' dan selalu bermain bersamanya. Bahkan sejak saat itu aku semakin sering mengurung diriku di kamar. Ah, bukan. Aku selalu mengurung diriku di kamar dan bermain bersamanya.
Ibu dan ayah mulai khawatir denganku, dan saat itulah aku menceritakan hal itu pada mereka dengan riang bahwa Tuhan mengirimkanku seorang kakak perempuan untuk menjaga dan bermain denganku. Mereka tentu tidak percaya dan menganggapku mengkhayal terlalu tinggi, aku jadi sedikit kesal dan mengajak mereka ke kamarku untuk membuktikan tentang kakak.
Di kamar aku menemukannya duduk di atas ranjang sambil tersenyum menatapku. Aku lalu menunjuknya dan berkata pada ibu kalau dia kakakku. Tapi ibu tak merespon, ibu terdiam shock dan langsung menjerit ketakutan, ayah langsung memeluk ibu dan berucap sesuatu dengan aneh. Saat aku menoleh ke ranjang aku tak menemukan siapapun. Kakak tidak ada disana.
Malamnya ayah tidak mengijinkanku tidur di kamar dan menyuruhku untuk tidur bertiga bersama ayah dan ibu. Saat itu aku tidak tahu kenapa ibu tiba-tiba berteriak saat aku menunjuk kakak, atau kenapa ayah melarangku untuk kembali ke kamar.
Keesokannya, aku menyelinap masuk ke dalam kamarku. Aku menemukan kakak duduk di lantai sambil menangis. Saat menatapku, kakak langsung menghambur memelukku. Tapi mendadak aku merinding, karena saat memelukku kakak tidak seperti berlari, seolah mengambang dan bergerak cepat. Saat aku melirik ke bawah aku tidak bisa melihat kakinya dengan jelas karena gaunnya yang panjang.
"Kakak, aku minta maaf karena tidak bisa menemani kakak semalam,"
Kakak melepaskan pelukannya dan menatapku dengan mata onyx-nya yang lembut. "Tidak apa-apa, yang penting sekarang kakak bisa bersama Naru lagi."
Aku menyadari sedikit perbedaan pada kakak. Wajahnya sangat pucat dan ia terlihat menyeramkan. Senyumnya terlihat kosong.. Seolah bukan manusia.. Tapi aku menghapus pikiran burukku dan tersenyum lebar pada kakak.
"Kakak, kakak lapar tidak? Kalau kakak lapar ayo kita makan bersama!"
Kakak menggeleng pelan. "Maaf, tapi kakak tidak lapar, Naru. Tapi apa kakak boleh meminta satu hal?"
Aku menatapnya bingung. "Kakak mau minta apa?"
Kakak mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik, "Tolong singkirkan benda aneh yang ada di depan kamar."
Bulu kudukku seketika berdiri. Suara kakak menyeramkan. Datar, tanpa nada. Aku sampai nyaris pingsan karena ketakutan. Tapi aku meyakinkan diri dan berjalan keluar dari kamar untuk membuang benda aneh itu. Aku ingat, sebelum mengajakku masuk ked alam kamarnya ayah sempat meletakkan sesuatu di depan kamar. Jadi benda ini pastilah ayah yang meletakkannya.
Setelah membuangnya, aku kembali ke kamar untuk bermain dengan kakak sampai sore.
Saat ayah pulang dari tempatnya bekerja, beliau membawa seseorang. Aku tidak mengenalnya, dia seorang kakek yang mengenakan sebuah kimono formal dan membawa benda-benda aneh. Saat mendekati kamarku, beliau tersentak kaget dan segera membaca sebuah mantra-mantra aneh dan berbicara pada ayah dan ibu. Saat menyadari bahwa benda yang ada di kamarku menghilang, ayah bertanya padaku dan aku mrnjawab dengan jujur jika aku membuangnya. Ayah menegurku dan berkata jika benda itu penting.
Malamnya, ayah juga menyuruhku untuk tidur bersamanya dan ibu. Kakek itu masih berada di rumah kami. Entah kenapa ayah membiarkan kakek itu menginap, tapi ya sudahlah.. Aku mengambil beberapa potong roti untuk kuberikan kepada kakak. Tapi saat aku baru ingin membuka pintu, aku mendengar suara aneh. Suara yang memanggil-manggil namaku, suaranya mirip seperti kakak-tapi jauh lebih menyeramkan. Aku jadi tidak berani masuk. Aku berjinjit dan bermaksud untuk mengintip lewat ventilasi di samping pintu kamar.
Aku langsung menjerit ketakutan.
Aku melihatnya.. Sesosok gadis berjubah putih dengan surai hitam panjang yang berantakan. Tubuhnya pucat pasi dan sangat kurus, tidak mencerminkan seorang manusia sedikitpun. Ia mengerang kesakitan dan berteriak memanggilku. Suaranya serak dan mengerikan. Ia nyaris saja menyadari keberadaanku tapi aku langsung berlari menghampiri ayah dan ibu sambil menangis.
Aku memberitahu mereka dengan cepat dan ayah langsung terburu-buru memanggil kakak tadi. Kakek langsung menuju kamarku sambil membawa sebuah dupa dan alat-alat aneh lainnya. Beliau membaca mantra khusus berkali-kali dan mengernyit aneh. Aku bisa mendengar seseorang menjerit keras saat kakek menaruh dupa dan membaca mantra dengan lantang. Ibu dan ayah memelukku dengan erat saat itu. Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi saat itu..
Sejak saat itu, aku tak pernah menemukan kakak. Dia menghilang, lenyap. Tepat setelah kakek melakukan sesuatu dengan kamarku.
Tapi sekarang aku tahu, gadis cantik yang selalu kupanggil kakak itu.. Bukanlah manusia.."
Naruto meniup lilinnya sampai padam. Ia langsung nyengir lebar saat semua temannya menatapnya dengan ngeri dan takut. Terlebih lagi Ino dan Hinata. Ia melihat gadis berambut lavender itu nyaris menangis ketakutan dengan wajah pucat pasi mendengar ceritanya.
"Naruto.. Kau benar-benar mengalaminya?" Sakura menatapnya dengan ngeri bercampur penasaran.
"Tentu saja! Sampai saat ini pun aku masih ingat dengan jelas rupa kakak. Kalian ingat seseorang yang kulukis di kelas seni? Itulah kakak."
Sasuke menelan ludahnya ngeri sebelum menghela napas pendek. "Baiklah, sekarang pergilah ke ruangan ketiga, Naruto. Dan segeralah kembali untuk mendengar cerita selanjutnya."
Naruto tersenyum dan segera berlari menuju ke ruangan ketiga. Disana terdapat sebuah cermin besar dan sebuah lentera yang akan digunakan untuk bercermin. Setelah bercermin, Naruto segera kembali ke tempat teman-temannya berada dan kembali duduk.
"Aku akan bercerita," ujar Sakura sambil tersenyum ramah.
Ia membiarkan lilinnya menyala di lantai. "Ini.. Kejadian yang kualami dua tahun yang lalu. Kejadian yang membuatku takut kepada boneka sampai sekarang,"
"Dulu, aku sangat suka boneka. Menurutku, mereka itu sangat lucu dan lembut! Di rumah aku punya banyak boneka-boneka beraneka bentuk yang kukoleksi sejak masih kecil. Sebagian dari boneka itu ada yang merupakan hadiah dari orang tuaku, dan ada yang kubeli sendiri.
Boneka yang paling kusuka adalah boneka berbentuk manusia. Atau yang lebih tepatnya, berbentuk gadis kecil. Aku mempunyai lima buah boneka yang berbentuk anak kecil manis yang diberikan oleh ayah sebagai oleh-oleh.
Saat itu ayah dan ibu berpamitan kepadaku untuk pergi ke Amerika karrna urusan pekerjaan. Mereka menitipkan rumah kepadaku bersama dengan bibi dan paman yang bekerja di rumah.
Seminggu setelahnya, ada pak pos yang datang ke rumahku mengantarkan sebuah paket yang cukup besar. Aku mengecek terlebih dahulu dari siapa paket itu dan ternyata dari Amerika. Aku sangat senang dan berpikir jika itu hadiah dari ayah dan ibu. Betapa terkejutnya aku saat mengetahui isinya adalah boneka anak kecil yang sangat cantik. Boneka itu cukup besar. Mungkin tingginya sekitar lima puluh senti. Aku sangat senang dan sempat memamerkan boneka itu pada bibi.
Setiap malam, aku selalu tidur bersama dengan boneka itu. Aku sangat menyayanginya.
Tapi seminggu setelahnya, aku menyadari keanehan pada boneka itu. Rambut dan kuku boneka itu bertambah panjang. Aku sempat berpikir jika itu hanya perasaanku saja. Tapi ternyata tidak. Bibi dan paman juga menyadarinya. Dan mereka bilang pernah melihat seorang anak kecil berjalan-jalan di dalam kamar saat aku tertidur.
Aku ingin membuktikannya, jadi keesokannya, aku pura-pura tertidur dan sedikit mengintip saat tengah malam. Dan ternyata, itu benar.
Boneka itu berubah wujud.. Menjadi seorang gadis kecil berlumur darah dengan rongga mata kosong dan tubuh yang tak utuh. Ia terus berjalan mengitari kamarku dengan aneh. Aku langsung berteriak dan keluar dari kamar memanggil-manggil paman dan bibi. Tapi.. Saat kami kembali masuk ke kamarku, anak kecik itu lenyap. Boneka itu kembali di tempatnya, di atas tempat tidur. Paman dan bibi juga takut, jadi malam itu juga mereka membakar boneka itu dan menghancurkannya.
Seminggu setelahnya, ayah dan ibu pulang ke rumah. Aku langsung bertanya kepada mereka.
"Ayah, kenapa ayah mengirimkan boneka yang menyeramkan kepadaku?"
Ayah tersenyum heran. "Boneka apa, Sakura?"
"Boneka. Boneka anak kecil yang ayah kirim dari Amerika berminggu-minggu lalu!"
Ayah dan ibu saling pandang sebelum menatapku. "Sakura, ayah tidak mengerti apa maksudmu,"
Ibu menyahut, "Ibu minta maaf sayang, karena saat pergi kami tidak berpamitan kepadamu. Tapi kami tidak pergi ke Amerika, sayang. Kami pergi ke Kyoto untuk mengurus pekerjaan kami. Dan ayah maupun ibu sama sekali tidak mengirimkan paket kepadamu,"
"T-tapi di kotaknya ada secarik kertas, tulisannya dari ayah dan ibu dari Amerika!" Aku terus menyangkal. "Aku masih punya foto boneka yang kalian kirimkan!"
Aku lalu menunjukkan foto dari boneka itu. Saat melihatnya, wajah mereka berubah pucat dan mereka menatapku dengan takut.
"Sakura, ibu akan beritahu sesuatu. Yang ada di foto itu.. Anak pemilik asli rumah ini yang telah meninggal lima tahun lalu. Dan dia bukan boneka, Sakura. Dia itu manusia."
Sang kilat menyambar di langit sebelum suara gemuruh amat kencang terdengar. Sakura meniup lilin di depannya sebelum beranjak pergi meninggalkan ruangan itu menuju ruangan ketiga untuk bercermin.
Sasuke memejamkan mata sejenak, merasakan dinginnya angin malam yang berhembus di sekitar kulitnya. "Aku akan bercerita, tentang sebuah kisah yang pernah diceritakan ibu."
"Ada sebuah legenda yang diceritakan turum menurun oleh para sesepuh kami. Di tengah malam, di setiap pertengahan musim dingin, akan ada sesosok wanita yang muncul. Wanita yang sangat pucat dan memakai kimono putih, dengan rambut hitam yang tergerai sepanjang tubuhnya, dan mata berwarna aneh seperti riak air.
Ia terus berjalan di atas salju-salju dan akan mengunjungi orang yang merupakan keluarga Uchiha. Ia datang kepada mereka, tanpa mengucap sepatah kata atau salam sedikitpun. Tatapannya sedingin udara di musim dingin, membekukan siapapun yang menatapnya secara langsung.
Wanita itu datang bukan tanpa tujuan. Tujuannya satu, untuk mengambil mata para Uchiha dan melenyapkan Uchiha itu.
Oleh karena itu, setiap musim dingin, akan ada seorang dari klan Uchiha yang meninggal. Atau bukan meninggal, tetapi menghilang. Dan beberapa hari setelahnya, ia akan ditemukan. Dengan tubuh pucat pasi yang rongga mata yang kosong dan hanya dipenuhi aliran darah beku."
Cahaya terang terlihat sepersekian detik saat kilat menyambar-nyambar, dan diiringi suara gemuruh yang menghancurkan ketenangan malam.
Angin yang berhembus kencang membuat api di lilin Sasuke padam seketika. Sedikit membuat yang lain tersentak, namun tak menghentikannya untuk berjalan meninggalkan teman-temannya. Sesosok bayangan hitam bergerak cepat di depannya, namun tak sempat bagi Sasuke untuk memerhatikan sesosok bayangan itu.
Ia menoleh pada teman-temannya, melihat Hinata menarik satu lilin dengan pelan dan mengangkatnya. Diterangi cahaya lilin itu Sasuke menyadari, wajah Hinata yang aneh. Wajahnya pucat pasu dan terlihat ketakutan, dan ia sedikit melirik sekeliling dengan pandangan takut-takut. Tapi Sasuke mengabaikannya dan segera pergi ke ruangan ketiga.
"Ano.. Apa sekarang aku boleh bercerita?" Hinata tersenyum untuk menghilangkan ketegangan diantara mereka. Sedari tadi ia merapatkan dirinya pada Sakura karena takut.
"Silahkan,"
Hinata mengangguk pelan sebelum meletakkan lilin di pangkuannya. Ditatapnya lilin itu intens dan sedikit melindungi supaya tidak padam terkena hembusan angin. Rautnya berubah datar. Iris lavendernya seolah kosong saat ia mulai menceritakan kisahnya.
"Dulu, ada sebuah kisah tragis tentang seorang murid di sekolah dasar.
Ia seorang siswi kelas lima SD. Ia gadis manis yang sangat ramah kepada semua orang, entah kepada teman maupun para guru. Dan dia juga merupakan murid yang sangat pintar dan cerdas. Oleh karena itu semua murid dan guru sangat suka kepadanya.
Setiap hari ia selalu bermain dengan teman-temannya di sekolah. Dan anehnya, setiap hari ia selalu membawa boneka aneh. Boneka seorang gadis berambut hitam pendek yang tersenyum. Ia tak pernah meninggalkan boneka itu di suatu tempat, dan ia selalu membawanya kemanapun.
Semua teman dan guru selalu bertanya alasannya membawa boneka itu. Tapi ia hanya tersenyum dan bilang kalau itu adalah boneka kesayangannya, jadi ia akan selalu membawanya kemanapun.
Tapi saat musim dingin datang, ia tak pernah lagi membawa boneka itu. Dan anak itu berubah, menjadi seseorang yang dingin dan penutup. Teman-teman jadi menjauhinya karena takut dengan tatapan dingin yang selalu ia berikan. Dan akhirnya dia dikucilkan oleh teman-temannya.
Keesokannya, seorang murid menghilang. Orang tua dan polisi suda mencarinya kemanapun, tapi ia tetap tidak ditemukan. Anak itu seolah menghilang ditelan bumi. Dan mulai hari itu setiap murid di sekolah dasar itu menghilang dan tak bisa ditemukan. Para guru khawatir para muridnya menjadi korban penculikan seseorang dan emminta bantuan polisi. Tapi polisi pun menyerah.
Tapi.. Diantara semua orang yang panik, anak perempuan tadi tetap tenang. Setiap hari, setiap salah seorang anak menghilang, ia membawa boneka. Bukan boneka yang dulu, tapi boneka baru. Dan boneka itu sangat mirip dengan para murid yang menghilang. Setiap hari, setiap ada anak menghilang ia selalu membawa boneka baru. Boneka yang sangat mirip dengan para murid yang menghilang.
Awalnya para guru dan polisi mengabaikan hal itu karena merka menganggap jika itu hanya sebuah kebetulan. Tapi lama-kelamaan, mereka curiga. Dan akhirnya mereka menyelidiki tentang anak itu.
Mereka datang diam-diam ke rumah anak itu. Ternyata dia seorang yatim piatu, dia tinggal sendirian di sebuah rumah tua yang menyeramkan. Para polisi menyelidiki setiap ruangan disana. Dan saat masuk ke dalam kamar gadis itu, mereka sangat terkejut. Ada banyak mayat yang sudah membusuk berada disana. Mayat para murid yang menghilang. Tubuh mereka sudah tak utuh, mata dan sebagian rambut mereka menghilang. Dan disalah sebuah lemari kaca, terdapat beberapa boneka yang sangat mirip dengan semua korban
Para polisi langsung mencari keberadaan anak itu. Tapi ternyata, gadis itu sudah mati. Ia bunuh diri di halaman belakang rumahnya. Secarik kertas terselip di saku bajunya, tertulis, 'Aku ingin mencari teman sebanyak-banyaknya.'"
"H-hinata.." Naruto meringis dan menatapnya dengan ngeri. "Ceritamu menyeramkan.."
"G-gomennasai.. Aku mendengar cerita itu dari okaa-san. Aku juga ketakutan saat pertama kli mendengarnya, dan terlebih lagi.." Tubuh Hinata bergetar. "Itu kisah nyata.."
"Nani!?"
"T-tunggu.." Shikamaru berpikir sejenak. Ia langsung menatap Hinata dengan terkejut. "Apa sekolah dasar itu sekolah kita dulu?"
Hinata mengangguk. "Ha'i.. Tapi ibu bilang kita semua tidak berada di kelas yang sama dengan anak itu.."
"Aku ingin cari teman sebanyak-banyaknya.. Aku ingin mencari teman.."
Sebuah suara asing menghentikan pembicaraan mereka. Sasuke menatap intens Hinata. "Jangan mengulang kalimatmu, Hinata."
"B-bukan aku yang mengucapkannya, Sasuke-kun."
"Aku ingin cari teman.."
"Siapa itu?" Naruto menyambar salah satu lilin dan mengedarkannya untuk melihat sekeliling dengan khawatir. Ia bisa merasakan rasa takut nuaris menguasainya saat ia merasakan angin berhembus kencang disertai sambaran kilat. Cahaya terang sesaat menerangi mereka.
"Ayo ikut denganku.. Ayo bermain denganku.."
"Keluarlah!"
Mereka semua langsung berdiri dan merapatkan diri satu sama lain untuk berjaga-jaga. Sakura menggenggam kuat tangan Hinata yang ada di sampingnya dan merasakan tangan gadis itu dingin dan gemetar. Saat itulah ia tersadar..
"Ino.. Ino! Dimana Ino?!" Sakura berteriak kepada teman-temannya dengan panik. Dan kalau diingat-ingat.. Sejak Naruto mulai bercerita ia tidak mendengar suara Ino sedikitpun, sampai ia tidak menyadari jika gadis itu hadir diantara mereka.
"Ino-chan.."
"Teman-teman.. Ayo bermain denganku lagi.."
"Siapa kau!?" Naruto mulai geram. "Jangan hanya menakuti dan tunjukkan dirimu, sialan!"
Suasana di sekita mereka berubah. Sang kilat dan gemuruh yang sedari tadi mengaum di malam mulai sirna, tergantikan oleh rintik-rintik air yang mulai turun dengan deras.
Sasuke langsung mengekuarkan senter yang ada di dalam tas Hinata dan mengedarkannya. Tangannya membeku saat cahaya senternya menyorot pada kaki seseorang. Atau lebih tepatnya, sesosok. Dengan perlahan ia menaikkan cahaya senternya pada sosok itu, menyadari jika ia bukanlah seorang manusia. Keringat dingin mengaliri dahinya saat melihat rupa sosok itu. Seorang gadis berambut pirang pucat dengan gaun biru panjang. Wajahnya pucat pasi, dengan wajah yang sudah tak utuh lagi.
"Teman-teman.."
Nereka semua tak bergerak dari tempat saat sosok itu mengekuarkan suara yang sangat mirip dengan Ino. Senyumnya yang merekah membuatnya terlihat semakin mengerikan. "Ayo ikut denganku.."
"I-ino?" Sakura memanggilnya dengan takut-takut.
"Namaku Yamanaka Ino, murid yang meninggal saat kelas lima SD. Aku ingin bermain dengan kalian, ayo, jadilah temanku.."
Sosok itu mulai melayang dan bergerak mendekati mereka. Naruto dan yang lain langsung berjalan menjauh dari sosok itu. Kaki mereka seolah kaku tak bisa dierakkan karena udara dingin yang seolah membekukan tubuh mereka. Otak mereka terus berteriak supaya mereka berlari, tapi tubuh mereka tak bisa melakukannya.
Namun pada akhirnya, tubuh mereka benar-benar kaku. Tepat setelah mereka melihat sebuah pisau tergenggam oleh sosok itu.
"T-tapi.. Bagaimana bisa?" Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku sudah meninggal bertahun-tahun lalu karena bunuh diri. Tapi setahun lalu aku kembali, menjadi murid baru di sekolah kalian dan menjadi teman kalian. Tapi kalian tidak menyadari.. Jika aku sudah mati.."
Sosok itu menatap Sasuke dan Hinata. "Hinata dan Sasuke sudah menyadari kehadiranku, tapi mereka tidak tahu jika itu aku."
"Jangan bohong! Jangan mengaku-ngaku jika kau itu Ino!" Naruto berteriak dengan geram.
"Aku ingin cari teman sebanyak-banyaknya, untuk menemaniku di sana." Suaranya kembali seperti semula. Dingin tanpa nada. "Aku akan mengajak kalian.."
Malam itu, di tengah kilatan petir dan guyuran hujan deras, diemukan enam orang remaja meninggal. Darah mengucur dari perut mereka yang tertusuk pisau.
Diantara semua orang yang menangisi mereka, hanya ada satu yang tertawa. Tersenyum lebar dengan wajah mengerikan menaatp jasad keenam remaja itu. Mukutnya mulai membuka, menampilkan deretan giginya yang rusak dan berucap, "Mereka teman-temanku sekarang.."
"Aku ingin mencari teman, aku akan mengajak orang yang menjejakkan kaki di rumahku. Aku akan mengajak mereka bersamaku dan mengajak mereka bermain denganku.
Selamanya."
A/N : Konbanwa, minna-san!^^. Saya masih baru disini dan ini merupakan fic pertama saya. Saya minta maaf jika ada banyak kesalahan dan kekurangan dalam fic ini,
Saya mohon saran dan kritikan dari para reader sekalian, silahkan ketik di kolom review ya. Semoga fic ini menghibur dan tidak mengecewakan ^_^
